Dani
menggelengkan kepala. Tulisan dalam poster di atas boks Tata sungguh mengundang
tanya. Apa maksudnya? While there’s still
time… Senyampang ada waktu.
Kendati
telah membacanya berulang kali, dan menerjemahkannya di dalam hati, Dani masih
juga tak mengerti. Apa kaitan poster itu dengan kepulangannya dari rumah
bersalin? Mengapa pula secara khusus Suryo meletakkannya di sana, di atas boks
Tata? Ia yakin Suryo memilih benda itu bukan karena latar belakangnya—lukisan setangkai
anterium warna magenta—melainkan karena rangkaian kata-katanya.
While there’s still time… Senyampang ada
waktu…
“Yok?”
Dani berteriak memanggil suaminya.
Ia
baru sadar begitu mendengar suara mobil yang semakin menjauh. Ah, ya. Suryo
harus segera ke apotek…
Diam-diam
ia merasa kecewa. Mengapa pada hari seistimewa hari itu—hari pertama
kehadirannya bersama Tata, anak pertama mereka—Suryo tidak menyambutnya dengan
hadiah yang lebih semarak, misalnya karangan bunga anyelir warna merah muda
kesukaannya?
Dengan
hati-hati ia membaringkan Tata yang masih nyenyak di tempat tidur. Ia sendiri
lalu bergolek di sampingnya.
While there’s still time… Gumamnya
berulang kali. Senyampang masih ada waktu…
Ya?
Senyampang masih ada waktu. Bukankah cuma seperti itu artinya? Tak ada yang
luar biasa. Tak ada istimewanya.
Diam-diam
Dani menyesali ketidakmampuan suaminya dalam memberikan “isyarat”. Ah! Suryo
memang tak seromantis Mas Ardi, kakak sulungnya. Pada hari ulang tahun
perkawinan pertama, ia menghadiahkan sebuah buku mungil berjudul Bloom where you are planted, kepada Mbak
Peni, istrinya, berisi kata-kata mutiara yang sangat mengena, khusus bagi
pasangan-pasangan muda. Tetapi poster itu… While
there’s still time… Bah!
Ia
lalu berusaha menghilangkan kekecewaannya dengan berkata kepada dirinya sendiri
bahwa kecakapan dalam memilih hadiah memang bukan milik setiap orang. Seperti
Martina, teman sekantornya. Ia yakin atasan tak akan berani lagi menugasi
rekannya itu untuk mencari hadiah bagi siapapun. Selera Martina memang aneh.
Gara-gara anehnya selera Martina, hubungan mereka sampai merenggang selama
beberapa waktu.
Peristiwa
itu terjadi ketika Retno—teman satu departemen—akan menikah. Diputuskan, kantor
akan memberikan hadiah lemari es. Karena kebetulan Dani tahu warna ubin di
dapur Retno—terracotta—ia menjerit
kecil ketika Martina bersikeras memilih warna biru. Apa mau dikata. Barangkali
karena merasa diri sebagai si pembuat keputusan, Martina sama sekali tidak
mempedulikan saran Dani. Baru ketika hadiah dibuka di depan karyawan—termasuk atasan—diam-diam
semua mengulum senyum. Karena merasa ikut terpojok, Dani akhirnya keceplosan. “Coba
kita ambil yang tadi, ya, Tien…”
Oleh
Martina kalimat tersebut rupanya dianggap sebagai ajakan bermusuhan. Selama
berminggu-minggu ia membiarkan Dani menegur angin. Bahkan berpapasan pun ia
enggan…
Rangkaian
kata di poster kembali mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya maksud Suryo?
“Melamun
ya?” tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka. Suryo masuk sambil tertawa-tawa. “Mana
anakku?”
“Psst!”
jawab Dani sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya. “Jangan keras-keras. Dia
tidur!”
Tanpa
mempedulikan larangan istrinya, Suryo naik ke tempat tidur dan menyelujurkan
tubuhnya di samping si bayi mungil untuk menciumi pipinya. Cukup lama ia
menunggu kedatangannya. Wajah dan matanya menyiratkan kebahagiaan.
“Lihat,
Dan!” ujarnya sambil menggamit istrinya. “Kakinya cuma segini…,” ujarnya sambil
merentangkan ibu jari dan telunjuknya. “Cuma segini, Dan!”
Ia
terkejut ketika menyadari bahwa Dani tetap menengadahkan kepala, tak menoleh ke
arahnya.
“Sakit?”
Dani
tidak menjawab. Ia hanya mengetuk bibir berulang kali dengan ujung telunjuknya.
Suryo
tertawa, lalu menciumi bibir istrinya.
“Maaf!
Sampai lupa. Kau punya saingan, sekarang. Oh, ya, Dan. Kau sudah lihat itu?”
ujarnya sambil menunjuk poster.
Dani
mengangguk.
“Suka?”
tanya suaminya.
Dani
kembali mengangguk.
“Itu
artinya kau kurang suka,” lanjut lelaki itu. “Buktinya kau cuma mengangguk.”
“Suka,”
ujar Dani kemudian, “Tapi terang saja aku tidak tahu maksudnya. While there’s still time…”
“Siapa
sih, guru bahasa Inggrismu dulu? Pakai bakiak barangkali ya?” kata Suryo sambil
terbahak.
“Psst!
Nanti Tata terbangun!” kata Dani sambil menyodok dada suaminya. “Tentu saja aku
tahu artinya… Senyampang ada waktu… Ya, ‘kan?” Tapi apa maksudnya? Apa
kaitannya dengan kedatangan Tata dan kepulanganku dari Ibunda?”
“Makanya,
Non. Punya IQ tinggian dikit, dong. Jangan cuma sekadarnya. Sekarang coba lagi
utak-atik maknanya. While there’s still
time… Kauterjemahkan apa tadi?”
“Senyampang
ada waktu…”
“Apa?
Senyampang? Bukan! Mumpung…” sergah suaminya.
“Huh.
Itu sulitnya punya suami aji mumpung. Ada padanan lain yang lebih canggih,
Bung! Senyampang… atau selagi kebetulan. Lihat saja di kamus…”
“Oke.
Senyampang ada waktu…. Bagus, ‘kan?”
“Apa
bagusnya?”
“Payah
banget, sih! Dulu kupikir kau ini cuma pura-pura bodo, Dan. Ternyata beneran.
Jangan-jangan ijazah sarjanamu juga aspal. Aduh!” Suryo menjerit ketika Dani
mencubit pinggangnya. “Sekarang dengar. Senyampang ada waktu…”
“Diulang-ulang
terus. Bosen!” ujar Dani sambil memberengut. “Senyampang ada waktu kau mau
ngapain?”
“Nah!
Kau sudah jawab sendiri. Kau mau ngapain senyampang ada waktu?”
“Mau
baca… Mau masak… Mau apa saja bisa: Senyampang ada waktu.”
“Nah!
Senyampang ada waktu, aku mau mencintai suamiku…”
“Males!
Senyampang ada waktu, aku mau meracun suamiku… Au!” Giliran Dani menjerit
ketika Suryo mendekapnya kuat-kuat.
“Maaf,
Non. Lupa. Masih rapuh, sih, ya. Habis, baru lulus jadi Ibunda… Makanya serius
dikit, dong. Senyampang ada waktu, aku mau merawat Tata sebaik-baiknya…
“Senyampang
ada waktu, aku mau mengajaknya bermain-main… Senyampang ada waktu, aku mau… Apa
saja, deh. Kau selalu bisa membubuhkan kata-kata itu di depan semua rencanamu.
Yang baik, tentunya.”
“Hih!
Aku jadi ngeri. Bukankah ungkapan semacam itu seolah mengingatkan bahwa waktuku
tak banyak lagi, seolah sebentar lagi aku ma…”
“Psst!”
ujar Suryo sambil membungkam mulut istrinya, “Berpikirlah positif, Non! Kalau
kau selalu menambahkan While there’s
still time pada setiap kegiatanmu, rencanamu, kau pasti akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya. Itu pasti. Karena kau merasa dikejar waktu. Karena kau
merasa waktumu tak banyak lagi… Begicu…”
“Jijay! Kaya bencong!”
“Bencong?
Lalu itu apa, dong?” ujarnya sambil menunjuk Tata yang masih lelap dan menepuk
dadanya berulang-ulang…
“Oke.
Sekarang aku tak tahu apa maksudmu. Dan kau sendiri bagaimana? Tentu sangat
tidak adil kalau kau tidak menerapkannya…”
“Siapa
bilang? While there’s still time, aku
mau menikmati keberadaan Tata dengan sejenak tidur-tiduran di sampingnya… While there’s still time, aku juga ingin
mencium ibunya anakku puas-puas… Wow! Sudah dulu, ya. Aku mau ke kantor lagi…”
*
Malam
itu, dengan hati-hati Dani membaringkan tubuh di samping anaknya. Esok pagi,
Tata akan merayakan ulang tahun yang keenam. Semua telah siap. Termasuk
kotak-kotak dari kertas chrome-coated
putih bertuliskan, Tata, 6 tahun, yang akan dibagikan di sekolah. Tinggal
memasukkan isinya…
Dani
tersenyum. Di mata seorang ibu, anak adalah malaikat, seberapapun bengalnya.
Dan kini, malaikat kecilnya yang bengal sedang lelap tidur. Dengan hati haru
Dani mengamati setiap sudut wajah buah hatinya, sambil membelai jari-jari
tangan dan kakinya yang mungil. Ketika sambil lalu ia merentangkan ibu jari dan
kelingkingnya untuk mengukur kaki bidadarinya, ia terhenyak. Pada usianya yang
keenam, panjang kaki Tata tepat sejengkal tangannya…
Ah!
Bukankah seperti baru kemarin Suryo menggamit lengannya sambil merentangkan
telunjuk dan ibu jari untuk memperlihatkan “ukuran” telapak kaki Tata?
Ia
menjerit dalam hati. Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Karena kesibukannya,
banyak hal terabaikan. Pertumbuhan Tata telah luput dari perhatiannya. Hari ini
panjang telapak kaki Tata tepat sejengkal tangannya. Sebentar lagi ia pasti
akan bertambah sebuku jari, dan sebuku lagi… Hingga suatu hari Tata tak akan
membutuhkan dirinya lagi. Ia tidak akan merengek-rengek lagi meminta cerita
pengantar tidur. Ia akan malu bermanja-manja. Ia tak akan mengganggunya lagi
dengan seribu macam pertanyaan yang terkadang menjengkelkan. Ia akan memiliki
sahabat, teman akrab, bahkan kekasih. Ia akan memiliki dunianya sendiri… Dan,
ah! Poster itu… Ia bahkan tidak menyadari kapan Tata tak tidur lagi dalam
boksnya…
Mendadak
ia begitu merindukan anaknya. Ah! Bukankah Tata sedang terlelap di sampingnya?
Dengan
penuh kasih ia lalu membelai rambut anaknya, sementara bibirnya menggumam janji…
Senyampang
ada waktu akan kubuka lebar mataku untuk melihat pertumbuhannya… Senyampang ada
waktu akan kudengarkan dan kunikmati “gangguan” pertanyaannya… Senyampang ada
waktu akan kuhayati setiap detik masa kanak-kanaknya… Senyampang ada waktu akan
kuresapi setiap detik keibuanku…
“Ibu!”
bisik anak itu sambil menggeliat. Belaian Dani membangunkannya tiba-tiba. “Ceritain, dong!” ujar gadis kecil itu
masih dengan mata mengantuk.
Hampir
saja Dani memberikan jawaban klisenya, ‘Ih! Ibu ‘kan capek!’ Untung kepalanya
bereaksi lebih cepat. “Mau cerita apa, Ta?”
Anak
itu kini benar-benar membuka matanya. “Ibu punya waktu?” tanyanya heran.
“Punya,
Ta. Banyak sekali…”
Untuk Rita
dan Jane Oetoro
(Sarinah, No. 306, 11-24 Juli 1994)
NB:
Ini cerpen yang paling menyentuhku di antara cerpen-cerpen lainnya dalam “ApresiasiCerpen Indonesia Mutakhir” (Korrie Layun Rampan: Bukupop, Jakarta, 2009).
Kupersembahkan untuk para calon ibu maupun yang sudah ibu. :)