Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia. |
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
ISBN : 978-979-461-976-6
Edisi pertama, November 2015
Pertama-tama, izinkan saya berkeluh kesah mengenai masalah teknis pada buku ini.
Ukuran hurufnya kekecilan buat saya, tapi kalau dibesarkan, buku ini bakal ketebalan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman saja sudah membuat buku ini tampak tebal.
Sudah begitu, caranya menguraikan dan merumuskan gagasan-gagasan banyak yang kurang efektif, menggunakan kalimat-kalimat panjang bertele-tele bahkan tidak logis, membuat saya merasa capek, kesal, stres saat membacanya, dan sedih mengingat jumlah uang yang dikeluarkan untuk membelinya padahal bertahun-tahun kemudian di Ipusnas ada--gratis T_T
diadakan apa???? |
Kendati disertai rujukan ke dalil ini atau data itu, kesan yang timbul alih-alih ilmiah malah sambatan belaka. Jadi, supaya tidak merasa teramat rugi, saya mesti menganggap sambatan dalam buku ini sebagai sambatan saya sendiri yang dituliskan orang lain dan dibukukan. Toh gagasan-gagasannya--yang berhasil tertangkap oleh saya dari kekacauan cara penyampaiannya itu--memang menjadi perhatian saya juga.
Buku ini pun mestilah menjadi "pelajaran" bagi saya yang sendirinya asal-asalan saja dalam menulis. Bagaimanapun, menulis yang benar-benar baik itu proses yang sulit dan lama. Namun, mengutarakan gagasan secara serampangan saja, terlebih sampai dicetak dalam sebentuk buku yang dijual dengan harga lumayan, tidak saja menyiksa dan merugikan pembaca, tetapi juga membuang-buang kertas yang padahal untuk memproduksinya harus menebang pohon yang berarti memusnahkan satu kehidupan, dan jadi ironis apabila buku tersebut isinya menyerukan kepedulian pada lingkungan hidup.
Kedua, izinkan saya mencurahkan sambatan saya sendiri mengenai persoalan lingkungan hidup yang terpantik selama membaca buku ini. Terlepas dari penulisannya yang bikin frustrasi dalam membacanya, buku ini sesungguhnya memuat ide yang bagus dan penting, di antaranya bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kualitas keimanan kita sendiri, kotornya lingkungan menunjukkan kotornya hati, kemudian menjabarkan perilaku apa saja yang tampak lazim padahal sesungguhnya mencemari.
Menyambung buku Konservasi Alam dalam Islam, yang diangkat pula dalam buku ini, dalam Al-Qur'an dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk sehubungan dengan alam. Dalam Al-Qur'an, misalnya, terdapat cerita tentang Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan hewan, tentang Nabi Nuh yang memasukkan hewan sepasang-sepasang ke dalam bahtera, hingga tentang kaum-kaum terdahulu dengan kemampuan membangun yang hebat (di antaranya memahat gunung-gunung jadi rumah) tetapi kemudian dimusnahkan entahkah oleh banjir bandang, hujan batu, atau ledakan gunung berapi--unsur-unsur alam, sehingga seolah-olah alam membalas dendam atau merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia.
Al-Qur'an juga mengisyaratkan agar manusia memperhatikan kebesaran alam yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengenal Allah. Begitu pentingnya alam, yang terlebih dahulu diciptakan daripada manusia, menjadi perantaraan bagi manusia untuk dapat terhubung dengan Tuhan, senior bagi manusia tetapi juga lebih rendah hati sebab menolak untuk dilimpahi peran yang kemudian diambil manusia, dan apakah kemudian yang dilakukan oleh si newbie nan bodoh dan zalim ini? Dia lupa diri. Sekian lama bergulat dengan alam, pada suatu masa dia berhasil menaklukkannya, menggantikannya dengan produk-produk rekayasanya sendiri, sehingga anak keturunannya tidak saja terputus keterhubungannya dengan alam, tetapi juga dengan Tuhan.
Kemudian ada hadis-hadis yang salah satunya menyatakan bahwa muslim berserikat dalam sumber-sumber daya alam. Apakah berarti air dan sebagainya itu sesungguhnya haram untuk diperjualbelikan? Apakah tidak semestinya orang mematok tanah dan mengeklaimnya sebagai milik pribadi? Bagaimanakah persisnya penerapan itu dalam konteks sekarang? Bagaimanakah itu akan diterapkan jika pemerintahan Islam benar-benar ditegakkan? Namun, gagasan akan "pemerintahan Islam" umumnya membuat orang ngeri, termasuk orang yang mengaku sebagai muslim. Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim justru kacau balau pemerintahannya. Ada pula yang menjadi makmur setelah menguras sumber daya alam yang mereka miliki, padahal itu tak terbarukan (lain ceritanya kalau dinosaurus masih hidup dan dapat dibudidayakan).
Maka bicara tentang bagaimana alam beserta lingkungan hidup semestinya dikelola dalam konteks luas bagi saya yang awam ini masih perkara memusingkan. Memang semestinya setiap kalangan bekerja sama serempak, tetapi hanya mempersoalkan pemerintah harus begini, pengusaha harus begitu, tampak seperti omong kosong di luar kendali pribadi. Saya sendiri hanya bisa memikirkan sebatas yang bisa saya lakukan sebagai individu, syukur-syukur bisa memengaruhi orang di sekitar. Malah makin banyak orang yang berpikiran dan bertindak demikian, lambat laut bisa menjadi aksi kolektif. Solusi individual itu sedikitnya ada dua:
1) tazkiyatunnafs atau introspeksi jiwa secara berkala, sebab alam dirusak, hutan ditebang, hewan dibunuh, adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang pada taraf ini tidak sekadar untuk yang mendasar tetapi terus memperturutkan nafsu yang bertambah-tambah, tak bisa cukup dengan kehidupan sederhana yang membosankan, menyusahkan, lagi dianggap terbelakang, kendati dengan cara demikian alam terlindungi kelestariannya,
2) ekonomi sirkular skala rumah tangga yang kurang lebih dapat berupa mendaur ulang sampah sendiri sehingga bisa swadaya sampai taraf tertentu, dan mengurangi kebergantungan pada sumber daya alam yang jadi jatah hidupan liar selebihnya.
Kalau solusi individual ini diterapkan oleh setiap orang, kiranya beban pekerjaan konservasi alam atau pemulihan lingkungan hidup dapat berkurang. Toh alam dapat mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Lihat saja waktu COVID-19 ketika giliran manusia dikerangkeng di rumahnya masing-masing, kecuali persoalan sampah yang bertambah banyak (itu pun dampak dari perilakunya sendiri), terdengar bahwa di tempat-tempat wisata alam hewan-hewan pada keluar, kualitas udara pun membaik. Ketimbang mengurus alam, yang perlu dikelola manusia itu justru dirinya sendiri, hawa nafsunya.
Sudah sewajarnya manusia ingin terus "maju". Atau, dari sana-sini--entahkah orang-orang di sekitar atau media sosial--menggempur agar "berkembang", hidup jangan begitu-begitu saja. Namun, kalau memiliki wawasan akan dampak pembangunan terhadap alam sampai serincinya, serta memahami sebabnya Al-Qur'an melarang bermegah-megahan dan Rasulullah pun mencontohkan kesederhanaan, hidup jadi dijalani dengan guilty pleasure, serbasalah. Di balik kemajuan umat manusia, ada pengorbanan alam semesta. Alam sebagai "kakak" daripada manusia banyak mengalah, tapi sewaktu-waktu dapat mengamuk untuk mengambil kembali haknya melalui bencana-bencana. Sudah sepantasnya manusia beristigfar seratus kali sehari--tidak, malah semestinya setiap saat.
Islam memang menganjurkan untuk kaya. Agar dapat menunaikan rukun Islam yang keempat dan kelima, orang perlu memiliki sejumlah kekayaan. Belum lagi perintah untuk banyak bersedekah, menafkahkan harta di jalan Allah. Hanya saja, kekayaan itu diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Untuk memiliki emas batangan saja, prosesnya mungkin memerlukan merkuri yang limbahnya berbahaya bagi lingkungan. Untuk membangun rumah megah lagi estetik, pohon-pohon ditebang, bukit-bukit dihancurkan, pasir dikeruk, dan sebagainya, untuk memperoleh materialnya. Untuk membangun perumahan sederhana saja menurut standar sekarang, berapa banyak makhluk lain yang terampas hak hidupnya sebab tanah tempatnya bertumbuh telah dilapisi beton? Agaknya untuk menjadi "kaya" dalam pengertian materialistis, memang tak terhindarkan cara-cara kotor dan zalim pada makhluk lain, sehingga harus berzakat, bersedekah banyak-banyak, untuk menyucikannya.
Islam juga menganjurkan untuk menikah dan beranak pinak (sunah), tetapi perlu diperhatikan pula bahwa dalam Al-Qur'an pernyataan jangan berbuat kerusakan di muka bumi itu bernada imperatif (wajib). Maka rasa-rasanya ada yang tidak sinkron apabila orang melakukan sunah menikah dan beranak-pinak tapi melalaikan yang wajib karena sebagai dampaknya, salah satunya, jadi menghasilkan lebih banyak limbah tanpa sanggup bertanggung jawab atas itu. Ingatlah ayat yang pertama-tama diturunkan, Bacalah dengan nama Tuhanmu: apakah layak membesarkan anak dalam lingkungan yang cemar, dengan sumber daya alam yang kian terbatas saja untuk mereka bertahan hidup kelak? Sepertinya, AMDAL diperlukan buka hanya dalam membangun bangunan atau proyek-proyek material semacam itu, melainkan juga dalam membangun rumah tangga!
Andaikata setiap manusia dapat mengendalikan hawa nafsu, selain tidak harus bersusah payah memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkannya sendiri, pemandangan kemiskinan pun tidak perlu ada, sebab apabila diberikan kelebihan rezeki lebih suka membaginya dengan yang kekurangan ketimbang memperkaya diri. Namun, tampaknya sudah sunatullah kebanyakan manusia ditaklukkan hawa nafsu sehingga pemandangan kerusakan dan kemiskinan itu senantiasa ada.
Sudah keniscayaan pula bahwa untuk dapat membangun, ada yang perlu dihancurkan terlebih dahulu. Contoh simpelnya, untuk dapat memperoleh kompos, sampah organik perlu diurai terlebih dahulu. Untuk dapat membangun peradaban, alam perlu disingkirkan. Untuk dapat membangun pribadi yang baik, ego perlu dirobohkan.
Sudah ah sambatannya, mau lanjut belajar bagaimana persisnya manusia harus memajukan diri tanpa berbuat kerusakan di muka bumi. Mungkinkah kemajuan yang semestinya dituju itu lebih dalam hal spiritual daripada material?