Senin, 20 Desember 2021

24. UMPTN YANG PENGHABISAN

Adek tidak lagi menyambangi kamar Risky. Risky memanfaatkan kesempatan itu baik-baik. Sekarang ia berkonsentrasi mengejar materi-materi yang belum dia kuasai.

Sesekali Risky ke lantai bawah untuk mengembalikan peralatan makan dan minum, sekalian disuruh Mama mencucikan semua perabot di bak, mengambil amunisi baru untuk kembali mengurung diri selama beberapa waktu ke depan, juga ke kamar mandi. Tapi ia sudah tidak lagi menonton televisi.

Lagi pula, Adek langsung lari bersembunyi saat sekilas saja melihat Risky. Risky tidak mengacuhkan anak itu sama sekali. Ia menuntaskan urusannya lalu bergegas naik ke kamarnya, memaksimalkan usaha dalam minggu-minggu yang tersisa.

Kadang Risky terpikir untuk berdoa: Tuhan, semoga kali ini aku lolos .... Tapi, entah kenapa ia tidak yakin ingin benar-benar lolos. Lolos atau tidak, entah mana yang terbaik. Lalu apakah artinya dua tahun ini? Kamu harus lolos! Ia sudah mempertaruhkan waktu yang sedianya bisa ia gunakan untuk berkuliah di kampus swasta, alternatif yang mungkin tak kalah baiknya, sesuai dengan masukan dari orang tuanya, ITB cuma soal reputasi saja.

Entahlah. Kalau orang tuanya bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, maka paling tidak ia bisa menyamainya, kalau bukan melampaui. Kalau tidak? Ah, kenapa ia mesti begitu peduli pada standar orang tuanya? Setan apa yang telah merasukinya tahun-tahun ini?

Because it's there.

Risky mengusir lamunannya, pikiran-pikiran yang melantur dari tujuannya.

Sudah telanjur, mengapa harus menyesal?

Lama-lama ia kembali sulit berkonsentrasi.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebelum berangkat, Risky menyalami kedua orang tuanya takzim. Wajah Mama penuh pengharapan, sedang Papa tampak datar-seakan-akan siap menerima apa pun hasilnya. Sesaat Risky merasa sebagai anak yang tidak dapat diharapkan, setelah segala fasilitas yang diberikan. Lalu ia ingat masa kecilnya yang menyakitkan bersama Papa dan pemberontakannya saat SMA. Mungkin memang sudah sepantasnya ....

Adek bersembunyi di balik tubuh Mama. Baru tersadar oleh Risky, ia juga harus meminta doa restu si kecil ini. Ia mengulurkan tangan. Mama mendorong Adek agar menyambutnya. Adek mencium punggung tangan Risky, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya, kembali menamengi diri dengan tubuh Mama dan memegangi kain bajunya erat-erat.

Risky pun pergi dengan motornya.

Sekarang ia mendapat lokasi di suatu sekolah. Paket ujian dibagikan. Risky membuka halaman demi halaman, meninjau soal. "POLUSI UDARA", "CARA POHON MENDAPAT AIR", "ENERGI PEMBANGKIT LISTRIK DARI SEKAM", demikian judul-judul teks untuk bagian IPA Terpadu. Risky mendesah. Dari pengalaman dua kali UMPTN sebelumnya, teks-teks IPA Terpadu cenderung berbau Biologi dan Kimia-dua subjek paling dibencinya. Ia sudah memperkirakan akan mendapatkannya lagi, tapi tetap saja .... Sudah malas baca teks padat, topiknya tidak disenangi pula.

Risky kembali ke lembar pertama dan mulai mencoret-coret .... Tiap kali menemui kesulitan, pikirannya berkeluyuran.

Persetan lolos ITB apa enggak!

Seakan-akan dengan titel "mahasiswa ITB", orang-orang tidak akan lagi memandangnya rendah. Orang tuanya akan menghargai dia. Adiknya akan menjadikannya panutan. Para tetangga akan berbalik mengaguminya. Cewek-cewek akan mendekat. Namun si Edo membuyarkan semua ilusi itu. Titel itu hanya cangkang, sedang di dalamnya tetaplah seonggok pungguk yang hina.

Muncul bercak-bercak pada kertas ujiannya. Risky mendongak. Apa langit-langitnya bocor? Padahal di luar sana langit terang benderang, tak menampakkan awan seserpih pun. Risky mengisap ingusnya berkali-kali, menarik perhatian beberapa peserta lain di ruangan itu. Ah, kenapa tiba-tiba jadi pilek begini? Tentunya hanya peserta di kanan, kiri, dan belakangnya yang dapat melirik dan melihat ia menyeka matanya dengan tangan lalu lengan baju.

Tuhan, kalau memang kau ada,

Aku tidak peduli lagi lolos ITB atau tidak ....

Aku cuma ingin dihargai ....

Air tidak menetes lagi. Ia mengembuskan desah yang penghabisan. Ia tidak lagi cemas akan menjawab salah. Ia mengerjakan sebisanya. Setiap kesulitan ia hadapi tanpa banyak gundah. Kalau buntu, ia segera loncat ke soal yang lain. Begitu seterusnya sampai waktu habis.

Selagi masih di tempat parkir motor, sedang mengenakan helm, Risky mendengar beberapa orang membahas ujian tadi.

"Di samping urang siah, nepi ka ceurik." Di sebelah saya, sampai ada yang menangis.

Risky tidak acuh. Ia segera pulang.

Ada sebulan lebih hingga waktunya pengumuman. Ia kembali mendatangi beberapa kampus, adakalanya ditemani orang tua, untuk mencari informasi pendaftaran mahasiswa baru sampai ia dapat menjatuhkan pilihan. Uang muka disetorkan. Orang tuanya seakan-akan tidak ingat kepada sesumbarnya dahulu hendak membayar sendiri, atau memang pada dasarnya tak percaya? Risky pun tidak mencegah dengan menunjukkan kekuatan tekad hendak memenuhi kata-katanya itu.

Sesekali ia membuka koran juga, memindai barisan iklan lowongan kerja. Tapi tidak ada yang diminatinya. Sebagian besar waktu ia lalui dengan melamun saja di kamar. Ia merasa kembali ke masa SMA, ketika kakinya seperti yang tidak menginjak bumi sedang kepalanya diliputi kabut. Ia melayang ke sana kemari, tanpa arah pasti atau sekadar menuruti keinginan sesaat. Bedanya, kali ini keluyuran pun ia tidak bernafsu. Mau baca komik, novel, apa pun yang ringan-ringan, malah ingat kepada buku pelajaran. Mau menggambar, jadinya malah rantai DNA. Mau merakit model, rasanya tidak lagi menantang bila jadinya sekadar mainan-bukan yang betulan walau entah bagaimana juga cara membuatnya. Mau main komputer, yang dibuka cuma software dan arsip lain peninggalan Edo yang akhirnya cuma dlihat-lihat. Game Boy berikut Tetris-nya menjadi momok. Sudah capek-capek berpikir bagaimana supaya tiap potongannya bisa saling klop, eh, malah hilang begitu saja. Lalu temponya semakin cepat, menarik Risky kembali ke lokasi ujian saat waktu mengerjakan kian tipis. Kabar si Doel pun sudah tidak dipedulikannya lagi; dia sudah dapat pekerjaan atau belum, bukan urusan Risky.

Saat sedang termangu-mangu itu, Risky mendengar adiknya berteriak-teriak di lantai bawah.

"Mama! Mama!"

Adek baru terbangun dari tidur siangnya. Ia keluar kamar, mendapati suasana yang sepi. Cuma gumaman pelan dari televisi. Ia masuk ke ruangan demi ruangan. Semuanya terbuka, tapi Mama tidak ada di mana-mana. Mendung pula. Seantero rumah dirundung kegelapan.

Saat itulah Risky turun. Adek menatapnya seperti dia itu hantu. Anak itu hendak berlari ke pintu depan, menyelamatkan diri ke jalan. Tapi, bahunya keburu digapai. Adek menjerit, menoleh ngeri, di ambang tangis. Semakin keras anak itu memberontak sambil berteriak-teriak, semakin erat pula Risky memeluknya-seperti ular membelit mangsanya agar mati lemas. Ia sama takutnya dengan Adek. Takut pintu hati si kecil telah tertutup untuk dia, dan lalu anak itu akan tumbuh dengan memandang tak simpatik kepadanya-seperti orang-orang lainnya. Seperti ia yang dahulu berlari dari Mama tiap kali mendengar deru mobil ayahnya mendekati rumah, masuk ke kamarnya sendiri untuk bersembunyi. Sementara Mama beranjak ke pintu depan untuk menyambut, Risky mendekapkan bantal rapat-rapat ke telinganya, tak mau mendengar suara Papa.

"Maafin Kakak, Dek," sedunya terbenam ke dada Adek, teredam pula oleh tangisan anak itu. Jangan takut sama Kakak, jangan benci ....

Beberapa saat mereka bersahut-sahutan dalam pilu, hingga telinga Risky awas menangkap langkah kaki mendekat dari jalan. Segera saja ia bangkit sambil mengangkat Adek dan membawa anak itu lari ke lantai atas.

"Mama! Mama ...!" kali ini Adek tak hendak membiarkan dirinya diculik lagi. Ia meronta-ronta dalam dekapan.

Namun mereka sudah telanjur sampai di kamar Risky. Pintu dikunci.

"Kakak punya gim baru!" ucap Risky sembari terengah-engah. Asal saja ia menjambret kaset gim yang terdekat lantas diserahkannya kepada Adek yang kebingungan. "Yang menang, hadiahnya bakso paling gede!"

"Segede apa?" cicit Adek, masih tak yakin kepada Risky.

"Segede bola tenis-eh, enggak! Segede bola basket!"

"Segede bola basket?" Adek tercengang.

"Iya! Makannya juga di baskom!"

"Di baskom?!"

"Kalau kalah, tetep dapat hadiah. Tapi baksonya segede bola pingpong aja!"

"Segede bola pingpong tapi yang banyak?"

"Iya!"

"Tapi, aku maunya yang segede bola basket!"

"Makanya itu, harus menang dulu!" Risky merebut kaset gim itu lalu memasukkannya ke mesin Nintendo.

"Mau! MAU!" Adek melonjak lalu mengambil posisi di depan televisi kecil itu.

Segera saja keduanya asyik masyuk dalam permainan, lupa menghapus jejak-jejak air mata di pipi.

Kini Mama yang ganti memanggili Adek dan tak menemukannya di mana pun sehingga naik ke kamar Risky.

"Iki!" Mama menggedor-gedor, khawatir Adek telah kabur lagi karena entah diapakan lagi oleh Risky.

Terpaksa Risky menjeda permainan dan membukakan pintu. Ia memperlihatkan kepada Mama Adek yang sedang duduk anteng, hanya raut mukanya kesal karena permainan terganggu.

Mama melongo.

Sejak itu, Adek mulai kembali berani memasuki kamar Risky. Walau mulanya ia cuma berdiri di pintu, ragu dan takut. Kalau pintu ditutup, ia mengetuk pelan dan kalau tidak kunjung terbuka, ia tidak memaksakan. Kalau pintu terbuka, ia memanggil Risky pelan sampai kakaknya itu menyuruhnya agar langsung masuk saja. Lama-lama, Adek kembali berani masuk dengan sendirinya meski telah diiringi kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak membangunkan si monster lagi.

Risky sendiri sebetulnya telah kurang gairah meladeni Adek. Sering kali ia cuma berbaring saja di kasur sambil mengamati Adek bemain sendiri. Namun benaknya kosong melompong.

Saat sendirian, ia larut dalam lamunannya yang tak bercorak warna, sambil duduk atau berbaring, lalu tahu-tahu saja ada yang mengalir di pipinya. Padahal ia tidak sedang merasakan apa-apa. Ia usap pipinya, dan sudah begitu saja. Adakalanya pula tetes air matanya disusul kelebatan bayangan yang berupa kenangan tak mengenakkan. Misalnya, ketika suatu saat ia menghampiri Simbok dan bertanya, "Mbok, cerai itu apa?"

"Ngomong apa tho, Mas?" sambut Simbok sambil lalu karena sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Cerai itu apa, Mbok?"

"PR-nya sudah dikerjakan belum?" Kali ini Simbok mendengar Risky dengan saksama namun tak hendak mengacuhkannya.

"Cerai itu kalau Mama pergi Papa pergi, ya, Mbok?"

"Eeeh ..."

Mama akan pergi bersama om itu, sedang Papa mana mau mengurus dia.

"Mbok, nanti aku ikut sama Simbok, ya?"

"Ikut ke mana?"

Risky telah menjerat perhatian Simbok sepenuhnya.

"Pokoknya aku ikut sama Simbok!"

"Udah, udah, jangan nangis tho ...!" Simbok merangkul dan mengusap punggungnya

"Cup, cup, jangan nangis. Kakak mau bakso?" Adek menirukan suara Mama saat menghiburnya. Lalu ia melepaskan rangkulannya dari kepala Risky.

Risky terdiam.

"Mata Kakak kemasukan debu," sahut Risky sembari mengusap matanya. Lalu ia berdiri, menggiring Adek keluar kamar dan mengunci pintu, kemudian kembali duduk termenung.

Sekali waktu Risky keluar rumah, melanjutkan kebiasaan jalan-jalan sore sekalian mampir ke warung yang jauh untuk beli rokok-walau entah sudah berapa lama ia tidak merokok, tidak ada dorongan lagi. Melewati sisi kali dengan sebatang pohon jambu yang rindang, Risky mendapati sosok hitam itu lagi. Di bawah pohon ia duduk bersila. Mulutnya menyeringai, mendesis-desis sampai mencipratkan busa.

Tidak lama Risky mengamatinya. Ia lanjut berjalan pulang, berharap tak berpapasan dengan Shelly. Sampai di rumah, ia memikirkan sosok hitam itu. Setelah orang tersebut sempat meresahkan warga, Risky mengira sudah ada pihak yang menanganinya karena lama tidak terdengar kabarnya. Ternyata ia balik lagi. Dari manakah asal usulnya? Kenapa bisa sampai begitu? Ia ingat mendengar suara amukan sosok itu dari jauh, entah marah kepada siapa. Ia ingat juga saat sosok itu tampak ketakutan karena dilempari anak-anak sialan. Seandainya masih punya kesadaran, mesti dia sedih akan keadaannya itu. Mungkin justru beban kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang terlalu itu yang membuat dia mati rasa, sampai hilang akal.

Mati rasa .... Bukannya itu hampir-hampir seperti dia kini? Walau kadang ia kelepasan menangis, tapi entah apa sebabnya, karena sering kali ia sedang tak merasakan apa-apa.

Mati rasa mungkin hanya satu langkah dari hilang akal.

Agustus datang kembali. Mama hendak membangunkan Risky pagi-pagi sekali untuk mencari koran hari itu. Namun Risky tidak tidur semalaman. Bukan karena was-was akan hasil pengumumannya, melainkan ia bahkan tidak sadar bahwa malam sudah berakhir. Setelah mendapat satu eksemplar dari loper koran yang baru buka, Risky langsung pulang dan naik ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka koran, mengambil kartu ujiannya dan mencari ....

Enggak mungkin ....

Risky memastikannya sekali lagi.

Ini pasti halusinasi ....

Mama tadi melihat Risky sudah pulang, namun masih sibuk menyiapkan sarapan. Kemudian Mama membangunkan Adek. Setelah menyuruh anak itu mandi, Mama yang penasaran naik ke kamar Risky. Namun ia mendapati anak itu sedang tersedu-sedu. Mama duduk di samping Risky, mengusap-usap bahunya.

"Udah .... Kalau enggak lolos, enggak apa-apa. Kan udah diterima di swasta."

Tentunya Mama tak mendengar Risky membatin, Aku mulai gila ....

Saat ia hendak membuka mulut, mengatakan kepada Mama bahwa sepertinya ia perlu ke psikolog, sedunya malah makin menjadi. Kedua tangannya menutupi muka.

Mama mengambil koran dan kartu ujian Risky, ingin memastikannya sendiri. Ia turun membawa lembaran itu dan mencari kacamata baca. Lalu ia duduk membersamai Papa di meja makan.

Tak lama kemudian, "Pa, bener enggak ini?" Mama menunjuk satu baris. Papa menurutinya.

"Lo, iya, Ma!

"KI! IKIII ...!"

Mama bangkit, bergegas mengambil Stabilo. Papa memeriksa sekali lagi, memastikan.

"Maaa! Handuk!" teriak Adek dari kamar mandi.

Setelah membungkus Adek dengan handuk, kata Mama, "Panggil Kakak ke bawah. Suruh mandi, biar enggak stres!"

Adek menurut.

Risky menurut.

Di meja makan, Risky yang sudah segar mengejap-ngejap mendapati namanya di koran telah diwarnai oleh Mama.

Bukan halusinasi ....

"Selamat, Ki," Papa menepuk bahunya.

Sedang Mama mencium sebelah pipinya. "Akhirnya jerih payah kamu terbayar juga."

Adek yang sudah berseragam, siap diantar ke TK, melihat temannya di jalan, hendak berangkat juga bersama orang tuanya. Ia berteriak sekeras-kerasnya kepada temannya itu, "KAKAK AKU MASUK ITB LO!"[]

Senin, 06 Desember 2021

23. SURAT DARI SHELLY

Mama sudah tidak lagi menaruh uang di sembarang tempat. Tiap Adek mau jajan, Mama memberi dia jatah uang. Tapi Adek tidak mau mengerti soal jatah. Ia akan merajuk, merengek, menangis, menjejak-jejakkan kaki, membanting diri ke lantai atau ke dinding, namun Mama bergeming.

Adek pun beringsut ke kamar Risky. Kadang ada recehan tercecer di karpet, atau di tempat tidur, atau di meja--di mana saja. Kalau tidak menemukan, Adek berusaha menjangkau celana Risky yang tergantung di balik pintu, sampai pernah gantungannya jatuh dan ia terkubur di balik pakaian-pakaian setengah bau.

Untuk mengusir Adek yang kerap memecah konsentrasinya belajar, biasanya Risky memberi anak itu uang ala kadarnya. Tapi Adek tidak pernah merasa cukup. Berburu uang di kamar Risky jadi keasyikan baru. Ia meneliti ke balik karpet, kolong tempat tidur, membuka laci-laci, membongkar koleksi yang sudah ditata Risky rapi-rapi, sampai lupa bahwa tadinya cuma mau mencari duit.

Risky masih bisa menahan kesabaran, asal adiknya tidak berisik. Kalau adiknya berisik, Risky akan membentaknya. Kalau ia mengunci pintu kamarnya, Adek akan lebih berisik lagi dengan berbagai cara minta dibukakan. Kalau Mama sampai menyusul ke atas, ketiganya bagai ledakan petasan Ramadan yang berentet tak habis-habis.

Sore itu, ketika Risky sedang jalan-jalan sekalian mencari rokok, Adek masuk ke kamarnya, mulai berburu. Adek menarik laci meja belajar Risky. Biasanya ada lipatan duit di antara alat tulis yang terserak. Kali ini Adek menemukan secarik amplop. Ada tulisannya. "T ... O ... TO ... S ... H ..." Adek mengeja. Mama telah mulai mengajari dia membaca. Tapi S, H, dan E, bagaimana membacanya? Adek membawa amplop itu kepada Mama yang sedang bersantai menonton TV.

"Ma, ini apa bacanya?"

Mama menerima amplop itu. "To Shelly." Mama mengernyit. "Ini dari mana, Dek?"

"Dari kamar Kakak."

"Ooo." Mama tersenyum. "Balikin sana."

"Ini suratnya buat siapa, Ma?"

"Buat Teh Shelly. Udah, sana balikin. Nanti Kakak nyari lo."

"Oh ... buat Teh Seli ...." Adek menjauh. Mama tidak menghiraukannya lagi, kembali terserap oleh tayangan di televisi.

Alih-alih kembali ke kamar Risky, Adek malah menaiki sepedanya yang kini sudah beroda empat. Ia mengayuh sampai ujung jalan, tempat rumah Shelly berada.

"TEH SELIII ..." panggilnya di muka rumah itu.

Yang keluar malah ibunya. "Lo, Dek Ian, ada apa? Shelly belum pulang."

"Ada surat dari Kak Iki! Buat Teh Seli ...." Adek menyerahkan amplop itu. Mama Shelly menerimanya dan memandangi barang itu dengan takjub. Adek memutar sepedanya, menganggap tugasnya sebagai tukang pos dadakan telah tuntas. Ia pulang dengan girang karena merasa telah berbuat baik kepada kakaknya. Sampai di rumah, Adek sudah lupa dan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penemuannya itu kepada Risky.

Shelly tiba di rumahnya, selepas jalan-jalan sepulang sekolah bersama gacoannya di kelas. Hatinya berseri-seri karena dari gelagatnya Shandy tampak benar-benar tulus menyukainya. Tinggal menunggu cowok itu putus dari cewek yang satunya.

Mama Shelly kemudian menyerahkan surat itu.

"Dari siapa, Ma?" tanya Shelly sambil membolak-balik amplop. Tidak ada nama pengirimnya.

"Dari Kak Iki, kakaknya Dek Ian itu lo, anaknya Bu Slamet," jawab Mama Shelly selengkap-lengkapnya.

Kak Iki ...?

Sosok yang menyerupai Bigfoot atau Yeti itu?!

Shelly tercengang.

Memang Kak Iki tidak jelek. Wajahnya lucu persis adiknya, ditambah cambang yang berserakan di bagian bawah wajahnya. Tapi, kalau dibandingkan dengan Shandy yang potongannya model cover boy ... kalah lah!

Setelah masuk ke kamarnya, Shelly membaca surat itu. Mulanya ia heran dengan kata "merdeka" yang berulang-ulang. Apa hubungannya dengan bintang Leo? O rupanya Kak Iki mau ikut UMPTN dan masuk ke ITB. Kenapa jadi mendaki gunung? Sampai di "hatiku berdegup kencang saat melihatmu", Shelly ikut berdebar. "Because it's you" membuatnya menggigil, seakan-akan mendamparkannya ke puncak gunung sungguhan. "Bintangmu apa?" Shelly mencampakkan kertas itu.

Beberapa lama Shelly mengabaikan surat itu. Saat harus bersih-bersih kamar, barulah ia memungutnya dan kebingungan apakah dibuang saja ataukah ditaruh di tempat yang jarang ditengoknya. Akhirnya ia memasukkan barang itu ke suatu kotak, bercampur dengan surat-surat lain yang kebanyakan dari para sahabat penanya. Kemudian ia kembali melupakan adanya surat itu.

Hingga, suatu sore, Shelly hendak ke warung. Di teras, ia melihat adik lelakinya beserta teman-teman sepermainan anak itu pada berjongkok di balik dinding pembatas halaman sambil sesekali melongok ke arah jalan. Mereka tampaknya sedang bersembunyi. Shelly keheranan, namun tak mencampuri. Ia melangkahkan kaki ke jalan, berbelok, dan seketika saja ia mundur lagi dan bergabung bersama anak-anak itu. Ia bergeming sampai mendengar ada di antara anak-anak itu yang bersuara, "Si Wowo udah pergi. Aman!"

Anak-anak itu satu per satu lepas ke jalan. Shelly mengikuti. Tapi, tahu-tahu sosok itu muncul lagi menghadap mereka, baru keluar dari rumahnya--rupanya barusan ia sedang mengambil duit yang ketinggalan. Anak-anak itu berlarian kembali masuk teras, meninggalkan Shelly yang terpaku di jalan. Sosok itu juga melihat dia, dan terhenti. Sesaat mereka berpandangan saja dari jauh.

Sosok itu menyeringai. Shelly terperangah, sudah tidak memerhatikan lagi orang di kejauhan itu berjalan mendekat sambil tertunduk rikuh lalu belok di perempatan dan menghilang. Yang dipikirkannya hanya surat itu. Orang itu pasti menunggu-nunggu dia membalas surat itu!

Nantinya, ketika si adik sudah pulang dari bermain, Shelly iseng-iseng menanyakan kejadian tadi, "Tadi sembunyi kenapa sih? Kayak ketemu orang gila aja."

"Teteh enggak tahu, ya? Temen aku kan pernah dilempar sampai tangannya robek! Terus pernah juga dia lempar-lempar batu ke kita!"

Shelly terperanjat. Orang itu memang gila!

Lantas timbul bayangan kalau ia tidak cepat-cepat membalas suratnya, bisa-bisa orang itu datang ke rumah untuk menagih dan ....

Shelly pun mengambil pulpen dan kertas. Sekarang ia sudah resmi pacaran dengan Shandy, tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Ia harus menjelaskannya kepada Kak Iki. Mudah-mudahan orang itu mengerti. Shelly tidak mau memberi dia harapan yang berlarut-larut. Bisa-bisa nanti Shelly diganggu ....

Kak Risky yang baik ... tulisnya.

Lalu ia mencoretnya.

Kak Risky yang terhormat ....

Ia mencoretnya lagi.

Aduh, kalau begini kapan jadinya surat ini?!

Shelly menulis cepat-cepat di selembar kertas yang bagus dan wangi.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat dari Kakak. Shelly merasa tersanjung menerimanya. Shelly doakan moga-moga Kakak bisa mencapai kemerdekaan yang diimpikan. Selamat mengikuti UMPTN, ya, Kak. Semoga Tuhan meridai Kakak masuk ke kampus yang diidamkan.

Aduh, apa lagi, ya? Ini bagian sulitnya:

Dengan ini, Shelly meminta maaf yang sedalam-dalamnya, karena Shelly sudah ada yang memiliki. Moga-moga Kakak mengerti. Karena bagi Shelly, "Because it's him."

Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian Kakak.

TTD

Shelly Ratnasari

NB.

Bintang Shelly Taurus, jadi enggak cocok sama Leo. Pacar Shelly Virgo. Mohon maklum, ya, Kak.

Shelly tidak mau memikirkannya lama-lama, sehingga langsung memasukkan surat itu ke dalam amplop yang sepaket dengan kertasnya.

Saat itu sudah magrib. Jalan sepi. Shelly berusaha melangkah cepat tanpa suara. Sampai di depan rumah Bu Slamet, ia menyelipkan amplop itu ke lubang kotak surat lalu bergegas pergi.

Esoknya ketika mengecek kotak surat, Mama mendapati amplop tersebut. Tulisannya rapi khas anak perempuan. Desainnya pun cukup centil, bergambar pemuda tampan. Mama mengernyit, tergoda untuk mengintipnya. Tapi ia mengurungkan rasa penasaran itu dan menyuruh Adek menyampaikan surat tersebut kepada Risky.

Adek mengendap-endap memasuki kamar Risky. Kakaknya sedang duduk membelakangi pintu, menghadap meja belajar. Adek menggelitiki bagian belakang kuping Risky dengan sudut amplop, membalas keusilan kakaknya yang suka diam-diam menowel kupingnya juga. Risky terkaget, Adek terkikik.

"Tok, tok, tok, ada pak pooos ..." kata Adek sebelum menyerahkan surat tersebut. Risky menerimanya dengan heran. Jarang-jarang ada yang mengirim surat kepadanya, termasuk kartu ucapan Lebaran. Ia membolak-balik amplop yang bertuliskan namanya itu, lalu membukanya.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat Kakak. Shelly ....

SHELLY!

Mata Risky terbelalak menyorot kata demi kata pada surat itu. Napasnya tercekat. Pandangannya berhenti pada seraut wajah tampan yang menebar pesona di pojok kanan halaman.

Bintangnya Taurus ....

Kertas itu terlepas dari tangannya, melayang-layang ke lantai.

Lalu ia menarik laci di depannya, mengobrak-abrik isinya. Memang surat untuk Shelly yang disembunyikannya di pojok terdalam itu sudah tidak ada. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ...

"ADEEEK ...!!!" Risky meraung.

Begitu dilihatnya Adek di lantai bawah, sedang anteng-antengnya duduk menonton televisi di ruang tengah, segera ditempelengnya anak itu keras-keras. Belum cukup, ia menambahkan tendangan sambil memaki-makinya dengan bengis. Seakan-akan segala rasa kesalnya terhadap anak itu yang selama ini ditahan-tahannya tak tertanggungkan lagi. Mama cepat-cepat menahan, meraih pinggang Risky dan menariknya. Kesempatan itu dipergunakan Adek untuk berlari lintang pukang keluar rumah. Mama tersodok oleh siku Risky dan melepaskan pegangannya. Risky pun memelesat ke jalan, menengok ke kanan dan ke kiri namun Adek tak kelihatan. Di persimpangan pun sama saja; keempat penjuru jalan tak ada yang menampakkan anak itu. Risky berteriak meluapkan emosinya. Mama menyusul, menegurnya keras tak malu lagi setelah apa yang terjadi. Namun anak itu balas meneriakinya. Ia kembali ke rumah, masuk ke kamarnya dan membanting segala barang yang aman dibanting sebelum terduduk di kursi belajar dan tersengguk.

Sementara itu, Mama beredar ke jalan-jalan. Ia mencari Adek hingga terpikir untuk mendatangi rumah teman-temannya satu per satu. Nihil. Ia tidak tahu bahwa ketakutan telah membawa Adek jauh sampai ke kompleks sebelah.

Mama kembali ke rumah. Risky telah mengunci pintu kamarnya. Mama menggedor-gedor.

"Ki! Risky! Bantu Mama cari Adek, Ki!"

Namun Risky tidak menyahut. Ia telah meringkuk dalam selimut, membentengi dirinya dalam hasrat untuk ditelan bumi dan tidak mau muncul lagi.

Mama berkeliling lagi ke jalan, sekalian menunggu Papa pulang.

Sementara itu, Adek sampai ke lingkungan yang belum pernah dimasukinya. Rumah-rumah di sini tampak tidak familier. Ia berbalik menyusuri jalan yang dilaluinya tadi, sampai masuk ke kompleksnya lagi. Tapi, ia gentar kalau-kalau di jalan bertemu Kak Iki. Air matanya kembali menggenang. Ia tidak tahu kenapa Kak Iki tiba-tiba mengamuk begitu. Ia terus berjalan dengan hati-hati, siap lari kapan pun tahu-tahu Kak Iki tampak. Alih-alih menuju rumahnya, ia menghampiri rumah temannya.

Papa pun pulang. Mama menyambutnya dengan risau.

"Ayo cari lagi ke rumah temannya," kata Papa. Mereka pun berpencar setelah Mama memberitahukan rumah teman-teman Adek yang orang tuanya dikenal Papa.

Memang kali ini Adek ditemukan. Tapi ia tidak mau pulang sampai menangis-nangis, betapapun orang tua temannya sudah bantu membujuk.

"Kakak udah enggak marah kok," Mama meyakinkan. Namun Adek bersikeras.

Akhirnya mereka bersikap seolah-olah mengizinkan Adek tinggal di situ. Saat Adek sudah tertidur lelap, orang tua temannya itu menelepon ke rumah sehingga Mama dan Papa datang untuk menjemputnya. Adek pun digendong Papa pulang, terlalu mengantuk untuk melawan.

Sabtu, 20 November 2021

22. PEDANG BERMATA DUA

Risky mengetuk rumah itu, membangunkan penghuninya. Seketika pintu rumah itu terbuka, ia tergagu. Sekilas harapan berwujud cahaya lampu tadi telah membuat pikirannya kelu. Sejenak mereka hanya bertatapan, hingga penghuni rumah menegurnya. Sesaat benaknya menyuruh untuk meminta tumpangan menginap dan melanjutkan perjalanan keesokan pagi saja. Tapi mulutnya malah memuncratkan nama Abah, menerangkan siapa dirinya, dan penghuni rumah pun mafhum. Nyonya Rumah menjamu Risky dan Adek ala kadarnya sementara Tuan Rumah mempersiapkan diri untuk mengantar mereka sampai ke rumah Abah.

Tibalah mereka di rumah Abah, yang disambut dengan tak kalah herannya.

Percakapan apa pun yang terjadi semalaman itu, Risky berusaha melupakannya. Ia telah menyadari kekhilafannya, dan tak ingin terus dikorek. Ia hanya ingin beristirahat, secepatnya menemui pagi, meminta doa restu, dan segera pulang lagi.

Mereka diberi ruangan belakang. Terdapat sebuah dipan yang cukup lebar untuk ditempati keduanya.

"Enggak ada kasurnya?" tanya Adek.

Risky mengeluarkan sarung dari ransel, membentangkannya di atas dipan. Adek merangkak ke atasnya lalu meringkuk. Risky menggeletak di sampingnya. Sebentar kemudian, keduanya langsung pulas. Padahal Abah baru menyuruh orang untuk membawakan kasur dan selimut tebal ke ruangan itu, yang akhirnya hanya diletakkan di kaki dipan. Dini hari saat Risky terbangun kedinginan dan mendapati Adek berdempet padanya, ia menggelar selimut tebal menutupi badan mereka berdua.

Risky terbangun oleh cahaya matahari yang merembes melalui celah-celah dinding anyaman bambu. Keluar dari ruangan itu, ia disambut oleh Emih yang sedang memasak di perapian. Abah sudah ke sawah, katanya. Risky mengatakan mau mandi dan ditunjukkan arah ke tempat melakukannya. Ia membangunkan Adek.

Di kamar mandi, terlebih dahulu ia melepaskan semua pakaian Adek. "Kak, pipisnya enggak mau keluar," keluh Adek sementara Risky meloloskan kausnya sendiri.

"Kelamaan ditahan semalam," sekarang Risky tinggal bercelana pendek.

"Bisa! Bisa!" Adek kegirangan lalu dibungkam guyuran air oleh Risky.

Selagi disabuni, Adek melongok ke dalam bak yang hitam berlumut itu. "Iii, ada ikannya!"

Risky ikut melongok.

"Itu buat makan jentik nyamuk."

"Itu apa?!" Adek menunjuk sebentuk lonjong lagi kenyal berwarna gelap yang ujungnya bersungut di dasar bak.

"Siput."

"Itu?!"

"Cacing."

Bagus. Mereka belum lagi keluar rumah dan Adek sudah belajar keanekaragaman hayati dari dalam kamar mandi. Risky sendiri tak mengingat berbagai detail tersebut dari masa kecilnya.

Setelah Adek mengenakan pakaian bersih, Risky menyuruhnya menunggu sebentar di luar kamar mandi sementara ia sendiri membersihkan dirinya cepat-cepat. Keluar dari kamar mandi, ia mendapati Adek sedang mengulurkan rumput kepada sapi yang kandangnya tak jauh di seberang.

Mereka sarapan dan sekali lagi Risky menanyakan Abah. Emih menawarkan untuk menyusul Abah ke sawah.

Yah, Risky tidak bisa langsung meminta doa restu lantas pulang. Memang sudah takdirnya mengajak Adek menikmati nostalgia masa kecilnya dahulu.

"Sawahnya lebih luas dari yang deket rumah, kan, Dek?" kata Risky saat mereka meniti pematang. Ia sengaja menghindari bagian sawah Abah dan mengambil jalur memutar menuju kali di kaki perbukitan.

"Hu uh!" sahut Adek.

Mereka sampai di tujuan. Tempat main air yang dahulu begitu mengasyikkan kini bak arena ranjau di matanya, dengan batu-batu besar dan jeram-jeram yang tampak dalam. Bagaimana ia dahulu dengan teman-teman masa kecilnya begitu asyik mandi dan berloncatan ke sana kemari tanpa seorang pun tewas terbentur batu atau terhanyut entah ke mana?

"TAHAN!" serunya begitu Adek siap mencebur.

Sudah mah membawa kabur Adek, ia tak mau pulang membawa anak itu dalam keadaan celaka ataupun sesuatunya yang lebih parah.

"Udah, sini aja, cari kepiting." Risky menggiring Adek ke sisi yang dangkal, tempat terdapat banyak lubang di tepian sungai yang kemungkinan sarang kepiting. Ia mencari semacam ranting untuk menyodok lubang agar kepitingnya keluar. Tapi, ia cuma meleng sebentar, Adek sudah lompat lagi ke tengah. Anak itu bersikeras ingin menaiki batu yang sangat besar. Risky mengalah. Ia membantu Adek menaiki batu itu kemudian ikut duduk di sebelahnya. Sejenak ia menikmati pemandangan dari atas batu tersebut, Adek sudah menghilang lagi.

"ADEEEK!"

Anak itu sama sekali tidak betah duduk berlama-lama sekadar untuk mencari kepiting atau menikmati pemandangan, tidak sedikit pun membiarkan Risky mengendurkan pengawasannya. Mereka bermain-main di kali itu sampai sinar matahari terasa menyengat.

"Balik yuk ah!"

"Katanya di situ banyak binatangnya!" Adek menunjuk ke bukit.

"Kapan-kapan lagi aja. Sekarang udah siang!"

"Kenapa?"

"Panas!"

"Enggak apa-apa!"

"Nanti dicari Abah! Dimarahin!"

"Hu-uuuh! Kalau sore boleh enggak? Kan udah enggak panas?"

"Enggak boleh."

"Kenapaaa?! Kalau udah bilang sama Abah, boleh?!"

"Enggak boleh."

"Iiih, itu mah kata Kakak! Bukan Abah!"

Sekujur tubuh telah basah kuyup namun lamat-lamat mengering sementara mereka menyusuri pematang sambil bergandengan tangan. Kali ini Risky mengambil jalur yang secepat-cepatnya sampai ke rumah Abah.

Di kejauhan tampak rumah itu beserta Abah berdiri di muka pintu, seperti yang sedang menunggu kedatangan mereka.

"Udah mainnya?" sambut Abah begitu mereka tiba. Ia mengusap kepala Adek yang tiba-tiba saja jadi malu-malu. Segera saja mereka disuruh mandi.

Rumah agak ramai karena ada saudara dan keponakan yang datang, sudah waktunya pulang sekolah.

Risky kembali harus melalui basa-basi meresahkan itu. Kepada mereka ia mengatakan bahwa ia baru lulus SMA tahun kemarin, dan di rumah saja mempersiapkan UMPTN. Apalagi ketika bertemu saudara yang sekaligus teman sepermainannya dahulu, Risky diceritai kabar lebih banyak mengenai teman-teman sepermainannya yang lain, yang sudah pada bekerja, bahkan menikah dan beranak, meski ada pula yang kuliah di kampus-kampus kecil.

Abah menepuk-nepuk punggung Risky dan mengatakan kepada yang lain dengan kebanggaan, bahwa Risky hendak menyusul ayahnya ke ITB. Padahal Risky belum mengatakan apa-apa, tapi Abah seperti bisa membaca pikirannya. Risky tersenyum saja dengan pandangan agak tunduk, sedang yang lain-lain terpukau menatapnya. Abah lalu bercerita tentang betapa pintarnya ayah Risky. Saat itu akhir tahun '60-an, PLN belum masuk desa. Tapi ayah Risky bisa membuat rangkaian listrik sendiri dari bahan-bahan yang dibelinya di tukang loak. Rumah Abah pun menjadi yang pertama di desa itu yang terang oleh bohlam. Dengan yakin, Abah mengatakan bahwa Risky sepintar ayahnya dan mendoakan keberhasilannya di UMPTN nanti, dan sebagainya yang Risky teramat malu mendengarkannya, yang ditimpali dengan "amin" dari satu-dua orang saudaranya.

Tanpa diminta terang-terangan, doa restu sudah diberikan.

Tinggallah Risky termangu. Baik Abah maupun Papa menaruh kepercayaan besar kepadanya. Ia juga pada awalnya merasa yakin. Kalau Papa bisa, ia juga.

Ditambah lagi, sore itu, ketika ia duduk mengobrol berdua saja dengan Abah--tidak jadi pulang segera sebab ditahan untuk menginap lebih lama--sementara Adek main dengan anak-anak sekitar yang sebayanya, mengalir cerita tentang zaman Jepang dan revolusi.

Saat itu Abah masih seusia Risky dan bergabung dengan laskar santri. Tentara Jepang melatih Abah dan kawan-kawannya, betapa keras dan disiplinnya mereka. Abah terkekeh mengingat bahwa Risky juga pernah dididik Jepang, papanya juga, tapi zamannya sudah berbeda. Risky manggut-manggut saja. Pengalaman tak mengenakkan selama bersekolah dan tinggal di Jepang agaknya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang Abah ungkapkan kemudian, ketika satu per satu tetangganya dibawa untuk jadi romusa dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya serta berbagai kemelaratan pada masa itu. Abah sendiri banyak bergerilya di hutan, makan daun-daunan dan umbi-umbian, sampai tulang belulang tercetak di sekujur tubuhnya, bersama-sama tentara Jepang yang tersisa setelah Indonesia merdeka melawan para tentara bule.

Kisah Abah yang kental oleh bumbu heroisme itu membuat Risky berpikir, kakeknya ini sungguh pemberani. Khayalannya membawa dia ke masa itu, menempatkan diri dalam situasi Abah. Badannya tentu tidak akan segempal ini, kulitnya juga tidak akan sebegitu terang. Mungkin ia jadi kurus, keling, dan kucel, tatapannya penuh waspada mengawasi setiap pergerakan di antara pepohonan, alih-alih hampir juling dengan kepala pusing akibat banyak-banyak memikirkan materi UMPTN. Situasi Abah pada waktu itu antara hidup dan mati; peluru bisa menghantamnya dari arah mana saja. Sementara Risky kini, yah, ia juga bisa mati kalau gagal kuliah, gagal mendapat pekerjaan, hanya saja prosesnya jauh lebih lamban. Risky coba menghayati ketegangan Abah dan kawan-kawan selama di hutan; apakah persis dengan ketegangannya saat membayangkan kegagalan UMPTN?

Papanya orang pintar, dan abahnya orang berani. Namun Risky merasa tidak pintar, tidak juga berani, mengingat kesulitan-kesulitannya dalam pelajaran, serta ketakutannya akan masa depan. Semakin didengarkan, ocehan Abah semakin membuatnya lemas. Namun Abah kian bergairah. Ia meninggalkan Risky yang sedang menerawang langit petang yang membentang di hadapannya, masuk ke kamar lalu keluar lagi dengan membawa satu setel seragam berbau kamper: jas hijau, kemeja kerah putih, celana panjang hijau, dan topi hijau. Ia menyerahkannya kepada Risky.

"Apa ini, Bah?"

"Itu seragam teman seperjuangan Abah dulu."

Risky tidak mengerti kenapa Abah memberikannya. Ia hendak mengembalikan barang itu, tapi Abah menahan.

"Bawa pulang aja."

"Oh, iya, nanti aku pakai waktu UMPTN," Risky berkelakar. Abah tertawa.

"Yang muda itu yang berjuang. Tapi sekarang perjuangannya udah beda," kata Abah.

Risky memandang seragam di pangkuannya. Ia mafhum. Abah mungkin ingin dia memiliki semangat juang. Seragam ini adalah simbol nyata yang bisa dilihat, dipegang, dicium.

Abah menceritakan tentang teman seperjuangannya dahulu yang dimaksudnya tadi itu. Saat Abah dan teman-temannya mulai gentar karena sudah lama kurang makan sehingga kurang tenaga dan lagi kurang senjata, tentara Jepang yang kini membela laskar rakyat itu justru makin menggebu-gebu. Hasratnya untuk mempertahankan kemerdekaan negara yang padahal bukan tanah airnya malah lebih besar daripada para pemuda lokal yang mulai menciut nyalinya. Ia memberikan contoh akan semangat nasionalisme yang sebesar-besarnya. Kekecewaannya kepada bangsanya sendiri yang telah bertekuk lutut kepada sekutu, tak menyurutkan tekadnya untuk menepati janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Risky takjub. Ada tentara Jepang yang alih-alih ikut pulang ke negaranya sendiri malah menetap di Indonesia?

"Terus sekarang orangnya gimana?" tanya Risky.

"Sudah mati, ditembak Walanda."

"Heh?"

Si orang Jepang hendak menularkan semangat keberanian kepada yang lain-lainnya, yang hampir pada lari dari hutan. Saat Belanda mengokang senjata, bersiap menyasar mereka, ia melompat dari persembunyian dan menerjang peluru yang membabi buta.

Risky terdiam.

"Tuh, kuburannya sebelah sana," Abah menunjuk jauh-jauh, entah ke bukit yang sebelah mana. "Besok, yuk."

Namun Risky menolak dengan alasan tidak diberi izin oleh Mama untuk menginap lama-lama. Keesokan paginya, ia dan Adek pun berpamitan kepada sanak kerabat. Ia mencium tangan Abah, meminta doa restu sekali lagi, lalu bersama Adek membonceng motor saudara yang hendak mengantarkan mereka sampai terminal.

Sepanjang perjalanan pulang, benaknya tersita oleh nasib si tentara Jepang. Begitulah kalau nekat, pikirnya. Orang Jepang memang enggak takut mati sih, ingatannya melayang kepada Si Kepiting yang hanya berupa gundukan putih di atas tandu sebelum dimasukkan ke ambulans.

Jumat, 19 November 2021

Beberapa Hal yang Perlu Diketahui Mengenai Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup


Meski kelihatannya seperti buku, "buku" ini sesungguhnya merupakan "BROSUR PENYULUHAN HUKUM" yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Direktorat Penyuluhan Hukum dalam rangka Proyek Penyuluhan Hukum Tahun Anggaran 1986/1987.

Brosur ini terdiri dari teks dan ilustrasi. Teksnya saya duga merupakan pokok-pokok penting dari UU 4/1982. Memang saya tidak mengeceknya, soalnya saya sudah mengkhatamkan peraturan yang ter-update yaitu UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pokok-pokok dalam brosur ini kurang lebih sebagaimana dalam UU 32/2009 itu.

Meski isinya menyangkut lingkungan hidup, ironisnya, brosur ini boros sumber daya. Soalnya, teks dan ilustrasi hanya mengisi halaman sebelah kanan sedangkan halaman sebelah kiri kosong melompong. Coba berhusnuzan, barangkali halaman-halaman sebelah kiri itu memang sengaja dikosongkan sebagai bonus notes. Maksudnya, biar pembaca bisa menulis catatan atau mencoret-coret di situ.


Halaman-halaman belakang menampilkan ilustrasi yang menarik. Mengingat buku ini dikeluarkan pada akhir '80-an, ilustrasi tersebut sekalian memberi kita gambaran mengenai keadaan pada masa itu.

Model rumah pada masa itu.

A GO GO GO TO HELL!

Gerombolan anjing dan kambing berkeliaran sampai ke tengah jalan?!

Boks telepon dan boks surat.

Ini ilustrasi paling menarik.
Rapid Boys mungkin geng cowok yang doyan ngebut.
Cipox Gank mungkin berisi sekumpulan fakboi.
Nah, The Cebonk, seakan-akan ilustrator dapat memprediksi situasi politik 30 tahun kemudian dan boleh jadi beliau ada keberpihakan terhadap turunan Sang Putra Fajar .... Hmmm ....

Sabtu, 06 November 2021

21. MENCULIK ADEK

Risky tidak bisa memasukkan apa-apa lagi ke otaknya, dan sesekali terluap dari mulutnya sepotong lirik lagu Nike yang dengan seenaknya ia gubah,

Bosan! Aku dengan hidupku ...

Benci! Bila ingat nasibku ...![1]

Itu saja yang dia nyanyikan, sebab kalau lebih panjang lagi atau lagu lain, ia tidak ada gairah--biarpun makannya tetap banyak, kopi pun tambah berkali-kali setiap harinya. Buku-buku membosankan, model kit yang baru sedikit dirakit terabaikan, Tetris terasa traumatis, musik sekadar kebisingan, dan lain-lainnya lagi tak ampuh menyegarkan. Jalan-jalan naik motor bareng Adek sekalian jajan bakso, kemudian menyewa video dan pulang menontonnya pun tidak memulihkan konsentrasinya saat kembali menghadapi soal-soal.

Seiring dengan perginya Sang Bintang Kehidupan dari dunia ini, padam pula sinarnya dalam imaji Risky. Bagaimanapun Risky berusaha memanggilnya kembali, bayangan gadis itu tak pernah muncul untuk menghibur dan menguatkannya lagi.

Risky memasukkan salah satu kaset Nike ke Walkman, menancapkan earphone dalam-dalam ke lubang telinganya, memencet tombol Play, mendengarkan, lalu Fast Forward, mendengarkan, eh, kelebihan, Rewind, mendengarkan, ah, kelewatan lagi, dan seterusnya sampai menemukan lagu yang dikehendakinya, "Tinggallah Ku Sendiri".

Dalam gelisah, hati yang gundah

Aku diam sendiri

Merenungi yang kini terjadi

Di antara kita berdua

Semua mimpi yang pernah ada

Lolos UMPTN besok, kuliah di ITB, langsung dapat kerja, hidup terjamin ....

Telah musnah segalanya ....

Karena kini kita telah berpisah

Berpisah alam ....

Tinggallah kini ku sendiri ....

Aku bagai nelayan

Yang kehilangan arah ...

Dan tak tahu ke mana ...

Wouwouwouwou ...

Ku harus bersandar ....

Ah, ini, kena sekali menghunjam hati ....

Pada bagian berikutnya, Risky ingin benar ikut menjerit-jerit,

Oh, Tuhan tolonglah ...

Tunjukkan jalan ...

Pada dirikuuu ...!

Bersamaan dengan itu, imajinasinya naik dan terbang ke luar lewat pintu kamar yang terbuka, melayang-layang menjauhi hamparan bangunan, menembus udara yang dikeruhi asap-asap kendaraan dan pabrik, melintasi perkotaan Bandung yang heurin ku tantung, dan terus tertiup angin melampaui kebun-kebun dan sawah-sawah yang membentang luas dilatari perbukitan hijau sesungguhnya alih-alih siluet belaka, dan di sela-selanya tampaklah kali berbatu-batu besar, kemudian rumah-rumah yang berjarak dengan satu sama lain yang tak jauh dari padanya terdapat empang berisikan banyak lele berlompatan lincah saat ada orang terbirit-birit masuk lalu berjongkok dalam sebilik kecil bambu di atasnya .... Ah, lukisan panorama alam Priangan yang dalam kenyataan mewujud kampung Abah.

Sejak masa yang dapat diingatnya, Risky kerap berlibur ke desa itu. Sering kali orang tuanya hanya mengantarkan, dan selama seminggu berikutnya ia dalam penjagaan Abah. Malah pernah, saat liburan hampir berakhir, sedang orang tua Risky terlalu sibuk untuk mengantarkan ke kampung, Abah yang datang ke rumah mereka untuk menjemput sekalian membawakan sekarung beras.

Saat berada di kampung Abah, dari pagi sampai siang, ia ikut Abah ke sawah dan empang. Kadang ia bergabung dengan anak-anak setempat main layangan di tengah sawah, mandi di kali, masuk ke hutan, berburu binatang-binatang kecil dan mengumpulkan buah-buahan liar sambil mendaki bukit, dan berlomba teriak dari puncaknya. Mainan-mainan yang dibawanya dari kota tak tersentuh lagi, terlupakan di dalam tas. Lalu magribnya bersama anak-anak itu juga ia diajari Abah sembahyang dan mengaji di musala. Tapi, pelajaran tersebut lekas terlupakan begitu Risky pulang; pada liburan berikutnya ia perlu diingatkan lagi, diajari lagi hampir-hampir dari awal lagi. Suatu ketika, gara-gara itu Abah memarahi Papa di depan para kerabat dan Risky tidak pernah diantar ke sana lagi. Lalu Papa keburu pindah ke Jepang, Mama dan Risky menyusul.

Mereka baru mengunjungi Abah lagi setelah Adek lahir. Kini setelah mereka tinggal ke Bandung, perjalanan ke kampung Abah cukup singkat dibandingkan dengan sewaktu dari Tangerang dahulu. Tiap Lebaran mereka bersilaturahmi ke sana, berangkat pagi pulang siang. Risky belum pernah menginap lagi; ia merasakan hubungan dengan Abah telah merenggang.

Orang tua saleh seperti Abah doanya pasti diijabah, pikir Risky. Kenapa tidak minta doa restu sama Abah sekalian menyegarkan diri?

Risky mengambil ransel dan memasukkan pakaian, sarung, peralatan mandi, dan sebagainya, lalu melirik Adek yang sedang memainkan gim komputer. Kayaknya seru bawa Adek. Apalagi memang sejak lahirnya Adek belum banyak diajak jalan-jalan berekreasi, paling-paling ke seputaran kota, Ciater, dan yang terjauh kampung Uti di Jawa. Kalaupun Adek dibawa tiap kali bersilaturahmi Lebaran ke kampung Abah, ia belum mengalami asyiknya bermain di kali, hutan, bukit ... sebagaimana Risky dahulu.

Kasihan Adek. Suatu ketika, Adek pernah marah-marah. Awalnya, Adek heran ketika ia masuk ke kamar Risky dan mengumumkan bahwa acara Kesatria Baja Hitam telah dimulai di televisi, kakaknya itu tidak mau beranjak. Memang biasanya juga Risky tidak begitu antusias, tapi mau-mau saja menemani adiknya menonton. Hanya kali itu ia sedang enggan dan ingin duduk-duduk saja di kursi belajarnya untuk merenungkan entah soal UMPTN atau soal kehidupan. Alasan yang diberikan Risky kepada adiknya saat itu, "Udah khatam waktu di Jepang."

Mata Adek membesar, mulutnya membulat, "Jepang?"

Risky tersenyum. Ia mengambil atlas, siap memperkenalkan adiknya kepada Ilmu Bumi. Dengan bijak, ia membuka halaman yang memperlihatkan peta dunia lalu mulai menunjuk-nunjuk. "Nih, Adek tinggalnya di sini, di Pulau Jawa, negara Indonesia. Jepang di sebelah sini. Waktu dulu, Kakak tinggalnya di kota--"

"Kakak pernah ke Jepang?"

"Iya."

"Sama siapa?"

"Sama Mama, Papa ...."

"Kok aku enggak diajak?"

"Kan waktu itu Adek belum la--"

"KOK AKU ENGGAK DIAJAK?!"

"Belum lahir ...."

Adek mengernyih dan mulai mengumandangkan tangisan ke seantero rumah. Risky mendesah.

"MAU KE JEPANG! MAU KE JEPANG! HWAAA ...."

Risky terdiam, sampai Mama tergopoh-gopoh memasuki kamarnya dan menyelidik. "Adek diapain lagi?!"

Di sela sedu sedan Adek, Risky menjelaskan duduk perkaranya.

"MAU KE JEPAAANG ...!" Adek menjejak-jejakkan kaki. "Mama mah enggak ngajak-ngajak .... Hwaaa ...." Ia mengusapi matanya bergantian sembari terus berkoar-koar.

"Kan Adek belum lahir," Mama mengulang penjelasan Risky yang membatin, Ini anak tololnya keterlaluan apa gimana sih.

"Iya, nanti Adek ke Jepang. Kalau udah gede. Cari beasiswa biar sekolah di Jepang kayak Papa, ya," Mama menghibur sekalian mendoakan Adek.

Berangsur-angsur Adek memelankan tangisannya. Katanya sambil terisak, "Asal ... asal ... asal beliin Chiki ..." lalu menyedot ingusnya dalam-dalam.

Mama menatap Risky. "Kamu ada uang, Ki?"

Risky memalingkan wajah. "Enggak."

Kasihan Adek.

Risky membayangkan menyampaikan niatnya kepada Mama untuk mengajak Adek berjalan-jalan ke kampung Abah sekalian menginap, berdua saja naik angkutan umum, dan apa kira-kira- tanggapan Mama.

Ia tidak akan bilang kepada Mama.

Setiap hari Mama biasanya keluar rumah beberapa lama entahkah untuk belanja atau sekadar duduk santai dan mengobrol di rumah tetangga. Adek mulai jarang dibawa-bawa, karena belakangan lebih suka main bersama teman-temannya atau di kamar Risky. Pada kesempatan itulah, Risky mengajak Adek. "Main ke Abah, yuk!" Adek mudah saja digiring oleh Risky. Segera Risky menyiapkan segala yang kira-kira diperlukan Adek dalam ransel kecil untuk dibawa adiknya itu. Lalu ia membantu Adek berganti pakaian dan memasang sepatu. Pergilah mereka pada siang yang bolong itu. Risky bahkan tidak meninggalkan catatan untuk Mama.

Sebenarnya Risky belum pernah ke rumah Abah naik kendaraan umum. Tapi, ia tahu nama daerahnya, arahnya, lika-liku jalannya, dan berbagai petunjuk lainnya. Sampai di terminal, ia mencari elf yang menuju ke daerah itu, memastikan arahnya benar karena bisa saja nama daerahnya sama tapi arahnya berbeda, mencari-cari Adek yang bila tidak diawasi sebentar saja sudah mengacir entah ke mana, menyuruh Adek supaya jangan pecicilan, mengangkat Adek masuk ke elf yang semakin lama semakin disesaki banyak orang sehingga Adek terpaksa dipangkunya dan Adek pun memangku ransel bawaannya sendiri. Untungnya Adek tidak rewel. Risky sudah membelikan banyak jajanan ringan. Selain itu, ada ibu-ibu yang sesekali mengajak mengobrol; sebenarnya Risky tidak suka tapi sepertinya itu membuat Adek menjaga sikap karena ada yang memerhatikan.

Sudah sore ketika elf berhenti di terminal lainnya. Risky puas karena terminal ini memang yang biasa dia lewati dalam perjalanan keluarga ke kampung Abah sebelum-sebelumnya. Sekarang, Risky celingukan. Lalu ia membantu Adek menaiki mobil angkutan desa. Sepanjang jalan, Risky terus memerhatikan pemandangan yang familier untuk nanti minta berhenti ketika sudah mencapai petunjuk yang dia kenali. Nah, itu! Risky menghentikan sopir, menunggui adiknya yang ingin turun sendiri--loncat!--dari pintu kendaraan, lalu membayar ongkos. Ia memandang jalur merah menanjak yang membelok dari tepi jalan raya itu; lebarnya dapat dijejeri sekitar satu setengah mobil. Ada beberapa ojek menongkrong di situ, tapi Risky menaksir bahwa jarak yang tersisa tidak jauh amat bila ditempuh dengan berjalan kaki.

Buat dia begitu, buat Adek lain lagi.

"Mau pulang ..." anak itu mengeluh dalam gandengan Risky.

"Bentar lagi."

"Kapan nyampenya?"

"Bentar lagi nyampe," Risky membuat nadanya terdengar lebih sabar.

"Nanti Kesatria Baja Hitamnya keburu mulai ...."

"Nanti di sana bisa nonton," dusta Risky.

Berkali-kali tangan Risky terasa berat, seiring dengan kian curamnya jalur yang mereka tempuh. Lalu Risky menarik tangannya sehingga Adek pun berjalan terseret-seret. Jalan berlapis tanah bekas kena hujan semalam menjadikan langkah semakin terseok.

Lalu tangan Risky menjadi ringan, kehilangan beban. Adek menggelongsor begitu saja di atas tanah sambil manyun sepenuhnya. Mukanya merah sampai ke matanya yang berkaca-kaca.

"Mau pulang ...!" rengekannya betul-betul memaksa kali ini.

Risky memandang adiknya dan mengembuskan napas. "Payah, ah, gitu aja capek."

"Enggak capek!" dan ketika air mata adiknya mulai berjatuhan,

"Cengeng!"

"ENGGAK CENGENG!"

"Tapi kok nangis ...."

"Enggak kok!" Adiknya mengusap matanya bergantian.

"Gitu namanya cengeng!"

"MAMA! MAMAAA ...!" Adek berteriak sekencang-kencangnya sambil menjejak-jejakkan kaki seakan-akan hendak mengenyahkan Risky dan agar Mama tahu-tahu bakal menyembul keluar dari semak di pinggir jalan untuk menyelamatkannya. Yang muncul malah bapak-bapak berbaju lusuh yang memanggul rumput. Risky yang menyadari betapa memalukannya situasi ini walaupun saksi matanya hanya seorang itu, mendekati adiknya dan berjongkok di depan anak itu.

"Kalau enggak cengeng, jangan cari-cari Mama!" tegasnya pelan.

"ENGGAK CENGEEENG!"

"Kalau enggak cengeng, ayo jalan lagi!" Risky bangkit lalu menunggui adiknya berdiri. Ketika Adek mulai berjalan, Risky meraih tangan anak itu hendak menggandengnya lagi. Namun tangannya dicampakkan. Anak itu terus melangkah dengan kepala tertekuk menyembunyikan air matanya, tanpa melihat jalan. Risky memindahkan ranselnya dari punggung ke dada lalu berjalan melampaui anak itu. Kemudian ia berjongkok mengadang arah jalan Adek.

Risky menanti Adek berjalan melewatinya, terus mengabaikannya sehingga nanti ia mesti mencandai anak itu untuk mencairkan suasana. Tapi, sebentar kemudian, ia merasakan beban yang diakrabinya mendarat di punggung. Sebenarnya, sudah cukup lama Adek tidak lagi menubruk dan memanjat punggungnya, merangkul lehernya sampai nyaris mencekik, kemudian memukul-mukul sisi perutnya dengan kedua kaki agar maju jalan. Kali ini, Adek tak perlu memukul-mukulkan sepatunya yang bersalut tanah liat itu ke baju Risky. Dalam beberapa waktu ini, Adek telah bertambah besar sedikit sehingga bobotnya pun lebih berat daripada yang diingat Risky. Ah, he ain't heavy, he's my brother, seperti judul lagu lama yang pernah didengar Risky sesaat ketika sedang mencari saluran radio favoritnya.

Hup! Selangkah demi selangkah Risky memanjat tanjakan yang seperti tak ada ujung itu sembari menggendong Adek sekalian ranselnya. Saat tanjakan itu mencapai puncaknya, tampaklah puncak-puncak lainnya yang lebih tinggi dibelah jalan yang mengular. Risky menyuruh Adek turun dari punggungnya. Ia mencari area berumput yang tampak bersih di tepi jalan yang menghadap ke persawahan jauh di bawahnya serta pegunungan jauh di seberangnya. Ada pula beberapa petak pabrik dan perumahan serta ... "Tuh, tuh, lihat ada kereta!" Risky menarik perhatian adiknya. Anak itu melongok dan tercenung memandang ke bawah. Dari ketinggian, kereta itu benar-benar tampak menyerupai ular besi yang tengah meliuk-liuk pada jalurnya.

Kemudian Risky duduk menyelonjorkan kaki dan mengeluarkan rupa-rupa perbekalan mereka dari ransel. Setelah memuaskan dahaga, ia menyulut sebatang rokok. Tak lupa ia memberikan juga adiknya sebatang permen rokok-rokokan. Keduanya lalu duduk berdiam-diaman saja. Risky terhanyut dalam pemandangan senja yang terpampang di hadapannya. Matahari turun perlahan-lahan sembari melelehkan diri membentuk semburat-semburat oranye kemerahan yang ambyar di langit. Risky menoleh kepada Adek, menyundul pelan kepala anak itu seakan-akan hendak mengecek apakah adiknya tengah terserap dalam keindahan yang sama. Adek menggumam kesal. Risky mendengus geli dan kembali menikmati orkestra warna di langit. Lamat-lamat, warna-warna kelam bergerak memasuki panggung sambil merayap dan mulai mengisap warna-warna lainnya yang cerah membara itu.

Risky menyadari hari telah gelap sedangkan sisa perjalanan sepertinya lebih jauh daripada yang ia perkirakan sebelumnya. "Ayo, Dek!" Ia menoleh dan mendapati kepala Adek terangguk-angguk. Mata anak itu terbuka dan sebentar kemudian mengatup lagi.

Kali ini Risky mencoba untuk menggendong Adek di sebelah depan. Cara begini rupanya membuat dia tak leluasa melangkah. Ia menurunkan Adek agar pindah ke belakang. Sekarang ia dapat bertahan jauh lebih lama. Namun karena punggungnya semakin membungkuk saja dan terasa kaku ketika hendak diangkat, ia menyuruh Adek turun lagi. Akibat berkali-kali dipindahkan, Adek terjaga sepenuhnya dan mau berjalan sendiri saja. Keduanya melanjutkan perjalanan sambil bergandengan.

Tahu-tahu Adek menggenggam tangan Risky semakin erat, dan berkata, "Kak, bulannya ngikutin!" sambil sesekali menoleh ke atas.

Risky mendongak dan melihat lingkaran cahaya keperakan sewarna tahi kucing yang sudah kering itu.

"Jalannya yang cepet biar enggak kekejar!" sahut Risky. Ia melepaskan tangan adiknya lalu mulai berjalan secepat-cepatnya hampir berlari. Adek berteriak dan segera berlari menjejeri. Risky tertawa dan meraih kepala adiknya. "Takut, ya?"

"Enggak!"

Membuktikan ketidaktakutannya, Adek terus berjalan cepat mendahului Risky yang justru berhenti dan mulai memandangi kerlap-kerlip mungil berserakan tinggi-tinggi sekali di atas kepalanya.

"KAKAAAK ...! Hu-uuuh!" Akhirnya Adek sadar juga Risky tidak mengiringinya. Yang dipanggil tertawa saja. Betapa menyegarkan, mengguyur keletihannya.

"Lihat tuh, langitnya ketombean!" Risky menunjuk ke atas.

Adek mendongak, dan memprotes, "Masak ketombe?! Itu tuh bintang, tahuuu ...!"

"Ketombenya banyak banget," Risky bersikeras, "langitnya belum keramas nih," dan seketika ingat bahwa ia tidak membawa payung ataupun jas hujan. "Aaah, moga-moga aja dia lagi malas keramas."

Mereka lanjut berjalan. Bermaksud menjaga semangat adiknya, Risky menyuruh anak itu mengoceh terus, mulai dari menyanyikan lagu-lagu yang dihafalnya sampai menghitungi bintang-bintang. Tapi, berangsur-angsur Adek kembali loyo dan mengeluh.

"Katanya bentar lagi ...."

"Iya, bentar lagi."

"Kapan nyampenya?"

"Nanti juga nyampe."

"Kakak mah bohong!"

"Enggak bohong kok."

"BOHONG!"

"Ck, udah, jalan aja!"

Adek melepaskan pegangan tangannya dan begitu saja menggeletakkan badan di atas tanah.

"Mau tidur di sini?" tegur Risky.

"Pulaaang ..." adiknya merengek, tanda-tanda akan menangis.

"Tinggal aja lah." Risky lanjut melangkah.

Adek berteriak sekencang-kencangnya untuk mencegah Risky meninggalkannya dan tangisannya pun memecah kesenyapan. Bersamaan dengan itu, sebuah motor memelesat melewati mereka. Wajahnya tak jelas, namun tampak kepala orang yang duduk di belakang motor itu menoleh kepada mereka. Risky berjongkok dan menutupi kedua belah mukanya sampai suara motor itu tak terdengar lagi, tinggal sedu sedan adiknya. Ia menghampiri Adek dan membujuk anak itu agar bergelayut lagi di punggungnya.

"Mau pulaaang ..." adiknya terus memohon sekalipun sudah digendong lagi.

Mana mungkin. Risky mendekatkan arlojinya ke mata; sudah hampir pukul delapan malam. Kalaupun balik, mereka sudah jalan begini jauh. Entah masih adakah angkutan umum yang beroperasi. Mau tak mau mesti jalan terus, walau entah sampai berapa lama lagi.

Sejauh ini, area di kanan-kiri mereka berupa perkebunan sehingga terbuka bagi cahaya bulan dan bintang. Sesekali ada rumah menyorotkan tambahan sinar. Jalur yang ditempuh terus menanjak walau sangat landai, namun ketinggian tak membuat Risky kedinginan. Malah sebaliknya, peluh terus meruap membasahi baju bercampur dengan air mata, ingus, dan liur Adek yang sesekali diusapkannya pada bahu Risky.

Sesal pun timbul. Padahal baru sebulan lalu Lebaran lewat, dan mereka sekeluarga berkunjung ke rumah Abah menggunakan mobil pribadi. Kenapa tidak sekalian pada waktu itu ia minta doa restu kepada Abah? Kenapa baru terpikirkan oleh dia baru-baru ini? Atau, kenapa ia tidak pergi sendirian saja pagi-pagi sekali sehingga semestinya bisa tiba saat siang atau sore--pokoknya sebelum gelap? Atau, kenapa ia tidak membawa serta motor alih-alih menumpang kendaraan umum? Apa pun, alih-alih asal minggat seperti ini--spontan tanpa uhuy! Ia membayangkan kecemasan Mama saat kembali ke rumah tadi siang, mencari-cari Adek tapi tak ada sahutan, lalu naik ke kamar Risky dan mendapati ruangan itu kosong melompong, lalu menunggu sampai petang, sampai Papa pulang, dan meluapkan segalanya. Ia membayangkan Papa yang terdiam kebingungan. Ia membayangkan keduanya mencoba mencari-cari mereka ke sekitar rumah sampai ke jalanan, sampai tiba pada kemungkinan bahwa Risky sengaja membawa Adek kabur; tapi mengapa?! Dan, Papa akan berpikir, "Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah dikasih ini itu, masih saja bikin masalah!" Dan, Mama akan membatin, "Kalau mau kabur, jangan bawa-bawa Adek!" Risky membayangkan luapan amarah keduanya nanti saat ia membawa Adek pulang. Ia memutuskan untuk menginap malam ini saja, lalu paginya, setelah memohon doa restu yang dibutuhkan, ia akan langsung pamit pulang.

Setelah satu belokan yang dihafalnya betul, rupanya tanjakan mulai curam dan menyempit. Risky dilanda waswas. Walau sesungguhnya ditemani Adek, namun betapa terasa kesendiriannya yang sembari memanggul beban: berat, hangat--hidup. Pun telah agak lama Adek tak bersuara, sepertinya tertidur--sunyi. Pohon-pohon mulai banyak bertumbuhan di kanan kiri, menambah kegelapan yang kian pekat, kian pekat, kian pekat lagi di hadapannya kini, yang celakanya, bercabang. Entahkah karena kelelahan telah merambat sampai otaknya, sehingga kedua jalan itu tampak sama persis. Risky mencoba mencari-cari tanda alam yang diingatnya. Mungkin ada pohon yang bentuknya khas di kanan atau kiri, atau ada siluet gunung di atas tajuk yang sebelah kanan atau kiri. Tidak ada. Semua pohon sama saja lekuk-lekuknya, langit yang sebagian tertutup oleh tajuk tak mempertunjukkan apa pun selain titik-titik cahaya.

Risky berusaha meredakan napasnya yang terengah-engah entahkah karena lelah atau ... takut? Ia berjengit saat ada tangan kecil mencengkeram pundaknya dan seketika teringat bahwa sedari tadi ia menggendong Adek. "Udah nyampe?" tanya Adek lesu. Anak itu tak lagi merasakan pergerakan Risky di sela-sela lelapnya, sehingga mengira kakaknya berhenti karena sudah sampai.

"Bentar lagi," sahut Risky dan tebersit di benaknya bahwa tak sebaiknya ia berlama-lama sehingga adiknya dapat merasakan kegentarannya.

Kanan? Kiri? Ah, biasanya yang kanan yang baik. Salam dan makan pakai tangan yang baik--Mama kerap bilang kepada Adek--tangan kanan. Risky menegakkan tubuhnya, mempertunjukkan sikap gagah berani, dan mulai melangkah lagi ... dengan jantung berdentam-dentam keras di balik dadanya. Adek memeluk lehernya semakin erat.

"Kak ... Kakak ..." bisik anak itu, seakan-akan tak mau kedengaran entah oleh siapa.

"Apa?"

Risky sudah panik saja adiknya akan bilang, "Ada yang ngikutin," dan kali ini bukan bulan, sebab bila ia menoleh rupanya yang mengikuti mereka bukannya wanita berbaju seksi macam Si Manis Jembatan Ancol yang sebenarnya Diah Permatasari melainkan perempuan lain berbaju gombroh yang melayang tanpa kaki, atau tak berambut tapi bukan Ozy Syahputra melainkan karena kepalanya dibungkus kain dan jalannya pun melompat-lompat ...!

"Mau pipisss ..." Adek mendesis sedekat-dekatnya di telinga Risky sampai panasnya membuat dia bergidik.

"Tahan dulu."

Adek merengek.

"Di sini enggak boleh pipis sembarangan," lanjut Risky.

"Kenapa?"

"Awas lo, jangan ngompol!"

Adek merajuk.

"Udah, diem!"

Adek menurut.

Tak lama kemudian, "Kak, Kak ..." panggil Adek lagi.

"Apa?"

"Itu apa, Kak?"

Aduh. Celaka. Sial. Pertanyaan yang dinanti-nanti akhirnya keluar juga, dan Risky menyesal menghafalkan doa-doa cuma untuk ulangan agama!

"Kak, itu kuburan, Kak!"

"Makanya, jangan pecicilan!"

Risky merasakan muka adiknya melesak dalam-dalam ke bahunya.

Tentu saja, ini waktunya untuk mengajarkan keberanian kepada si kecil.

"Adek, udah belajar doa apa aja di TPQ?" sergah Risky seraya membesarkan suaranya seakan-akan dengan begitu dapat mengusir apa pun yang menyeramkan di sekitar mereka.

"Um ... um ... doa mau makan!"

"Gimana doanya? Coba Kakak tes!"

"Allahumma bariklana ...."

"Yang keras!"

"ALLAHUMMA BARIKLANA ...."

Bagus, menyingkirlah kalian, hai, segala macam dedemit, kalau tidak mau dimakan bocah ini!

"WA QINA AZABANNAR .... Udah, Kak!"

"Ulangin!"

"Udah! Sekarang doa mau tidur!"

"Jangan! Jangan tidur!" Jangan biarkan setan-setan itu menganggap kita mulai lengah! "Doa mau makan tiga puluh kali!"

"Aaah ... bosen!"

"Ulangin! Kalau enggak, diturunin lo!"

"ENGGAK MAUUU ...!" Adek mengentak-entakkan kakinya.

"Ya udah, ya udah! Doa bangun tidur, hafal, enggak?!"

"Doa bangun tidur? Hm .... ALHAMDULILLAHILADZI AHYANA ...."

Cahaya! Cahaya! Seketika itu juga, muncul secercah cahaya yang dalam pandangan Risky sama benderangnya dengan matahari pukul sembilan pagi nun jauh di depan sana! Cahaya lampu rumah! Ia mempercepat langkahnya, setengah berlari, seakan-akan beban di punggungnya tak terasa lagi.



[1] Nike Ardilla - "Sandiwara Cinta"

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain