... nani?
Saya mengecek film-film yang diputar hari itu di TSM XXI--bioskop terdekat dari rumah saya dan bisa dicapai dengan berjalan kaki sehingga saya tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi: benar-benar tidak ada.
Mungkin di CGV film ini masih ada, apalagi kalau bisa dapat yang di Kings--tinggal sekali naik angkot.
Untuk CGV, film ini tinggal tersedia di Miko Mall dan Paskal Hyper Square. Miko Mall seperti antah berantah kalau buat saya, sedangkan di Paskal Hyper Square film ini baru ada pemutaran sore menjelang magrib--keburu hujan dong.
Apa boleh buat.
Naik sepeda, jaraknya cukup jauh dan menanjak. Cek harga ojol di dua provider: mahal. Saya pun menanyai beberapa orang tentang rute angkot ke Ciwalk, berangkat menjelang pukul 11 dengan estimasi waktu perjalanan kurang dari sejam, dan tertahan oleh kemacetan di sepanjang Jalan Jakarta (katanya sedang ada pembangunan jalan layang baru), sehingga semakin menyurutkan motivasi kerja sopir angkot yang lantas menurunkan para penumpang saya melanjutkan dengan berjalan kaki sampai Jalan Supratman (untung cuaca tidak begitu panas) untuk menyambung dengan angkot rute yang sama, berhenti di perempatan Jalan Katamso-Jalan Pahlawan-Jalan Surapati, naik angkot rute berikutnya, yang di perempatan Dipati Ukur-Dago sengaja melewatkan dua kali lampu merah dengan mengetem lebih lama ....
Saat itu sudah lewat pukul 12, sedang pemutaran pukul 12.30.
Memasuki Jalan Ciumbuleuit saya sudah pasrah kalau-kalau mesti menunggu beberapa jam lagi demi pemutaran berikutnya yang baru ada pukul 16.50.
Tadinya saya mengira--seperti pengalaman-pengalaman saya sebelumnya ketika naik angkot ke Ciwalk--angkot tidak akan melewati Jalan Cihampelas tapi Jalan Cipaganti sehingga saya akan turun di depan masjid dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Tapi rupanya--sepertinya--teman yang menginstruksikan saya agar HANYA menaiki angkot rute ini, menghendaki supaya saya bisa langsung berhenti di depan Ciwalk tanpa mesti berjalan kaki beberapa menit dulu. Sebelum angkot berbelok menuju Jalan Cipaganti (karena ketika ditanya sopir tadinya saya menjawab tujuan saya masjid), saya pun minta berhenti. Saat itu pukul 12.28.
Ke-grasa-grusu-an saya tertangkap oleh si aki-aki sopir angkot, yang lantas menyuruh saya supaya selow (dengan bahasanya sendiri, tentu saja), karena saya menjatuhkan receh kembalian yang ia ulurkan.
Saya setengah berlari ke XXI.
Pukul 12.32, saya tertahan di depan tiga orang yang membayar menggunakan kartu dan itu agak lama. Selain itu, rupanya cici-cici yang saya susul di eskalator tadi hendak menonton film yang sama. Kok dia bisa selow begitu, ya.
Akhirnya saya pun mendapatkan giliran. Bangku E8.
Setengah berlari lagi saya mencari Teater 6.
Layar sudah menampilkan gambar bergerak, yang untungnya masih parade iklan.
Saya mengempaskan diri di E8. Beberapa bangku di kanan saya kosong (kenapa sih rombongan itu sengaja memilih tempat di pinggir, memangnya enak menonton dengan pandangan ke samping?), sedangkan di kiri saya adalah jalan.
Baris E terasa begitu pas, tidak terlalu bawah dan tidak terlalu atas, dan saya tidak bisa memilih bangku yang lebih tengah lagi.
Ketar-ketir saya selama perjalanan tadi seperti yang terbayarkan.
(Lucu juga menyadari bahwa mentang-mentang saya mau menonton film menyangkut dunia olahraga, semesta mengondisikan saya untuk "berolahraga" dulu dalam perjalanan ke bioskop!)
(Lucu juga menyadari bahwa mentang-mentang saya mau menonton film menyangkut dunia olahraga, semesta mengondisikan saya untuk "berolahraga" dulu dalam perjalanan ke bioskop!)
Gambar dari IMDb. |
Jadi, kenapa saya ingin menonton film ini? Selain karena setiap orang perlu refreshing (--jawaban diplomatis--), seperti yang sudah saya cetuskan sebelumnya, saya penasaran dengan bagaimana latar masa lalu ditampilkan. Dalam film ini, latarnya Tasikmalaya (yang apakah benar-benar di Tasikmalaya?) dan pastinya ibukota negara kita--Jakarta--pada era '80-'90-an. Saya senang saja melihat gambar bergerak dalam nuansa sepia, lagu "Heli Guk Guk Guk" dinyanyikan di panggung tujuh belasan, ciput renda khas ibu-ibu kasidahan masa itu, bagian bawah baju yang dimasukkan ke celana, hingga model celana pendek dengan lekukan di bagian pinggir paha.
Entah kenapa, saya suka yang lawas-lawas.
Gambar dari artikel Tribun News.
|
Itu sajian utama yang saya cari; ceritanya sendiri hanya bonus.
Tapi, paling tidak, film ini berhasil membangkitkan keharuan saya hingga meneteskan air mata. Yang pertama--sudah sedari bagian awal--yaitu adegan-adegan antara Susi remaja dan ayahnya (yang jadi mengingatkan saya pada hubungan dengan ayah sendiri). Yang kedua, yaitu ketika Susi menjadi juara Olimpiade Barcelona dan lagu kebangsaan Indonesia dikumandangkan. (Ya ampun, ternyata aku masih nasionalis.) Karena, biasanya, dalam acara-acara tertentu, adakalanya peserta diminta menyanyikan lagu "Indonesia Raya" bersama-sama, dan perasaan saya biasa saja malah terganggu oleh suara saya sendiri yang biarpun pelan tetap saja terdengar sumbang. Dalam kesempatan kali ini, saya tergugah mungkin karena sebelumnya disuguhi adegan pertandingan bulu tangkis. Acara pertandingan begitu, kalau diperhatikan secara sungguh-sungguh dengan harapan besar akan kemenangan yang dijagokan, memang bisa bikin geregetan sih.
Pembacaan buku tentang pelatihan atlet (setahun lalu di perpustakaan provinsi) sepertinya membantu dalam menghayati ketegangan tokoh dalam menghadapi pertandingan. Saya jadi paham bahwa atlet itu ibarat artis--sama-sama performer. Kalau artis di panggung, atlet di lapangan. Dalam satu kesempatan, ditonton oleh banyak orang yang berharap, mereka mesti dapat menampilkan yang terbaik. Karena itu, mereka sama-sama butuh banyak latihan.
Selain itu, juga ada nasihat-nasihat bagus agar tidak melihat perjuangan dihargai semata oleh medali atau semacamnya. (Maksudnya, medali di sini hanya simbol dari pencapaian, yang dalam kehidupan orang-orang bukan-atlet dapat berbentuk lain yang sama materialistisnya.) Karena toh ada banyak pahlawan lain dalam kehidupan ini--secara luas--yang tidak pernah mendapatkan "medali". Termasuk dalam kehidupan pernikahan--khususnya bagi perempuan tipe pejuang lagi kompetitif--dalam berhubungan dengan anggota keluarga, adakalanya mesti mengalah.
Bagaimana soal muatan politisnya? Hm, enggak ngerti tuh.
Tapi, ada juga beberapa hal yang saya rasakan janggal.
Pertama:
Film ini kurang lebih mencakup dua dekade, yaitu '80-an dan '90-an. Dalam dua dekade itu, yang berubah wujud hanya Susi dan Rudy (kakak Susi) ketika remaja, sedangkan tokoh-tokoh dewasa, semisal ayah-ibu Susi dan Rudy serta pelatih Tong dan Chiu Sia tampak begitu-begitu saja. Maksudnya, mestinya dalam sekitar dua dekade itu, orang seusia mereka sepertinya bakal mengalami tanda-tanda penuaan yang cukup kentara--katakanlah bertambahnya uban dan keriput.
Kedua:
Susi itu orang Tasikmalaya yang otomatis berlogat Sunda. Paling enggak, tokoh-tokoh lainnya seperti Sarwendah dan Alan konsisten dengan medok Jawa. Logat Sunda pada Susi ini memang terasa pada Laura Basuki, sebagai pemeran dewasanya, sesekali. Selebihnya--mungkin ini hanya kesoktahuan saya saja sebagai warga yang lahir dan besar di Kota Bandung tapi enggak fasih berbahasa Sunda yang dengan begitu menjustifikasi bahwa telinga saya sudah terbiasa dengan lenggok khas Sunda--cara bicaranya masih berkesan ibukota-ish jaman now begitulah. (Kesan ini sudah saya dapatkan sejak melihat trailer-nya). Apalagi untuk Susi remaja, yang herannya, setelah saya cek, sebenarnya bersekolah SMP dan SMA di Bandung serta pernah bermain di film Dilan 1990 yang juga berlokasi di Bandung. Bukan berarti saya tahu benar cara bicara yang sebenarnya pada masa itu, cuma, janggal saja sih.
Ketiga:
Dari dialog, saya mengetahui bahwa Susi berkarakter ambisius dan kompetitif. Dari dialog. Emosi itu memang cukup terasa pada Susi remaja (yang kalau melihat foto-foto pemerannya di dunia nyata, sepertinya agak tomboi? #soktahu). Tapi, pada Susi dewasa, pembawaannya agak lemah gimana gitu--maksudnya kesan perempuan strong itu enggak begitu saya rasakan selain yang saya ketahui dari dialog. Saya enggak tahu sih bagaimana pembawaan Ibu Susi yang asli, jadi apologi saya, ya, saya hanya berbagi kesan yang pada dasarnya subjektivitas belaka.
Ada yang menyemangati atau enggak, rajin berolahraga itu perlu!
Gambar dari artikel Popbela.
|
Jumlah penonton tidak sesedikit yang saya kira, malah wajar untuk hari nomat pemutaran tengah hari. Keluar dari Teater, ada yang mencegat para penonton untuk meminta sobekan tiket. Katanya sih untuk survei. Kalau tidak salah ingat, sepertinya ada juga yang mencegat untuk mewawancarai, dan menerangkan entah apa lagi. Untung untuk yang belakangan ini saya tidak kena ....
Keluar dari Ciwalk, naik angkot untuk pulang, hendak lepas dari Jalan Cihampelas, saya melihat trailer film ini ditayangkan di ... itu lo, TV gede yang biasanya ada di perempatan. Biarpun tidak sampai seminggu tinggal tiga bioskop saja yang menayangkannya di Bandung (bandingkan dengan Bebas, yang sampai hari ini--berminggu-minggu setelah premier--masih ada di TSM), film ini terus berusaha mencari penonton.
BONUS
Olahraga, '80-an; seandainya ini film Jepang, tentu "Sportsman" dari Haruomi Hosono pantas untuk dijadikan soundtrack.
I'm worrying everyday/ I could be anorexic/ I'll have to get into shape/ Can't seem to find the right charge/ Your mother she might be a swimmer/ Your father must have been a vaulter
Don't put me in skates/ Ping-pong I'm no great shakes/ People say I'm weak/ Can't even hold her tight/ You're the star of the poolside/ Your streamline curves I can't ablde
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man
I'm not sleeping these days/ Maybe insomniac/ Quench my thirst-Flesh and Blood/ I've got this craving for you/ Your brother they call him Batman/ Your sister we know she's wonder woman
I'm seeing sundays/ I could be apoplectic/ The whole family gets in shape/ Under the floodlights/ People tell me I'm not strong/ I can't seem to find the right charge
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man
(Lirik dibagikan oleh akun 呪いのクリオネ.)