Jumat, 20 Desember 2024

Masuk Surga Karena Memungut Sampah

Gambar dari situs web
Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
Penulis : Bahagia, SP., MSc.
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
ISBN : 978-979-461-976-6
Edisi pertama, November 2015

Pertama-tama, izinkan saya berkeluh kesah mengenai masalah teknis pada buku ini. 

Ukuran hurufnya kekecilan buat saya, tapi kalau dibesarkan, buku ini bakal ketebalan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman saja sudah membuat buku ini tampak tebal. 

Sudah begitu, caranya menguraikan dan merumuskan gagasan-gagasan banyak yang kurang efektif, menggunakan kalimat-kalimat panjang bertele-tele bahkan tidak logis, membuat saya merasa capek, kesal, stres saat membacanya, dan sedih mengingat jumlah uang yang dikeluarkan untuk membelinya padahal bertahun-tahun kemudian di Ipusnas ada--gratis T_T 

Menjaga kebersihan lingkungan dapat dikategorikan sebagai dosa??? 

diadakan apa????

Kendati disertai rujukan ke dalil ini atau data itu, kesan yang timbul alih-alih ilmiah malah sambatan belaka. Jadi, supaya tidak merasa teramat rugi, saya mesti menganggap sambatan dalam buku ini sebagai sambatan saya sendiri yang dituliskan orang lain dan dibukukan. Toh gagasan-gagasannya--yang berhasil tertangkap oleh saya dari kekacauan cara penyampaiannya itu--memang menjadi perhatian saya juga. 

Buku ini pun mestilah menjadi "pelajaran" bagi saya yang sendirinya asal-asalan saja dalam menulis. Bagaimanapun, menulis yang benar-benar baik itu proses yang sulit dan lama. Namun, mengutarakan gagasan secara serampangan saja, terlebih sampai dicetak dalam sebentuk buku yang dijual dengan harga lumayan, tidak saja menyiksa dan merugikan pembaca, tetapi juga membuang-buang kertas yang padahal untuk memproduksinya harus menebang pohon yang berarti memusnahkan satu kehidupan, dan jadi ironis apabila buku tersebut isinya menyerukan kepedulian pada lingkungan hidup.

Kedua, izinkan saya mencurahkan sambatan saya sendiri mengenai persoalan lingkungan hidup yang terpantik selama membaca buku ini. Terlepas dari penulisannya yang bikin frustrasi dalam membacanya, buku ini sesungguhnya memuat ide yang bagus dan penting, di antaranya bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kualitas keimanan kita sendiri, kotornya lingkungan menunjukkan kotornya hati, kemudian menjabarkan perilaku apa saja yang tampak lazim padahal sesungguhnya mencemari. 

Menyambung buku Konservasi Alam dalam Islam, yang diangkat pula dalam buku ini, dalam Al-Qur'an dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk sehubungan dengan alam. Dalam Al-Qur'an, misalnya, terdapat cerita tentang Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan hewan, tentang Nabi Nuh yang memasukkan hewan sepasang-sepasang ke dalam bahtera, hingga tentang kaum-kaum terdahulu dengan kemampuan membangun yang hebat (di antaranya memahat gunung-gunung jadi rumah) tetapi kemudian dimusnahkan entahkah oleh banjir bandang, hujan batu, atau ledakan gunung berapi--unsur-unsur alam, sehingga seolah-olah alam membalas dendam atau merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia. 

Al-Qur'an juga mengisyaratkan agar manusia memperhatikan kebesaran alam yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengenal Allah. Begitu pentingnya alam, yang terlebih dahulu diciptakan daripada manusia, menjadi perantaraan bagi manusia untuk dapat terhubung dengan Tuhan, senior bagi manusia tetapi juga lebih rendah hati sebab menolak untuk dilimpahi peran yang kemudian diambil manusia, dan apakah kemudian yang dilakukan oleh si newbie nan bodoh dan zalim ini? Dia lupa diri. Sekian lama bergulat dengan alam, pada suatu masa dia berhasil menaklukkannya, menggantikannya dengan produk-produk rekayasanya sendiri, sehingga anak keturunannya tidak saja terputus keterhubungannya dengan alam, tetapi juga dengan Tuhan. 

Kemudian ada hadis-hadis yang salah satunya menyatakan bahwa muslim berserikat dalam sumber-sumber daya alam. Apakah berarti air dan sebagainya itu sesungguhnya haram untuk diperjualbelikan? Apakah tidak semestinya orang mematok tanah dan mengeklaimnya sebagai milik pribadi? Bagaimanakah persisnya penerapan itu dalam konteks sekarang? Bagaimanakah itu akan diterapkan jika pemerintahan Islam benar-benar ditegakkan? Namun, gagasan akan "pemerintahan Islam" umumnya membuat orang ngeri, termasuk orang yang mengaku sebagai muslim. Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim justru kacau balau pemerintahannya. Ada pula yang menjadi makmur setelah menguras sumber daya alam yang mereka miliki, padahal itu tak terbarukan (lain ceritanya kalau dinosaurus masih hidup dan dapat dibudidayakan).

Maka bicara tentang bagaimana alam beserta lingkungan hidup semestinya dikelola dalam konteks luas bagi saya yang awam ini masih perkara memusingkan. Memang semestinya setiap kalangan bekerja sama serempak, tetapi hanya mempersoalkan pemerintah harus begini, pengusaha harus begitu, tampak seperti omong kosong di luar kendali pribadi.  Saya sendiri hanya bisa memikirkan sebatas yang bisa saya lakukan sebagai individu, syukur-syukur bisa memengaruhi orang di sekitar. Malah makin banyak orang yang berpikiran dan bertindak demikian, lambat laut bisa menjadi aksi kolektif. Solusi individual itu sedikitnya ada dua: 

1) tazkiyatunnafs atau introspeksi jiwa secara berkala, sebab alam dirusak, hutan ditebang, hewan dibunuh, adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang pada taraf ini tidak sekadar untuk yang mendasar tetapi terus memperturutkan nafsu yang bertambah-tambah, tak bisa cukup dengan kehidupan sederhana yang membosankan, menyusahkan, lagi dianggap terbelakang, kendati dengan cara demikian alam terlindungi kelestariannya,

2) ekonomi sirkular skala rumah tangga yang kurang lebih dapat berupa mendaur ulang sampah sendiri sehingga bisa swadaya sampai taraf tertentu, dan mengurangi kebergantungan pada sumber daya alam yang jadi jatah hidupan liar selebihnya.

Kalau solusi individual ini diterapkan oleh setiap orang, kiranya beban pekerjaan konservasi alam atau pemulihan lingkungan hidup dapat berkurang. Toh alam dapat mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Lihat saja waktu COVID-19 ketika giliran manusia dikerangkeng di rumahnya masing-masing, kecuali persoalan sampah yang bertambah banyak (itu pun dampak dari perilakunya sendiri), terdengar bahwa di tempat-tempat wisata alam hewan-hewan pada keluar, kualitas udara pun membaik. Ketimbang mengurus alam, yang perlu dikelola manusia itu justru dirinya sendiri, hawa nafsunya. 

Sudah sewajarnya manusia ingin terus "maju". Atau, dari sana-sini--entahkah orang-orang di sekitar atau media sosial--menggempur agar "berkembang", hidup jangan begitu-begitu saja. Namun, kalau memiliki wawasan akan dampak pembangunan terhadap alam sampai serincinya, serta memahami sebabnya Al-Qur'an melarang bermegah-megahan dan Rasulullah pun mencontohkan kesederhanaan, hidup jadi dijalani dengan guilty pleasure, serbasalah. Di balik kemajuan umat manusia, ada pengorbanan alam semesta. Alam sebagai "kakak" daripada manusia banyak mengalah, tapi sewaktu-waktu dapat mengamuk untuk mengambil kembali haknya melalui bencana-bencana. Sudah sepantasnya manusia beristigfar seratus kali sehari--tidak, malah semestinya setiap saat.

Islam memang menganjurkan untuk kaya. Agar dapat menunaikan rukun Islam yang keempat dan kelima, orang perlu memiliki sejumlah kekayaan. Belum lagi perintah untuk banyak bersedekah, menafkahkan harta di jalan Allah. Hanya saja, kekayaan itu diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Untuk memiliki emas batangan saja, prosesnya mungkin memerlukan merkuri yang limbahnya berbahaya bagi lingkungan. Untuk membangun rumah megah lagi estetik, pohon-pohon ditebang, bukit-bukit dihancurkan, pasir dikeruk, dan sebagainya, untuk memperoleh materialnya. Untuk membangun perumahan sederhana saja menurut standar sekarang, berapa banyak makhluk lain yang terampas hak hidupnya sebab tanah tempatnya bertumbuh telah dilapisi beton? Agaknya untuk menjadi "kaya" dalam pengertian materialistis, memang tak terhindarkan cara-cara kotor dan zalim pada makhluk lain, sehingga harus berzakat, bersedekah banyak-banyak, untuk menyucikannya.

Islam juga menganjurkan untuk menikah dan beranak pinak (sunah), tetapi perlu diperhatikan pula bahwa dalam Al-Qur'an pernyataan jangan berbuat kerusakan di muka bumi itu bernada imperatif (wajib). Maka rasa-rasanya ada yang tidak sinkron apabila orang melakukan sunah menikah dan beranak-pinak tapi melalaikan yang wajib karena sebagai dampaknya, salah satunya, jadi menghasilkan lebih banyak limbah tanpa sanggup bertanggung jawab atas itu. Ingatlah ayat yang pertama-tama diturunkan, Bacalah dengan nama Tuhanmu: apakah layak membesarkan anak dalam lingkungan yang cemar, dengan sumber daya alam yang kian terbatas saja untuk mereka bertahan hidup kelak? Sepertinya, AMDAL diperlukan buka hanya dalam membangun bangunan atau proyek-proyek material semacam itu, melainkan juga dalam membangun rumah tangga! 

Andaikata setiap manusia dapat mengendalikan hawa nafsu, selain tidak harus bersusah payah memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkannya sendiri, pemandangan kemiskinan pun tidak perlu ada, sebab apabila diberikan kelebihan rezeki lebih suka membaginya dengan yang kekurangan ketimbang memperkaya diri. Namun, tampaknya sudah sunatullah kebanyakan manusia ditaklukkan hawa nafsu sehingga pemandangan kerusakan dan kemiskinan itu senantiasa ada. 

Sudah keniscayaan pula bahwa untuk dapat membangun, ada yang perlu dihancurkan terlebih dahulu. Contoh simpelnya, untuk dapat memperoleh kompos, sampah organik perlu diurai terlebih dahulu. Untuk dapat membangun peradaban, alam perlu disingkirkan. Untuk dapat membangun pribadi yang baik, ego perlu dirobohkan. 

Sudah ah sambatannya, mau lanjut belajar bagaimana persisnya manusia harus memajukan diri tanpa berbuat kerusakan di muka bumi. Mungkinkah kemajuan yang semestinya dituju itu lebih dalam hal spiritual daripada material?

Kamis, 19 Desember 2024

Perkenalan dengan Orwell

Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di rumah, saya membacanya, Apa sih ini, mengembalikannya tanpa menamatkannya. Maklum, waktu SMA, jiwa remaja saya masih sarat warna-warni teenlit (sampai sekarang sih). Ketika itu saya baru memulai pembacaan karya sastra yang dianggap "serius", dan baru dapat terkesan oleh puisi-puisi Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.

Masa kuliah saya punya sendiri buku 1984 itu. Berbeda dengan yang saya temukan di perpustakaan SMA, yang kovernya berlatar kemerahan, kali ini berlatar abu-abu dengan gambar close up kepala merah yang bagian lehernya ber-barcode, sepertinya terbitan Bentang. Mungkin maksudnya mau melanjutkan pembacaan waktu SMA, tapi tidak kunjung terlaksana. Waktu itu pun tampaknya buku tersebut terbilang langka, belum ada yang mencetak ulang. Sebab, mengetahui saya punya buku itu, seorang kenalan sangat menginginkannya sampai menawarkan barter segala. Merasa sesungguhnya buku itu berharga, awalnya, saya tidak berkenan melepaskannya. Namun, pada akhir masa kuliah, saya mengalami periode ingin-bermurah-hati, sehingga melepaskan buku itu begitu saja kepada si kenalan, walau sepertinya masih agak kurang rela juga (bagaimana sih???).

Bertahun-tahun kemudian, buku itu kembali hadir di lemari rumah. Kali ini yang kovernya kehijauan, sepertinya adik yang membelinya. 

Seakan-akan, takdir berkali-kali menyorongkan novel ini ke muka saya agar membacanya, tapi sampai waktu menulis ini, saya masih, "Entar dulu ah!"

Ada satu lagi karya Orwell yang telah hadir di rumah, yaitu Animal Farm yang kovernya pink bermuka babi itu. Karena ceritanya menyerupai fabel dan bukunya lebih tipis pula, yang ini tampak lebih ringan daripada yang satunya. Saya sudah membacanya sampai tamat, kira-kira pada 2015 atau 2016, tapi ketika itu saya sedang tidak hendak menulis catatan. Yang bisa saya ingat hanya kesan saya pada buku itu positif: bagus, menggugah, semacam itu.

Gambar dari situs web Kakatua.
Karena karya Orwell akan dibahas di klub buku, barulah saya tergerak lagi untuk mencari. Karya tersebut adalah buku kumpulan esai Mengapa Saya Menulis terbitan Kakatua, 2023. Buku ini dapat dibaca di aplikasi Baca Kakatua. Menurut situs web Kakatua, buku ini memuat sepilihan esai yang diterjemahkan dari judul-judul berikut:

Why I Write
Books v. Cigarettes
Good Bad Books
Confessions of a Book Reviewer
Bookshop Memories
Literature and Totalitarianism
Politics and the English Language
Notes on Nationalism
My Country Right or Left
Shooting an Elephant
How the Poor Die
A Hanging
A Nice Cup o Tea

Esai-esai bagian awal berkenaan dengan kepengarangan Orwell ("Why I Write") beserta ihwal perbukuan yang digulatinya ("Books v. Cigarettes", "Good Bad Books"). Selain menjadi pengarang, Orwell pernah bekerja sebagai peresensi buku ("Confessions of a Book Reviewer") dan pegawai toko buku ("Bookshop Memories"). Karena saya juga pernah suka mengarang fiksi, me-review buku, dan sempat sesekali menjaga toko buku, selain itu lebih banyak berekreasi lewat buku daripada secara fisik yang kemungkinan bakal menghabiskan lebih banyak uang, termasuk pembaca karangan yang kiranya tergolong ke dalam "good bad books", serta meminjamkan buku-buku kepada orang-orang yang entah apakah akan dikembalikan, saya merasa dapat mengaitkan diri dengan yang diungkapkan Orwell dalam esai-esai ini, walaupun tentunya pengalaman saya tak sampai setaraf beliau.

Esai-esai bagian tengah, yaitu "Literature and Totalitarianism", "Politics and the English Language", "Notes on Nationalism", "My Country Right of Left", merambah ke ranah politik, yang tidak begitu saya minati. (Mungkin ini sebabnya saya tidak segera tergerak untuk membaca 1984 :v)

Esai-esai berikutnya, "Shooting an Elephant", "How the Poor Die", serta "A Hanging", menceritakan pengalaman Orwell semasa menjadi polisi imperial di Burma. Hal ini mengingatkan pada Multatuli, pengarang Max Havelaar. Keduanya memiliki beberapa kesamaan: pria kulit putih Eropa, pernah bekerja sebagai pegawai kolonial di kawasan Asia Tenggara dan tidak betah, kemudian pulang ke kampung halaman dan menuliskan pengalamannya itu. Semuanya esai yang menyentuh, kiranya dapat dikatakan sebagai contoh karya creative nonfiction, yang menghidupkan kembali suatu peristiwa nyata dengan detail, dialog, dan sebagainya, hingga memberikan efek kepada pembaca seolah-olah turut menyaksikan atau mengalami. 

Soal yang dikemukakan dalam "How the Poor Die" menimbulkan paling banyak reaksi dalam perbincangan di klub. Sewaktu-waktu kita mesti berurusan dengan rumah sakit, entahkah sebagai pendamping atau pasien itu sendiri. Namun, dalam keadaan yang boleh dikata sedang kurang menguntungkan itu, kita tidak selalu mendapatkan pelayanan yang baik. Tidak semua tenaga kesehatan bekerja dengan hati. Atau, memang sifat dari pekerjaan itu memerlukan atau menjadikan orang keras hati.

Esai penutup, "A Nice Cup of Tea", memberikan petunjuk menyeduh teh yang sedap. Ternyata ada serangkaian langkah untuk mendapatkan efek dan kenikmatan maksimal dari secangkir teh, agar menjadi lebih bijaksana, berani, dan optimistis setelah meminumnya. Yang perlu diperhatikan mulai dari sumber teh, bahan teko, cara memperlakukan teko, kondisi air, sampai perkara mencampurkan susu yang sudah kayak pertentangan bubur ayam diaduk vs kagak kalau di kita mah. Sementara itu yang saya tahu sebagai keturunan Jawa di tanah Sunda hanyalah teh nasgitel vs teh tawar encer. 

Mengenai esai jenis instruksional, selain "A Nice Cup of Tea", "Politics and the English Language" juga mengandung beberapa poin petunjuk praktis menulis. Walaupun klise, petunjuk-petunjuk ini banyak diabaikan sehingga menggusarkan pemerhati bahasa.

Di samping kumpulan esai terpilih ini, aplikasi Baca Kakatua menyediakan buku-buku Orwell lainnya. Buku-buku Orwell juga bisa dibaca di aplikasi Gramedia Digital dan Ipusnas. Di Ipusnas yang gratis itu ada buku-buku Orwell terbitan Diva Press dan Gramedia, tapi terakhir kali saya cek, semuanya lagi dalam antrean dong. Apa Orwell lagi populer?

Beberapa kutipan yang kena:
"It is his job, no doubt, to discipline his temperament and avoid getting stuck at some immature stage, or in some perverse mood: but if he escapes from his early influence altogether, he will have killed his impulse to write." ("Why I Write", 1946)
"After the age of about thirty they abandon individual ambition--in many cases, indeed, they almost abandon the sense of being individuals at all--and live chiefly for others, or are simply smothered under drudgery." ("Why I Write", 1946)
".... 'I don't want short stories', or 'I do not desire little stories' .... they sometimes explain that it is too much fag to get used to a new set of characters with every story, they like to 'get into' a novel which demands no further thought after the first chapter." ("Bookshop Memories", 1936)
"People talk about the horrors of war, but what weapon has a man invented that even approaches in cruelty some of the commoner diseases? 'Natural' death, almost by definition, means something slow, smelly and painful." ("How the Poor Die", 1946)

Senin, 16 Desember 2024

Mati Satu, Muncul Seribu

Setelah Napster mati, penyedia program pertukaran dokumen musik bermunculan. Industri rekaman kewalahan.

GAJAH mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Napster tutup? Penyedia layanan pertukaran dokumen musik ini meninggalkan sekitar 20 juta pengguna. Selama tiga tahun beroperasi, situs yang didirikan Shawn Fawning itu bagaikan surga bagi para penggemar musik. Di situ mereka dengan gampang bisa saling tukar dokumen musik dengan pengakses lainnya. Punya satu bisa mendapat seribu.

Terang, pesta itu membuat para bos industri rekaman di Amerika Serikat berang. Tergabung dalam Recording Industry Association of America (RIAA), mereka lalu menghantamnya dengan tuduhan mematikan: penyebar wabah pelanggaran hak cipta.

Tukar-menukar dokumen musik identik dengan penggandaan. Ini menabrak pasal dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual. Setelah melewati proses hukum yang panjang, pengadilan federal akhirnya melarang Napster beroperasi lagi. Dan sejak akhir Juli lalu, situs kondang itu benar-benar tutup layar.

Selesai? Belum. Tak lama kemudian, bermunculan situs sejenis dengan layanan berbeda-beda. Malah tiga situs paling populer saat ini, Kazaa, Grokster, dan Morpheus, diminati lebih banyak orang. Totalnya sekitar 70 juga pengguna aktif. Ketiga situs itu hampir sama dengan Napster, hanya teknologinya lebih canggih, sehingga secara hukum sulit dijegal. Mereka tak hanya menyediakan layanan tukar-menukar dokumen musik, tapi juga videogame, foto, program aplikasi, dan film layar lebar yang sedang diputar di bioskop. Semua kenikmatan tersebut bisa didapat secara gratis.

Pengurus RIAA, yang mewakili delapan raksasa industri rekaman, pun gerah lagi. Demikian pula asosiasi perfilman Amerika (MPA), yang mewakili 19 studio. Munculnya situs pengganti Napster membuat angka penjualan cakram padat (CD) produk mereka di seluruh dunia anjlok lima persen. Sebaliknya, angka penjualan CD kosong meningkat pesat, bahkan untuk pertama kalinya melampaui CD rekaman. 

Mereka lalu menggugat pemilik ketiga situs tersebut. Tuduhannya sama: pelanggaran hak cipta. "Kami tak punya pilihan," kata Cary Sherman, penasihat hukum RIAA, "Kalau kami tidak menggugat, ribuan situs seperti mereka akan terus muncul dan mengganggu bisnis kami."

Hanya, pengelola ketiga situs itu punya argumen kuat. Mereka mengaku tak punya kontrol apa pun pada pemakaian layanan yang mereka sediakan. Pengelola juga tak mengetahui siapa saja yang menggandakan dan menukar dokumen, entah itu lagu milik Eminem, entah resep masakan kalkun panggang ala Seattle, lewat jaringan mereka. Pemilik situs Kazaa, Grokster, dan Morpheus memang agak sulit disalahkan. Soalnya, cara kerja mereka berbeda dengan Napster. Ketiganya mendesentralisasi sistem server-nya. Mereka hanya menyediakan programnya, sedangkan server-nya berupa komputer milik pengakses yang jumlahnya puluhan juta itu. Dulu Napster gampang disalahkan karena menggunakan server sentral yang bisa melacak dan mengontrol transfer dokumen di antara sesama penggunanya.

Gugatan RIAA pun kedodoran. Dalam memo rahasia yang bocor ke mana-mana, tim pengacara lembaga ini terus terang mengakui bahwa gugatan mereka sebetulnya tak sekuat ketika menghadapi Napster. Karena itu, mereka tak yakin bakal memenangkan gugatan.

Secara teknis, sulit juga menghentikan pertukaran dokumen musik atau film lewat program yang disediakan ketiga situs itu. Kata Niklas Zennstrom, pendiri Kazaa, satu-satunya jalan menghentikan pemakaian layanan situsnya adalah memerintahkan agar semua pengakses mematikan program di komputernya. Ini sesuatu yang mustahil.

Kalaupun semua situs ini ditutup karena perintah pengadilan atau alasan lainnya, belasan situs serupa telah siap menggantikannya. Soalnya, "Situs-situs itu sekadar alar," kata seorang penggemar Kazaa kepada majalah Fortune, "Kalau industri rekaman menutup mereka, saya bisa mencari gantinya di tempat lain." Begitu juga para penggemar lainnya. 

Wicaksono



Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002



Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain