Gambar di-screenshot dari Ipusnas. |
ISBN : 978-623-5287-83-6
E-ISBN : 978-623-5422-63-3
Edisi I, Digital 2022
Cetakan Pertama, Mei 2022
Penerbit : Jejak Pustaka, Yogyakarta
Timbul dorongan untuk mencoba Ray Bradybury Challenge, yaitu membaca 1 puisi, 1 esai, dan 1 cerpen setiap hari. Sebetulnya tantangan itu juga mencakup menulis 1 cerpen setiap minggu, tetapi betapapun sudah meluangkan waktu dan memaksakan diri, tampaknya saya mesti terima sudah tidak lagi memiliki daya batin untuk mengarang kreatif (hiks). Maka saya mencari kumpulan esai di Ipusnas (tanpa ingat bahwa kalau dicari di lemari-lemari rumah sebetulnya sudah tersedia banyak yang belum dibaca) dan buku inilah yang pertama-tama menarik minat saya. Walaupun dalam menjalaninya ada hari-hari yang bolong, akhirnya saya menyelesaikan ke-20 esai dalam buku ini selama hampir 4 minggu :v
Esai-esai dalam buku ini sebelumnya sudah diterbitkan di berbagai media, di antaranya Minggu Pagi, Radar Banyumas, dan Harian Rakyat Sultra dalam rentang 2013-22. Dalam pengantarnya, penulis mengatakan bahwa biasanya ia terpantik untuk menulis esai setelah membaca suatu teks sastra.
Esai-esai yang ditaruh di awal umumnya merupakan apresiasi buku kumpulan puisi. Di antara buku kumpulan puisi itu sepertinya adalah karya rekan-rekan penulis sendiri, atau yang masih sedaerah. Dengan begitu, penulis tampak sekalian mempromosikan sastrawan lokal dari daerah Banyumasan dan sekitarnya. Di tengah ada beberapa esai mengenai prosa. Esai-esai yang belakangan mengenai pengajaran literasi di masyarakat, mencakup sekolah dan keluarga. Sastra anak mendapat sorotan penting karena pada usia dini anak-anak masih mudah ditanami pengaruh agar meminati sesuatu.
Esai-esai dalam buku ini menunjukkan kepada saya bahwa ulasan buku yang selama ini saya suka buat bisa saja ditulis dalam bentuk esai, dalam arti lebih terstruktur, rapi, fokus, ditunjang referensi secukupnya (misal membandingkan dengan karya lain yang lebih terkenal). Esai-esai dalam buku ini pun rata-rata pendek saja mungkin cuma beberapa ratus kata, biasanya diakhiri dengan harapan besar penulis agar masyarakat lebih bergairah dalam kegiatan literasi. Esai tidak mesti mengandung gagasan wah, tetapi bisa saja sekadar ungkapan apresiasi yang tulus lagi sederhana untuk membesarkan penulis dan karya yang menjadi perhatian.
Berikut saya ringkaskan esai-esai dalam buku ini disertai komentar kalau ada.
1. Petak Umpet Puisi Terselubung
Puisi seperti permainan petak umpet. Ada penyair yang menyembunyikan maksudnya sedalam-dalamnya supaya tidak mudah ditemukan, tetapi ada juga yang play easy biar lekas dimengerti.
2. Tidak Gaduh dengan Puisi
Esai ini mengomentari peristiwa terkini (atau pada saat ditulisnya, sekitar 2018) yaitu: 1) Denny JA dengan gagasan "puisi esai" yang kontroversial, menganggap puisi bagian dari marketing; 2) Sukmawati yang membacakan puisi yang dianggap melecehkan syariat Islam; 3) Ganjar Pranowo yang kurang lebih berbuat hal sama, tetapi puisinya itu ternyata karangan orang lain (A. Mustofa Bisri, 1984). Dalam era media sosial sekarang pun, puisi dapat kembali memasyarakat karena siapa saja dapat membuatnya karena bentuknya yang singkat dan to the point. Puisi kembali populer di ruang publik tetapi dengan cara yang tampaknya disalahgunakan, sehingga penulis esai ini tak menghendakinya.
3. Puisi dan Pesan Alam
Esai ini mengangkat istilah "sastra hijau", yang contohnya adalah karya-karya Ahmad Tohari. Penulis menyebut referensi lain (yang bikin saya tertarik untuk mencarinya) seperti buku Lingkungan Hidup dalam Sastra serta Air Mata Manggar (kumpulan puisi Arif Hidayat, Basabasi, 2018). Pada intinya, esai ini mengapresiasi puisi-puisi Arif Hidayat dalam buku yang diterbitkan oleh Basabasi itu, khususnya yang bertemakan alam dan menyandingkannya dengan penggalan karya pendahulu seperti Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek. Keduanya sama-sama mengangkat tentang alam dan pencemaran, tetapi ada kontras. Kalau Ahmad Tohari mengenai kedekatan manusia dengan alam, Arif Hidayat tentang keberjarakan. Arif Hidayat menggunakan ungkapan-ungkapan seperti "sawah-sawah yang ditumbuhi rumah" serta "cahaya bintang memaafkan jalan di perkampungan". Apakah puisi atau sastra secara umum memang efektif untuk menyadarkan pembaca akan kondisi alamnya?
4. Potret Desa dalam Puisi
Esai ini masih membahas puisi-puisi Arif Hidayat dalam Air Mata Manggar dan mengaitkannya dengan Ahmad Tohari (kali ini dengan mengambil penggalan dari Di Kaki Bukit Cibalak). Namun di sini yang disorot adalah tema pedesaan ketimbang alam. Walau masih beririsan, desa mencakup aspek sosial budaya. Yang menarik buat saya dari esai ini adalah ketika membandingkan pola kerja di kota yang katanya dituntut serba cepat atau diatur waktu sementara di desa bisa santai. Padahal saya mengira pekerjaan di desa seperti menanam bukankah perlu menyesuaikan dengan waktu (iklim dsb) juga? Mungkin karena kehidupan di kota terkungkung oleh bangunan sehingga terputus dari alam dan bisa sampai lupa waktu (overwork), sementara di desa mengikuti ritme alam?
5. Menapaki Jalan Batin Puisi
Esai ini membahas kumpulan puisi Sartika Sari, Elegi Titi Gantung (Pustaka Senja, 2016). Penulis mengonfirmasi pendapat orang lain yang ada di buku tersebut, yaitu bahwa kumpulan ini banyak mengangkat tema kerinduan, sejarah, dan kritik sosial. Puisi adalah fragmen perjalanan batin penyair, katanya.
6. Estetika Perenungan Puisi Dharmadi
Esai ini membahas kumpulan puisi Dharmadi, Larik-larik Kata (Kosa Kata Kita, 2016), yang suka mengangkat tema spiritualitas Jawa (kejawen) dan kematian, dibandingkan dengan buku kumpulan puisi yang sebelumnya dari sang penyair (terbit 2012). Menurut sang penyair, puisi adalah hasil dari kegiatan membaca teks, alam, kehidupan dan diri; puisi merupakan sarana meng-"abadi"-kan diri melalui meditasi dan perenungan. Dalam esai ini dikutip kata-kata dari Sapardi Djoko Damono (puisi memerlukan kemampuan bermain-main dengan bahasa) dan Made Sunjaya (perbedaan antara spiritualis dan religius adalah spiritualis mengenai hubungan ketuhanan tanpa terikat oleh agama sedangkan religius berpanutan pada agama).
7. Babad Tulah: Cara Teguh Trianton Merawat Ingatan
Esai ini membahas buku kumpulan puisi terbaru Trianton, Babad Tulah (Tidar Media, 2020). Ada protes sosial dan warna budaya Banyumas, dibandingkan dengan buku kumpulan puisi yang sebelumnya dari sang penyair, yaitu Ulang Tahun Hujan. Puisi-puisi dalam buku ini ditulis dalam rentang 2013-19, berkaitan dengan membaca masa lalu berulang-ulang.
8. Suluk
Esai ini diawali dengan menjelaskan pengertian suluk dalam dunia tarekat dan bagaimana para wali menggunakannya untuk mendakwahkan Islam di Jawa. Yang masih rajin menggunakan suluk di antaranya adalah Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya esai ini membahas buku kumpulan puisi Dimas Indiana Senja, Suluk Senja (Pustaka Senja, 2015) yang puisi-puisinya menyerupakan suluk dan mengangkat tema hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk.
9. Takwil Perempuan Puisi Yanwi Mudrikah
Esai ini dibuka dengan memperkenalkan kepenyairan Yanwi Mudrikah, perempuan Banyumas kelahiran 1989 yang produktif menerbitkan puisi di media massa serta buku kumpulan puisi. Esai ini membahas buku kumpulan puisinya yang terbaru, yang isinya menyoal isu-isu keperempuanan dengan diksi-diksi yang sangat perempuan.
10. Pengalaman Puitik Para Pemburu Ilmu
Esai ini membahas buku kumpulan puisi Sajak-sajak Pemburu Ilmu (Kekata Publisher, 2018), karya para siswa Kejar Paket B & C Rumah Kreatif Wadas Kelir, Puwokerto. Buku ini menyajikan momen puitis dalam keseharian para penulisnya. Temanya beragam. Dalam esai ini, penulis kembali mengaitkan dengan puisi sebagai kendaraan politik.
11. Pelajaran Mengingat Para Penyair "Kelahiran Kedua"
Esai ini membahas buku kumpulan puisi Kelahiran Kedua, yang para kontributornya berasal dari Komunitas Penyair Institute. Buku ini merupakan buku kedua mereka, yang pertama berjudul Historiografi. Tiap kontributor dalam buku ini mendapat porsi kritik.
12. Sastra dan Literasi Ekologis
Esai ini dibuka dengan menjabarkan persoalan lingkungan hidup, khususnya dalam bentuk iklim yang tidak menentu sehingga berakibat pada kacaunya musim tanam. Penulis memberikan contoh tulisan yang menyoal lingkungan hidup (sastra hijau atau ecocriticism/ecoliterature) seperti Silent Spring Rachel Carson, sedang dari Indonesia adalah novel Lemah Tanjung Ratna Indraswari Ibrahim serta buku kumpulan puisi Tanggulendut F. Azis Manna. Cerita rakyat nusantara juga termasuk yang mengandung amanat ekologis.
13. Sastra dan Orang-orang Sakit
Esai ini mengapresiasi kepengarangan Ahmad Tohari dan menyeru pembaca agar meneladaninya, khususnya kepada para penulis agar seperti beliau yang ketimbang menulis karya surealis/absurdis lebih baik realis supaya dapat mengetuk kepedulian sosial terhadap sekitar, mau di desa atau di kota, para orang kecil.
14. Tokoh-tokoh "Pinggiran" Arif Hidayat
Esai ini membahas kumpulan cerpen Arif Hidayat, Yang Menunggu di Halte Menjelang Oktober. Kembali penulis membandingkannya dengan Ahmad Tohari, karena sama-sama mengangkat realitas sosial rakyat kecil. Dibandingkan pula kehidupan prihatin petani dengan PNS yang terus terang menjadi sentilan buat saya yang kadang termakan oleh gambaran romantis gaya hidup sederhana ala petani. Dari segi spiritual-ekologis, gaya hidup ini mungkin baik. Namun, dari segi materialistis, kenyamanan hidup indrawi-duniawi, realitasnya mungkin mengenaskan jika tidak lapang jiwa. Esai ini cenderung mengkritisi buku tersebut, walau terselip juga apresiasi yang membesarkan hati.
15. Dongeng dan Nyala Asa Budaya Literasi
Esai ini memuat pernyataan meragukan tentang standar UNESCO bahwa waktu membaca adalah 4-6 jam/hari, di negara-negara maju 6-8 jam/hari sementara di Indonesia 2-4 jam/hari (halaman 108)--walaupun saya tidak hendak repot-repot menelusuri kebenarannya. Padahal buat saya yang tergolong kutu buku, mempertahankan 1-2 jam/hari saja sudah ngos-ngosan atau bikin merasa bersalah karena akibatnya jadi kurang waktu atau tenaga untuk melakukan kegiatan lain yang mungkin saja tak kalah bermanfaat. Di negara maju tertentu pun kenyataannya orang terlalu sibuk bekerja sampai-sampai bikin anak saja tidak sempat. Saya sendiri beranggapan bahwa membaca buku adalah leisure activity, dengan banyak alternatifnya yang lebih menarik.
Esai ini sebetulnya tentang upaya menumbuhkan budaya literasi (minat baca, tradisi menulis, dsb) melalui festival di Bandung dan rumah baca di Purwokerto.
16. Mendongeng di Musim Wabah
Esai ini menguraikan pentingnya mendongengi anak sebagai bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti, juga bermanfaat untuk mempersiapkan anak dalam menanggapi tantangan zaman seperti isu global warming dsb.
17. Bagaimana Kalau Kita Menulis Sastra Anak Berbahasa Penginyongan
Pada waktu membaca esai ini, kebetulan saya baru menamatkan autobiografi Ajip Rosidi. Esai ini mengangkat isu yang relevan dengan yang kerap diungkit-ungkit Pak Ajip yaitu ancaman terhadap bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa penginyongan alias jawa ngapak, karena orang-orangnya sendiri kurang tertarik membudayakannya. Persoalan ini diatasi dengan geliat para sastrawan ngapak yang menghasilkan karya dalam bahasa tersebut, yang paling terkenal adalah Ahmad Tohari. Upaya yang bisa dilakukan masyarakat, khususnya orang tua, untuk meregenerasi penutur bahasa daerah adalah dengan mendongengkan cerita-cerita dalam bahasa itu kepada anak.
18. Sastra dan Pembaca yang Malas
Dalam esai ini, penulis membagikan pengamatan dan pengalaman sebagai guru mengenai perilaku siswa dalam berliterasi. Ada siswa yang tampak punya "jalan" ke sana, maksudnya yang dengan inisiatifnya sendiri mampu mendongengkan cerita lokal kepada teman-teman sekelas lalu menuliskannya. Selain itu, ada kebijakan pemerintah agar sebelum pelajaran dimulai, siswa membaca buku selama 1 jam. Tugas menyuruh siswa membaca dan memberikan laporannya lambat laut menampakkan hasil.
19. Meneroka Sastra di Sekolah
Esai ini mengajukan masalah-masalah berikut usul-usul dalam pengajaran sastra di sekolah, misalnya dengan mendatangkan sastrawan.
20. Sastra Anak dan Milenium Ketiga
Esai ini menyoal sastra anak yang terancam oleh teknologi dalam berbagai bentuk (televisi, game, dsb), apalagi didukung oleh para ibu. Padahal sastra anak lebih berkualitas dalam menanamkan nilai moral dibandingkan dengan gawai-gawai elektronik itu. Orang tua sesungguhnya dapat mengambil peran dalam memperkenalkan sastra anak dengan mendongeng.