Senin, 25 Agustus 2014

Seandainya Saya Guru Bahasa Indonesia

Saya akan meminta murid-murid saya membuat jurnal pembacaan. Di buku tulis saja. Setiap habis membaca suatu buku, mereka harus menuliskan pengalaman pembacaan mereka di jurnal tersebut. Minimal satu halaman, dan sebaiknya bukan sekadar menyalin sinopsis di sampul belakang apalagi hasil pembacaan orang lain di internet. Pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, jurnal itu dikumpulkan dan saya akan memberinya paraf sebagai tanda bahwa saya selalu mengeceknya. Saya akan bilang pada mereka bahwa jumlah buku yang dibaca serta isi pembacaan mereka terhadap buku-buku itu akan menjadi salah satu aspek yang menentukan nilai rapor. Dengan cara ini saya berharap akan lahir para pembaca yang pandai mengapresiasi alih-alih para penulis yang tidak terbiasa membaca.

Rabu, 20 Agustus 2014

Namaku Kesedihan

Namaku Kesedihan. Orang-orang suka menertawakanku. Kau tahu bagaimana sakitnya ditertawakan. Bukan karena kau memang bermaksud melucu, melainkan karena kau dianggap buruk, remeh, dan rendah. Kau tahu orang menertawakan suatu hal karena merasa superior. Sungguh, itu ada dalam teori tentang Humor.

Ah…! Ya, ya. Humorlah si jahanam itu, dalang di balik inferioritasku. Orang-orang menggunakan jasanya untuk melawanku. Dengan cara apapun. Lewat corong manapun. Ia ada di TV, di buku, di radio, di bacotmu—mungkin.

Dan ia melaksanakan tugasnya dengan keterlaluan baiknya. Begitu melihatku, ia akan menunjuk-nunjuk dengan jari-jemarinya yang keriting. “Itu Kesedihan! Mari tertawakan!”

Orang-orangpun mendekat, dan turut menunjuk-nunjuk. Tawa mereka membahana.

“Hei, Kesedihan! Kau tak layak berada di muka bumi! Hahahaha….”

Aih! Bisa kau bayangkan ada yang mengatakan itu padamu? Bisa kau bayangkan betapa perihnya? Begini-begini, aku juga perasaan!

Akupun menjauh. Menyingkir ke kedai kumuh ini. Menghampirimu yang sedang minum-minum. Menyampaikan keluh-kesahku padamu.

“Seperti setiap orang, aku juga ingin dianggap serius,” kataku muram.

“Memangnya kau orang?” Matamu yang sudah menguning itu separuh terpejam. Tapi masih kau tenggak juga tuak itu. Menyengat kerongkonganmu keras-keras. Lalu kau pula bersendawa keras-keras. Mengibas-ngibaskan tanganmu padaku hingga menghempas aroma busuk dari ketiakmu ke penciumanku. “Sudah, sana. Jangan ganggu aku terus. Aku ke sini justru supaya aku bisa lari sejenak darimu, tahu? Suh! Suh! Husss…!” Ludah bercipratan dari mulutmu, efektif sungguh untuk menggusahku dari dirimu.

“Sejenak”, katamu? Huh!

***

Walau tampaknya tak ada yang menginginkanku, sesungguhnya ada pula yang menanti-nantikan kehadiranku.

Ia seorang gadis yang tinggal di lantai dua sebuah bangunan. Begitu memasuki ruangannya, harus kau arungi terlebih dulu lautan sampah yang sengaja dikumpulkannya bertahun-tahun. Bagian yang leluasa dari ruangannya itu hanya di tepi jendela, tempatnya duduk mendengarkan cericit beburungan yang ramai namun menenteramkan. Selain itu, ia suka mengamati pemandangan di luar, di bawah.

“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan rindu. Begitu tampak olehnya diriku, aku dirangkulnya, dielus-elusnya.

“Aku tak ke mana-mana. Aku ada di mana-mana,” kataku. Lalu menemaninya duduk mengabsen pedagang keliling yang lalu-lalang di jalan.

“Kau tahu, Kesedihan, sudah tiga hari ini si penjaja sapu tidak lewat.”

“Mungkin dia sedang sakit.”

“Oh….” Dia tampak murung. “Kemarin aku membaca berita—kalau sedang kangen padamu, aku membaca berita, itu membuatku merasa dekat denganmu. Ada berita tentang seorang perempuan di kampung yang membunuh anak-anaknya, lalu membunuh dirinya sendiri. Suaminya tidak ada. Katanya bekerja di kota. Mungkinkah itu si penjaja sapu? Mungkinkah dia absen karena sedang melayat keluarganya?”

“Mungkin.”

Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengusapnya. “Kau tahu, Kesedihan, kenapa aku menyukaimu? Kau membuatku merasa kembali berpijak di bumi. Kesenangan suka mengajakku ke awang-awang. Tapi aku takut ketinggian. Aku takut jatuh. Maka denganmu, aku merasa aman.”

Aku sempat sebal ketika ia menyebut-nyebut nama musuh bebuyutanku itu. Tapi toh diriku yang disukainya. Kesenangan malah mengajaknya pada Ketakutan. Hei, siapa juga yang mau dekat-dekat si begundal itu? Kamipun berpelukan. Ia mulai terisak. Aku mengusap-usap punggungnya. “Keluarkan…. Keluarkan….” Untuk membantunya, kuingatkan dirinya akan segala kesalahannya pada masa lalu. Mimpi-mimpinya yang kandas. (Tak ada teman sebaik orang-orang yang bermimpi! Di mana ada mereka, ke situ aku menuju.) Ia mulai menggerung. Kubelai-belai rambutnya yang gimbal akibat jarang disisir. Kucomot sekalian bungkus kopi yang entah bagaimana menempel di sana dan tidak diketahuinya.

Pada saat itulah hadir Kesenangan. Tanpa menampakkan rasa sungkan sedikitpun, ia masuk ke dalam ruangan dan ikut berangkulan. Mula-mula aku menahan demi gadis  yang sedang khusyuk dalam kemesraannya denganku ini, tapi lama-lama aku melepaskan diri. “Apa-apaan ini?!” sentakku.

Gadis itupun tersadar. “Kesenangan, kau sudah datang?”

“Iya, manisku,” Kesenangan memamerkan senyumnya yang memuakkan.

Mereka terus berangkulan.

Gadis itu berusaha menggaetku lagi, tapi aku terus mengelak. “Kau kenapa?” akhirnya ia bertanya.

“Kesedihan dan Kesenangan tak bisa berada dalam satu ruangan. Aku tak terima itu!” ucapku dengan dongkol. Kau tahu Humor dan Kesenangan adalah sejoli yang selalu berusaha mengenyahkanku jauh-jauh. Orang-orang selalu memihak mereka. Tidak bisakah aku menikmati momen dengan orang yang menginginkan keberadaanku saja? Tapi ternyata aku telah dikhianati!

“Tidak bisakah kalian berdamai?” Nada dan tatapan gadis itu tampak memohon. Ia mencelat dari pelukan Kesenangan lalu terjun ke dalam lautan sampahnya. Ia muncul lagi dengan membawa sebuah kanvas yang ditempeli oleh berbagai warna dan material—mulai dari cat minyak sampai potongan sampah. “Lihat, aku berusaha menyatukan kalian di sini. Warna-warna terang untuk Kesenangan, dan warna-warna gelap untuk Kesedihan.” Ia memandangi kami bergantian. Kesenangan manggut-manggut. Namun aku masih jauh dari harapannya untuk dapat menerima. Bagaimana warna-warna yang saling bertolak-belakang itu dapat teraduk-aduk begini? Sungguh komposisi yang menyayat mata—mencemari hati! Aku juga tidak dapat menerima Kesenangan disebut lebih dulu daripadaku!

“Bagus!” ujar Kesenangan.

“Masak?” Gadis itu memekik girang.

“Jelek!” ujarku masam.

“Masak?” Gadis itu bergumam sendu.

Sementara gadis itu meratapi lukisannya yang amburadul sambil merenungkan perkataan kami, Kesenangan menggiringku ke pojok ruangan.

“Kau harus mengerti. Gadis ini seorang melankolis. Memang sudah tabiatnya menyenangi Kesedihan!”

“Itu aneh!” Aku mengernyit.

“Kau akan terbiasa. Kau ini Kesedihan generasi keberapa sih? Mestinya ayahmu, kakekmu, kakek-buyutmu—atau siapalah dari keluargamu—sudah menyampaikannya padamu. Meskipun kita ini bagaikan air dan minyak, tapi para seniman telah membuktikan bahwa sesungguhnya kita dapat bekerja sama. Kita—”

Kucampakkan tangan Kesenangan yang mulai memegang-megangku. Entah maksudnya itu untuk meyakinkanku atau membakarku sampai menguap. Aku berseru pada si gadis yang sontak terkaget-kaget. “Pada akhirnya kau hanya mencari Kesenangan! Kau mencariku hanya untuk mendapatkan Kesenangan nantinya! Aku tidak terima diduakan begitu! Aku juga perasaan! Kau kira aku terbuat dari apa?”

Akupun membalikkan badan, berusaha mengabaikan jeritan gadis itu. “Jangan pergi, Kesedihan! Bagaimana aku bisa berkarya tanpamu?!” Ia mulai tersedu-sedu.

Langkahku tertahan. Namun kembali melaju begitu terdengar Kesenangan berusaha menghiburnya, “Ia pasti kembali.”

Tidak! Aku tidak akan kembali! Kupaksakan langkahku untuk terus menjauh. Berat rasanya. Aura gadis itu terlalu suram untuk dapat kuhindari. Bahkan meskipun aku sudah berada puluhan meter jauhnya dari tempat itu, kemuramannya masih menggapai-gapaiku. Berusaha menyeretku. Mungkin aku akan kembali. Kesenangan benar. Tidak! Mungkin aku akan kembali tapi bukan karena Kesenangan benar. Tidak! Aku tidak akan kembali! Pokoknya aku tidak akan kembali! Tidak! Cukuplah Kesenangan bagimu, gadisku! Tidak! Aku harus merebutnya dari Kesenangan! Masak aku kalah begitu saja? Mungkin aku akan kembali. Bukan karena Kesenangan yang mengatakannya pada gadis itu, tapi karena aku harus memperjuangkan eksistensiku!

Kericuhan itu menyertaiku sepanjang perjalanan hingga mereda dengan sendirinya.

Aku teringat pula ada janji malam ini. Semoga belum terlambat! Akupun bergegas.

***

Dari jauh tampak sebuah rumah yang ditempeli beberapa titik cahaya. Namun selebihnya temaram. Begitupun bagian dalam rumah itu. Hanya cahaya bulan menerobos dengan lemah melalui lubang-lubang ventilasi serta jendela yang tidak tertutup oleh tirai. Selebihnya gulita. Aku menuju sebuah kamar. Seorang wanita berbaring di tempat tidurnya yang besar. Di dekatnya, Kesepian duduk memetiki senar gitar. Permainan yang lirih itu dihentikannya begitu melihatku.

“Maaf. Sudah lama menunggu, ya?”

“Tidak apa-apa.” Wanita itu tersenyum sambil memperbaiki posisinya hingga bersandar pada kepala tempat tidur. Dalam kegelapan ia tampak lembut dan cantik. Begitupun dari depan. Helai-helai rambutnya membingkai wajahnya yang bulat. Ia tidak memakai topinya. Bagian belakang kepalanya bukan pemandangan yang kau ingin lihat sejak ia divonis mengidap kanker bertahun-tahun lalu.

Aku duduk di samping Kesepian, menghadap wanita itu.

“Sendirian?” tanyaku berbasa-basi.

“Yah…. Seperti biasa….”

“Suamimu dan anak-anakmu tampaknya tidak berada di rumah.”

“Yah…. Mereka sedang pergi. Tidak apa-apa. Mereka capek. Mereka butuh Kesenangan. Lagipula semuanya akan berakhir.”

Sesaat aku meringis sambil berharap wanita itu tidak melihatnya. Kesenangan bersama orang-orang yang lupa. Karena itu ia layak dibenci. Kupegang tangan wanita itu. “Kau siap?” tanyaku.

Ia mengangguk sambil menyambut genggamanku. “Kalian sendiri, siap mengeloniku sampai tidur?” Dikedipkannya sebelah matanya. Mengulangi kegenitan yang barangkali menjadi keahliannya pada masa muda.

Aku dan Kesepian tertawa. “Kami berdua tidak akan melepaskanmu sampai kau lelap, Sayang,” kataku. “Seperti biasa.”

“Seperti biasa,” ia mengulang dalam bisikan.

Pada rak di samping tempat tidurnya telah disiapkan segelas air putih dan sebuah kotak kecil. Di dalam kotak itu terdapat obat dalam berbagai bentuk, warna, dan ukuran yang harus diminumnya sehari-hari. Ia pernah menjelaskan pada kami berdua apa kegunaan dari masing-masing obat itu. Namun pada malam ini ia hanya meminum salah satu jenis saja. Beberapa butir sekaligus. Setelahnya, ia membenamkan bagian atas tubuhnya pada tumpukan bantal yang nyaman.

“Terima kasih telah menjadi teman baikku selama ini,” kata wanita itu.

Kamipun tersenyum padanya dengan setulus-tulusnya.  

“Kami akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu,” kata Kesepian. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kecrekan dan menyerahkannya padaku. “Kuharap kau menyukainya. Ini spesial untukmu. Dan cara yang kau pilih untuk menyudahi segalanya.” Kesepian tidak kuasa menahan haru. Suaranya mulai terdengar seperti mencicit. “Kami akan merindukanmu….” Aku menepuk-nepuk punggungnya. Sisi sentimentalnya mulai kambuh. Jangan sampai menulariku! Lalu ia mengusap mata kanan-kiri dengan sebelah telunjuknya dan berdeham. “Mungkin kami tidak akan bisa menemuimu lagi di alam sana, tapi… kau akan segera mendapatkan gantinya. Kedamaian akan menyambutmu. Sampaikan salam kami padanya. Peace!” Ia mengacungkan jari tengah dan telunjuk tinggi-tinggi lalu dalam sekejap mengganti jari tengah dengan kelingking dan jempol sementara telunjuk tetap di tempat.

Wanita itu tertawa kecil. “Kalian ini selalu berjiwa muda. Oh, aku tak sabar mendengarnya. Ayo, mainkan.”

“Kamu suara satu. Aku suara dua, ya,” Kesepian sempat-sempatnya mengulang instruksi biarpun kami sudah sering sekali memainkan lagu ini sejak mula diciptakan.

“Iya, iya,” kataku.

Kesepian pun memainkan intro lalu suara kami berdua mengalun padu. Begitu sampai di bagian reff, aku membentur-benturkan kecrekan itu ke sisi lututku pelan-pelan.

“…. Suicide is painless. It brings on many changes. And I can take or leave it if I please….[1]

“Lagu yang indah…” terdengar wanita itu berucap di sela-sela pergantian lagu. Biarpun yang kami mainkan adalah lagu yang sama. Terus-menerus. Dengan khidmat

Hingga Kematian menampakkan sosoknya yang mencekam. Namun kami sudah terbiasa. Ia juga. Malah ia mendengus begitu melihat kami. “Lagi-lagi kalian.” Kalau ia punya bola mata, mungkin bakal diputar-putarnya benda itu dalam rongganya.

“Hei, kami ini teman baik orang-orang yang sendirian, tahu?” Kesepian memprotes.

“Teman baik yang buruk, ha-ha,” ia tertawa sinis. “Menambah-nambah tugasku saja. Minggir. Aku lagi butuh privasi.”

Kami pun membereskan alat musik lalu menyingkir ke luar.

“Habis ini mau ke mana?” tegurku pada Kesepian. Biasanya kami ke mana-mana bersama-sama. Nyaris tidak terpisahkan. Memang adakalanya kami punya urusan sendiri-sendiri.

“Sepertinya aku mau melayap ke festival di tengah kota.”

“Lho? Di sana pasti ramai sekali. Bukannya Keramaian itu musuhmu?”

“Hahaha. Kau ini seperti yang tidak tahu saja. Selalu ada yang butuh kutemani biar di tengah hiruk-pikuk sekalipun!”

Kesepian menepuk pundakku lalu kami berpisah jalan. Kuputuskan untuk mencari teman juga. Ke tempatmu.

***

Di tengah jalan aku terpikir untuk membawa adik-adikku serta. Mengingat perlakuanmu yang terakhir padaku, aku merasa agak trauma. Kuharap keberadaan adik-adikku yang bongsor-bongsor itu akan membuatku merasa tenang, sekaligus memberimu lebih banyak dukungan.

Kami lebih dikenal dengan nama klan ketimbang nama personal. Jadi boleh juga kami disebut dengan Kesedihan 1, Kesedihan 2, Kesedihan 3, Kesedihan 4, dan seterusnya…. Kami juga memiliki banyak nama alias seperti Kedukaan, Kegetiran, Keharuan, Kepahitan, Kepedihan, Kepiluan, Keprihatinan, Kesayuan, dan sebagainya[2]. Terserah mau memanggil dengan yang mana. Semua sama saja. Hanya yang satu kemungkinan lebih besar—atau lebih sering menggentayangimu—daripada yang lain. Nah, apabila keluarga besar kami berkumpul, orang biasanya memberi julukan yang khas pula pada kami, yaitu Depresi.

Kami mendapatimu masih terkapar di kamar pada waktu siang. Mungkin akibat maraton tuak kapan itu.

“Kasihan dia. Kalau begini dia kesiangan masuk kerja lagi. Dipecat lagi. Mari kita bangunkan dia,” kataku.

Adik-adikku dengan patuh menurut. Mereka mulai mengguncang-guncang, menepuk-nepuk, dan memukul-mukul kepalamu, pipimu, pundakmu, lenganmu, punggungmu, pantatmu, pahamu, betismu, tumitmu, sampai ujung jempol kakimu.

Kau pun mengerang. Memegangi kepalamu. Menggeliat-geliat. Berusaha bangkit tapi ambruk lagi. Meringkuk lagi. Adik-adikku berusaha membangunkanmu lagi sampai akhirnya kau sanggup membuka mata. Terbelalak. “Jangan keroyokan begini dong!” keluhmu. Lalu kau merutuk-rutuk, tersedu-sedu.

Namun kami temanmu yang setia! Bagaimanapun upayamu mengusir kami, tak ada yang benar-benar ampuh. Kau bisa saja mengabaikan yang lain, tapi akan selalu ada di antara kami yang mendampingimu. Kami menyayangimu! Kami ingin kau dapat menghadapi kenyataan dengan tegar! Maka di sini kami mengerumunimu rapat-rapat. Membentengimu dari Humor cecurut yang mulai mengendus-endus adanya peluang usaha. Tak akan kami biarkan ia menemukan celah supaya dapat menyusup dan menawarkan jasa tipu-tipunya itu padamu.[]



[1] Dari soundtrack film MASH (AS), “Suicide is Painless”

[2] Terima kasih, Tesaurus!

Minggu, 03 Agustus 2014

Nyonya Misti

Ia hampir tidak melakukan apa-apa sepanjang pagi hingga siang ini, selain tidur, sekadar meneruskan yang semalaman.

Namun, mendekati tengah hari ia bangkit dengan keinginan yang menghentak-hentak bagian dalam dadanya: “Aku ingin menjadi istri teladan!” Ya, itulah yang diinginkannya, menjadi istri teladan! Ia pernah mencita-citakannya. Saat berpacaran dengan lelaki yang dicintainya. Saat bersanding dengan lelaki itu di depan penghulu, di atas pelaminan. Saat itu ia belum benar-benar menjalani upaya untuk menjadi istri teladan. Namun ia telah mencari tahu lewat cukup banyak bacaan, dan merasa mantap bahwa itulah jalan yang telah ditakdirkan untuknya. Ikatan pun dikukuhkan. Ikrar dilantunkan. Aku akan menjalani sisa hidupku bersamamu. Dengan sepenuh hati.

Akhirnya, ia keluar dari kamar, untuk yang kedua kalinya dalam sepanjang hari itu. Pada kali pertama, ia terpaksa bangun karena diteriaki ibunya yang kehabisan sendok untuk sarapan (dengan tambahan: “Ibumu ini sudah tua dan capek!”). Perabotan kotor menggunung di bak cuci dan sekitarnya. Sementara ia membayangkan dirinya membanting setiap pecah-belah yang dicucinya, lalu menghunjamkan pecahan yang paling tajam ke lehernya sendiri, ibunya bertanya apakah ia perlu diantar ke psikolog. Semasa muda, ia sering mengharapkan orangtuanya agar menanyakan itu. Namun ketika harapannya terkabul, ia sudah tidak memercayai yang semacam itu lagi. Kalau orang-orang itu memang tulus, mereka akan rela membantunya membenahi masalah tanpa dibayar. Oh, ya, mereka butuh makan. Kami juga! Untuk apa memberi makan pada kalian sementara kami sendiri kesulitan untuk memenuhinya!?

Ia duduk di kursi paling ujung di ruang makan, membuka sebungkus nasi kuning yang dibelikan ibunya tadi pagi. Kepingan-kepingan kerupuk membuat gundukan lembek itu dapat ditelan.

Ia merasa ingin menangis karena teringat akan mimpinya untuk menjadi istri teladan. Lalu melihat ibunya berpakaian seperti hendak bepergian. Ibunya menutup pintu depan dari luar. Mungkin ibunya hendak berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, mungkin akan lama. Mungkin ibunya sekadar pergi ke warung, mungkin sebentar saja. Sekarang ia sendirian di rumah—apabila kucing-kucing ibunya, dan cecak, dan kecoak, dan kaki seribu yang kadang merayap di muka kamarnya, dan berbagai makhluk hidup lainnya yang tidak kelihatan, tidak masuk hitungan. 

Matanya terasa panas dan penuh. Ia mengusap keduanya dengan punggung tangan dan jemari yang meringkuk. Setetes air bergulir di sisi tangannya itu. Ia mengusapnya dengan tangan yang satu lagi. Lalu tangan itu dipakainya kembali untuk mengusap mata, dan lagi, lagi, dan lagi….

Ini yang kedua kalinya dalam beberapa hari ini.

Ia pernah membaca biografi tentang Alkindi—seorang filsuf pada masa kejayaan peradaban Islam. Dalam buku itu dikatakan bahwa kesedihan ada karena ketidakmampuan dalam menjangkau keinginan. Demikianpun dikatakan oleh temannya (yang sudah tidak berhubungan lagi dengannya) sewaktu mendapat pelajaran filsafat di perkuliahan. Saat itu lama sebelum ia membaca buku tentang Alkindi, dan ia berpikir: Beruntung aku membatasi keinginanku. Aku tidak ingin pakaian mahal maupun kemewahan lainnya, yang dapat mendorong seorang suami untuk melakukan korupsi. Aku hanya ingin menjadi perempuan hebat di balik seorang lelaki cemerlang. Keyakinannya terkuatkan oleh kata-kata yang ditemukannya secara tidak sengaja di kamus: Kebahagiaan itu keinginan yang sedikit.

Sebetulnya ia memiliki banyak keinginan selain menjadi istri teladan. Banyak. Tapi saat ini hanya itu yang membuatnya sering termenung hingga lama—terlalu lama menurut orang-orang yang mengetahuinya—dan akibatnya menangis sewaktu-waktu.

Harusnya ia tidak memikirkannya seserius itu, ia menyadarinya. Ia bisa tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sembari menjadi yang lainnya, demi menjaga kestabilannya baik secara mental maupun finansial, dengan membagi waktu. Ia pernah menjalani kehidupan ganda seperti itu, belasan tahun lamanya. Namun kini ia memilih untuk tidak menjadi keduanya, kendati masih memiliki berbagai hal yang diperlukan untuk menjadi “istri teladan”: waktu, buku-buku self-help, peralatan memasak dan menjahit, orangtua yang tidak lagi menuntutnya untuk memenuhi berbagai peran dan tanggung jawab melainkan mengingatkannya sesekali saja sembari memendam kesedihan, anak-anak yang menyenangkan walau nilai-nilai mereka tidak pernah mencukupi untuk dapat memasukkan mereka ke sekolah yang bagus (dan belakangan ini mereka jarang berada di rumah), dan seterusnya, dan sebagainya… kecuali satu.

Aneh, pikirnya. Belasan tahun lelaki itu mencekoki pikirannya; menjadi sarana baginya untuk mengaktualisasikan diri, memenuhi kebutuhan, mencapai kepuasan…. Lalu pada satu titik lelaki itu tidak lagi berarti baginya. Ia telah memikirkan berbagai hal yang kemungkinan adalah penyebabnya, dan yakin bahwa kepala yang membotak dan perut yang membuncit bukanlah salah satu (atau dua?) di antaranya. Seperti orang yang belajar memainkan suatu alat musik sedari kecil, dan diarahkan untuk menjadi musisi andal, lalu setelah dewasa menjadi bosan dan ingin memiliki keterampilan lain, profesi lain…. Ia telah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk musik, namun musik tidak memberinya penghidupan yang baik: kepribadiannya menjadi eksentrik, orang-orang lebih suka mengunduh karyanya secara cuma-cuma alih-alih membayar jerih payahnya, dan tidak ada produser yang tertarik padanya lagi.

Ketika memijat bahu maupun menyeterika baju suaminya, ia merasakan kesia-siaan. Dengan tubuh yang segar maupun setelan yang rapi, lelaki itu sudah tidak punya tempat untuk dituju. Mestinya ia menyadari sejak awal bahwa lelaki itu memiliki visi yang samar dan kepribadian yang lembam dalam kehidupan yang tidak menentu ini. Tapi cinta mengesampingkan segalanya; kesenangan menumpulkan pikiran. Mereka tidak mengantisipasi apapun yang mungkin mengadang di depan. Mereka hanya mengharapkan kegemilangan. Bisnis itu kini kandas, dan entah sampai kapan mereka mengandalkan cucuran dana dari orangtua. Padahal mereka tidak bisa lagi disebut anak-anak.

Pun, ternyata, sebagai perempuan ia tidak begitu hebat dalam menjadikan suaminya seorang lelaki yang cemerlang. Kadang ia berpikir, mungkinkah ini azab Tuhan, mungkinkah ada yang salah dalam caranya menjalani kehidupan—hubungan dengan suaminya, mungkinkah yang salah adalah keputusannya untuk mengikatkan diri dengan lelaki itu, sementara semasa muda pilihan lain—yang mungkin saja akan menggiring nasibnya ke arah yanglebih baik—terbuka baginya, asalkan ia mau berusaha lebih keras alih-alih percaya begitu saja pada intuisi.

“Ya, aku ingin punya selingkuhan! Dasar kau lelaki tua memuakkan yang tidak bisa lagi memberiku apa-apa! Aku ingin kembali pada orangtuaku saja!”

BLAM.

Setelah makan, ia menyempatkan diri untuk mencari sedikit kesenangan. Ia menyalakan TV dan menonton sinetron; aktor-aktor muda yang tampan. Belum lama ini mendatangi minimarket di dekat rumah orangtuanya untuk membeli sedikit keperluan. Di salah satu lorong, ia berpapasan dengan karyawan minimarket itu. Mungkin baru lulus dari SMK. Tampak manis sekaligus gagah dalam seragamnya, dan kartu identitas yang menggantung dari saku di bagian dadanya. Tebersit bayangan untuk menculik pemuda itu lalu mengurungnya di ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, dan memberinya kenikmatan yang menyiksa. Tapi ia menjadi sedih berkat kewarasan yang menahannya untuk berbuat. Selain karena ia tidak memiliki ruang bawah tanah, dan menyadari bahwa pemuda itu mungkin saja sepantar dengan putranya membuatnya merasa jijik pada diri sendiri.

Ia pun mematikan TV, dan kembali ke tempat tidur. Dalam pencariannya akan selingkuhan yang tidak kunjung ditemukannya (oh, siapa juga yang sudi dengan perempuan ringkih lagi busuk ini?), untungnya ia masih memiliki pelarian. Ia telah kehilangan mimpinya yang satu, tapi masih memiliki mimpi-mimpinya yang lain—dalam tidurnya. Atau malah, justru inilah tujuannya yang baru: tidur selamanya. Memang rekornya baru mencapai dua belas jam sehari, namun ia yakin, kegigihan lambat laun akan membawanya pada tujuan itu.

Maka sembari menunggu kantuk, ia menyalakan ponselnya. Orang-orang dalam daftar kontak di ponselnya acapkali menjadi sasarannya dalam melampiaskan masalah keluarga. Mereka yang tidak tahan mendengarkan ocehannya telah disingkirkannya dari daftar. Sebetulnya ia sudah jenuh menjenuhkan orang-orang itu dengan persoalan yang itu-itu saja. Tapi ia seringkali tidak memiliki hiburan lain. Bahkan ketika ia tidak sedang ingin membicarakan tentang keluarga, orang-orang itu yang akan menanyakannya. Agaknya mereka pun sudah terbiasa dijenuhkan dan membalasnya dengan menambah-nambah kejenuhannya.

Seolah tahu bahwa ponselnya telah dinyalakan, sebuah panggilan datang. Tetangganya melaporkan, “Tora di tempat saya. Lagi makan.”

“Terima kasih, Mbak.” Tetangganya itu selalu baik kepadanya. Betapapun ia sering menghujani perempuan itu dengan keluhan. “Maaf, sering merepotkan.”

“Enggak apa-apa.” Tetangganya itu terdiam lama. “Tahu kan SBMPTN sebentar lagi?”

“Iya, Mbak.” Tetangganya itu juga kadang mengingatkannya akan buah hati yang terlanjur mbrojol dari dalam dirinya—hasil pergulatannya bersama suaminya. Tetangganya itu tidak perlu lagi memberitahunya untuk pulang dan mendampingi Tora. Dan mencari cara untuk membiayai kuliah anak itu, di samping kebutuhan mereka sehari-hari. Atau pemuda itu akan membusuk di dalam ruang bawah tanah miliki seorang perempuan paruh baya, yang mengiming-iminginya dengan kekayaan yang tidak mampu diberikan oleh orangtuanya sendiri. Kadang kehidupan anaknya terasa bagai ilusi, hingga dipikirnya ia harus mendengar Tora sendiri yang bersuara. “Bisa ngobrol sama Tora?”

“Sebentar.”

Ia menunggu.

“Tora udah pergi, ternyata.”

Sambungan telah ditutup, namun ia masih menggenggam ponselnya dan menduga. Anaknya tidak pergi, hanya menantinya mendekat dengan langkahnya sendiri.[]


Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain