Penerbit : Alumni, 1983, Bandung
Buku ini juga dari (almarhum) Kakek, dikasih berbarengan dengan Cerita dari Tengah Rimba. Di dalam buku ini ada 10 cerita. Desa yang menjadi latarnya persisnya di wilayah Priangan, sekitar Gunung Galunggung.
MENIKMATI OLEH-OLEH
Arief dan kakaknya baru pulang dari desa, membawa banyak oleh-oleh dan cerita. Ceritanya ada yang direkam dengan kaset, ada pula yang dicatat. Rajin benar si Arief, tapi begitulah pesan ayahnya sedang dia anak patuh yang sepatutnya diteladani :D (halaman 6).
Cerita pertama ini berupa rangkaian dialog antara Arief dan ayahnya, sebagai pengantar dari rangkaian cerita yang akan disampaikan Arief kepada ayahnya melalui bab-bab berikutnya.
MUSANG BERBULU AYAM
Saya kira ini buku bacaan untuk anak-anak, tapi cerita berikutnya agak dewasa: Ada enam pemuda kurang kerjaan suka mengintip pemuda putra pak lurah mendatangi istri orang malam-malam. Mereka sudah minta bantuan tetua desa, Pak Amsor, untuk menasihati pemuda itu, tapi tetap saja. Mereka pun main hakim sendiri sehingga ditahan mantri polisi. Mereka dapat dibebaskan, asal membayar. Namun pak mantri tidak mau menandatangani kuitansinya.
AIR SUSU DIBALAS DENGAN AIR TUBA
Konflik cerita ini benar-benar menggemaskan. Sudah mesti bayar untuk menebus para pemuda dari tahanan, sekarang para orang tua mesti bayar untuk pengobatan anak pak lurah ke dokter di kota. Tanpa kuitansi pula, dan mereka harus pinjam karena tidak punya uangnya. Ketika tetua desa, Pak Amsor, dipanggil pak lurah untuk urusan lain, sekalian saja ia kemukakan suara hati rakyat. Lurah membela diri dengan alasan yang mengingatkan sama problem di novel Max Havelaar, di mana petinggi setempat memeras rakyat untuk membiayai perjamuan dengan tamu-tamunya.
KERBAU MANG NASIR (1)
Konflik dalam cerita ini masih pejabat desa versus rakyat kecil, kali ini melibatkan mantri hutan dan seorang warga pemilik kerbau bernama Mang Nasir. Lagi-lagi mengingatkan sama Max Havelaar.
KERBAU MANG NASIR (2)
Lagi-lagi Mang Nasir kehilangan kerbau. Pak lurah dan pak mantri polisi cuek saja, sehingga Mang Nasir mesti ke polisi di kota. Di sini polisi kota profesional (tidak sebagaimana pemberitaan di media belakangan), berhasil menemukan kerbau itu. Namun ada twist-nya yang nyesek banget. Ini baru namanya konflik!
IBU-IBU YANG MALANG
Ini cerita yang paling saya ingat dari buku ini. (Sepertinya waktu pertama kali membaca buku ini, saya belum cukup "dewasa" untuk memahami persoalan-persoalan di dalamnya.) Cerita ini mengenai program KB yang memaksakan pemasangan spiral pada ibu-ibu yang masih bisa melahirkan. Ada sebagian ibu yang sudah paham, tapi ada juga yang belum. Maka pemaksaan ini mengakibatkan mereka ketakutan, bahkan sampai akhirnya ada yang meninggal.
PEJUANG-PEJUANG YANG MALANG
Dalam cerita ini, persoalannya kembali tentang permainan lurah (dilengkapi dengan pembelaannya di halaman 36) dan kiranya mengenai sikap mental "korban"-nya itu sendiri. Mungkin para pejuang itu memang berhak atas tunjangan veteran, tapi sikap ikhlas, tawakal, dan mandiri Pak Amsor pun tampaknya baik untuk dipertimbangkan.
"Biarlah perjuanganku berupa amal shalihku kepada tanah air dan bangsa. Aku tidak meminta pahala sekarang. Apa lagi dari bangsaku yang masih berjuang. Berusaha membangun untuk kesejahteraan bangsa. Ya Allah Semoga Engkau terima perjuanganku itu sebagai amal shalihku. Jika Engkau berikan pahala karenanya, akan kuperoleh di Hari Akhir nanti. Kalaupun tidak, Engkaulah yang Maha Adil. Pokoknya aku telah berjuang, beramal shalih. Hubbulwathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Itulah yang kulakukan, ya Allah!" (halaman 41)
GURU-GURU YANG MALANG
Cerita ini mengenai nasib guru di pedalaman, banyak terjerat utang koperasi. Lah, baru-baru ini di media ada lagi berita tentang penipuan koperasi. Belum lagi sekarang ini ada pinjaman online yang iklannya di mana-mana itu. Judi nalo pun telah jadi judi online.
Yang tiap bulan terima gaji ternyata belum tentu enak, mana tahu banyak utang karena banyak keperluan.
DI MANAKAH ENGKAU ...?
Cerita ini berisi pergibahan Pak Amsor dengan Pak RT mengenai lurah yang suka menarik iuran tapi kerjanya enggak beres.
Dalam cerita ini (halaman 53), ada mengenai evolusi alat tulis siswa dari batu tulis dan gerip ke buku tulis dan potlot serta bolpoin yang pada masanya ditulis masih di luar kesanggupan buruh tani. Empat puluh tahun kemudian, buku tulis dan potlot serta bolpoin itu sudah jadi tablet dan laptop atau minimal HP yang canggih. Selama masa pandemi COVID-19 terdengar berita-berita tentang kesulitan orang tua siswa dalam menyediakan sarana belajar online tersebut di rumah terutama yang di pedalaman.
Cerita ini juga menyinggung soal pendidikan yang kurang memberikan nilai praktis karena ada saja lulusannya (SD-SMP-SMA) yang menganggur, ujung-ujungnya bantu orang tua atau enggak mau kerja kasar sama sekali karena gengsi dooong (halaman 53-54). Sekarang lulusan SD-SMP-SMA itu sudah bergeser jadi lulusan SMK dan perguruan tinggi.
PELAJARAN DAN PERINGATAN
Kembali pada Arief dan ayahnya. Ayah menanyakan pendapat Arief mengenai cerita-cerita yang telah disampaikannya. Tanggapannya menurut saya terbilang "dewasa", membuat penasaran Arief ini sesungguhnya anak sekolahan atau kuliahan. Rupanya dia banyak mengutip dari Kak Edi. (O jangan-jangan Kak Edi yang anak kuliahan.) Kata Ayah, baru setelah 10 pelita, Indonesia dapat mencapai kesejahteraan. Kalau 1 pelita = 5 tahun, 5 tahun x 10 = 50 tahun, sedang buku ini terbit pada 1983 dan saya membacanya ulang pada 2023, maka mari lihat nanti apa pada 2033 Indonesia telah berhasil menjadi negara maju berikut segala sisi gelapnya?
Walaupun bab terakhir ini mendiktekan kesimpulan yang sangat didaktik sekali bagi pembaca anak-anak tapi mungkin kurang disukai oleh yang sudah bisa mikir sendiri, buku ini seandainya ada di Goodreads ingin saya beri lima bintang. Buku ini seperti tanggapan atas Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila bertahun-tahun kemudian, berupa gambaran realistis pengamalan di pedesaan khususnya sila kelima.
Mendapati bahwa beberapa persoalan dalam buku terbitan 40 tahun lalu ini masih relevan sampai sekarang, hanya perwujudannya berbeda karena kemajuan teknologi dan sebagainya, bahkan bisa dimirip-miripkan pula dengan cerita dari sekitar 1,5 abad lalu, tampak menunjukkan bahwa sejarah memang berulang .... Adakah harapan akan perubahan tabiat manusia atau sudah sunatullah-nya begitu sepanjang zaman yang kita mesti berusaha keras dan berdoa agar tidak menjadi bagian dari padanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar