Minggu, 21 November 2010

Kate Chopin – The Story of an Hour


Datang kabar bahwa suami Mrs. Mallard meninggal dunia. Sesaat Mrs. Mallard menangis lalu ia menyendiri di kamarnya. Ia menyadari betapa bebas hidupnya kini. Ia merasa akan dapat hidup lebih lama. Ia pun ke luar kamar lagi karena terus menerus dipanggil saudarinya. Selagi menuruni tangga, pintu depan terbuka. Sang suami yang dikatakan telah tiada muncul di sana. Dan, when the doctors came they said she had died of heart diseases—of joy that kills. Semua itu terjadi dalam waktu sejam—kalau menilik judulnya.

Awalnya memang Mrs. Mallard tampak sedih akan kematian suaminya. She wept at once, with sudden, wild abandonment, in her sister’s arms. When the storm of grief had spent itself she went away to her room alone. Jika tak diberitahu apa yang ia alami kemudian di kamarnya, kita mungkin akan mengira kesedihan itu tulus.

Di kamarnya yang nyaman, ia coba lepas dari kelelahan psikis yang membayanginya. Butuh waktu untuk meredakan kekagetan akibat kabar yang mendadak ini. Suasana musim semi yang adem ayem memberi kontribusi terhadap penenangan jiwanya.  Ini tersaji dalam paragraf empat hingga paragraf tujuh, di mana pada paragraf delapan hingga paragraf sepuluh ialah yang mengantarkannya pada ucapannya, “Free, free, free!” hingga “Free! Body and soul free!” she kept whispering.

Mrs. Mallard tampaknya telah mengalami pernikahan yang mengekangnya. And yet she had love him—sometimes. Often she had not. Tak dideskripsikan benar mengapa ia sampai merasa begitu bebas saat mengetahui bahwa suaminya telah tiada. Hanya kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaannya. There would be no one to live for her during those coming years; she would live for herself. Spring days, and summer days, and all sorts of days that would be her own. Atau mungkin karena persepsinya sendiri akan cinta. What could love—the unsolved mystery, count for in face of this possession of self-assertion which she suddenly recognized as the strongest impulse of her being.

(Unhappened) joy that kills, saya kira inilah tema yang pantas bagi cerpen ini. Mrs. Mallard sudah hampir meraih kebahagiannya dengan bayangan akan kebebasannya melalui hari-hari esok sendirian, namun mendadak suaminya tak jadi mati. Kaget karena tak jadi bahagia lebih fatal memberi akibat rupanya. Bukan lagi membuat air mata tercucur, melainkan mematikan. Malang nasibmu, wahai Nyonya… Saya kira akurat saja sang dokter memberi diagnosis bahwa Mrs. Mallard kena serangan jantung.

Atau bisa jadi saya salah tafsir. Mrs. Mallard meninggal bukan karena kaget dua kali, melainkan karena memang saking bersukacitanya ia, sampai-sampai itu membunuhnya. Kebebasan yang membunuh? Barangkali memang Mrs. Mallard sudah punya masalah dengan jantungnya.

Menjadi ironi ketika Mrs. Mallard menyangka hidupnya akan lebih lama karena kematian suaminya itu, she breathed a quick prayer that life might be long, dalam waktu kurang dari sejam kemudian justru suaminya yang masih hidup sementara ia yang menyambut ajal. Maut memang tak bisa diprediksi—sebagaimanapun kita mengharap umur yang panjang.

Pernikahan. Ada yang harus dikorbankan untuk menebusnya, ialah kebebasan. Jika kita ingin menikah, kita harus siap terikat dengan keluarga baru yang akan terbentuk. Dengan suami atau istri. Dengan anak-anak. Kita tak bisa lagi sepenuhnya jadi diri kita. Pasangan hidup mendamba yang terbaik dari kita. Anak-anak membutuhkan teladan dari kita. Keduanya membutuhkan perhatian dari kita. Bagaimanapun menikah adalah cita-cita terbesar saya. Saya mungkin rela melepas kebebasan saya jika itu dapat membuat saya menjadi perempuan yang lebih baik, bagi-Nya.

Saya jadi teringat film “The Painted Veil”. Tokoh utama perempuan justru menikah untuk mendapatkan kebebasannya. Ia ingin lekas lepas dari keluarganya. Namun sebagai istri dari suaminya ternyata malah menggiringnya ke cangkang baru. Ia coba mencari kebebasannya tapi cinta sejati justru muncul dari pengabdian. Semoga saya tak salah tangkap.

Itulah bagaimana jika kebebasan dikaitkan dengan pernikahan. Namun jika kebebasan dikaitkan dengan hal lain, akademis misalnya, kiranya saya akan sukar ikhlas kalau kebebasan saya dari hal itu direnggut. Waktu untuk mengarang diganti waktu untuk mengerjakan laporan misalnya, itu akan jadi suatu ketidakrelaan yang kabur antara mana yang lebih penting, lebih baik, lebih benar untuk diperjuangkan. Seperti lirik yang disajikan Chaseiro dalam lagunya, “Mari Wong”, jauhkanlah dunia berganda/ ke manapun kau pergi/ tak akan sampai…

Ke mana pun kebebasan dicari, tampaknya harus selalu ada yang dikorbankan. Bisa jadi itu kesempatan untuk mengembangkan hal lain, bisa jadi pula itu nyawa.

(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)


Sabtu, 20 November 2010

empat

Rumah Regi juga termasuk oase bagi Zia. Zia senang kala tiba momen di mana ia di sana dan melakukan kegiatan bersama pada suatu petang berhujan. Merajut bersama Regi sambil mengenang betapa Ega di masa SMP-nya bukanlah siapa-siapa, misal. Ternyata Regi merasakan keharuan yang sama. “Nggak nyangka yah, Ega yang dulu culun… Sekarang bisa jadi ketua OSIS gini…” Regi mengusap sudut matanya dengan buku jari. Zia menyedot ingus dan berucap dengan suara tersendat, “Huhu… Iya… Akhirnya selesai juga masa-masa di mana kita harus nutup-nutupin aibnya dia…”

Jemari mereka terus menari seiring dengan mengalirnya lebih banyak memori indah mengenai keculunan-keculunan Ega di masa lampau.

“Inget nggak waktu dulu gel-nya kita sembunyiin?”

“Wahaha… Terus dia ngebasahin rambutnya pake air…”

“Tata, ih, dari tadi cekikikan sendiri aja…” tegur Regi. Di ujung meja, perhatian Tata teralih dari laptopnya. Sambung Regi, “Pasti lagi wall-wall-an ama si Ardi da.”

“Ah, wall-nya si Ardi kan isinya dari Tata semua,” cibir Zia.

“Ih, nggak…” Tata menyangkal. “Ini aku lagi liat blog adik kamu, Zia.”

“Ngaah?” Zia menaruh rajutannya di meja. Ia menyeret tubuhnya mendekati Tata. Demikian pun yang Regi lakukan. Ketiga pasang mata menatap blog berjudul “mysisterzia”. Tata menunjukkan strip demi strip komik yang habis ia baca. Mata Zia langsung menangkap kata “tobacco” di pojok kanan bawah setiap strip. Ia jadi kepikiran apakah Zaha mengasap juga seperti Papa. Tapi tak pernah tercium bau tembakau terbakar di lantai atas atau dari kamar Zaha—kala kamar itu terbuka. Lagipula Zaha kerap mengomel kalau Papa meninggalkan abu rokok dalam keadaan berceceran.

“Iiih… lucu…” desah Regi, “…gambarnya… Mana kamu katanya pingin ngeliatin komik adik  kamu tea, Zia?”

“Ya minta aja sama orangnya langsung!” sergah Zia dongkol.

Panel pertama dalam salah satu strip komik menampilkan karikatur Zaha. Sosok itu berkata bahwa salah satu cara melindungi anak dari bahaya TV adalah dengan menaruh TV di tempat yang tidak strategis. Panel berikutnya adalah sosok serupa Zia tengah duduk di atas kloset sambil menonton TV. Ada sebuah seruan dari pintu di belakangnya, “Zia, udah selesai belum beolnya? Papa mau nonton TV nih!” Regi tertawa ngakak. Tata menarik tubuh Zia yang hendak menghajar laptopnya. “Dasar anak kurang ajaaaar…!” Zia menjerit.

“Eh, itu beneran di rumah kamu TV ditaruh di kamar mandi?”

“Ya nggaklah!” Zia tidak tahu harus memarahi Zaha sebagaimana rupa saat mereka bertemu nanti. Mana ternyata follower blog tersebut mencapai puluhan pula! Zia yakin benar Zaha telah terilhami salah satu episode The Simpsons, di mana Bart membuat kartun tentang Homer dan laku keras. Zia tidak merasa perangainya seburuk Homer.

Panel pertama pada strip berikut menggambarkan Zia yang tengah berkubang dalam kebosanan. Pada panel selanjutnya, Zia memutuskan untuk mengentas bosan dengan belajar menggambar. Di panel terakhir, masih Zia dalam kubangan kebingungan karena tidak tahu bagaimana cara menggambar kebosanan.

Masih ada strip lainnya yang menceritakan asal-usul potongan rambut Zia, mengapa Zia hanya punya satu ponsel, dan lain sebagainya, yang membuat Zia menggoncang-goncang tubuh Tata. “Tutup! Tutup! Tutup!”

“Iya! Iya! Iya!”

Regi menjauh sambil tetap mesem-mesem. “Haha, entar saya mau buka lagi ah. Apa tadi alamat situsnya, Tat?”

“mysisterzia…”

“Apa? misterizia?”

“…adaaaw…!” Zia mencubit sebelah pipi Tata sekeras mungkin. Tata buru-buru merangkul Zia yang cemberut sambil minta maaf.

“Kamu juga bukannya pinter gambar, Zia? Bikin komik tandingan atuh…” saran Regi dengan fokus mata sudah kembali pada rajutannya.

Zia yang masih dipeluk-peluk Tata mendesah keras. Ia sudah berhenti menggambar sejak seorang teman culun Ardi mengklaim diri sebagai guru gambarnya. Padahal jelas-jelas Zia merasa kemampuannya menggambar karena otodidak. Tata bilang, si Kamal itu naksir Zia. Hampir saja cowok itu dekat dengannya, Zia lekas menggusahnya jauh-jauh. Dan tertawa sekencang mungkin begitu mendengar si oknum kena lempar ember petugas kebersihan saat berdua Ardi membaca komik di gudang sekolah.

“Jangan marah atuh, Zia…” rengek Tata.

“Heuh… Dari kapan Tat, kamu nemuin itu?”

“Baru tadi aja kok, Zia, sumpah… Janji deh, aku nggak akan buka-buka lagi… Abis si Ardi suka ngomongin ke aku tentang itu. Jadi ya aku penasaran…”

“Hah? Ardi juga?!” Arrrgh, dasar, sepupu sialan! Zia menerka-nerka apakah Mas Imin juga tahu mengenai perihal blog keparat itu. Mas Imin pasti bakal tertawa terbahak-bahak membacanya.

“Iya kan si Ardi suka gambar juga… Kayaknya si Ardi sama adik kamu bakalan bisa nyambung banget deh…”

“Ya iyalah, Tat, nyambung ikatan darah, da sepupu ini,” komentar Regi.

Lama Zia diam saja sambil menekuk muka. Tata masih dalam usaha meminta belas kasih Zia untuk memaafkannya. Menyadari suasana yang mulai jadi tidak mengenakkan, Regi mengajukan inisiatif, “Mau ngundang si Ega nggak, biar rame?”

“Hayu! Hayu! Dia belum ngadain selametan jadi ketua OSIS kan?” Tata tampak mensyukuri benar kesempatan beralih ke lain topik ini. “Siapa tau dia mo ngajak makan-makan. Kamu seneng kan, Zia?”

Zia mendelik ke arah Tata. Tata makin memelas. Regi memutar bola mata. Ia meraih ponsel dan mulai mengetik sms.

=====

Zia dan Tata termasuk langganan mampir ke rumah Regi, kendati Zia lebih sering ke rumah Tata sedang Tata lebih suka ke rumah Ardi—rumah kakeknya. Sedang Ega, karena rumahnya tak jauh dari rumah Regi, kadang bersepeda ke rumah Regi lalu curhat panjang lebar sampai malam. Namun Regi sendiri baru sekali bertandang ke rumah Ega. Itu pun bersama Zia, Tata, Epay, Oman, Akbar, serta seekor anjing herder yang tahu-tahu muncul di penghujung jalan dan lantas mengejar mereka. Lalu Tata berinisiatif menimpuki anjing itu dengan mangga dari pohon terdekat yang dapat diraihnya. Yang lain mengikuti. Setelah serangkaian pekik dan jerit mengancam dari mereka, Ega membuka pintu rumahnya sembari berteriak, “Hei, eta mangga urang!”

Regi meletakkan ponselnya kembali ke lantai untuk ke sekian kali. Ibunya juga sudah sekian kali menyuruh ia dan teman-temannya untuk mengudap sesuatu. Sehabis melepas kepergian sosok ibunya dengan kerlingan mata, Regi melaporkan sms Ega yang baru ia terima pada Zia dan Tata. “Ceuk si Ega, males ceunah.”

“Ah, biarkeun budak eta mah…” Tata hanya menoleh sekilas. Zia juga sama sebalnya. Setiap kali Regi melapor pada Ega bahwa Zia ada di rumahnya maka datanglah-kau-ke-mari-wahai-Ega, jawaban Ega selalu sama. Lalu tahu-tahu terdengar “punten”-nya di balik pagar. Regi mengangkat bahu. Setidaknya kini Tata dan Zia sudah akur lagi dan ia bisa meneruskan rajutannya dengan tenang. Namun diam-diam ia menyimak cerita Zia pada Tata.

“...mau jadi apa aku ini, Tat? Ikut AFS, baru seleksi administrasi aja udah gagal. Ikut seleksi Ringo, nggak kepilih. Ikutan mading, tulisanku suka ditolak terus. Inget nggak Tat, pas SMP, pas aku ngasih puisi yang tentang si Bagas tea? Padahal itu puisi terimajinatif yang pernah aku bikin tau… Mo ikutan Greenpeace, mahal banget donasinya per bulan, mending kutabung sendiri aja uangnya.... Gambar aku juga nggak sebagus si Zaha. Nyanyi juga nggak bagus. Bikin band, personilnya pada kabur… Gitar, nggak lancar-lancar, huhuhu…” ungkap Zia dengan jemari yang juga tengah sibuk merajut. Begitu pun Tata yang sedang mendengarkannya.

Tata kehabisan ide untuk menghibur Zia karena apa yang Zia katakan memang benar adanya. Karena ada Regi juga dalam ruangan yang sama, ia tak berani bermuka dua.

“..ngapain dong aku?”

“Ya udah. Sekarang mah pikiran sekolah dulu ajalah, Zia.”

“Iya, rangking kamu kan masih sepuluh besar terus, Zia. Nggak usah kufur nikmatlah.” Akhirnya ke luar juga apa yang sedari tadi Regi pendam.

Zia mengerang. “Tapi masak kompetensiku pas lulus SMA cuman ngerjain soal sih? Kamu kan udah aktif terus di OSIS,        Reg. Si Tata di olimpiade. Trus keunggulan aku apa coba…? Eh, nih, rajutanku udah jadi. Segini aja ah, Tat… Nggak tau gimana cara ngakhirinnya.” Zia menyerahkan rajutannya pada guru merajutnya selama ini. Ia menopang kepalanya dengan sebelah lengan yang bersender pada sofa. Tangannya yang sebelah lagi meraba-raba hasil rajutan Tata. “Ih, kok masih bagusan kamu sih, Tat?”

“Ya iyalah, si Tata gurunya!” sergah Regi.

“Punya kamu juga bagus kok, Zia.”

“Ah, tau ah, itu apaan. Mo dijadiin syal, pendek gitu. Gimana bisa dikalungin…”

“Ya ngerajut kan nggak mesti jadi syal atuh Zia. Ini bisa jadi tatakan piring kok.”

“Serbet juga bisa,” lagi-lagi Regi menimpali.

Zia tersedu. Bersamaan dengan itu, terdengar seseorang mengucap, “Punten…” dari luar rumah. Ketiga cewek tersebut kompak menengok. Ega sedang berusaha membuka pagar rumah Regi tanpa harus turun dari sepedanya. Tidak berhasil. Turunlah ia. Regi menggeleng-gelengkan kepala. Teriaknya, “Masuk, Gaa…”

“Eh, liat ini rajutannya si Zia udah jadi.” Tata menyambut Ega dengan mengacung-acungkan hasil rajutan Zia.

“Ngerajutnya dari jaman kapan, hasilnya gitu doang…” kata Ega begitu sampai di ambang pintu.

Zia menggeram. Dengan gerakan cepat ia merebut syal rajutan Regi yang panjangnya sudah semeter lebih untuk membekap mulut Ega, lalu melilit tubuhnya dengan syal lain yang sudah jadi. Kupluk rajutan Tata ia rampas sekalian untuk menutup seluruh kepala Ega sehingga cowok tengil itu tidak bisa melihat apa-apa.

Namun semua itu terjadi hanya dalam benak Zia. Membayangkan Regi jadi misah-misuh karena syal rajutannya rusak lebih membuat Zia ngeri.

“Kok lama sih, Ga?” tegur Regi.

“Iya, tadi abis kumpul-kumpul ma pengurus OSIS yang lama.” Ega menyeka titik-titik keringat yang bertonjolan di pelipisnya sembari duduk bersila.

“Wei, Dirgantara, katanya dikau malas ke mari?” ganti Tata menegur.

“Abisan ada kamu sih, Tat. Jadi weh urang hoream.”

“Ah, kamu mah…”

Ega nyengir. “Eh, Reg, kamu mau nggak bantuin saya di OSIS? Jadi bendahara?”

“Cie… Cie… Regi dilamar Ega, euy…” Tata menggoda.

“Hm… Pikir-pikir dulu ya…”

“Udah, nggak usah sok jual mahal gitu deh. Direkomendasiin si Kang Lutung tau.”

Tawa Zia tanpa suara. Tata heboh sendiri. Regi mendelik pada mereka semua. Kang Lutung adalah nama alias Mas Imin. Sebetulnya sejarah mengapa Mas Imin sampai dijuluki demikian di SMANSON cukup panjang dan terdiri dari beberapa versi. Namun cukuplah tingkah atraktif Mas Imin sehari-hari jadi alasan yang mewakili.

“Eh, emang gimana ceritanya saya ampe direkomendasiin gitu?”

“Tampang pemalak kali,” ucap Zia asal.

“Ah, udahlah, bilang ajalah mau. Saya kudu mikirin anak buah lainnya juga nih.”

“Ih, bilang dulu dong kenapa…” desak Regi.

“Iya, kita juga mau tau, Ga,” kata Tata.

“Bilang dulu, mau, gitu.”

“Ah, lamaran yang kurang menyenangkan…”

 “Ega… Ega… Aku juga mau bantuin kamu dong di OSIS.” Masih ada sisa harapan Zia untuk melakukan “sesuatu yang berarti”—selain urusan akademik—selama statusnya masih siswi SMA kelas XI.

“Emang kamu ikutan OSIS?” Ega memutar tubuhnya untuk menghadap Zia.

“Nggak.” Zia sendiri heran mengapa ia tidak pernah minat untuk menjadi bagian dari jajaran eksekutif siswa setiap perekrutan OSIS dibuka. Ia kira, sudah menjadi pembawaannya untuk selalu menolak sistem tempatnya bernaung—rasanya keren saja. Termasuk sistem kepengurusan OSIS, kendati ia tidak tahu persis bagaimana macamnya.

“Ya nggak bisalah…”

“Paling juga nggak keterima, ikutan juga…”

“Pastinya…”

“Iiih…” Zia menarik-narik lengan seragam Ega dengan gemas.

“Atau nggak, kamu ikutan ekskul nggak? Seenggaknya kamu aktif di ekskul mana gitu, jadi entar bisa ikut ngasih kontribusi di bidang yang membawahi ekskul kamunya…”

“Mmm…“ Zia tidak tahu apakah ia masih dianggap di Lembaga Pers SMANSON, alias LEMPERs, atau tidak.

“Twewewew…” Ega membalikkan tubuhnya lagi. “Jadi gimana, Reg? Mau, ya?”

“Egaaaaaa…”

Jumat, 19 November 2010

Indah dan Merisihkan

Judul : Cari Aku di Canti
Pengarang : Wa Ode Wulan Ratna
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008

Jika karya yang nyastra diartikan sebagai luapan rangkaian kata yang menjelma indah serta kedalaman budaya manusia—juga butuh untuk membacanya lebih dari sekali agar dapat lebih memahaminya, temukan hal demikian dalam cerpen-cerpen Wa Ode Wulan Ratna. Sebagian cerpen di dalamnya adalah cerpen yang sudah teruji kualitasnya—baik karena juara maupun termuat dalam media sastra macam Horison.

Yang para endorser itu katakan mengenai kumpulan cerpen ini saya setujui. Seolah saya rak punya komentar sendiri saja, saya ingin kutip lagi kata-kata mereka. Narasi yang cantik, kata Maman Mahayana. Indah dan selaras, penuh ungkapan-ungkapan yang baru, kata Hamsad Rangkuti. Demikian pun kata Ratih Kumala: Cara bertutur Wa Ode Wulan Ratna dalam cerpen-cerpennya mengalir lancar. Ia juga cerpenis yang tepat jika ingin mengkhususkan diri unuk mengangkat tema lokal yang kental.

Betapa menakjubkannya seorang perempuan muda yang mampu menyibak kekayaan budaya bangsa dalam media cerpen. Penasaran saya akan proses kreatif yang pengarang alami dalam menggarap setiap cerpennya ini. Setiap cerpen menampilkan kekhasan budaya lokal yang berbeda-beda. Entah bagaimana pengarang dapat menyelami begitu banyak budaya tanpa ada kesan canggung dalam menyajikannya kembali.

Dalam cerpen pertama, La Runduma, kita dikenalkan pada tradisi Buton. Dalam cerpen berikutnya, Cari Aku di Canti, kita dibawa meloncat dari salah satu kaki Sulawesi ke bagian bawah Sumatera—Lampung. Kita diajak kembali ke Buton dalam Bula Malino. Pada cerpen-cerpen berikutnya, kita akan singgah di pedalaman hutan Sumatera, Papua, Borobudur, hingga tak luput jua kota macam Jakarta. Semakin ke akhir, memang semakin memudar unsur lokalitasnya. Namun jalinan kata yang tersaji tetap menarik mata untuk terus membaca.

Mulai Bulan Gendut di Tepi Gangsal, saya kukuh terpikat. Mentang-mentang kuliah di Kehutanan, mulanya saya merasa ini cerpen baik sekali. Cerpen berikutnya, Perempuan Nokturia, memberikan rona yang tak jauh beda. Begitupun dengan Kering. Ketiganya bicara tentang hutan dari sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari masyarakat adat hingga tauke.

Meski demikian, secara ini buku diterbitkan dengan mengusung frasa “Lingkar Pena”, saya dikagetkan dan dirisihkan dengan kerapnya pemunculan kata-kata macam “kelam*in”, “ben*h”, “kenc*ng”—dan lain-lainnya semacam itu. Sampai saya mengira nyaris tak ubahnya pengarang ini dengan pengarang lain yang gemar mengumbar seksualitas.

Tak hanya di ketiga cerpen terakhir yang saya sebutkan, dalam Kembang Sri Gading, Peluru-peluru, maupun Batavius, juga saya temukan seorang lelaki yang begitu mendambanya pada seorang perempuan. Kadang tak luput dari cinta segitiga. Hebatnya, dengan kesamaan hasrat macam demikian, saya merasakan karakter yang berbeda-beda antar masing-masing cerpen.

Lainnya yang buat saya kaget ialah adanya dua cerpen yang mengungkit kultur agama selain Islam, yaitu Kembang Sri Gading dan Corfivollus.

Catatan Harian Hans Mandosir, Meja Gembol, dan Batavius bagi saya merupakan cerpen yang “beda” di antara cerpen-cerpen lainnya. Cerpen yang pertama mengisahkan seorang Hans yang begitu semangat menuntut ilmu dan gemar menulis. Namun sukarnya aksesibiliitas ke daerahnya menjadi penghambatnya dalam menggapai cita. Meja Gembol dituturkan dari sudut pandang seorang ibu-ibu. Meja gembol di rumahnya memiliki daya tarik misterius yang menyebabkan keanehan pada beberapa anggota keluarga. Batavus sendiri membawa saya pada suatu situasi familier dengan sudut pandang tak terduga. Unsur lokal dua cerpen terakhir memang tak sekental cerpen-cerpen lain dan cenderung biasa saja, lokasinya hanya di Pulau Jawa pula, namun mungkin justru karena itulah saya merasa dekat dan dapat lebih menyukainya dibanding cerpen-cerpen lain.

Bagaimanapun juga, senang bisa menemukan kumpulan cerpen nan indah namun merisihkan ini. Jarang saya mendapatkannya, suatu pengalaman yang tak biasa. Kepiawaian pengarang memberi inspirasi untuk terus mengeksplorasi kekayaan bangsa berupa bahasa dan budaya.

Kamis, 18 November 2010

Pengarang sebagai Perekam Zaman



Judul : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, 2008


Kumpulan prosa ini terdiri dari tiga bagian: Zaman Jepang; Corat-coret di Bawah Tanah; Sesudah 17 Agustus 1945. Masing-masing bagian mungkin mencirikan latar waktu pada cerita-cerita yang ada di dalamnya. Kendati demikian, saya merasa penjajah Jepang ada di hampir semua cerita.

Pertama kali dicetak tahun 1948, buku ini merupakan dokumentasi kehidupan rakyat Indonesia pada tahun-tahun sebelum itu. Kendati setiap judul menampilkan para pelaku dan latar tempat yang berbeda-beda, namun semuanya menunjukkan tema yang sama: derita rakyat di masa sekitar kemerdekaan—terutama di bawah kependudukan Jepang. Hal ini kuat terasa mulai bagian kedua.

Dalam Jawa Baru, tergambarkan secara umum kondisi masyarakat Pulau Jawa yang begitu susahnya mendapatkan pangan untuk menyambung hidup. Apa-apa serba mahal, termasuk beras, padahal mereka sendiri yang menghasilkan! Sudah bukan cerita baru lagi kalau orang pada zaman itu berbaju karung goni—bahkan tak berbaju. Demikian menderitanya mereka pada masa sekitar kemerdekaan ini, sampai-sampai Tuhan pun diragukan.

Semua orang menengadahkan tangan ke langit, meminta rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga… Tuhankah yang salah? (hal. 88—Jawa Baru)

Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. (hal. 118—Surabaya)

Mula-mula orang terkejut kalau mendengar tembakan, tetapi setelah mereka tahu, bahwa tembakan-tembakan itu ditujukan ke atas, ke tempat Tuhan lama, sekarang mereka bersorak gembira mendengar setiap tembakan. (hal. 119—Surabaya)

Mereka merintih-rintih kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. (122—Surabaya)

Kebetulan pada malam sebelum saya menamatkan buku ini, saya menyaksikan tayangan dokumenter di Metro TV mengenai perebutan Tarakan oleh pihak Jepang dan Belanda. Di sana disuguhkan juga betapa saking tak adanya makanan, kulit ubi pun dilahap.

Sebagai mahasiswi tingkat akhir yang gemar bolak-balik Jogja-Bandung dengan kereta ekonomi, cerita paling mengena bagi saya adalah yang berjudul Oh… Oh… Oh! di mana latar tempat berada di stasiun, berlanjut di dalam kereta.

Kereta api berangkat meninggalkan stasiun Sukabumi. Orang Tionghoa itu duduk di kelas dua, tertawa, dan tersenyum manis kepada seorang nona Belanda Indo. Di kelas tiga dan di kelas empat orang menangis karena berdesak-desak. Kondektur berjalan dari kelas tiga ke kelas empat. Sampai ia ke sekumpulan orang berdiri dekat tangga.
“Karcis-karcis,” kata kondektur.
Semua orang mengeluarkan uangnya. Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?”
Seorang daripada mereka berkata, “Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.”
Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya, dimasukkannya ke dalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis, ya.” (hal. 104)

Sekitar tujuh puluh tahun telah berlalu sejak waktu yang melatari cerita tersebut, namun saya merasa tak jauh beda keadaan zaman itu dengan zaman sekarang. Sudah berkali-kali saya ikut merasakan nikmatnya berdesak-desakkan di kereta ekonomi. Sudah dua kali pula saya naik kereta tanpa karcis. Pertama kali, saya disuruh turun sama masinis di stasiun berikutnya untuk beli karcis (Pramex, 17 Oktober 2010). Kedua kali, saya titip goceng pada seorang ibu yang sudah biasa naik Progo tanpa karcis—ibu itu yang membayarkannya pada masinis (Progo, 13 November 2010).  

Sebagaimana Oh… Oh… Oh! tadi, Kota—Harmoni menyajikan situasi hampir serupa di dalam trem. Pasar Malam Zaman Jepang menggambarkan situasi di suatu pasar malam di mana permainan rolet jadi hiburan bagi para serdadu Jepang dan pemicu bunuh diri bagi pribumi. Tak jauh beda, Sanyo adalah cerita tentang seorang tukang kacang yang lancang menanyakan hakikat tukang catut pada masa itu. Fujinkai adalah semacam perkumpulan wanita sedangkan Heiho adalah pembantu serdadu polisi. Keduanya adalah bentukan Jepang yang tak ada untungnya bagi rakyat Indonesia sebagai bagian di dalamnya—sebagaimana yang tersaji dalam Fujinkai dan Heiho.

Bagian ketiga terdiri dari sebuah cerita pendek berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek dan dua prosa panjang berjudul Surabaya dan Jalan Lain ke Roma. Kisah Sebuah Celana Pendek adalah kisah mengenai… ya, sebuah celana pendek, yang amat dikhawatirkan oleh pemiliknya. Karena terlalu sering dipakai, celana pendek itu jadi jelek rupanya. Ia ingin menjual benda itu agar bisa makan, tapi kalau dijual, dengan apa ia hendak menutup auratnya?

Surabaya ialah sekumpulan situasi di Surabaya saat terjadi insiden yang mengarah pada tercetusnya Hari Pahlawan. Kebetulan juga Hari Pahlawan baru beberapa hari lalu lewat, wew. Tidak hanya penjajah yang harus prajurit kita serang rupanya, melainkan juga ancaman penyakit sipilis! Banyak perempuan jadi ‘jahat’ di masa itu—menjual tubuh dan menyebar penyakit sipilis para para prajurit kesepian—demi menyambung hidup!

Prosa panjang yang kedua ialah yang cuplikannya kerap dipersoalkan dalam ujian Bahasa Indonesia semasa sekolah menengah. Masih ingat si Open? Orangtuanya menamakannya demikian agar ia jadi seorang yang berterus terang. Namun sifat terus terangnya itu malah memberi sial baginya. Open sudah coba jadi guru, mualim, hingga pengarang, namun selalu saja ia menghadapi sesuatu yang tak menyenangkannya.

Saya membayangkan pengarang kumpulan prosa ini sebagai seorang yang rajin mengikuti media—entah lewat koran atau radio, maupun mengamati atau mengalami langsung kejadian yang menginspirasi prosa-prosanya ini. Gaya bertuturnya meyakinkan dan mengagumkan saya. Saya merasa harus mempelajarinya. Untuk menghasilkan karya seperti pengarang, saya seolah diajak untuk lebih peka terhadap kehidupan kaum marjinal. Mulai dari mengamati hingga berempati. Sebelum tahu dari Wikipedia bahwa pengarang adalah pegawai Balai Pustaka, saya kira ia seorang wartawan—jika bukan pengarang merdeka yang didam-idamkan dalam Kejahatan Membalas Dendam.

Suksoro : Tinggal di kota sangat mahal. Semua harus dibeli. Pakaian harus bagus. Akhirnya terpaksa juga mencari pekerja. Pengarang-pengarang di negeri asing dapat maju karena mereka dapat merdeka hidupnya.
Susilawati : Benar juga perkataan Ayah. Hidup merdeka, tentunya hidup dari hasil karangannya.
Suksoro : Itu yang belum bisa di Indonesia ini. Di Eropa sebuah sajak saja kudengar, dibayar oleh majalah yang memuatkannya, ratusan!
Susilawati : Dengan itu saja, pengarang telah dapat hidup beberapa bulan!
Suksoro : (menarik napas) Ya, ke sana hendaknya pergi kita nanti, apabila pengarang-pengarang muda kita (melihat ke atas). Pengarang-pengarang Indonesia merdeka? (hal. 71-72)

Dikisahkan dalam sandiwara ini, Suksoro adalah tipe pengarang kolot yang kontra dengan (mantan?) kekasih Susilawati, Ishak—seorang pengarang muda dengan semangat kemerdekaan menggebu-gebu. Ada situasi lucu dalam sandiwara ini. Agar dapat menulis dengan tenang, Ishak pergi ke desa dan menemukan sebuah rumah kosong. Ia pun menulis di rumah tersebut. Saking asyiknya, ia sampai tak menyadari kedatangan nenek pemilik rumah. Berhari-hari nenek itu coba berinteraksi dengannya, tak pernah ia hiraukan. Suatu ketika ia berhasil menyelesaikan tulisannya sehingga cukup peka indranya untuk dapat bercakap dengan sang nenek.

Ishak : Untuk kita, untuk kita juga (memandang jauh kembali). Itu rupanya mereka bersedih, sedang padi menguning (sambil mengepalkan tinjunya). Mereka harus mendapat penjelasan lebih banyak lagi. Mereka tidak tahu, tidak mengerti.
Perempuan tua : (mengeluh)
Ishak : (lekas membalikkan badannya). Akan tetapi, Nenek siapa?
Perempuan tua : Kemarin telah kukatakan.
Ishak : Kemarin? Aku tidak tahu.
Perempuan tua : Aku kemarin baru datang.
Ishak : Mengapa kemari?
Perempuan tua : Mengapa? Aku yang punya rumah ini.
Ishak  : Nenek…? Nenek yang punya rumah ini? (tiba-tiba sujud di muka perempuan tua itu, mencium tangannya). Maaf, maaf, Nek. Aku sangka rumah ini rumah kosong. (hal. 51)

Lumayan jadi penyegar di tengah kejemuan :)

Masih soal kepengarangan, dalam Jalan Lain ke Roma pun Open sempat ditinggalkan istrinya. Terlalu asyik mengarang, Open tersinggung ketika sang istri menyuruhnya bekerja supaya mereka tak mati kelaparan. Open pun menyuruh istrinya enyah ke desa. (hal. 65)

Kedua tokoh dalam buku ini mengingatkan saya pada Wayne Danton dalam Olenka. Seorang pengarang bisa jadi amat peka terhadap kehidupan orang lain—tapi belum tentu terhadap kehidupannya sendiri dan atau orang-orang di sekitarnya. Seorang pengarang bisa jadi amat mengedepankan egoismenya—mentang-mentang pengarang, ada saja yang mendukung kehadirannya dari zaman ke zaman. Sekali lagi, ini jadi semacam pengingat bagi para pengarang wanna be agar tak lantas jumawa dan lupa diri.

Mungkin inilah kekuatan dari sastra klasik. Kendati sudah lebih dari enam puluh tahun sejak buku ini pertama kali dicetak, permasalahan-permasalahan di dalamnya masih dapat dirasakan hingga kini. Tentu kita berharap keadaan dapat membaik dari waktu ke waktu. Maka itu, dari buku semacam ini kita dapat berkaca dan sadar akan betapa lambannya kemajuan yang kita peroleh. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya?

Akhir paragraf, saya hendak mengutip sesuatu dari Jalan Lain ke Roma. Inilah bagian yang amat menyentuh dari prosa panjang nan kocak favorit saya ini, dari halaman 168 – 169,

…Boethius berkata, kesengsaraan itu sebenarnya tidak apa-apa. Hanya anggapan yang salah terhadap kesengsaraan itu, itu yang menjadikan orang putus asa dan celaka. …Kesengsaraan bukan musuh, anggapan itulah yang musuh. Setelah ia dapat melepaskan anggapan itu, dan dapat melihat kesengsaraan yang dideritanya sebagai sewajarnya, ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada Boethius.

sumber gambar 

Rabu, 17 November 2010

Mengingat Hakikat Ajal untuk Tanggap

Di hari peringatan Sumpah Pemuda yang lalu, akhirnya hujan abu mengguyur Jogja pada dini hari. Warga yang bermukim di utara berbondong-bondong ke selatan untuk menghindari guyuran yang berbau belerang ini. Ketika langit terang, terlihat jalanan, dedaunan, hingga atap tertutup abu tebal. Sejak itu warga selalu dihimbau untuk mengenakan masker jika berada di luar ruangan.

Kenyataan bahwa di atas sana ada ribuan pengungsi dengan kondisi yang serba darurat seolah terlupakan. Tak terkecuali yang bermukim di bawah pun kebagian ketar-ketir juga. Gunung Merapi terus menyemburkan isinya yang seolah tak habis-habis. Dari waktu ke waktu semakin keras saja letusannya. Ada desas-desus dari seorang kawan yang relawan bahwa awan panas dikhawatirkan melanda hingga kawasan UGM, bahkan hingga ke Kalasan. Jogja dan Klaten bisa saja jadi kota mati. Desas-desus yang bisa saja mewujud nyata ini serasa bagai seruan untuk lekas packing barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi.

Pada 3 November 2010, terjadi letusan yang mengakibatkan lokasi pengungsian diturunkan. Dikepung hawa dingin sehabis hujan, sembari menikmati sajian hangat di Kedai Bambu, saya dan seorang kawan mendengarkan laporan perkembangan aktivitas Merapi seharian itu di RRI. Cemas hati kami dibuatnya sementara Sherina kecil—melalui tape kedai—mengajak kami untuk senang dan riang. Menapaki becek kala menuju jalan pulang ke kosan, kami bertanya-tanya apa yang bisa kami lakukan dalam kondisi mencemaskan ini. Tak terhindarkan bahwa kecemasan dapat melumpuhkan kita hingga tak kuasa melakukan apapun. Dan jawaban yang bisa kami simpulkan hanyalah menunggu dengan sabar, terus berdoa, dan menjalani kehidupan sebagaimana biasa.

Saya telah dengar beberapa ajakan, baik dari kajian maupun siaran RRI, untuk menghikmahi bencana ini. Baik utara, selatan, barat, maupun timur, semua tak luput dari pemberian Merapi. Ialah limpahan mineral yang terkandung dalam abu vulkanik. Setelah ini lewat, niscaya suburnya tetumbuhan yang akan menggantikan kelabu di lereng gunung. Tak hanya itu, rasanya ingin memuji Tuhan ketika sadar bahwa kita sedang diajari-Nya untuk sabar dan banyak berdoa.

Tuhan, apakah selama ini kami kurang sabar dan kurang banyak berdoa?

Ransel yang berisi barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi—belum lagi dibongkar. Dada berdebar-debar menanti apakah benar lokasi pengungsian akan semakin turun ke bawah. Mungkin saja akan terjadi pengungsian besar-besaran, apalagi jika kawasan UGM sudah kena. Berapa puluh ribu mahasiswa UGM yang harus diungsikan?

Rundungan dari peristiwa Merapi ini membuat ajal jadi terasa bisa menyambangi kapan saja. Barangkali kita semua takut akan ajal. Kita enggan meninggalkan kenikmatan dunia yang fana ini. Kita tak bisa memastikan setelahnya kita akan masuk ke dalam surga atau neraka. Kita tak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Sementara itu setiap saat para pengungsi di lereng Merapi bisa saja terserang ISPA atau wedhus gembel dan tewas.

Namun jika hakikat ajal ditilik lagi, ia bisa datang tidak hanya di saat Merapi tengah beraksi seperti ini. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, pada siapa, dengan berbagai cara. Dengan tsunami, misalnya, bagi para penduduk Mentawai baru-baru ini. Ia bahkan bisa menyapa orang yang berada di tempat teraman di dunia sekali pun. Ia bisa datang lewat penyakit jantung, tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan konstruksi, dan lain-lain. Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan.

Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan. Memahami hakikat ajal ialah keniscayaan bagi kita untuk selalu mempersiapkan diri dalam menyambutnya. Namun ingat pula bahwa Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya—termasuk menghindarkan diri dari ajal.

Kita semua tahu atau bisa memperkirakan bahwa jika kita lengah akan lingkungan sekitar, itu bisa mendekatkan diri kita pada ajal. Maka dalam kondisi dirundung bencana seperti ini, di mana ajal bisa saja diam-diam membonceng, adalah keniscayaan juga bagi kita untuk selalu waspada dan tanggap.

Biasanya kepanikan tak terhindarkan apabila tanda-tanda bencana terjadi. Menurut KBBI, panik ialah bingung, gugup, atau takut secara mendadak sehingga tak dapat berpikir dengan jernih. Tanggap sendiri diartikan sebagai mengetahui keadaan dan memerhatikan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana kita bisa tanggap apabila pikiran tak jernih?

Sebagai akronim dari panik, tenang dapat menjadi kunci untuk tanggap. Masih menurut KBBI, tenang ialah tidak gelisah, tidak rusuh. tidak kacau, tidak ribut, serta aman, dan tentram  perasaan hati dan keadaan. Mempersiapkan ajal sejak dini namun membentuk laku waspada untuk menghindarinya bisa jadi satu cara untuk tenang. Dengan ketenangan, kita akan siap untuk tanggap.

ditulis sekitar 3-4 November 2010

Selasa, 16 November 2010

Weekend with Teenlit (Bagian 3 dari 3-TAMAT)

Kami menginap di sebuah rumah penduduk. Di sana saya membantu apa yang bisa dibantu. Sesekali saya hanya meringkuk saja karena perut saya perih. Makin lama makin perih. Maag saya kambuh. Memang hari itu saya baru makan sekali sekitar jam 10-an. Tapi biasanya begitu saya tak kenapa-kenapa kok. Kata teman saya sih, kemungkinan karena kena angin juga makanya bisa sampai begitu.

Saya makan hanya sedikit—tidak seperti biasanya—karena perih yang mencakar-cakar lambung saya membuat saya jadi tidak bisa menikmatinya. Meskipun makanannya cukup melimpah dan gratis, sebagaimana tujuan saya semula ke sana. Satu, karena tinggal ada seribu tujuh ratus perak di kantong dan tak enak kalau sudah harus menarik duit lagi di ATM. Dengan ikut acara ini saya bisa makan gratis untuk malam itu, besok paginya, dan mungkin juga siangnya. Dua, karena jam 1 siang keesokan harinya saya ada acara di tempat yang cukup jauh dari kos kalau harus ditempuh dengan berjalan kaki, saya bisa minta diantar yang mengantar saya pulang—kalau dengan motor—ke tempat tersebut. Pragmatis sekali. Pada akhirnya sih, saya tidak mendapatkan keduanya. Yang pertama memang saya mendapatkannya. Tapi karena saya makan hanya sedikit dan tidak menikmatinya, jadi ya percuma saja.

Terlepas dari alasan logis yang menghalangi tercapainya kedua tujuan tersebut, saya menyadari memang sebaiknya kita melakukan sesuatu itu dengan niat yang ikhlas, bukannya disertai tujuan-tujuan pragmatis. Tujuan pragmatis itu padahal bisa kita dapatkan tanpa kita harus benar-benar meniatkannya. Yang harus benar-benar kita niatkan adalah ketulusan untuk membantunya itu.

Terlepas dari siksaan perih, saya meresapi pengalaman saya selama di sana dengan pikiran yang mengembara ke alam cerita saya. Kesyahduan yang dipijarkan tungku di ruang belakang, ditambah suasana malam yang melingkungi rumah pedesaan, memasukkan para tokoh cerita saya ke dalam kepala kembali. Membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika mengalami hal yang sama. Melengkapi kepingan-kepingan cerita yang telah ada.

Memang kedua tujuan pragmatis saya tidak tercapai, namun saya merasa mendapatkan beberapa pelajaran dari pengalaman ini. Saya tidak merasa rugi karena tidak memanfaatkan malam Minggu dengan menghabiskan teenlit-teenlit yang telah saya pinjam.

Keesokan harinya, saya turun lebih cepat dari yang saya rencanakan jadi tidak terwujud tujuan pragmatis yang kedua—minta antar ke tempat acara, karena pasti belum mulai. Saya langsung pulang ke kosan. Mengaso dengan membaca teenlit-teenlit tersebut. Jadi merasa malas untuk menghadiri acara jam 1, lagipula siapa lagi yang saya bisa minta antar? Menjelang zuhur, saya tidur sampai jam setengah 2-an. Acara sudah pasti akan segera dimulai. Saya belum membersihkan diri. Siang begitu terik. Saya tidak akan ke sana. Saya akan menghabiskan siang hingga sore dengan menamatkan teenlit-teenlit ini saja.

Saya mengambil kembali “Skenario Dunia Hijau dan Cerita-cerita Lainnya”. Meneruskan untuk menamatkannya. Kali ini saya tidak bakal sambil menyambinya dengan buku lain.

Kembali ke dunia SK. Berkenalan dengan para tokohnya yang antar cerita pastinya masih saling berkaitan. Setiap tokoh dalam cerita diambil dari karya SK lainnya, biasanya berupa novel. Hm, salah satu trik promosi.

Menamatkan kumpulan cerpen tersebut. Melanjutkan membaca teenlit berikutnya dengan gembira.

Judul : Girl-ism
Penulis : Desi Puspitasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Oh, teenlit yang amat sederhana. Seperti buku cerita anak-anak. Saya membayangkan penulisnya sendiri yang menjadi tokoh utama, hihi. Lagipula namanya sama.

Karena itulah, saya merasa, teenlit kiranya sepatutnya ditulis oleh orang yang memang sudah matang hidupnya. Halah. Maksudnya, kalau teenlit ditulis oleh remaja untuk remaja, sepertinya teenlit tersebut hanya akan menjadi curahan pikiran yang masih labil. Baiklah, saya membayangkan diri saya sendiri, yang meskipun sudah memasuki tahap remaja akhir tapi masih belum bisa memantapkan hidup. Dengan pemikiran saya yang masih mencari-cari, menimba, dan belum mantap benar ini, saya merasa kalau saya membuat cerita, maka cerita yang saya hasilkan bakal menunjukkan kelabilan saya.

Saya punya pikiran, jika seorang pengarang ingin menghasilkan karya yang berkualitas, maka seharusnya dia juga seorang manusia yang berkualitas. Setidaknya, dia sudah melewati tahap-tahap bagaimana caranya mencapai kualitas hidup. Pelajaran yang dia dapatkan saat melewati tahapan itulah yang akan dia bagi lewat karyanya. Kalau seorang pengarang belum dapat melihat dunia ini dari perspektif yang utuh, maka saya kira karyanya juga bakalan tak adil. Maksudnya, di karyanya dia menampilkan realita yang suram hingga membuat pembacanya merasa ikutan suram juga. Pesimis hidupnya. Padahal, seandainya si pengarang bisa melihat dunia dari sisi yang lain, realita yang disampaikan tidak harus sesuram itu. Dia bisa memberikan solusi yang lebih berguna ketimbang menampilkan realita yang menyesakkan. Intinya, pengarang tidak boleh picik. Harus memiliki keluasan pandang.

Tapi, kalau teenlit ditulis oleh orang dewasa yang sudah memiliki kemantapan, dia bisa memberikan lebih banyak pelajaran untuk remaja.

Dalam teenlit ini, saya merasakan nilai-nilai islami yang subtil. Tidak banyak kontak fisik, ajakan halus memakai rok untuk para putri, semacam itulah. Realistis pula. Interaksi antara Desi, tokoh utama, dengan teman-temannya sejak awal cerita pada mulanya saya rasakan sebagai hiburan (kocak sih) sekaligus suatu hal yang bertele-tele. Memang berhasil membuat saya merasa ingin mengulang masa-masa di bangku sekolah, mengisinya dengan momen-momen indah seperti Desi dan kawan-kawan, tapi kok cerita utamanya tidak sampai-sampai... Baru deh, setelah mulai agak akhir saya menemukan pelajaran-pelajaran oke dari teenlit ini.

Tidak bertaburan hal-hal menyilaukan seperti dalam karya SK memang, karena memang tidak perlu. Tanpa itu pun, esensinya sudah bisa sampai tanpa harus membuat pembaca iri.

Segera lanjut ke teenlit berikutnya!

Judul : 57 Detik
Pengarang : Ken Terate
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Ini loh, yang kata review yang saya temukan melalui googling ada “cerdas-cerdas”-nya. Bukan tokohnya. Penulis cerdas lebih baik daripada tokoh yang cerdas. Tokoh yang katanya cerdas tidak akan terasa kecerdasannya kalau penulisnya tidak dengan cerdas membuatnya menjadi tokoh yang cerdas. Begitulah.

Entah karena terpengaruh review yang sudah saya baca atau bukan, sejak awal membaca cerita ini saya merasa merinding. Saya tahu cerita yang saya baca ini akan memberikan kesan baik untuk saya. Dan memang.

Ciri khas Ken Terate (lah, berasa pengamat per-teenlit-an handal!) adalah menampilkan para tokohnya dengan sudut pandangnya masing-masing. Dan kuat. Pada awalnya memang saya merasa gaya bahasa ketiga tokoh dalam teenlit ini sama-sama saja. Lancar mengalir seperti air PDAM, diselipi kalimat-kalimat kocak yang bikin mendengus. Tapi lama-lama kerasa juga bedanya Nisa, yang biar anak cheers tapi karena berasal dari keluarga biasa-biasa aja terasa tabah, dibandingkan dengan temannya, Ayomi, yang kemanjaannya sebagai anak orang kaya kentara juga. Lalu ada Aji. Yang membuat saya kagum sama penulis adalah gaya bahasa Aji yang menurut saya memang sangat cowok. Seakan penulis yang perempuan bisa mengikuti jalan pikiran seorang cowok yang ngomongnya ke hal-hal teknis. Tapi, saya agak wagu juga kalau orang ngomongnya dicampur antara “gue” dengan “kamu”. Tidak konsisten. “Gue” ya pasangannya sama “lo”. Kalau “kamu” itu dengan “aku” atau “saya”. Padahal Aji ini sudah hampir sempurna jadi orang Jakarta, tapi gara-gara ngomongnya kecampur-campur begitu saya merasa dia tak ubahnya teman-teman saya yang biasa ngomong Bahasa Jawa, karena ingin gaul maka ikut-ikutan ngomong memakai “gue”. Atau “nggue”, tepatnya. Dan tidak heran kalau masih kecampur-campur juga. Dan saya kira Aji kurang banyak menggunakan istilah Kedokteran. Mungkin karena latar belakang penulisnya juga bukan dari sana kali ya.

Saya agak kecewa ketika Aji dan Ayomi pacaran. Dalam teenlit, hal itu seharusnya lumrah. Tapi karena kata Mbak Desi Ken Terate jarang menampilkan masalah pacaran dalam karyanya, saya jadi agak kecewa. Namun kemudian saya bersorak gembira ketika mereka putus lagi.

Hebatnya Ken Terate (selanjutnya KT), dia sangat menyelami para karakternya. Kita seakan mengalami apa yang mereka alami.

Dalam karya KT, setiap tokoh memiliki kelebihan masing-masing juga, sebagaimana para tokohnya SK. Para tokoh KT terasa manusiawi karena kita diajak menyelami benar permasalahan tokoh dengan potensinya, yang bisa jadi kekurangan maupun kelebihannya. Karena alurnya tipikal, pada akhirnya si tokoh ini bisa memanfaatkan potensinya dengan baik. Tidak ayal, hal ini memang memberikan inspirasi bagi pembacanya. Kadang membuat saya malas, kadang memang betulan inspiratif.

Sementara dalam karya SK, apa yang dialami oleh para tokohnya sepertinya hanya di permukaan saja. Tidak mendalam. Karena cerpen kali ya? Ah tidak, mungkin karena dia mau menyombong betapa hebat tokohnya. Sebaiknya dia fokus memanusiawikan dan menguatkan karakter para tokohnya ketimbang menyebutkan apa-apa yang hanya bisa diicip segelintir orang.

Dalam karya SK, setiap tokohnya, oke, jangan ditanya lagi. SK sepertinya lebih suka mengeksplor relasi hubungan cowok cewek ketimbang pergulatan si tokoh dalam mengelola potensinya.

Memang, cerita-cerita seperti ini (termasuk KT juga) akan berakhir dengan “semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya kok”. Namun dalam karya SK, geregetnya itu kurang (atau tidak bisa) dikatakan kerasa. Dalam karya KT, kita diajak benar merasakan kecemasan si tokoh sehingga kita boro-boro menyadari bahwa semuanya akan baik-baik saja di akhir. Tapi dalam karya SK, kita seakan-akan tinggal mengikuti saja cerita dengan esensinya yang kurang penting itu.

Selain itu, meski mengaku nasionalis, SK rasanya banyak berkiblat pada Amerika. Menguarkan nasionalisme terasa bagai sebuah apologi.

Selesai membaca “57 Detik”, saya merasa teenlit ini memang inspiratif karena satu alasan. Satu pertanyaan muncul dalam benak saya: “Saya bisa apa?”

sumber gambar: 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain