Tentu saja saya berharap enggak akan ada lagi.
Tapi, begitulah yang terjadi.
Jadi, ada seekor kucing. Warnanya putih dengan corak hitam. Ukurannya agak besar; kalau dalam tahap perkembangan manusia mungkin dia kucing ABG. Tidak ada fitur yang menarik, sehingga kemungkinan dia kucing kampung biasa.
Kucing ini muncul begitu saja. Kalau menurut ibu saya, sempat ada satu kucing lagi yang serupa dia tapi lalu menghilang sehingga tinggal dia saja. Kami mengira mereka (atau dia) milik tetangga, tapi suka menongkrong di halaman kami dan lama-lama jadi hampir menetap bahkan hingga masuk ke rumah.
Dia jinak, seperti berharap dianggap sebagai piaraan. Tapi kami sudah punya 2-3 kucing lain yang "wajib" diberi makan, sehingga kami anggap dia sebagai kucing liar (atau milik tetangga?) lainnya yang menumpang makan di garasi kami.
Hingga suatu hari dia tampak lesu, enggak bernafsu makan. Dia mungkin sakit. Tapi kami biarkan saja. Kami anggap dia akan sembuh sendiri, seperti yang pernah terjadi pada kucing-kucing lain.
Kami biarkan dia hingga berhari-hari. Ibu saya berkali-kali memberi dia makan dengan daging ikan, tapi enggak diambil. Saya juga pernah memberi dia segumpal Whiskas basah, yang didiamkan saja.
Hingga suatu hari dia tampak mengenaskan. Sudah mah semakin kurus, kini kotor pula. Rupanya dia pilek. Badannya bebercak-bercak kuning oleh ingus.
Kalau saya pilek, ingus yang berwarna dan kental menandakan bahwa pilek akan segera berakhir (yah, enggak tahu kalau kata dokter). Tapi, tidak bagi kucing.
Karena badannya sudah ringsek begitu, ibu saya pun berinisiatif membawa dia ke dokter hewan. Mau enggak mau, saya menemani. Ketika kami hendak memasukkannya ke keranjang, dia sempat menghilang. Tapi lalu saya menemukan ekornya menjulur dari mesin di kolong mobil, yang memang sehabis digunakan oleh ibu saya dan baru dimasukkan ke garasi. Agaknya dia mencari kehangatan.
Dia begitu kotor, hingga ibu saya mengambilnya dengan perantaraan kertas. Keranjang berisi dia diletakkan di bagasi, sekadar ruang di balik jok belakang. Baunya di bagasi tercium sampai ke hidung kami yang duduk di jok depan.
Sore itu, klinik hewan yang biasa kami kunjungi lengang. Tidak ada pasien lain. Tukang parkir bilang agar mengetuk pintu dahulu. Setelah mengisi daftar dan mengetuk pintu, oleh yang berada di baliknya kami diminta menunggu sebentar. Sepertinya para dokter sedang mengadakan rapat.
Kami pun dibolehkan masuk, ke ruangan paling ujung.
Kucing dikeluarkan dari keranjang. Dokter takjub dengan keadaannya. Saya pun salut si dokter tidak menggunakan pelindung apa-apa seperti masker dan sarung tangan, sebab si kucing begitu bau dan kotor.
Kami menerangkan bahwa dia hanya kucing yang entah siapa pemiliknya, yang biasa menumpang makan di garasi kami dan belakangan tampak sakit hingga menjadi parah, dan seterusnya, dan sebagainya .... Apologi.
Dokter itu mengambil sisir logam, lalu membersihkan gumpalan-gumpalan ingus yang menempel di tubuh kucing. Saya mengamatinya sambil menjaga jarak dan merasa malu sekaligus kagum akan ketelatenan dan kasih sayang si dokter. Mungkin ini suuzon atau refleksi saya atas diri kami sendiri: saya menduga si dokter diam-diam mencibir betapa tidak welas asihnya kami hingga si kucing dibiarkan dalam keadaan begitu. Selain membersihkan, dia juga memberikan infus dan beberapa suntikan, serta mencekokkan daging ke mulut si kucing sambil bertanya, "Nanti bisa enggak kasih makannya?"
Si kucing lalu dimasukkan ke kontainer untuk diuapi. Dokter itu berlalu, digantikan dokter lain yang memberikan obat dan menerima pembayaran. Total Rp 120.000.
Dokter sempat berpesan agar besok si kucing dibawa lagi untuk diinfus.
Tampaknya ibu saya juga menyadari akan sikap si dokter. Dia bilang, sebenarnya kucing itu bisa kami bersihkan sendiri. Tapi--mungkin juga apologi--saya mengingatkan bahwa kami enggak bermaksud memelihara kucing itu melainkan sekadar memberi dia makan. Ibu saya membenarkan, bahwa kebetulan saja kucing itu sakit di garasi kami sehingga terlihat oleh kami dan daripada mengganggu pemandangan mending coba dibawa ke dokter hewan siapa tahu masih bisa diselamatkan (lalu setelah pulih dibuang).
Tapi, sebenarnya saya juga malu. Tiap kali kami ke klinik itu--yang saya sampai hafal muka dan pembawaan setiap dokternya--sementara orang lain pada membawa hewan ras yang bagus-bagus dan begitu menyayangi piaraan mereka, kami membawa kucing liar yang parah keadaannya sampai-sampai kami sendiri ogah menyentuhnya.
Setibanya di rumah, mau enggak mau saya membersihkan kamar mandi belakang di lantai dua yang biasa menjadi ruang karantina bagi kucing sakit. Kamar mandi ini belum dibersihkan sejak terakhir kali ibu saya memungut dua ekor anak kucing--yang satu lalu mati, dan yang lain akhirnya dibuang. Kertas-kertas koran melekati lantai, sepertinya akibat dulu basah oleh kencing. Butir-butir pasir toilet berserakkan. Belum lagi gumpalan-gumpalan tahi yang sudah mengering. Dengan sarung tangan dan lipatan kain menutupi sebagian muka, saya memasukkan koran-koran najis itu ke dalam plastik, menyapu lantai, lalu mengepelnya dengan Wipol sembari menggosok-gosok untuk menyingkirkan sisa-sisa koran dan kotoran. Setelah lantai agak kering, ibu saya menutupinya lagi dengan lembaran-lembaran koran lalu memasukkan kardus agak besar untuk tempat tidur kucing serta kotak pasir untuk toiletnya--yang akhirnya tidak sempat terisi.
Malam itu kami mencoba memberi makan si kucing dengan alat yang diberikan dokter, berupa suntikan tanpa jarum. Caranya: daging basah (kami biasa membeli Whiskas) dimasukkan ke dalam suntikan lalu ditembakkan ke mulut si kucing. Subuh esoknya, daging diganti dengan telur mentah.
Karena hari itu ibu saya bekerja, saya ditugaskan untuk memberi makan si kucing sendirian tiap beberapa jam sekali. Sampai ibu saya pulang selepas asar, saya memberi makan si kucing dua kali: sekitar pukul setengah sembilan dan sekitar pukul satu. Kali ini saya tidak sok-sokan pakai sarung tangan, tapi tetap menutupi separuh muka dengan kain.
Belajar dari si dokter, saya mencoba untuk menjadi perawat yang welas asih. Sebelum memberi makan, saya bersihkan dulu moncong si kucing dengan tisu yang dibasahi. Saya juga bersabar ketika si kucing melepeh daging yang telah saya tembakkan ke mulutnya, yang saya pungut lagi, masukkan lagi ke dalam suntikan, dan tembakkan lagi. Begitu berkali-kali, sampai kurang lebih satu sendok daging habis. Sesudahnya, saya bersihkan lagi moncong si kucing. Saya juga membuang lembaran koran yang sudah diceceri tahi encer.
Ibu saya pulang. Sore itu, kami hendak memberi makan si kucing lagi bersama-sama, sekalian memberikan obat. Ibu saya memegangi si kucing, sedangkan saya yang menembakkan makanan. Tapi, si kucing sesekali memberontak. Mulutnya sedikit-sedikit terbuka, seperti yang mencari udara atau hendak mengeluarkan suara tapi tak bisa. Ibu saya menginstruksikan agar saya memasukkannya pelan-pelan, ditambah air.
Tapi, berangsur-angsur kami jadi tidak tega. Keadaan dia sudah begitu menyedihkan. Begitu kurus, begitu kotor, begitu lemah, seperti yang sebentar lagi akan mati. Saya yakin ketika sebelumnya saya memberi dia makan, sudah ada daging yang masuk ke perutnya. Tapi, kok sepertinya tidak berpengaruh?
Ibu saya meminta maaf pada si kucing karena telat membawanya ke dokter. Yah, lagi-lagi telat, karena kami selalu berpikir--berharap--si kucing akan sembuh sendiri. Sebagian kucing memang bisa sembuh sendiri, tapi untuk sebagian lagi sudah terlambat.
Kami ingat pesan dokter agar dia dibawa lagi untuk diinfus. Saat itu sudah sekitar pukul setengah enam sore, sementara pendaftaran ditutup pukul enam. Kami pun mengebut berganti pakaian dan menyiapkan si kucing untuk dibawa lagi ke klinik hewan.
Memang klinik tersebut tidak begitu jauh di rumah. Kami tiba sebelum pukul enam. Kali ini, ada dua pasien lain yang telah lebih dahulu menunggu. Dua-duanya kucing. Yang satu belek dan pilek, sedangkan yang satu lagi sepertinya tidak bergairah setelah melahirkan satu anak yang lalu mati. Sembari menunggu, kami bertukar sedikit informasi tentang hewan bawaan masing-masing.
Setelah kami, ada dua pasien lagi yang datang. Keduanya anjing. Anjing yang pertama sangat besar, tidak mau diam, dan menarik perhatian: golden retriever. Saya mencuri dengar obrolan si pemilik dengan beberapa penunggu lain mengenai perawatan si anjing. Anjing juga memikat untuk dipelihara, tapi kami muslim dengan pengetahuan bahwa hewan itu bernajis berat. Seandainya anjing enggak senajis kucing dan ibu saya tergerak untuk memeliharanya juga, enggak terbayang kerepotan yang bakal menyerta. Apalagi kalau anjingnya segede manusia, seperti golden retriever itu. Kalau dia mati, mau dikubur di mana? Mencari tempat mengubur hewan yang relatif kecil seperti kucing saja kami kebingungan.
Lewat azan magrib, tibalah giliran kami. Kali ini kami mendapat meja pemeriksaan di depan dan dokter yang lain lagi. Melihat keadaan si kucing, si dokter terperenyak (oke, lebay). Dia bilang napas kucing ini sudah satu-satu, tapi, "enggak apa-apalah, ikhtiar," sambil memberikan suntikan. Dia juga mengukur suhu tubuh si kucing dan mengatakan bahwa hasilnya sudah di bawah normal.
Napas satu-satu + Suhu tubuh di bawah normal = Sakratulmaut
Di samping itu, sebelumnya ada sedikit persoalan. Ibu saya akan keluar kota beberapa hari pada akhir pekan, sehingga saya mesti memberi makan dan obat pada kucing itu sendirian. Awalnya saya berkeberatan sehingga ibu saya hendak memanggil pulang adik saya yang kuliah di luar kota untuk membantu saya. Tapi, setelah mencoba memberi makan kucing itu sendirian dan ternyata bisa, saya berpikiran bahwa bantuan adik saya mungkin tidak diperlukan. Meski begitu, jangan-jangan si kucing sempat mendengar persoalan itu, jadi enggak bersemangat untuk bertahan hidup, dan hendak cepat mati saja biar enggak merepotkan saya.
Itu, dan hal-hal lain yang masih menyangkut perkucingan dan sebagainya bikin mood saya jatuh sepulang dari klinik hewan. Setelah mandi dan mengejar kesempatan salat magrib di waktu yang sudah mepet isya, saya tiduran saja di kamar yang remang-remang--seolah-olah tidak mau beraktivitas lagi selain terlelap.
Beberapa kali ibu saya datang, mengabarkan keadaan si kucing. Dia bilang kucing itu sudah dingin, kaku. "Kayaknya udah mati deh. Mau dikubur sekarang atau besok?"
"Ya, besoklah. Masak ngubur malam-malam?" tukas saya sebal. Saya baru mandi, dan malam itu waktunya beristirahat.
Pagi esoknya, saya tidak bersemangat bangun sementara begitu terang ibu saya langsung mencari tempat di halaman. Mau enggak mau, saya turun juga untuk membantu ibu saya menggali tanah yang keras dengan peralatan seadanya. Lubang yang bisa kami buat pun enggak dalam dan lebar, padahal kucing itu mati dalam keadaan memanjang--ukurannya sudah agak besar ketimbang kucing-kucing lain yang pernah kami kubur sebelumnya di halaman. Malah, ujung ekornya sempat enggak tertutup oleh tanah, saking kurang dalam dan lebarnya lubang itu. Saya membolehkan ibu saya menambahkan tanah dari pot-pot bekas hasil percobaan saya berkebun yang lagi-lagi terbengkalai. Saya meratakannya dengan bagian bawah sekop lalu pergi, tidak hendak melihatnya lagi.
Simpulan
Sikap orang terhadap kucing kurang lebih ada tiga:
- Benar-benar sayang. Tidak sekadar memberi makan, tapi juga merawat dan membersihkannya. Bahkan rela mengeluarkan uang untuk mengebirinya agar tidak ada lagi generasi baru anak-anak kucing yang telantar.
- Sekadar suka memberi makan, tapi enggan mengurusnya lebih lanjut. Tidak rela mengeluarkan uang untuk mengebiri. Masih punya ketegaan membuang kucing ke tempat jauh, atau, istilah yang lebih "enak": melepasliarkan--seperti yang LSM-LSM lakukan pada hewan-hewan seperti orangutan, macan, dan sebagainya ke hutan, sehingga mereka bisa mencari makan sendiri dan berinteraksi dengan sesamanya secara alamiah.
- Enggak suka sama sekali. Langsung mengusir begitu didekati. Bahkan ada yang sampai melempari dengan batu atau menyiram dengan air panas.