Ruang
Senin, 25 Agustus 2014
Seandainya Saya Guru Bahasa Indonesia
Rabu, 20 Agustus 2014
Namaku Kesedihan
Namaku Kesedihan. Orang-orang suka menertawakanku. Kau tahu bagaimana
sakitnya ditertawakan. Bukan karena kau memang bermaksud melucu, melainkan
karena kau dianggap buruk, remeh, dan rendah. Kau tahu orang menertawakan suatu
hal karena merasa superior. Sungguh, itu ada dalam teori tentang Humor.
Ah…! Ya, ya. Humorlah si jahanam itu, dalang di balik inferioritasku.
Orang-orang menggunakan jasanya untuk melawanku. Dengan cara apapun. Lewat
corong manapun. Ia ada di TV, di buku, di radio, di bacotmu—mungkin.
Dan ia melaksanakan tugasnya dengan keterlaluan baiknya. Begitu melihatku,
ia akan menunjuk-nunjuk dengan jari-jemarinya yang keriting. “Itu Kesedihan!
Mari tertawakan!”
Orang-orangpun mendekat, dan turut menunjuk-nunjuk. Tawa mereka membahana.
“Hei, Kesedihan! Kau tak layak berada di muka bumi! Hahahaha….”
Aih! Bisa kau bayangkan ada yang mengatakan itu padamu? Bisa kau bayangkan
betapa perihnya? Begini-begini, aku juga perasaan!
Akupun menjauh. Menyingkir ke kedai kumuh ini. Menghampirimu yang sedang minum-minum.
Menyampaikan keluh-kesahku padamu.
“Seperti setiap orang, aku juga ingin dianggap serius,” kataku muram.
“Memangnya kau orang?” Matamu yang sudah menguning itu separuh terpejam.
Tapi masih kau tenggak juga tuak itu. Menyengat kerongkonganmu keras-keras.
Lalu kau pula bersendawa keras-keras. Mengibas-ngibaskan tanganmu padaku hingga
menghempas aroma busuk dari ketiakmu ke penciumanku. “Sudah, sana. Jangan
ganggu aku terus. Aku ke sini justru supaya aku bisa lari sejenak darimu, tahu?
Suh! Suh! Husss…!” Ludah bercipratan dari mulutmu, efektif sungguh untuk
menggusahku dari dirimu.
“Sejenak”, katamu? Huh!
***
Walau tampaknya tak ada yang menginginkanku, sesungguhnya ada pula yang
menanti-nantikan kehadiranku.
Ia seorang gadis yang tinggal di lantai dua sebuah bangunan. Begitu
memasuki ruangannya, harus kau arungi terlebih dulu lautan sampah yang sengaja
dikumpulkannya bertahun-tahun. Bagian yang leluasa dari ruangannya itu hanya di
tepi jendela, tempatnya duduk mendengarkan cericit beburungan yang ramai namun
menenteramkan. Selain itu, ia suka mengamati pemandangan di luar, di bawah.
“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan rindu. Begitu tampak olehnya diriku,
aku dirangkulnya, dielus-elusnya.
“Aku tak ke mana-mana. Aku ada di mana-mana,” kataku. Lalu menemaninya
duduk mengabsen pedagang keliling yang lalu-lalang di jalan.
“Kau tahu, Kesedihan, sudah tiga hari ini si penjaja sapu tidak lewat.”
“Mungkin dia sedang sakit.”
“Oh….” Dia tampak murung. “Kemarin aku membaca berita—kalau sedang kangen
padamu, aku membaca berita, itu membuatku merasa dekat denganmu. Ada berita
tentang seorang perempuan di kampung yang membunuh anak-anaknya, lalu membunuh
dirinya sendiri. Suaminya tidak ada. Katanya bekerja di kota. Mungkinkah itu si
penjaja sapu? Mungkinkah dia absen karena sedang melayat keluarganya?”
“Mungkin.”
Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengusapnya. “Kau tahu, Kesedihan,
kenapa aku menyukaimu? Kau membuatku merasa kembali berpijak di bumi.
Kesenangan suka mengajakku ke awang-awang. Tapi aku takut ketinggian. Aku takut
jatuh. Maka denganmu, aku merasa aman.”
Aku sempat sebal ketika ia menyebut-nyebut nama musuh bebuyutanku itu.
Tapi toh diriku yang disukainya. Kesenangan malah mengajaknya pada Ketakutan.
Hei, siapa juga yang mau dekat-dekat si begundal itu? Kamipun berpelukan. Ia
mulai terisak. Aku mengusap-usap punggungnya. “Keluarkan…. Keluarkan….” Untuk
membantunya, kuingatkan dirinya akan segala kesalahannya pada masa lalu. Mimpi-mimpinya
yang kandas. (Tak ada teman sebaik orang-orang yang bermimpi! Di mana ada
mereka, ke situ aku menuju.) Ia mulai menggerung. Kubelai-belai rambutnya yang
gimbal akibat jarang disisir. Kucomot sekalian bungkus kopi yang entah
bagaimana menempel di sana dan tidak diketahuinya.
Pada saat itulah hadir Kesenangan. Tanpa menampakkan rasa sungkan
sedikitpun, ia masuk ke dalam ruangan dan ikut berangkulan. Mula-mula aku
menahan demi gadis yang sedang khusyuk
dalam kemesraannya denganku ini, tapi lama-lama aku melepaskan diri. “Apa-apaan
ini?!” sentakku.
Gadis itupun tersadar. “Kesenangan, kau sudah datang?”
“Iya, manisku,” Kesenangan memamerkan senyumnya yang memuakkan.
Mereka terus berangkulan.
Gadis itu berusaha menggaetku lagi, tapi aku terus mengelak. “Kau kenapa?”
akhirnya ia bertanya.
“Kesedihan dan Kesenangan tak bisa berada dalam satu ruangan. Aku tak
terima itu!” ucapku dengan dongkol. Kau tahu Humor dan Kesenangan adalah sejoli
yang selalu berusaha mengenyahkanku jauh-jauh. Orang-orang selalu memihak
mereka. Tidak bisakah aku menikmati momen dengan orang yang menginginkan
keberadaanku saja? Tapi ternyata aku telah dikhianati!
“Tidak bisakah kalian berdamai?” Nada dan tatapan gadis itu tampak
memohon. Ia mencelat dari pelukan Kesenangan lalu terjun ke dalam lautan
sampahnya. Ia muncul lagi dengan membawa sebuah kanvas yang ditempeli oleh berbagai
warna dan material—mulai dari cat minyak sampai potongan sampah. “Lihat, aku
berusaha menyatukan kalian di sini. Warna-warna terang untuk Kesenangan, dan warna-warna
gelap untuk Kesedihan.” Ia memandangi kami bergantian. Kesenangan
manggut-manggut. Namun aku masih jauh dari harapannya untuk dapat menerima.
Bagaimana warna-warna yang saling bertolak-belakang itu dapat teraduk-aduk begini?
Sungguh komposisi yang menyayat mata—mencemari hati! Aku juga tidak dapat
menerima Kesenangan disebut lebih dulu daripadaku!
“Bagus!” ujar Kesenangan.
“Masak?” Gadis itu memekik girang.
“Jelek!” ujarku masam.
“Masak?” Gadis itu bergumam sendu.
Sementara gadis itu meratapi lukisannya yang amburadul sambil merenungkan
perkataan kami, Kesenangan menggiringku ke pojok ruangan.
“Kau harus mengerti. Gadis ini seorang melankolis. Memang sudah tabiatnya
menyenangi Kesedihan!”
“Itu aneh!” Aku mengernyit.
“Kau akan terbiasa. Kau ini Kesedihan generasi keberapa sih? Mestinya ayahmu,
kakekmu, kakek-buyutmu—atau siapalah dari keluargamu—sudah menyampaikannya
padamu. Meskipun kita ini bagaikan air dan minyak, tapi para seniman telah
membuktikan bahwa sesungguhnya kita dapat bekerja sama. Kita—”
Kucampakkan tangan Kesenangan yang mulai memegang-megangku. Entah maksudnya
itu untuk meyakinkanku atau membakarku sampai menguap. Aku berseru pada si
gadis yang sontak terkaget-kaget. “Pada akhirnya kau hanya mencari Kesenangan!
Kau mencariku hanya untuk mendapatkan Kesenangan nantinya! Aku tidak terima
diduakan begitu! Aku juga perasaan! Kau kira aku terbuat dari apa?”
Akupun membalikkan badan, berusaha mengabaikan jeritan gadis itu. “Jangan
pergi, Kesedihan! Bagaimana aku bisa berkarya tanpamu?!” Ia mulai tersedu-sedu.
Langkahku tertahan. Namun kembali melaju begitu terdengar Kesenangan
berusaha menghiburnya, “Ia pasti kembali.”
Tidak! Aku tidak akan kembali! Kupaksakan langkahku untuk terus menjauh.
Berat rasanya. Aura gadis itu terlalu suram untuk dapat kuhindari. Bahkan
meskipun aku sudah berada puluhan meter jauhnya dari tempat itu, kemuramannya
masih menggapai-gapaiku. Berusaha menyeretku. Mungkin aku akan kembali.
Kesenangan benar. Tidak! Mungkin aku akan kembali tapi bukan karena Kesenangan
benar. Tidak! Aku tidak akan kembali! Pokoknya aku tidak akan kembali! Tidak!
Cukuplah Kesenangan bagimu, gadisku! Tidak! Aku harus merebutnya dari
Kesenangan! Masak aku kalah begitu saja? Mungkin aku akan kembali. Bukan karena
Kesenangan yang mengatakannya pada gadis itu, tapi karena aku harus
memperjuangkan eksistensiku!
Kericuhan itu menyertaiku sepanjang perjalanan hingga mereda dengan
sendirinya.
Aku teringat pula ada janji malam ini. Semoga belum terlambat! Akupun
bergegas.
***
Dari jauh tampak sebuah rumah yang ditempeli beberapa titik cahaya. Namun
selebihnya temaram. Begitupun bagian dalam rumah itu. Hanya cahaya bulan
menerobos dengan lemah melalui lubang-lubang ventilasi serta jendela yang tidak
tertutup oleh tirai. Selebihnya gulita. Aku menuju sebuah kamar. Seorang wanita
berbaring di tempat tidurnya yang besar. Di dekatnya, Kesepian duduk memetiki senar
gitar. Permainan yang lirih itu dihentikannya begitu melihatku.
“Maaf. Sudah lama menunggu, ya?”
“Tidak apa-apa.” Wanita itu tersenyum sambil memperbaiki posisinya hingga
bersandar pada kepala tempat tidur. Dalam kegelapan ia tampak lembut dan
cantik. Begitupun dari depan. Helai-helai rambutnya membingkai wajahnya yang
bulat. Ia tidak memakai topinya. Bagian belakang kepalanya bukan pemandangan
yang kau ingin lihat sejak ia divonis mengidap kanker bertahun-tahun lalu.
Aku duduk di samping Kesepian, menghadap wanita itu.
“Sendirian?” tanyaku berbasa-basi.
“Yah…. Seperti biasa….”
“Suamimu dan anak-anakmu tampaknya tidak berada di rumah.”
“Yah…. Mereka sedang pergi. Tidak apa-apa. Mereka capek. Mereka butuh
Kesenangan. Lagipula semuanya akan berakhir.”
Sesaat aku meringis sambil berharap wanita itu tidak melihatnya.
Kesenangan bersama orang-orang yang lupa. Karena itu ia layak dibenci. Kupegang
tangan wanita itu. “Kau siap?” tanyaku.
Ia mengangguk sambil menyambut genggamanku. “Kalian sendiri, siap
mengeloniku sampai tidur?” Dikedipkannya sebelah matanya. Mengulangi kegenitan
yang barangkali menjadi keahliannya pada masa muda.
Aku dan Kesepian tertawa. “Kami berdua tidak akan melepaskanmu sampai kau
lelap, Sayang,” kataku. “Seperti biasa.”
“Seperti biasa,” ia mengulang dalam bisikan.
Pada rak di samping tempat tidurnya telah disiapkan segelas air putih dan
sebuah kotak kecil. Di dalam kotak itu terdapat obat dalam berbagai bentuk, warna,
dan ukuran yang harus diminumnya sehari-hari. Ia pernah menjelaskan pada kami
berdua apa kegunaan dari masing-masing obat itu. Namun pada malam ini ia hanya
meminum salah satu jenis saja. Beberapa butir sekaligus. Setelahnya, ia
membenamkan bagian atas tubuhnya pada tumpukan bantal yang nyaman.
“Terima kasih telah menjadi teman baikku selama ini,” kata wanita itu.
Kamipun tersenyum padanya dengan setulus-tulusnya.
“Kami akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu,” kata Kesepian. Dari
dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kecrekan dan menyerahkannya padaku.
“Kuharap kau menyukainya. Ini spesial untukmu. Dan cara yang kau pilih untuk
menyudahi segalanya.” Kesepian tidak kuasa menahan haru. Suaranya mulai
terdengar seperti mencicit. “Kami akan merindukanmu….” Aku menepuk-nepuk
punggungnya. Sisi sentimentalnya mulai kambuh. Jangan sampai menulariku! Lalu ia
mengusap mata kanan-kiri dengan sebelah telunjuknya dan berdeham. “Mungkin kami
tidak akan bisa menemuimu lagi di alam sana, tapi… kau akan segera mendapatkan
gantinya. Kedamaian akan menyambutmu. Sampaikan salam kami padanya. Peace!” Ia mengacungkan jari tengah dan
telunjuk tinggi-tinggi lalu dalam sekejap mengganti jari tengah dengan
kelingking dan jempol sementara telunjuk tetap di tempat.
Wanita itu tertawa kecil. “Kalian ini selalu berjiwa muda. Oh, aku tak
sabar mendengarnya. Ayo, mainkan.”
“Kamu suara satu. Aku suara dua, ya,” Kesepian sempat-sempatnya mengulang
instruksi biarpun kami sudah sering sekali memainkan lagu ini sejak mula
diciptakan.
“Iya, iya,” kataku.
Kesepian pun memainkan intro lalu suara kami berdua mengalun padu. Begitu
sampai di bagian reff, aku membentur-benturkan
kecrekan itu ke sisi lututku pelan-pelan.
“…. Suicide is painless. It brings
on many changes. And I can take or leave it if I please….[1]”
“Lagu yang indah…” terdengar wanita itu berucap di sela-sela pergantian
lagu. Biarpun yang kami mainkan adalah lagu yang sama. Terus-menerus. Dengan
khidmat
Hingga Kematian menampakkan sosoknya yang mencekam. Namun kami sudah
terbiasa. Ia juga. Malah ia mendengus begitu melihat kami. “Lagi-lagi kalian.”
Kalau ia punya bola mata, mungkin bakal diputar-putarnya benda itu dalam
rongganya.
“Hei, kami ini teman baik orang-orang yang sendirian, tahu?” Kesepian
memprotes.
“Teman baik yang buruk, ha-ha,”
ia tertawa sinis. “Menambah-nambah tugasku saja. Minggir. Aku lagi butuh
privasi.”
Kami pun membereskan alat musik lalu menyingkir ke luar.
“Habis ini mau ke mana?” tegurku pada Kesepian. Biasanya kami ke mana-mana
bersama-sama. Nyaris tidak terpisahkan. Memang adakalanya kami punya urusan
sendiri-sendiri.
“Sepertinya aku mau melayap ke festival di tengah kota.”
“Lho? Di sana pasti ramai sekali. Bukannya Keramaian itu musuhmu?”
“Hahaha. Kau ini seperti yang tidak tahu saja. Selalu ada yang butuh
kutemani biar di tengah hiruk-pikuk sekalipun!”
Kesepian menepuk pundakku lalu kami berpisah jalan. Kuputuskan untuk
mencari teman juga. Ke tempatmu.
***
Di tengah jalan aku terpikir untuk membawa adik-adikku serta. Mengingat
perlakuanmu yang terakhir padaku, aku merasa agak trauma. Kuharap keberadaan
adik-adikku yang bongsor-bongsor itu akan membuatku merasa tenang, sekaligus
memberimu lebih banyak dukungan.
Kami lebih dikenal dengan nama klan ketimbang nama personal. Jadi boleh
juga kami disebut dengan Kesedihan 1, Kesedihan 2, Kesedihan 3, Kesedihan 4,
dan seterusnya…. Kami juga memiliki banyak nama alias seperti Kedukaan,
Kegetiran, Keharuan, Kepahitan, Kepedihan, Kepiluan, Keprihatinan, Kesayuan,
dan sebagainya[2].
Terserah mau memanggil dengan yang mana. Semua sama saja. Hanya yang satu
kemungkinan lebih besar—atau lebih sering menggentayangimu—daripada yang lain. Nah,
apabila keluarga besar kami berkumpul, orang biasanya memberi julukan yang khas
pula pada kami, yaitu Depresi.
Kami mendapatimu masih terkapar di kamar pada waktu siang. Mungkin akibat
maraton tuak kapan itu.
“Kasihan dia. Kalau begini dia kesiangan masuk kerja lagi. Dipecat lagi. Mari
kita bangunkan dia,” kataku.
Adik-adikku dengan patuh menurut. Mereka mulai mengguncang-guncang,
menepuk-nepuk, dan memukul-mukul kepalamu, pipimu, pundakmu, lenganmu,
punggungmu, pantatmu, pahamu, betismu, tumitmu, sampai ujung jempol kakimu.
Kau pun mengerang. Memegangi kepalamu. Menggeliat-geliat. Berusaha bangkit
tapi ambruk lagi. Meringkuk lagi. Adik-adikku berusaha membangunkanmu lagi
sampai akhirnya kau sanggup membuka mata. Terbelalak. “Jangan keroyokan begini
dong!” keluhmu. Lalu kau merutuk-rutuk, tersedu-sedu.
Namun kami temanmu yang setia! Bagaimanapun upayamu mengusir kami, tak ada
yang benar-benar ampuh. Kau bisa saja mengabaikan yang lain, tapi akan selalu
ada di antara kami yang mendampingimu. Kami menyayangimu! Kami ingin kau dapat
menghadapi kenyataan dengan tegar! Maka di sini kami mengerumunimu rapat-rapat.
Membentengimu dari Humor cecurut yang mulai mengendus-endus adanya peluang
usaha. Tak akan kami biarkan ia menemukan celah supaya dapat menyusup dan
menawarkan jasa tipu-tipunya itu padamu.[]
Minggu, 03 Agustus 2014
Nyonya Misti
Ia hampir tidak melakukan
apa-apa sepanjang pagi hingga siang ini, selain tidur, sekadar meneruskan yang
semalaman.
Namun, mendekati tengah hari
ia bangkit dengan keinginan yang menghentak-hentak bagian dalam dadanya: “Aku
ingin menjadi istri teladan!” Ya, itulah yang diinginkannya, menjadi istri
teladan! Ia pernah mencita-citakannya. Saat berpacaran dengan lelaki yang
dicintainya. Saat bersanding dengan lelaki itu di depan penghulu, di atas
pelaminan. Saat itu ia belum benar-benar menjalani upaya untuk menjadi istri
teladan. Namun ia telah mencari tahu lewat cukup banyak bacaan, dan merasa
mantap bahwa itulah jalan yang telah ditakdirkan untuknya. Ikatan pun
dikukuhkan. Ikrar dilantunkan. Aku akan
menjalani sisa hidupku bersamamu. Dengan sepenuh hati.
Akhirnya, ia keluar dari
kamar, untuk yang kedua kalinya dalam sepanjang hari itu. Pada kali pertama, ia
terpaksa bangun karena diteriaki ibunya yang kehabisan sendok untuk sarapan
(dengan tambahan: “Ibumu ini sudah tua dan capek!”). Perabotan kotor menggunung
di bak cuci dan sekitarnya. Sementara ia membayangkan dirinya membanting setiap
pecah-belah yang dicucinya, lalu menghunjamkan pecahan yang paling tajam ke
lehernya sendiri, ibunya bertanya apakah ia perlu diantar ke psikolog. Semasa
muda, ia sering mengharapkan orangtuanya agar menanyakan itu. Namun ketika
harapannya terkabul, ia sudah tidak memercayai yang semacam itu lagi. Kalau orang-orang itu memang tulus, mereka
akan rela membantunya membenahi masalah tanpa dibayar. Oh, ya, mereka butuh
makan. Kami juga! Untuk apa memberi makan pada kalian sementara kami sendiri
kesulitan untuk memenuhinya!?
Ia duduk di kursi paling
ujung di ruang makan, membuka sebungkus nasi kuning yang dibelikan ibunya tadi
pagi. Kepingan-kepingan kerupuk membuat gundukan lembek itu dapat ditelan.
Ia merasa ingin menangis
karena teringat akan mimpinya untuk menjadi istri teladan. Lalu melihat ibunya
berpakaian seperti hendak bepergian. Ibunya menutup pintu depan dari luar.
Mungkin ibunya hendak berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, mungkin akan lama.
Mungkin ibunya sekadar pergi ke warung, mungkin sebentar saja. Sekarang ia
sendirian di rumah—apabila kucing-kucing ibunya, dan cecak, dan kecoak, dan
kaki seribu yang kadang merayap di muka kamarnya, dan berbagai makhluk hidup
lainnya yang tidak kelihatan, tidak masuk hitungan.
Matanya terasa panas dan
penuh. Ia mengusap keduanya dengan punggung tangan dan jemari yang meringkuk.
Setetes air bergulir di sisi tangannya itu. Ia mengusapnya dengan tangan yang
satu lagi. Lalu tangan itu dipakainya kembali untuk mengusap mata, dan lagi,
lagi, dan lagi….
Ini yang kedua kalinya dalam
beberapa hari ini.
Ia pernah membaca biografi
tentang Alkindi—seorang filsuf pada masa kejayaan peradaban Islam. Dalam buku
itu dikatakan bahwa kesedihan ada karena ketidakmampuan dalam menjangkau
keinginan. Demikianpun dikatakan oleh temannya (yang sudah tidak berhubungan
lagi dengannya) sewaktu mendapat pelajaran filsafat di perkuliahan. Saat itu
lama sebelum ia membaca buku tentang Alkindi, dan ia berpikir: Beruntung aku membatasi keinginanku. Aku
tidak ingin pakaian mahal maupun kemewahan lainnya, yang dapat mendorong
seorang suami untuk melakukan korupsi. Aku hanya ingin menjadi perempuan hebat
di balik seorang lelaki cemerlang. Keyakinannya terkuatkan oleh kata-kata
yang ditemukannya secara tidak sengaja di kamus: Kebahagiaan itu keinginan yang sedikit.
Sebetulnya ia memiliki
banyak keinginan selain menjadi istri teladan. Banyak. Tapi saat ini hanya itu yang membuatnya sering termenung
hingga lama—terlalu lama menurut orang-orang yang mengetahuinya—dan akibatnya
menangis sewaktu-waktu.
Harusnya ia tidak
memikirkannya seserius itu, ia menyadarinya. Ia bisa tetap menjalankan perannya
sebagai ibu rumah tangga sembari menjadi yang
lainnya, demi menjaga kestabilannya baik secara mental maupun finansial,
dengan membagi waktu. Ia pernah menjalani kehidupan ganda seperti itu, belasan
tahun lamanya. Namun kini ia memilih untuk tidak menjadi keduanya, kendati
masih memiliki berbagai hal yang diperlukan untuk menjadi “istri teladan”:
waktu, buku-buku self-help, peralatan
memasak dan menjahit, orangtua yang tidak lagi menuntutnya untuk memenuhi
berbagai peran dan tanggung jawab melainkan mengingatkannya sesekali saja sembari
memendam kesedihan, anak-anak yang menyenangkan walau nilai-nilai mereka tidak
pernah mencukupi untuk dapat memasukkan mereka ke sekolah yang bagus (dan
belakangan ini mereka jarang berada di rumah), dan seterusnya, dan sebagainya…
kecuali satu.
Aneh,
pikirnya. Belasan tahun lelaki itu mencekoki pikirannya; menjadi sarana baginya
untuk mengaktualisasikan diri, memenuhi kebutuhan, mencapai kepuasan…. Lalu
pada satu titik lelaki itu tidak lagi berarti baginya. Ia telah memikirkan
berbagai hal yang kemungkinan adalah penyebabnya, dan yakin bahwa kepala yang
membotak dan perut yang membuncit bukanlah salah satu (atau dua?) di antaranya.
Seperti orang yang belajar memainkan suatu alat musik sedari kecil, dan
diarahkan untuk menjadi musisi andal, lalu setelah dewasa menjadi bosan dan
ingin memiliki keterampilan lain, profesi lain…. Ia telah mencurahkan sebagian
besar hidupnya untuk musik, namun musik tidak memberinya penghidupan yang baik:
kepribadiannya menjadi eksentrik, orang-orang lebih suka mengunduh karyanya
secara cuma-cuma alih-alih membayar jerih payahnya, dan tidak ada produser yang
tertarik padanya lagi.
Ketika memijat bahu maupun
menyeterika baju suaminya, ia merasakan kesia-siaan. Dengan tubuh yang segar
maupun setelan yang rapi, lelaki itu sudah tidak punya tempat untuk dituju.
Mestinya ia menyadari sejak awal bahwa lelaki itu memiliki visi yang samar dan
kepribadian yang lembam dalam kehidupan yang tidak menentu ini. Tapi cinta
mengesampingkan segalanya; kesenangan menumpulkan pikiran. Mereka tidak
mengantisipasi apapun yang mungkin mengadang di depan. Mereka hanya
mengharapkan kegemilangan. Bisnis itu kini kandas, dan entah sampai kapan
mereka mengandalkan cucuran dana dari orangtua. Padahal mereka tidak bisa lagi
disebut anak-anak.
Pun, ternyata, sebagai
perempuan ia tidak begitu hebat dalam menjadikan suaminya seorang lelaki yang
cemerlang. Kadang ia berpikir, mungkinkah ini azab Tuhan, mungkinkah ada yang
salah dalam caranya menjalani kehidupan—hubungan dengan suaminya, mungkinkah
yang salah adalah keputusannya untuk mengikatkan diri dengan lelaki itu,
sementara semasa muda pilihan lain—yang mungkin saja akan menggiring nasibnya
ke arah yanglebih baik—terbuka baginya, asalkan ia mau berusaha lebih keras
alih-alih percaya begitu saja pada intuisi.
“Ya, aku ingin punya selingkuhan! Dasar
kau lelaki tua memuakkan yang tidak bisa lagi memberiku apa-apa! Aku ingin
kembali pada orangtuaku saja!”
BLAM.
Setelah makan, ia
menyempatkan diri untuk mencari sedikit kesenangan. Ia menyalakan TV dan
menonton sinetron; aktor-aktor muda yang tampan. Belum lama ini mendatangi
minimarket di dekat rumah orangtuanya untuk membeli sedikit keperluan. Di salah
satu lorong, ia berpapasan dengan karyawan minimarket itu. Mungkin baru lulus
dari SMK. Tampak manis sekaligus gagah dalam seragamnya, dan kartu identitas
yang menggantung dari saku di bagian dadanya. Tebersit bayangan untuk menculik
pemuda itu lalu mengurungnya di ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, dan
memberinya kenikmatan yang menyiksa. Tapi ia menjadi sedih berkat kewarasan
yang menahannya untuk berbuat. Selain karena ia tidak memiliki ruang bawah
tanah, dan menyadari bahwa pemuda itu mungkin saja sepantar dengan putranya
membuatnya merasa jijik pada diri sendiri.
Ia pun mematikan TV, dan
kembali ke tempat tidur. Dalam pencariannya akan selingkuhan yang tidak kunjung ditemukannya (oh, siapa juga yang
sudi dengan perempuan ringkih lagi busuk ini?), untungnya ia masih memiliki
pelarian. Ia telah kehilangan mimpinya yang satu, tapi masih memiliki
mimpi-mimpinya yang lain—dalam tidurnya. Atau malah, justru inilah tujuannya
yang baru: tidur selamanya. Memang rekornya baru mencapai dua belas jam sehari,
namun ia yakin, kegigihan lambat laun akan membawanya pada tujuan itu.
Maka sembari menunggu
kantuk, ia menyalakan ponselnya. Orang-orang dalam daftar kontak di ponselnya
acapkali menjadi sasarannya dalam melampiaskan masalah keluarga. Mereka yang
tidak tahan mendengarkan ocehannya telah disingkirkannya dari daftar.
Sebetulnya ia sudah jenuh menjenuhkan orang-orang itu dengan persoalan yang
itu-itu saja. Tapi ia seringkali tidak memiliki hiburan lain. Bahkan ketika ia
tidak sedang ingin membicarakan tentang keluarga, orang-orang itu yang akan
menanyakannya. Agaknya mereka pun sudah terbiasa dijenuhkan dan membalasnya
dengan menambah-nambah kejenuhannya.
Seolah tahu bahwa ponselnya
telah dinyalakan, sebuah panggilan datang. Tetangganya melaporkan, “Tora di
tempat saya. Lagi makan.”
“Terima kasih, Mbak.”
Tetangganya itu selalu baik kepadanya. Betapapun ia sering menghujani perempuan
itu dengan keluhan. “Maaf, sering merepotkan.”
“Enggak apa-apa.”
Tetangganya itu terdiam lama. “Tahu kan SBMPTN sebentar lagi?”
“Iya, Mbak.” Tetangganya itu
juga kadang mengingatkannya akan buah hati yang terlanjur mbrojol dari dalam dirinya—hasil pergulatannya bersama suaminya.
Tetangganya itu tidak perlu lagi memberitahunya untuk pulang dan mendampingi
Tora. Dan mencari cara untuk membiayai kuliah anak itu, di samping kebutuhan
mereka sehari-hari. Atau pemuda itu akan membusuk di dalam ruang bawah tanah
miliki seorang perempuan paruh baya, yang mengiming-iminginya dengan kekayaan
yang tidak mampu diberikan oleh orangtuanya sendiri. Kadang kehidupan anaknya
terasa bagai ilusi, hingga dipikirnya ia harus mendengar Tora sendiri yang
bersuara. “Bisa ngobrol sama Tora?”
“Sebentar.”
Ia menunggu.
“Tora udah pergi, ternyata.”
Sambungan telah ditutup,
namun ia masih menggenggam ponselnya dan menduga. Anaknya tidak pergi, hanya
menantinya mendekat dengan langkahnya sendiri.[]
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu