Adek tidak lagi menyambangi kamar Risky.
Risky memanfaatkan kesempatan itu baik-baik. Sekarang ia berkonsentrasi
mengejar materi-materi yang belum dia kuasai.
Sesekali Risky ke lantai bawah untuk
mengembalikan peralatan makan dan minum, sekalian disuruh Mama mencucikan semua
perabot di bak, mengambil amunisi baru untuk kembali mengurung diri selama
beberapa waktu ke depan, juga ke kamar mandi. Tapi ia sudah tidak lagi menonton
televisi.
Lagi pula, Adek langsung lari
bersembunyi saat sekilas saja melihat Risky. Risky tidak mengacuhkan anak itu
sama sekali. Ia menuntaskan urusannya lalu bergegas naik ke kamarnya,
memaksimalkan usaha dalam minggu-minggu yang tersisa.
Kadang Risky terpikir untuk
berdoa: Tuhan, semoga kali ini aku lolos .... Tapi, entah
kenapa ia tidak yakin ingin benar-benar lolos. Lolos atau tidak, entah mana
yang terbaik. Lalu apakah artinya dua tahun ini? Kamu harus lolos!
Ia sudah mempertaruhkan waktu yang sedianya bisa ia gunakan untuk berkuliah di
kampus swasta, alternatif yang mungkin tak kalah baiknya, sesuai dengan masukan
dari orang tuanya, ITB cuma soal reputasi saja.
Entahlah. Kalau orang tuanya bisa kuliah
di perguruan tinggi negeri, maka paling tidak ia bisa menyamainya, kalau bukan
melampaui. Kalau tidak? Ah, kenapa ia mesti begitu peduli pada standar orang
tuanya? Setan apa yang telah merasukinya tahun-tahun ini?
Because it's there.
Risky mengusir lamunannya,
pikiran-pikiran yang melantur dari tujuannya.
Sudah telanjur, mengapa harus menyesal?
Lama-lama ia kembali sulit
berkonsentrasi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Sebelum berangkat, Risky menyalami kedua orang tuanya takzim. Wajah Mama penuh
pengharapan, sedang Papa tampak datar-seakan-akan siap menerima apa pun
hasilnya. Sesaat Risky merasa sebagai anak yang tidak dapat diharapkan, setelah
segala fasilitas yang diberikan. Lalu ia ingat masa kecilnya yang menyakitkan
bersama Papa dan pemberontakannya saat SMA. Mungkin memang sudah
sepantasnya ....
Adek bersembunyi di balik tubuh Mama.
Baru tersadar oleh Risky, ia juga harus meminta doa restu si kecil ini. Ia
mengulurkan tangan. Mama mendorong Adek agar menyambutnya. Adek mencium
punggung tangan Risky, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya, kembali menamengi
diri dengan tubuh Mama dan memegangi kain bajunya erat-erat.
Risky pun pergi dengan motornya.
Sekarang ia mendapat lokasi di suatu sekolah.
Paket ujian dibagikan. Risky membuka halaman demi halaman, meninjau soal.
"POLUSI UDARA", "CARA POHON MENDAPAT AIR", "ENERGI
PEMBANGKIT LISTRIK DARI SEKAM", demikian judul-judul teks untuk bagian IPA
Terpadu. Risky mendesah. Dari pengalaman dua kali UMPTN sebelumnya, teks-teks
IPA Terpadu cenderung berbau Biologi dan Kimia-dua subjek paling dibencinya. Ia
sudah memperkirakan akan mendapatkannya lagi, tapi tetap saja .... Sudah malas
baca teks padat, topiknya tidak disenangi pula.
Risky kembali ke lembar pertama dan
mulai mencoret-coret .... Tiap kali menemui kesulitan, pikirannya berkeluyuran.
Persetan lolos ITB apa enggak!
Seakan-akan dengan titel "mahasiswa
ITB", orang-orang tidak akan lagi memandangnya rendah. Orang tuanya akan
menghargai dia. Adiknya akan menjadikannya panutan. Para tetangga akan berbalik
mengaguminya. Cewek-cewek akan mendekat. Namun si Edo membuyarkan semua ilusi
itu. Titel itu hanya cangkang, sedang di dalamnya tetaplah seonggok pungguk
yang hina.
Muncul bercak-bercak pada kertas
ujiannya. Risky mendongak. Apa langit-langitnya bocor? Padahal di luar sana
langit terang benderang, tak menampakkan awan seserpih pun. Risky mengisap
ingusnya berkali-kali, menarik perhatian beberapa peserta lain di ruangan itu.
Ah, kenapa tiba-tiba jadi pilek begini? Tentunya hanya peserta di kanan, kiri,
dan belakangnya yang dapat melirik dan melihat ia menyeka matanya dengan tangan
lalu lengan baju.
Tuhan, kalau memang kau ada,
Aku tidak peduli lagi lolos ITB atau
tidak ....
Aku cuma ingin dihargai ....
Air tidak menetes lagi. Ia mengembuskan
desah yang penghabisan. Ia tidak lagi cemas akan menjawab salah. Ia mengerjakan
sebisanya. Setiap kesulitan ia hadapi tanpa banyak gundah. Kalau buntu, ia
segera loncat ke soal yang lain. Begitu seterusnya sampai waktu habis.
Selagi masih di tempat parkir motor,
sedang mengenakan helm, Risky mendengar beberapa orang membahas ujian tadi.
"Di samping urang siah, nepi ka
ceurik." Di sebelah saya, sampai ada yang menangis.
Risky tidak acuh. Ia segera pulang.
Ada sebulan lebih hingga waktunya
pengumuman. Ia kembali mendatangi beberapa kampus, adakalanya ditemani orang
tua, untuk mencari informasi pendaftaran mahasiswa baru sampai ia dapat
menjatuhkan pilihan. Uang muka disetorkan. Orang tuanya seakan-akan tidak ingat
kepada sesumbarnya dahulu hendak membayar sendiri, atau memang pada dasarnya
tak percaya? Risky pun tidak mencegah dengan menunjukkan kekuatan tekad hendak
memenuhi kata-katanya itu.
Sesekali ia membuka koran juga, memindai
barisan iklan lowongan kerja. Tapi tidak ada yang diminatinya. Sebagian besar
waktu ia lalui dengan melamun saja di kamar. Ia merasa kembali ke masa SMA,
ketika kakinya seperti yang tidak menginjak bumi sedang kepalanya diliputi
kabut. Ia melayang ke sana kemari, tanpa arah pasti atau sekadar menuruti
keinginan sesaat. Bedanya, kali ini keluyuran pun ia tidak bernafsu. Mau baca
komik, novel, apa pun yang ringan-ringan, malah ingat kepada buku pelajaran.
Mau menggambar, jadinya malah rantai DNA. Mau merakit model, rasanya tidak lagi
menantang bila jadinya sekadar mainan-bukan yang betulan walau entah bagaimana
juga cara membuatnya. Mau main komputer, yang dibuka cuma software dan
arsip lain peninggalan Edo yang akhirnya cuma dlihat-lihat. Game
Boy berikut Tetris-nya menjadi momok. Sudah capek-capek berpikir
bagaimana supaya tiap potongannya bisa saling klop, eh, malah hilang begitu
saja. Lalu temponya semakin cepat, menarik Risky kembali ke lokasi ujian saat
waktu mengerjakan kian tipis. Kabar si Doel pun sudah tidak dipedulikannya
lagi; dia sudah dapat pekerjaan atau belum, bukan urusan Risky.
Saat sedang termangu-mangu itu, Risky
mendengar adiknya berteriak-teriak di lantai bawah.
"Mama! Mama!"
Adek baru terbangun dari tidur siangnya.
Ia keluar kamar, mendapati suasana yang sepi. Cuma gumaman pelan dari televisi.
Ia masuk ke ruangan demi ruangan. Semuanya terbuka, tapi Mama tidak ada di
mana-mana. Mendung pula. Seantero rumah dirundung kegelapan.
Saat itulah Risky turun. Adek menatapnya
seperti dia itu hantu. Anak itu hendak berlari ke pintu depan, menyelamatkan
diri ke jalan. Tapi, bahunya keburu digapai. Adek menjerit, menoleh ngeri, di
ambang tangis. Semakin keras anak itu memberontak sambil berteriak-teriak,
semakin erat pula Risky memeluknya-seperti ular membelit mangsanya agar mati
lemas. Ia sama takutnya dengan Adek. Takut pintu hati si kecil telah tertutup
untuk dia, dan lalu anak itu akan tumbuh dengan memandang tak simpatik
kepadanya-seperti orang-orang lainnya. Seperti ia yang dahulu berlari dari Mama
tiap kali mendengar deru mobil ayahnya mendekati rumah, masuk ke kamarnya
sendiri untuk bersembunyi. Sementara Mama beranjak ke pintu depan untuk
menyambut, Risky mendekapkan bantal rapat-rapat ke telinganya, tak mau
mendengar suara Papa.
"Maafin Kakak, Dek," sedunya
terbenam ke dada Adek, teredam pula oleh tangisan anak itu. Jangan
takut sama Kakak, jangan benci ....
Beberapa saat mereka bersahut-sahutan
dalam pilu, hingga telinga Risky awas menangkap langkah kaki mendekat dari
jalan. Segera saja ia bangkit sambil mengangkat Adek dan membawa anak itu lari
ke lantai atas.
"Mama! Mama ...!" kali ini
Adek tak hendak membiarkan dirinya diculik lagi. Ia meronta-ronta dalam
dekapan.
Namun mereka sudah telanjur sampai di
kamar Risky. Pintu dikunci.
"Kakak punya gim baru!" ucap
Risky sembari terengah-engah. Asal saja ia menjambret kaset gim yang terdekat
lantas diserahkannya kepada Adek yang kebingungan. "Yang menang, hadiahnya
bakso paling gede!"
"Segede apa?" cicit Adek,
masih tak yakin kepada Risky.
"Segede bola tenis-eh, enggak!
Segede bola basket!"
"Segede bola basket?" Adek
tercengang.
"Iya! Makannya juga di
baskom!"
"Di baskom?!"
"Kalau kalah, tetep dapat hadiah.
Tapi baksonya segede bola pingpong aja!"
"Segede bola pingpong tapi yang
banyak?"
"Iya!"
"Tapi, aku maunya yang segede bola
basket!"
"Makanya itu, harus menang
dulu!" Risky merebut kaset gim itu lalu memasukkannya ke mesin Nintendo.
"Mau! MAU!" Adek melonjak lalu
mengambil posisi di depan televisi kecil itu.
Segera saja keduanya asyik masyuk dalam
permainan, lupa menghapus jejak-jejak air mata di pipi.
Kini Mama yang ganti memanggili Adek dan
tak menemukannya di mana pun sehingga naik ke kamar Risky.
"Iki!" Mama menggedor-gedor,
khawatir Adek telah kabur lagi karena entah diapakan lagi oleh Risky.
Terpaksa Risky menjeda permainan dan
membukakan pintu. Ia memperlihatkan kepada Mama Adek yang sedang duduk anteng,
hanya raut mukanya kesal karena permainan terganggu.
Mama melongo.
Sejak itu, Adek mulai kembali berani
memasuki kamar Risky. Walau mulanya ia cuma berdiri di pintu, ragu dan takut.
Kalau pintu ditutup, ia mengetuk pelan dan kalau tidak kunjung terbuka, ia
tidak memaksakan. Kalau pintu terbuka, ia memanggil Risky pelan sampai kakaknya
itu menyuruhnya agar langsung masuk saja. Lama-lama, Adek kembali berani masuk
dengan sendirinya meski telah diiringi kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak
membangunkan si monster lagi.
Risky sendiri sebetulnya telah kurang
gairah meladeni Adek. Sering kali ia cuma berbaring saja di kasur sambil
mengamati Adek bemain sendiri. Namun benaknya kosong melompong.
Saat sendirian, ia larut dalam
lamunannya yang tak bercorak warna, sambil duduk atau berbaring, lalu tahu-tahu
saja ada yang mengalir di pipinya. Padahal ia tidak sedang merasakan apa-apa.
Ia usap pipinya, dan sudah begitu saja. Adakalanya pula tetes air matanya
disusul kelebatan bayangan yang berupa kenangan tak mengenakkan. Misalnya,
ketika suatu saat ia menghampiri Simbok dan bertanya, "Mbok, cerai itu
apa?"
"Ngomong apa tho,
Mas?" sambut Simbok sambil lalu karena sedang sibuk dengan pekerjaannya.
"Cerai itu apa, Mbok?"
"PR-nya sudah dikerjakan
belum?" Kali ini Simbok mendengar Risky dengan saksama namun tak hendak
mengacuhkannya.
"Cerai itu kalau Mama pergi Papa
pergi, ya, Mbok?"
"Eeeh ..."
Mama akan pergi bersama om itu, sedang
Papa mana mau mengurus dia.
"Mbok, nanti aku ikut sama Simbok,
ya?"
"Ikut ke mana?"
Risky telah menjerat perhatian Simbok
sepenuhnya.
"Pokoknya aku ikut sama
Simbok!"
"Udah, udah, jangan nangis tho ...!"
Simbok merangkul dan mengusap punggungnya
"Cup, cup, jangan nangis. Kakak mau
bakso?" Adek menirukan suara Mama saat menghiburnya. Lalu ia melepaskan
rangkulannya dari kepala Risky.
Risky terdiam.
"Mata Kakak kemasukan debu,"
sahut Risky sembari mengusap matanya. Lalu ia berdiri, menggiring Adek keluar
kamar dan mengunci pintu, kemudian kembali duduk termenung.
Sekali waktu Risky keluar rumah,
melanjutkan kebiasaan jalan-jalan sore sekalian mampir ke warung yang jauh
untuk beli rokok-walau entah sudah berapa lama ia tidak merokok, tidak ada
dorongan lagi. Melewati sisi kali dengan sebatang pohon jambu yang rindang,
Risky mendapati sosok hitam itu lagi. Di bawah pohon ia duduk bersila. Mulutnya
menyeringai, mendesis-desis sampai mencipratkan busa.
Tidak lama Risky mengamatinya. Ia lanjut
berjalan pulang, berharap tak berpapasan dengan Shelly. Sampai di rumah, ia
memikirkan sosok hitam itu. Setelah orang tersebut sempat meresahkan warga,
Risky mengira sudah ada pihak yang menanganinya karena lama tidak terdengar
kabarnya. Ternyata ia balik lagi. Dari manakah asal usulnya? Kenapa bisa sampai
begitu? Ia ingat mendengar suara amukan sosok itu dari jauh, entah marah kepada
siapa. Ia ingat juga saat sosok itu tampak ketakutan karena dilempari anak-anak
sialan. Seandainya masih punya kesadaran, mesti dia sedih akan keadaannya itu.
Mungkin justru beban kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang terlalu itu yang
membuat dia mati rasa, sampai hilang akal.
Mati rasa .... Bukannya itu
hampir-hampir seperti dia kini? Walau kadang ia kelepasan menangis, tapi entah
apa sebabnya, karena sering kali ia sedang tak merasakan apa-apa.
Mati rasa mungkin hanya satu langkah
dari hilang akal.
Agustus datang kembali. Mama hendak
membangunkan Risky pagi-pagi sekali untuk mencari koran hari itu. Namun Risky
tidak tidur semalaman. Bukan karena was-was akan hasil pengumumannya, melainkan
ia bahkan tidak sadar bahwa malam sudah berakhir. Setelah mendapat satu
eksemplar dari loper koran yang baru buka, Risky langsung pulang dan naik ke
kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka koran, mengambil kartu
ujiannya dan mencari ....
Enggak mungkin ....
Risky memastikannya sekali lagi.
Ini pasti halusinasi ....
Mama tadi melihat Risky sudah pulang,
namun masih sibuk menyiapkan sarapan. Kemudian Mama membangunkan Adek. Setelah
menyuruh anak itu mandi, Mama yang penasaran naik ke kamar Risky. Namun ia
mendapati anak itu sedang tersedu-sedu. Mama duduk di samping Risky,
mengusap-usap bahunya.
"Udah .... Kalau enggak lolos,
enggak apa-apa. Kan udah diterima di swasta."
Tentunya Mama tak mendengar Risky
membatin, Aku mulai gila ....
Saat ia hendak membuka mulut, mengatakan
kepada Mama bahwa sepertinya ia perlu ke psikolog, sedunya malah makin menjadi.
Kedua tangannya menutupi muka.
Mama mengambil koran dan kartu ujian
Risky, ingin memastikannya sendiri. Ia turun membawa lembaran itu dan mencari
kacamata baca. Lalu ia duduk membersamai Papa di meja makan.
Tak lama kemudian, "Pa, bener
enggak ini?" Mama menunjuk satu baris. Papa menurutinya.
"Lo, iya, Ma!
"KI! IKIII ...!"
Mama bangkit, bergegas mengambil
Stabilo. Papa memeriksa sekali lagi, memastikan.
"Maaa! Handuk!" teriak Adek
dari kamar mandi.
Setelah membungkus Adek dengan handuk,
kata Mama, "Panggil Kakak ke bawah. Suruh mandi, biar enggak stres!"
Adek menurut.
Risky menurut.
Di meja makan, Risky yang sudah segar
mengejap-ngejap mendapati namanya di koran telah diwarnai oleh Mama.
Bukan halusinasi ....
"Selamat, Ki," Papa menepuk
bahunya.
Sedang Mama mencium sebelah pipinya. "Akhirnya jerih payah kamu terbayar juga."
Adek yang sudah berseragam, siap diantar ke TK, melihat temannya di jalan, hendak berangkat juga bersama orang tuanya. Ia berteriak sekeras-kerasnya kepada temannya itu, "KAKAK AKU MASUK ITB LO!"[]