Jumat, 28 Juli 2023

Perjumpaan dan Percakapan: Sepilihan Esai-esai Sastra

Gambar di-screenshot
dari Ipusnas.
Penulis : Achmad Sultoni

ISBN : 978-623-5287-83-6

E-ISBN : 978-623-5422-63-3

Edisi I, Digital 2022

Cetakan Pertama, Mei 2022

Penerbit : Jejak Pustaka, Yogyakarta


Timbul dorongan untuk mencoba Ray Bradybury Challenge, yaitu membaca 1 puisi, 1 esai, dan 1 cerpen setiap hari. Sebetulnya tantangan itu juga mencakup menulis 1 cerpen setiap minggu, tetapi betapapun sudah meluangkan waktu dan memaksakan diri, tampaknya saya mesti terima sudah tidak lagi memiliki daya batin untuk mengarang kreatif (hiks). Maka saya mencari kumpulan esai di Ipusnas (tanpa ingat bahwa kalau dicari di lemari-lemari rumah sebetulnya sudah tersedia banyak yang belum dibaca) dan buku inilah yang pertama-tama menarik minat saya. Walaupun dalam menjalaninya ada hari-hari yang bolong, akhirnya saya menyelesaikan ke-20 esai dalam buku ini selama hampir 4 minggu :v

Esai-esai dalam buku ini sebelumnya sudah diterbitkan di berbagai media, di antaranya Minggu Pagi, Radar Banyumas, dan Harian Rakyat Sultra dalam rentang 2013-22. Dalam pengantarnya, penulis mengatakan bahwa biasanya ia terpantik untuk menulis esai setelah membaca suatu teks sastra. 

Esai-esai yang ditaruh di awal umumnya merupakan apresiasi buku kumpulan puisi. Di antara buku kumpulan puisi itu sepertinya adalah karya rekan-rekan penulis sendiri, atau yang masih sedaerah. Dengan begitu, penulis tampak sekalian mempromosikan sastrawan lokal dari daerah Banyumasan dan sekitarnya. Di tengah ada beberapa esai mengenai prosa. Esai-esai yang belakangan mengenai pengajaran literasi di masyarakat, mencakup sekolah dan keluarga. Sastra anak mendapat sorotan penting karena pada usia dini anak-anak masih mudah ditanami pengaruh agar meminati sesuatu.

Esai-esai dalam buku ini menunjukkan kepada saya bahwa ulasan buku yang selama ini saya suka buat bisa saja ditulis dalam bentuk esai, dalam arti lebih terstruktur, rapi, fokus, ditunjang referensi secukupnya (misal membandingkan dengan karya lain yang lebih terkenal).  Esai-esai dalam buku ini pun rata-rata pendek saja mungkin cuma beberapa ratus kata, biasanya diakhiri dengan harapan besar penulis agar masyarakat lebih bergairah dalam kegiatan literasi. Esai tidak mesti mengandung gagasan wah, tetapi bisa saja sekadar ungkapan apresiasi yang tulus lagi sederhana untuk membesarkan penulis dan karya yang menjadi perhatian.

Berikut saya ringkaskan esai-esai dalam buku ini disertai komentar kalau ada.

1. Petak Umpet Puisi Terselubung

Puisi seperti permainan petak umpet. Ada penyair yang menyembunyikan maksudnya sedalam-dalamnya supaya tidak mudah ditemukan, tetapi ada juga yang play easy biar lekas dimengerti.

2. Tidak Gaduh dengan Puisi

Esai ini mengomentari peristiwa terkini (atau pada saat ditulisnya, sekitar 2018) yaitu: 1) Denny JA dengan gagasan "puisi esai" yang kontroversial, menganggap puisi bagian dari marketing; 2) Sukmawati yang membacakan puisi yang dianggap melecehkan syariat Islam; 3) Ganjar Pranowo yang kurang lebih berbuat hal sama, tetapi puisinya itu ternyata karangan orang lain (A. Mustofa Bisri, 1984). Dalam era media sosial sekarang pun, puisi dapat kembali memasyarakat karena siapa saja dapat membuatnya karena bentuknya yang singkat dan to the point. Puisi kembali populer di ruang publik tetapi dengan cara yang tampaknya disalahgunakan, sehingga penulis esai ini tak menghendakinya.

3. Puisi dan Pesan Alam

Esai ini mengangkat istilah "sastra hijau", yang contohnya adalah karya-karya Ahmad Tohari. Penulis menyebut referensi lain (yang bikin saya tertarik untuk mencarinya) seperti buku Lingkungan Hidup dalam Sastra serta Air Mata Manggar (kumpulan puisi Arif Hidayat, Basabasi, 2018). Pada intinya, esai ini mengapresiasi puisi-puisi Arif Hidayat dalam buku yang diterbitkan oleh Basabasi itu, khususnya yang bertemakan alam dan menyandingkannya dengan penggalan karya pendahulu seperti Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek. Keduanya sama-sama mengangkat tentang alam dan pencemaran, tetapi ada kontras. Kalau Ahmad Tohari mengenai kedekatan manusia dengan alam, Arif Hidayat tentang keberjarakan. Arif Hidayat menggunakan ungkapan-ungkapan seperti "sawah-sawah yang ditumbuhi rumah" serta "cahaya bintang memaafkan jalan di perkampungan". Apakah puisi atau sastra secara umum memang efektif untuk menyadarkan pembaca akan kondisi alamnya? 

4. Potret Desa dalam Puisi

Esai ini masih membahas puisi-puisi Arif Hidayat dalam Air Mata Manggar dan mengaitkannya dengan Ahmad Tohari (kali ini dengan mengambil penggalan dari Di Kaki Bukit Cibalak). Namun di sini yang disorot adalah tema pedesaan ketimbang alam. Walau masih beririsan, desa mencakup aspek sosial budaya. Yang menarik buat saya dari esai ini adalah ketika membandingkan pola kerja di kota yang katanya dituntut serba cepat atau diatur waktu sementara di desa bisa santai. Padahal saya mengira pekerjaan di desa seperti menanam bukankah perlu menyesuaikan dengan waktu (iklim dsb) juga? Mungkin karena kehidupan di kota terkungkung oleh bangunan sehingga terputus dari alam dan bisa sampai lupa waktu (overwork), sementara di desa mengikuti ritme alam?

5. Menapaki Jalan Batin Puisi

Esai ini membahas kumpulan puisi Sartika Sari, Elegi Titi Gantung (Pustaka Senja, 2016). Penulis mengonfirmasi pendapat orang lain yang ada di buku tersebut, yaitu bahwa kumpulan ini banyak mengangkat tema kerinduan, sejarah, dan kritik sosial. Puisi adalah fragmen perjalanan batin penyair, katanya.

6. Estetika Perenungan Puisi Dharmadi

Esai ini membahas kumpulan puisi Dharmadi, Larik-larik Kata (Kosa Kata Kita, 2016), yang suka mengangkat tema spiritualitas Jawa (kejawen) dan kematian, dibandingkan dengan buku kumpulan puisi yang sebelumnya dari sang penyair (terbit 2012). Menurut sang penyair, puisi adalah hasil dari kegiatan membaca teks, alam, kehidupan dan diri; puisi merupakan sarana meng-"abadi"-kan diri melalui meditasi dan perenungan. Dalam esai ini dikutip kata-kata dari Sapardi Djoko Damono (puisi memerlukan kemampuan bermain-main dengan bahasa) dan Made Sunjaya (perbedaan antara spiritualis dan religius adalah spiritualis mengenai hubungan ketuhanan tanpa terikat oleh agama sedangkan religius berpanutan pada agama).

7. Babad Tulah: Cara Teguh Trianton Merawat Ingatan

Esai ini membahas buku kumpulan puisi terbaru Trianton, Babad Tulah (Tidar Media, 2020). Ada protes sosial dan warna budaya Banyumas, dibandingkan dengan buku kumpulan puisi yang sebelumnya dari sang penyair, yaitu Ulang Tahun Hujan. Puisi-puisi dalam buku ini ditulis dalam rentang 2013-19, berkaitan dengan membaca masa lalu berulang-ulang. 

8. Suluk

Esai ini diawali dengan menjelaskan pengertian suluk dalam dunia tarekat dan bagaimana para wali menggunakannya untuk mendakwahkan Islam di Jawa. Yang masih rajin menggunakan suluk di antaranya adalah Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya esai ini membahas buku kumpulan puisi Dimas Indiana Senja, Suluk Senja (Pustaka Senja, 2015) yang puisi-puisinya menyerupakan suluk dan mengangkat tema hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk.

9. Takwil Perempuan Puisi Yanwi Mudrikah

Esai ini dibuka dengan memperkenalkan kepenyairan Yanwi Mudrikah, perempuan Banyumas kelahiran 1989 yang produktif menerbitkan puisi di media massa serta buku kumpulan puisi. Esai ini membahas buku kumpulan puisinya yang terbaru, yang isinya menyoal isu-isu keperempuanan dengan diksi-diksi yang sangat perempuan.

10. Pengalaman Puitik Para Pemburu Ilmu

Esai ini membahas buku kumpulan puisi Sajak-sajak Pemburu Ilmu (Kekata Publisher, 2018), karya para siswa Kejar Paket B & C Rumah Kreatif Wadas Kelir, Puwokerto. Buku ini menyajikan momen puitis dalam keseharian para penulisnya. Temanya beragam. Dalam esai ini, penulis kembali mengaitkan dengan puisi sebagai kendaraan politik. 

11. Pelajaran Mengingat Para Penyair "Kelahiran Kedua"

Esai ini membahas buku kumpulan puisi Kelahiran Kedua, yang para kontributornya berasal dari Komunitas Penyair Institute. Buku ini merupakan buku kedua mereka, yang pertama berjudul Historiografi. Tiap kontributor dalam buku ini mendapat porsi kritik.

12. Sastra dan Literasi Ekologis

Esai ini dibuka dengan menjabarkan persoalan lingkungan hidup, khususnya dalam bentuk iklim yang tidak menentu sehingga berakibat pada kacaunya musim tanam. Penulis memberikan contoh tulisan yang menyoal lingkungan hidup (sastra hijau atau ecocriticism/ecoliterature) seperti Silent Spring Rachel Carson, sedang dari Indonesia adalah novel Lemah Tanjung Ratna Indraswari Ibrahim serta buku kumpulan puisi Tanggulendut F. Azis Manna. Cerita rakyat nusantara juga termasuk yang mengandung amanat ekologis.

13. Sastra dan Orang-orang Sakit

Esai ini mengapresiasi kepengarangan Ahmad Tohari dan menyeru pembaca agar meneladaninya, khususnya kepada para penulis agar seperti beliau yang ketimbang menulis karya surealis/absurdis lebih baik realis supaya dapat mengetuk kepedulian sosial terhadap sekitar, mau di desa atau di kota, para orang kecil. 

14. Tokoh-tokoh "Pinggiran" Arif Hidayat

Esai ini membahas kumpulan cerpen Arif Hidayat, Yang Menunggu di Halte Menjelang Oktober. Kembali penulis membandingkannya dengan Ahmad Tohari, karena sama-sama mengangkat realitas sosial rakyat kecil. Dibandingkan pula kehidupan prihatin petani dengan PNS yang terus terang menjadi sentilan buat saya yang kadang termakan oleh gambaran romantis gaya hidup sederhana ala petani. Dari segi spiritual-ekologis, gaya hidup ini mungkin baik. Namun, dari segi materialistis, kenyamanan hidup indrawi-duniawi, realitasnya mungkin mengenaskan jika tidak lapang jiwa. Esai ini cenderung mengkritisi buku tersebut, walau terselip juga apresiasi yang membesarkan hati.

15. Dongeng dan Nyala Asa Budaya Literasi

Esai ini memuat pernyataan meragukan tentang standar UNESCO bahwa waktu membaca adalah 4-6 jam/hari, di negara-negara maju 6-8 jam/hari sementara di Indonesia 2-4 jam/hari (halaman 108)--walaupun saya tidak hendak repot-repot menelusuri kebenarannya. Padahal buat saya yang tergolong kutu buku, mempertahankan 1-2 jam/hari saja sudah ngos-ngosan atau bikin merasa bersalah karena akibatnya jadi kurang waktu atau tenaga untuk melakukan kegiatan lain yang mungkin saja tak kalah bermanfaat. Di negara maju tertentu pun kenyataannya orang terlalu sibuk bekerja sampai-sampai bikin anak saja tidak sempat. Saya sendiri beranggapan bahwa membaca buku adalah leisure activity, dengan banyak alternatifnya yang lebih menarik. 

Esai ini sebetulnya tentang upaya menumbuhkan budaya literasi (minat baca, tradisi menulis, dsb) melalui festival di Bandung dan rumah baca di Purwokerto. 

16. Mendongeng di Musim Wabah

Esai ini menguraikan pentingnya mendongengi anak sebagai bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti, juga bermanfaat untuk mempersiapkan anak dalam menanggapi tantangan zaman seperti isu global warming dsb.

17. Bagaimana Kalau Kita Menulis Sastra Anak Berbahasa Penginyongan

Pada waktu membaca esai ini, kebetulan saya baru menamatkan autobiografi Ajip Rosidi. Esai ini mengangkat isu yang relevan dengan yang kerap diungkit-ungkit Pak Ajip yaitu ancaman terhadap bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa penginyongan alias jawa ngapak, karena orang-orangnya sendiri kurang tertarik membudayakannya. Persoalan ini diatasi dengan geliat para sastrawan ngapak yang menghasilkan karya dalam bahasa tersebut, yang paling terkenal adalah Ahmad Tohari. Upaya yang bisa dilakukan masyarakat, khususnya orang tua, untuk meregenerasi penutur bahasa daerah adalah dengan mendongengkan cerita-cerita dalam bahasa itu kepada anak.

18. Sastra dan Pembaca yang Malas

Dalam esai ini, penulis membagikan pengamatan dan pengalaman sebagai guru mengenai perilaku siswa dalam berliterasi. Ada siswa yang tampak punya "jalan" ke sana, maksudnya yang dengan inisiatifnya sendiri mampu mendongengkan cerita lokal kepada teman-teman sekelas lalu menuliskannya. Selain itu, ada kebijakan pemerintah agar sebelum pelajaran dimulai, siswa membaca buku selama 1 jam. Tugas menyuruh siswa membaca dan memberikan laporannya lambat laut menampakkan hasil. 

19. Meneroka Sastra di Sekolah

Esai ini mengajukan masalah-masalah berikut usul-usul dalam pengajaran sastra di sekolah, misalnya dengan mendatangkan sastrawan.

20. Sastra Anak dan Milenium Ketiga

Esai ini menyoal sastra anak yang terancam oleh teknologi dalam berbagai bentuk (televisi, game, dsb), apalagi didukung oleh para ibu. Padahal sastra anak lebih berkualitas dalam menanamkan nilai moral dibandingkan dengan gawai-gawai elektronik itu. Orang tua sesungguhnya dapat mengambil peran dalam memperkenalkan sastra anak dengan mendongeng.

Kamis, 27 Juli 2023

Persoalan-persoalan dalam Belajar Bahasa Sunda dari Sudut Pandang Orang Bandung yang Bukan Asli Sunda

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa itu ada benarnya. Jika kita pindah mukim ke suatu wilayah, untuk dapat berbaur baik-baik dengan warga setempat, kita perlu mempelajari bahasa dan budaya mereka serta mempraktikkannya dalam kesempatan bersama mereka. Namun, apakah hal itu berlaku di Kota Bandung yang aslinya merupakan wilayah berbahasa Sunda? Nyatanya, selama hidup di Kota Bandung, mulai dari lahir, TK, SD, SMP, SMA, sampai setelah lulus dari kuliah, saya dapat bergaul tanpa perlu menguasai bahasa Sunda. 

Saya bukan orang Sunda. Kakek-nenek saya dari pihak ibu berasal dari Jawa Timur, sedangkan bapak dari Jawa Tengah. Di lingkungan keluarga di Bandung, bahasa Indonesia yang digunakan. Dalam pergaulan dengan teman-teman, mulai dari di sekitar rumah sampai di sekolah, bahasa Indonesia pula yang digunakan. Baru ketika saya SMP, ada seorang teman yang cukup nyunda, tetapi dia sendiri yang kemudian repot harus menjelaskan arti kata-kata yang dia gunakan, sebab dalam kelompok pergaulannya di kelas tidak ada yang mengerti; kebanyakan dari kami keturunan Jawa dan ada pula yang Sumatra. Di SMA malah saya tidak mendapatkan pelajaran Bahasa Sunda sama sekali. Tetap bahasa Indonesia yang digunakan dalam pergaulan. Kawan-kawan sekelas saya lebih majemuk lagi, berasal dari berbagai daerah dan pulau demi bersekolah di SMA itu. 

Kemudian saya kuliah di Jogja. Untuk mengatasi rasa kangen terhadap "kampung halaman", saya mendengarkan lagu-lagu Sunda dan Cangehgar. Aneh kan. Saya menganggap Bandung sebagai "kampung halaman" semata-mata karena saya lahir dan besar di sana. Orang tua saya pun masih tinggal di sana, ke mana pada akhirnya saya akan berpulang. Padahal, dari segi keturunan, saya sudah berada di kampung halaman yang sebenarnya, yaitu wilayah berbahasa Jawa dan memang banyak dari keluarga besar saya yang tinggal di Jogja dan kota-kota sekitarnya.

Baru lama kemudian, kesadaran akan bahasa daerah kembali mengemuka ketika saya mengikuti Klub Buku Laswi. Dalam beberapa bulan ke belakang, klub ini mengadakan pertemuan yang membahas buku fiksi berbahasa Sunda. Dengan sendirinya, terangkat masalah-masalah yang menyangkut pemakaian bahasa Sunda di masyarakat dewasa ini.

Dalam pertemuan kemarin (Rabu, 26 Juli 2023), ada kurang lebih sembilan orang yang duduk. Sebagian yang hadir adalah orang Sunda asli. Yang saya kenal merupakan keturunan Jawa hanya dua orang, itu pun cuma saya yang berdarah murni (saya tidak tahu jika ternyata saya ada campuran). Di antara mereka yang memang orang Sunda, terungkap persoalan-persoalan di kalangan mereka sendiri sehingga bahasa Sunda yang baik dan benar kurang memasyarakat.

Pertemuan Klub Buku Laswi yang 
saya hadiri kemarin. Informasi 
mengenai klub ini bisa dilihat di 
Instagram biblioforum atau 
lawangbuku. Catatan pembacaan saya 
mengenai buku yang dibahas dalam 
pertemuan ini bisa dilihat di 
Yang pertama, orang tua tidak membesarkan anak-anaknya dalam bahasa Sunda. Bahkan kepada pasangan yang sesama orang Sunda pun mereka belum tentu berbahasa Sunda. Akibatnya, anak menganggap dirinya lebih sebagai orang Bandung ketimbang orang Sunda. Seakan-akan Bandung tidaklah identik dengan Sunda.* Anak-anak pun belajar bahasa Sunda melalui pergaulan dengan anak-anak sekitarnya, tanpa mengindahkan mana kata-kata yang baik diucapkan dan mana yang tidak.

Yang kedua, bahasa Sunda memiliki banyak variasi. Beda wilayah, beda lagi kata yang digunakan untuk merujuk satu hal yang sama. Bahasa Sunda yang digunakan orang Bandung dan sekitarnya lain dengan bahasa Sunda orang Sukabumi, Purwakarta, Banten, apalagi Cirebon. Hal ini bisa jadi membingungkan bahkan di antara sesama pemakai bahasa Sunda sendiri.

Yang ketiga, dari kalangan pemuda Sunda kurang ada kesadaran untuk mempelajari bahasanya lebih lanjut. Ada di antara peserta klub kemarin yang mengatakan bahwa walaupun ia asli Sunda, ketika membaca cerpen berbahasa Sunda, ternyata menemukan kata-kata yang ia sendiri tidak paham.

Yang keempat, orang Sunda sendiri kadang kesulitan ketika menjelaskan pengertian suatu kata. Kalau sudah begini, saya pikir, baru dengan hidup cukup lama atau bergaul intens di lingkungan yang kental berbahasa Sunda, orang dapat benar-benar memahami bahasa Sunda sampai merasuk di kalbunya tanpa perlu pengertian lewat kata-kata. 

Ketika kemarin saya mengajukan usul agar dibuat buku dwibahasa Sunda-Indonesia untuk mempermudah pembelajaran bahasa Sunda, ada yang mengatakan bahwa teks dalam bahasa Sunda tidak bisa diterjemahkan per kata paling-paling seperti menyadur. Saya sendiri sebetulnya ada pikiran untuk belajar bahasa Sunda dengan cara menerjemahkan cerita, sebagaimana yang selama ini saya lakukan dengan bahasa Inggris. Namun, ketika membaca buku fiksi berbahasa Sunda, setiap kali tidak mengerti suatu kata, mencarinya di kamus atau di internet tapi tidak menemukannya, saya jadi mengurungkan ide tersebut. Belum lagi struktur kalimatnya yang ketika saya coba menerjemahkan ke struktur kalimat bahasa Indonesia dalam pikiran malah bikin pusing sendiri. 

Tampak bahasa Inggris masih lebih mudah dipelajari--mudah ditemukan artinya baik di kamus maupun di internet, mudah diterjemahkan ke struktur kalimat bahasa Indonesia, mudah dipraktikkan juga dalam pergaulan sehari-hari melalui aplikasi chatting dengan orang asing. Sekiranya orang Sunda merasa penting agar sesamanya begitu pula orang luar yang tinggal di wilayahnya turut melestarikan bahasa mereka, bisakah sarana-sarana pembelajarannya dibuat sepraktis atau seatraktif belajar bahasa Inggris?



*) Kenyataannya memang sudah demikian banyak pendatang sebagaimana yang saya temukan sendiri selama puluhan tahun hidup di Bandung. Kebanyakan kawan saya adalah keturunan dari suku lain sebagaimana saya sendiri, dan hanya beberapa di antaranya yang orang Sunda asli. Ada pakde saya alias kakak dari bapak yang aslinya orang Jawa tetapi dapat berbahasa Sunda tanpa kedengaran masih ada aksen Jawa. Beliau menikah dengan orang Garut dan bermukim di sana sepanjang sisa hidupnya. Sementara ini saya hanya dapat menduga bahwa di Garut masyarakatnya tidak semajemuk di Bandung kota, sehingga pakde saya bisa fasih berbahasa Sunda.

Kamis, 13 Juli 2023

Atikan Basa Sunda Jilid 1C Pikeun Murid SD Kelas 1 Caturwulan 3

Penyusun : Drs. Yahya Sudarya, Drs. Ano Karsana
Cetakan kedua, Mei 1996 (Edisi Revisi)
Penerbit : PT. Sarana Panca Karya, Bandung

Seperti di buku-buku sebelumnya, ada empat pelajaran dalam buku ini. Tema dari keempat pelajaran itu pada umumnya menyangkut lingkungan. Pelajaran pertama mengenai lingkungan tempat belajar, yakni sekolah. Pelajaran kedua, lingkungan tetangga. Pelajaran ketiga, menyayangi satwa (lingkungan alam). Pelajaran keempat, memelihara kesehatan yang secara otomatis berkaitan dengan merawat kebersihan lingkungan walaupun dalam buku ini lingkungannya adalah lingkungan mikro yang berupa mulut, tepatnya gigi.

Pelajaran 1

Dalam pelajaran ini ada pengenalan kosakata menyangkut kekebunan, yaitu:

kebon = lahan pikeun pepelakan (lahan untuk tanam-tanaman)
leunca = buah buleud jiga kaleci (buah yang bulat seperti kelereng)
bawang = bawang beureum, keur samara (bawang merah penuh gairah)
lembok = hejo, subur (hijau, subur)
ngurus = miara (mengurus sama dengan memelihara)
taman = lahan pikeun melak kekembangan (lahan untuk menanam bunga-bungaan)

Sepintas, "kebun" dan "taman" seperti memiliki pengertian yang sama. Namun dari pelajaran kosakata di atas, juga setelah saya mengecek pengertian dalam bahasa Indonesia di aplikasi KBBI V, rupanya kebun cenderung pada produksi tanaman pangan sedangkan taman untuk keindahan.

Kemudian ada pengenalan istilah waktu seperti:

burit = sore-sore, deukeut ka magrib (sudah mendekati waktu magrib)
isuk-isuk = mimiti bray beurang (ketika hari mulai terang)
tengah poe = panon poe keur aya di tengah (matahari sedang tinggi-tingginya)
teungah peuting = geus deukeut ka janari (sudah mendekati waktu subuh)
subuh = memeh bray beurang (sebelum hari mulai terang)

Dalam pelajaran ini juga ada contoh puisi berbahasa Sunda dengan judul "TUJUH BELAS AGUSTUS" serta lagu "EUNDEUK-EUNDEUKAN".


Pelajaran 2

Dalam pelajaran ini ada kosakata mengenai perhubungan sehari-hari serta nama-nama alat tajam.

peso raut = peso paranti ngaraut (pisau untuk meraut)
peso dapur = peso paranti saksak-siksik di dapur (pisau untuk mengupas, mengiris, dan sebagainya yang biasa digunakan di dapur)
peso rajang = peso paranti ngeureut bako (pisau untuk memotong)
bedog = paranti ngadeh (alat yang biasa digunakan untuk memangkas tanaman, misalnya di hutan)
arit = paranti ngala jukut (alat untuk memotong rumput)
silet = paranti ngurud janggot (untuk mencukur jenggot)

Kemudian diajarkan permainan tradisional "PACIWIT-CIWIT LUTUNG" yang diiringi dengan lagu.


Pelajaran 3

Pelajaran ini memperkenalkan nama-nama satwa berikut habitatnya (hutan dan desa) serta kepedulian terhadap ancaman kelestariannya, di antaranya burung (halaman 26-27). 

Bangsa manuk mah geus langka,
aya oge piit, galejra, jeung bondol.
Kitu oge kari saeutik,
da eta sok diboro jeung dibedilan.
Padahal sato teh loba mangpaatna
keur kahirupan jalma.
Lamun kabeh sato geus beak,
jalma oge bakal susah. 

Jenis burung sudah langka, 
ada juga burung pipit dan burung gereja.
Itu pun tinggal sedikit,
karena sering diburu dan ditembaki.
Padahal satwa banyak manfaatnya
bagi kehidupan manusia.
Kalau semua satwa sudah habis, 
manusia juga yang akan susah.

Kemudian ada pengajaran istilah yang berkaitan dengan satwa, pastinya. Di antara istilah tersebut ada yang berupa onomatope, yang menirukan suara atau gerakan satwa yang bersangkutan. 

anjing ngagogog
hayam jago kongkorongok
maung ngagaur
kukupu gegeleberan
embe ngaberele
kuda ngabret
manuk hiber
oray ngaleor

Kemudian diajarkan lagu berbahasa Sunda, "TRANG TRANG KOLENTRANG".


Pelajaran 4

Dalam pelajaran ini ada kosakata aktivitas, benda, dan keadaan yang berkaitan dengan merawat kebersihan gigi. Ada pula pengenalan beberapa anggota badan.

huntu = gigi
pipi = pipi
letah = lidah
ceuli = telinga

Pelajaran ini ditutup dengan lirik pupuh "magatru".

Selasa, 04 Juli 2023

Antologi Cerpen Kota yang Akan Dihapus dari Ingatan RBCL batch #9 NAD

Mentor dan editor: Kurnia Effendi
Para penulis : Agusanna Ernest, Briantono Raharjo, Dhian Mutiara, Dia Nana, Esti Pasaribu, Hadi S. Abdullah, Iin Andini, Ika Lestari Rahayu, Intan Rahma, Irene Tan, Ivy Sudjana, Jenny Seputro, Lilis Tr, Mikawati, Rahma Syukriah Sy, Rumadi
QRCBN : 62-1173-1992-308
Cetakan pertama : Desember 2022
Penerbit : Voila -- Nakara Aksara Dunia

RBCL adalah Ruang Belajar Cerpen Lanjutan, kelas yang diadakan komunitas NAD atau Nulis Aja Dulu. Sebetulnya saya bergabung dengan komunitas ini di Facebook, atas dorongan seseorang yang kenal dengan seseorang di sana dan kebetulan kami sama-sama kenal dengan seseorang lainnya di sana dan juga ada seseorang lainnya lagi yang saya kenal dari komunitas lainnya lagi. Cuma kemudian saya tidak buka Facebook lagi, di samping masih kepayahan untuk kembali menetapkan rutin mengarang fiksi, sehingga saya tidak mengikuti perkembangannya. Tahu-tahu ada seseorang lainnya lagi-lagi yang saya kenal dari komunitas lainnya lagi itu yang juga bergabung dengan NAD dan mengikuti RBCL batch #9 ini sehingga ada cerpennya yang termuat dalam antologi ini. Karena itulah saya dapat memperoleh pinjaman buku ini. Melihat nama-nama penulis, ternyata ada seseorang lainnya lagi-lagi-lagi yang sepertinya pernah satu SMA dengan saya. Ah, seperti kata papa saya, dunia tidak selebar celana kolor.

Sebelum masuk ke kumpulan cerita, ada dua pengantar. Yang pertama dari mentor dan editor Kurnia Effendi. Yang kedua sepertinya dari Admin NAD yang memberikan gambaran mengenai latar diadakannya ajang ini serta tema kumpulan cerita. Akan ada 16 peserta yang masing-masing menulis cerita sepanjang 2.000-3.000 kata. Pengantar ini dikemas secara begitu imajinatif sehingga saya baru agak-agak menangkap maksudnya setelah membaca cerita pertama. 

Cerita-cerita dalam buku ini menggunakan latar yang sudah ditentukan, yaitu sebuah kota fantasi, yang untuk mencapainya peserta menumpang kereta magenta mewah dan harus menghabiskan tiga hari di sana. Dari situ mereka mesti mengembangkan imajinasinya sendiri-sendiri. Banyak cerita dalam buku ini menggunakan unsur-unsur yang serupa, seperti informasi bahwa kota ini memiliki beberapa jalur, ada kafe, kantor walikota, asrama, toko buku, peramal tarot, sepasang perempuan kembar pianis-penari, dan seterusnya. Walaupun ada kesamaan unsur, peserta bebas mengimprovisasinya. Misalkan, penunggu toko buku pada satu cerita adalah nenek-nenek sedangkan di cerita lain seorang pemuda pucat tampan. Tidak mesti sinkron. Selain itu, ada beberapa penulis yang melibatkan sebagian atau bahkan semua peserta lain sebagai tokoh pendukung atau figuran dalam ceritanya. 

Ada pula beberapa cerita yang tampak asyik sendiri, maksudnya tidak mesti menggunakan semua unsur tersebut. Contohnya "Serangga-serangga Kertas" oleh Briantono Raharjo. Bahkan nama kotanya pun ia ganti menjadi "Botoljayus" ketimbang "Kota-Yang-Akan-Kalian-Ceritakan" yang jadinya tampak kepanjangan itu. Tidak ada peramal tarot, maupun si kembar pianis-penari; hanya kereta magenta, kepala stasiun, masinis, kafe (ya, ini mesti ada karena di mana lagi mau mengisi perut?) yang tetap ada. Baru di cerita ini juga (padahal letaknya belakangan) saya menemukan suatu pikiran yang sangat realistis, yaitu mencukupkan uang yang tersisa untuk bertahan hidup tiga hari. Bukannya di cerita-cerita sebelumnya tidak ada problem yang sangat realistis sih, cuma di antara yang realistis itulah yang paling realistis wkwkw. Cerita berikutnya, "Drei Nachte, A City Lost in Time" oleh Irene Tan, malah mengambil Eropa abad pertengahan, khususnya Jerman, sebagai rujukan untuk latar. Unsur-unsur yang khas tema kumpulan cerita ini baru disebutkannya belakangan.

Banyak cerita dalam kumpulan ini yang tampak mirip dengan satu sama lain atau membentuk pola tertentu (walaupun bagaimana mengisinya tentu saja berbeda-beda). 
- Cerita terasa wishful thinking atau bertujuan untuk menerbitkan kesan feel good. Biasanya tokoh tengah dirundung problem tertentu sebelum berangkat dan di kota ini seperti mendapatkan pencerahan. 
- Cerita diawali dengan penyesuaian peserta yang baru tiba di kota itu, bertemu tokoh lain penduduk sana, yang memantik terjadinya suatu aksi entahkah petualangan, dikejar penjahat, misteri, romance (so pasti ...), dan sebagainya, yang semua itu mesti diselesaikan dalam tiga hari dan berakhir dengan kembali ke kereta. Meskipun ada juga beberapa di antaranya yang tidak kembali, entah atas keputusan sendiri atau terjebak.

Tentunya, ada cerita-cerita yang lain dari yang lain di antaranya adalah "Peonies and the Knight" oleh Mikawati. Dengan gaya penyampaian yang santai, sederhana, tenang, dan lembut, cerita ini mengusung kuasa gelap yang mengambil jiwa hampa secara bertahap. Karena ketentuannya adalah segala ingatan mengenai kota ini akan lenyap setelah tiga hari, baru di cerita ini saya menemukan ide untuk merekam segala hal di situ supaya tidak terlupakan. Walaupun, pada akhirnya cerita mesti ditutup secara ironis.

Kesan umum yang saya dapat dari kumpulan cerita ini adalah: dreamy (: like a dream in mood or nature; lacking spirit or liveliness). Dalam gaya penyampaian, banyak yang bahasanya sederhana dan lurus-lurus saja. (Satu cerita yang bahasanya relatif bergaya adalah "Retret Pascaputus" oleh Hadi S. Abdullah, tapi isinya masih ringan.) Beberapa cerita tampak mengandung inside jokes atau hal lain yang mungkin hanya dipahami atau menarik bagi kalangan NAD sendiri.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain