Senin, 25 Mei 2015

Ketika Ayah Pergi

Suaranya terdengar parau. Serak yang beda daripada biasa. Seperti tersendat.

Hai Zia. Ini Dean. Gue lagi di Bandung. Gue pingin main. Si Kang Ali lagi di rumah juga enggak? Alamat lo dong.

Saat itu Sabtu. Sedari siang aku dan Ali menunggu kedatangannya. Sampai kami mengobrolkan makan apa malam nanti. Ali memutuskan untuk keluar belanja bahan. Ia pergi setelah salat asar.

Sekitar setengah sejam setelah itu, bel berbunyi. Aku membuka pintu. Aku mendapati langit agak kelam, dan sosoknya yang menjulang. Mestinya ia sudah tumbuh sekian senti lagi sejak terakhir kali kami bertemu secara langsung, sudah bertahun-tahun lalu.

“Hai”, senyumnya dengan kepala agak menunduk. Aku balas tersenyum dengan kepala mendongak. Ia menyodorkan sebuah kotak yang sebelumnya ia sembunyikan di balik punggung. “Kado nikahan, sekalian kado lahiran, entar.”

“Ah. Makasih,” ujarku. Kuterima kado itu. Besar juga. Mukaku tertutup separuh ketika aku mengangkatnya sampai ke atas perut.

“Masuk?”

“Ya.”

Walaupun ia mengenakan jumper gombrang tapi ia tetap kelihatan makin kurus saja. Apalagi kalau melihat kaki jenjangnya yang dibalut jeans kusam. Rambutnya yang kecokelatan cepak saja seperti terakhir kali aku melihatnya lewat Skype, entah sudah berapa bulan lalu. Sejumput bagian belakangnya berdiri, mungkin karena gesekan dengan sesuatu. Kulitnya yang putih tampak kurang matahari.

“Duduk lah.”

“Ya.”

Ia duduk di sofa panjang yang menempel dengan dinding.

“Mau minum apa?”

“Duh, enggak usah repot-repot.”

Tapi aku sudah telanjur menuju dapur, sekalian menaruh kado darinya di meja makan. Masih terdengar suaranya, rumah kecil doang sih, “Beneran lo udah hampir kayak ibu-ibu, Zia.”

“Ah bisa aja.”

Selagi membuat teh aku menyadari penampilanku. Daster selutut menutupi perutku yang bengkak. Rambut diikat asal saja. Memang sehari-sehari aku begini saja sih.

Entah ia sedang menerawang apa ketika aku sampai kembali di ruang tamu. Pelan-pelan ia menoleh ke cangkir teh yang aku letakkan di dekatnya.

“Makasih, Zia.”

“Kembali….”

“Ng…. Itu….”

“Ya?”

Aku baru menyadari matanya yang terpaku pada perutku.

“Udah gede,” katanya.

“Ya,” aku tersenyum.

“Berapa bulan… eh, lima, enam, ada ya?”

“Ya. Minggu ini udah masuk minggu kedua enam.”

Ia mengerutkan kening. Entah sudah berapa kali aku membuat percakapan dengannya jadi rumit, walau sedikit. Ah biar deh.

Ia masih menatap perutku.

Mungkin hanya perasaanku saja. Matanya yang semula dingin itu kini agak berbinar. Apalagi ketika senyumnya sedikit demi sedikit terbit. Ia mengangkat tangannya, menurunkannya lagi, memandangku. “Boleh?”

“Apa? Eh? Oh. Ya. Enggak apa-apa.”

Aku maju sedikit. Ia juga. Mula-mula hanya ujung jemarinya yang menyentuh perutku. Lalu telapak tangannya secara sempurna memberikan usapan lembut. Tangannya yang meregang itu tampak begitu besar, lebih besar dari tangan Ali kukira.

“Dia nyundul…” ucapnya. Begitu terpesona. “Cewek? Cowok?” tanyanya lagi.

“Belum tahu. Sengaja enggak pingin tahu juga sih.”

“Oh. Untung gue belinya yang uniseks.”

“Hm?”

“Berarti belum nyiapin nama juga?”

“Ya… Ada sih kepikiran beberapa. Tapi aku pake nama yang entar kepikiran pas ngelahirin aja.”

Tangannya masih di perutku, mengusapnya ke arah berlainan.

“Halo… Ini Om…” ucapnya pelan dan lembut. Senyumnya semakin melebar. Begitu juga dengan senyumku. “Idih, gue udah jadi om-om aja, haha….” Akhirnya ia lepaskan juga tangannya. “Si Kang Ali…” lanjutnya… oh mungkin karena ia teringat Ali… “Pada ke mana? Meni sepi rumahnya.”

“Iya, lagi pada ke rumah saudara. Kalau Ali mah lagi keluar sebentar," kataku sembari menyadari, sebenarnya dia pergi sudah agak lama juga sih.

“Dia masih marah sama gue?”

“Oh. Enggak…” tukasku. “Kita udah baik-baik aja kok, Yan.”

“Beneran?”

“Iya,” sahutku dengan nada meyakinkan. Untuk lebih menenteramkannya, lebih lanjut lagi kuceritakan, “Emang sih waktu itu dia sempet mulangin aku ke rumah papa aku.”

Aku diam saja waktu itu. Masih kaget dengan kemarahannya, mungkin. Begitu aku turun di depan rumah, dia menyuruhku untuk berpikir. Baiklah. Aku berpikir. Memikirkan pernikahan dengannya. Memikirkan janin yang sudah telanjur di rahimku. Memikirkan sikap keluarganya yang sampai kapanpun sepertinya tidak bakal cocok denganku. Dan itu malah menyulut kemarahanku padanya. Beberapa jam kemudian ia sudah kembali lagi. Aku bilang dengan dongkol aku belum selesai berpikir… Tapi malamnya kami sudah berpelukan.

“Oh. Syukur deh.” Ia masih agak bengong.

“Lagian kan kamu udah jelasin baik-baik waktu itu. Masak dia enggak percaya?”

“Ya… Bisi aja. Gue enggak enak banget waktu itu, Zia, ya ampun. Gue pingin aja nge-clear-in masalahnya langsung. Maafin gue, Zia.”

“Enggak kali, Yan. Justru aku duluan yang ngerepotin kamu.”

“Oh, enggak.”

Aku tersengal sedikit karena geli. Kataku, “Waktu itu aku bilang sama dia, Dean tuh cuman pingin supaya kita punya bayi, supaya kita lebih nempel….”

“Haha,” ia tertawa pelan namun dengan lesu.

“Emang aneh, ya, kalau cewek sama cowok yang bukan suami istri ngomongin yang gituan?” kataku.

“Enggak juga sih. Gua mah bebas-bebas aja.”

“Iya. Dia tuh emang kolot banget.”

“Enggak apa-apa kali. Yang penting kan udah jadi,” senyumnya. Matanya ke arah perutku lagi.

“Ya mungkin emang baiknya jadi rahasia antara lo sama suami aja,” imbuhnya.

“Tapi kamu konsultan pernikahan yang baik, Dean, mestinya kamu buka jasa konsultansi aja.”

“Ah. Cuman masalah gitu doang mah. Asal lo rajin nonton juga lama-lama tahu sendiri.”

Aku menjawabnya dengan gumaman dan senyuman saja. Kalau aku menanggapinya lebih dari itu, sama saja dengan mengulang sebab dari kejadian yang lalu.

“Jangan bilang kamu jauh-jauh dari Boston ke sini cuman buat nge-clear-in masalah itu aja,” kataku.

Ia merebahkan punggungnya ke sofa sandaran sofa. Kepalanya merunduk.

“Ya… Gue emang pingin nge-clear-in itu sih. Waktu itu gue pikir kalau gue bisa pulang gue harus ketemu langsung sama Kang Ali sama lo… Ya… Silaturahmi juga sih.”

Aku diam saja. Menantinya terus berkata-kata. Tatapannya jatuh ke meja, atau ke mana, entahlah.

“Yah. Gue enggak nyangka aja ternyata momennya bisa secepat ini…

“Ayah gue meninggal, Zia.”

Aku membeku.

Punggungnya condong sedikit. Ia mengembuskan napas keras-keras. “Sori,” katanya.

“Enggak apa-apa.”

Ia terus membisu.

“Kapan?” tanyaku.

“Mm… Empat hari… mungkin… pas gue nyampe udah dimakamin.”

Kedua sikunya naik ke lutut, menopang kepala, sebagian wajahnya terhalang dari pandanganku.

“Waktu itu Rika dateng ke rumah. Yah… Sekalian ajalah gue ngelepas dia… Selesein semuanya.”

Aku mengembuskan napas pelan, berusaha agar tidak sampai terdengar olehnya. Seperti ada yang meruap hingga ke hidungku, namun aku tahu, itu akan tertahan sampai situ saja… oh… aku iri sama kamu, Dean…. Aku geser kotak tisu ke dekatnya. Kalau saja ia cewek, pasti sudah aku peluk. 

Ia mengangkat kepala. Matanya agak sembap. “Sori,” katanya. Jelas-jelas ia menghindari pandanganku.

“Enggak apa-apa, Dean. Keluarin aja.”

Apapun, entah kematian ayahnya ataukah masalah dengan ceweknya itu.

Ia tersengal pelan, seakan itu gagasan yang sampai kapan pun tidak bakal ia wujudkan. Ia minum beberapa teguk dari cangkir.

“Ayah gue, usianya enam puluh aja belum ada.”

Kutepuk-tepuk lututnya. Aku mulai bertanya-tanya bagaimana sekiranya papaku yang meninggal. Waktu Mama yang meninggal, aku tidak sedih sama sekali. Apakah aku akan bereaksi seperti Dean?

Setelah mereguk sampai tinggal sekitar satu senti dari dasar cangkir, ia berdiri. “Kayaknya mending gue jalan-jalan dulu aja ya, Zia. Nanti kalau pas kira-kira si Kang Ali udah balik, gue ke sini lagi.”

Padahal tunggu saja di sini kenapa sih. Aku menengok jam dinding. Ali masih belum juga kembali.

“Ya. Entar aku kasih tahu kalau dia udah balik,” kataku seraya bangkit. Ia mendahuluiku ke teras. Ia memarkir motornya  di pinggir jalan. Masih motor yang sama dengan yang ia pakai sewaktu SMA, kukira. Ninja biru dongker. Dulu ia pernah memberitahuku nama motornya itu, tapi aku tidak begitu ingat. Apa-apa-ri begitu.

Baru saja langkahnya hendak beranjak dari carport, Ali menjelang dengan motor. Terlihat beberapa plastik gembung menjuntai dari cantolan. Ia memberhentikan motornya tepat di depan Dean. Sontak Dean mengangkat kedua tangan, seolah Ali bakal menghajarnya saja. Memang Ali tidak tersenyum, tapi juga tidak seperti yang bakal marah.

“Udah mau pulang?” tegur Ali. “Makan dulu.”

“Iya. Mau dimasakin tuh,” imbuhku.

Mereka berjabat tangan. Kulihat sekilas senyum di bibir Ali.

“Masuk lagi atuh.”

“Iya, Kang.” Dean mengekor.

“Zia, tamunya udah dikasih minum?” tanya Ali sembari memasuki rumah. Ia seolah tidak lihat saja cangkir setengah isi di meja ruang tamu.

“Udah,” aku jawab saja.

Dean duduk di tempat semula.

“Mau tambah teh?” tanyaku.

“Boleh deh.”

Setelah menambah teh di cangkir Dean, aku menyusul Ali ke dapur. “Aku aja yang masak,” kataku, “kamu temenin Dean.”

“Yakin?”

“Yakin…!”

Tapi ia sama sekali tidak meletakkan pisaunya. Ia tetap sibuk memotong ini-itu, memasukkan ini-itu. Aku mengawasinya dengan bertopang lengan di meja. Beginilah kalau suami merasa lebih pintar masak. Tapi memang kenyataannya begitu sih. Sesekali aku melirik ke arah ruang tamu yang dibatasi sekat kayu.

Ali masak dengan gesit dan cekatan. Hanya nasi goreng dan sayur. Nasi yang digunakan pun hanya memanfaatkan sisa di magic jar. Padahal ia belanja cukup banyak. Lagi ada diskon di supermarket yang ia kunjungi tadi, katanya. Tapi rupanya kelebihan bahan itu memang sengaja ia sisakan untuk aku belajar masak. Hu-uh!

Aku lalu memanggil Dean yang ternyata sedang merokok di teras.

Bertiga kami duduk di ruang makan. Aku di samping Ali, sementara Ali di hadapan Dean.

“Aduh, kangen gue sama masakan Indonesia,” Dean tampak terharu ketika Ali menyodorkan bagiannya.

“Nasi goreng aja,” kata Ali datar.

“Sama capcai,” imbuhku. Menu yang sebetulnya Dean bisa temukan di, mana itu, semacam pecinan. Apa begitu yang Dean pernah cerita waktu kami masih doyan mengobrol di Skype.

“Masakan buatan orang Indonesia,” kata Dean lagi. Ia menyantap masakan Ali dengan lahap. Oh. Aku tahu Ali terkesan. Tidak usah sok jaim, Ali.

Lain kali ke sini lagi, Dean. Entar dimasakin sayur asem sama Ali. Enak loh,” kataku. “Apalagi sambelnya.”

Ali melirikku. Demi apa aku memuji masakannya, mungkin begitu yang ia pikirkan.

Pada sisa pertemuan itu, sama sekali tidak terungkit masalah yang pernah bikin Ali senewen kapan itu. Memang Dean tidak menyinggungnya. Mereka membicarakan hal lain malahan. Keterampilan Dean dalam mengobrol bangkit lagi, seolah kesenduannya yang sebelumnya itu tidak pernah ada. Ia bisa membuat Ali cukup banyak bicara. Tertawa sedikit. Lama-lama bisa kurasakan Ali mulai ramah dan semakin ramah.

Dean pulang ketika langit sudah gelap bergemintang.

Setelah itu Ali di kamar. Membaca. Begitu aku menyusulnya ke tempat tidur, ia meletakkan bukunya. Lalu menyambutku, perutku.

“Ayahnya Dean baru meninggal,” kataku.

“Oh ya?” Ia berhenti menciumi perutku.

Aku tidak bisa menerka apa yang mungkin dirasakan Ali. Ia tidak pernah tahu ayahnya sudah meninggal atau belum.

Ia lanjut menanggapi pernyataanku tadi dengan beberapa pertanyaan yang aku tidak tahu jawabannya, (lagipula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan ayahnya Dean), namun pikiranku lari ke mana-mana.

Pemandangan laki-laki dewasa yang menangisi kepergian ayahnya itu masih melekat di benakku. Aku mungkin tidak akan melakukan hal yang sama pada papaku. Tapi anak ini, anak dalam perutku ini, apakah ia bakal menangis kalau papanya pergi? Aku terus memandangi Ali sampai mataku perlahan mengatup.[]


(versi awal 2013 revisi 2015)

Jumat, 15 Mei 2015

Seputaran Subuh

Sudah lewat tengah malam saat ia pulang. Ia memutuskan mobilnya ditaruh di car­port saja, tidak usah dimasukkan ke dalam garasi. Sekali ia memencet bel di ba­lik pa­gar, naik ke teras, bersandar pada dinding, nyaris tertidur sambil mendongak, se­belum ter­kesiap menyadari bahwa tidak seorangpun membukakan pintu. Ia kem­ba­li ke dekat pa­gar, memencet bel berkali-kali, dan mempertimbangkan untuk tidur di jok mobil ke­ti­ka pintu depan akhirnya dibuka pembantunya. Ia memaksakan se­nyum saat melewati wa­nita yang sudah hampir sesepuh ibunya itu, tapi di­u­cap­kan­nya juga, “Makasih, Bik.” Ke­kesalannya dengan segera teralihkan pada kaki-kakinya, yang tidak mampu mem­ba­wa­nya lebih cepat ke kamar walau akhirnya sampai juga. Ser­ta-merta ia ambruk ke ka­sur.

Mungkin gara-gara Côtes du Rhône di jamuan tadi… ya… pasti… apa­la­gi? …sebagian, tapi… ia memang mengantuk… tadi cuma seicip-dua icip lah… ma­sak? …bukannya ada Bombay juga tadi? …terus…. Kepalanya dibenamkan semakin da­lam ke bantal. Tapi napasnya lalu sesak. Maka ia mengalihkan mukanya. Pikirkan se­bu­ah akor, pikirnya, sambil tersengal karena mendadak kata itu terasa begitu lu­cu. Akor. A-kor. Aa-koor. Kor. Kor. Kor kor kor kooorrrpetok petok tok tok…. Malah di­ra­up­nya guling, di­peluknya erat, dibelainya puncaknya seakan benda itu berambut, dan dikecupnya pu­la seakan di situ ada mulut, pipi, dahi, lalu dipejamkannya mata dan dirasakannya da­mai sejenak hingga dalam kepalanya muncul hutan belantara.

Seekor kelinci melintas, melompat-lompat serupa tarian, sambil menebarkan bu­nga ke segala penjuru, tanpa menyadari seekor serigala mengintip dari balik po­hon…. Ta­pi kelinci itu tidak tahu! Setiap pijakan kakinya yang empuk pada lantai bu­mi yang di­selimuti serasah menimbulkan dentang-denting yang syahdu sekalian je­naka, dan ia, yang membayangkan makhluk lucu itu di dalam kepalanya, tidak sa­bar menjelmakan be­bunyian alamiah nan imajiner yang didengarnya ke dalam ben­tuk yang dipahaminya. Na­mun ia hanya menggerak-gerakkan jemarinya pada kasur, se­akan merupakan lang­kah-langkah si kelinci yang lugu, yang tidak awas akan ba­ha­ya yang mengintainya dari be­lakang…. Ia membayangkan akan mem­per­de­ngar­kan­nya pada seseorang. Ia akan me­min­ta gadis itu mendengarkannya sambil me­me­jam­kan mata, dan menceritakan gam­bar­an yang hadir di dalam benaknya, yang ter­nya­ta persis sama! Gadis itu juga melihat ke­linci yang melompat-lompat dengan ri­ang­nya di dalam hutan yang lebat tanpa me­nya­dari adanya serigala yang mengincar di balik pohon di belakangnya. Lalu serigala itu memintas jalan menuju rumah yang di­tuju kelinci itu. Ia memakan nenek si kelinci yang sedang sakit yang tadinya hen­dak dijenguk, dan menggantikan betina tua itu di ka­sur dengan menyamar….

Lambat laun bayangan itu menghitam, digantikan wujud seorang lelaki yang me­nen­dang perahu supaya terbang lalu terbalik menjadi gunung tapi benda itu bergeming saja sementara ia malah meng­aduh-aduh kesakitan sambil memegangi kakinya… lalu ada seorang ibu-ibu yang mengutuk anak­nya yang durhaka menjadi batu—akik—agar bisa dipotong-po­tong, diasah, dan di­ju­al demi kesejahteraan hari tua… lalu muncul masing-masing se­butir bawang merah dan bawang putih dengan mata dan mulut yang menjerit-je­rit histeris sebelum di­cin­cang secara brutal oleh pisau besar yang datang entah dari ma­na… lalu dari terminal ke­datangan yang menyerupai bangunan keong emas di Ta­man Mini Indonesia Indah ia ke­luar sambil memanggul tas, dan di seberang jalan ada gadis yang seakan sudah me­nung­gu-nunggu kehadirannya, menyambutnya de­ngan menyanyikan lagu lawas ber­ju­dul “Kau Datang” yang dibawakan salah seorang ju­ri Akademi Fantasi Indosiar[1] be­ser­ta kawan-kawannya tempo dulu… kau da­tang… demi kebahagiaanku… yang kucari… hoo… dan mereka pun bergandengan ta­ngan menjauhi tempat itu….

Ia membuka mata seraya tersadar bahwa ia sedang tersenyum dan ada azan yang kesepian di luar sana. Azan yang sendirian saja melesat-tembus-usiki malam, tan­pa kawan bersahut-sahutan sebagaimana pada lima waktu lainnya seakan se­dang ber­lom­ba mengeroyok langit dan segala yang dinaunginya. Azan yang mem­bang­kitkan nye­ri di sekujur kepala, merayapkan gerah ke sekujur tubuh sehingga ia mem­bukai pa­kai­annya selain celana dalam, dan ia tidak ingat apakah memang ia yang mematikan lam­pu kamar sebelum serangkaian ilham acak tadi, dan apa­kah sewaktu memasuki ka­mar semalam ia memang sempat menyalakan lampu. Kem­bali ia ambruk di kasur da­lam harap akan terpejam lagi. Tapi tidak.

Hingga azan yang ramai menyerbu malam separuh purnama, sekalian me­nye­lip­kan ke dalam benaknya perkataan ibunya belum lama itu: “Laki-laki itu salatnya di mas­jid.”

 

Ia menyiram tubuhnya di pancuran sekaligus menggosok giginya dengan tergesa-ge­sa, me­ngenakan baju koko yang pertama dilihatnya di lemari sambil me­nyem­pat­kan se­be­lah tangan mencomot tabung apapun di meja dan menyemprotkannya ke ke­tiak, leher, da­da, dan memasukkan kaki ke celana jin yang semalam, me­nyam­pir­kan sajadah ke ba­hu, dan keluar dari rumah.

Sembari berjalan disadarinya kalau mandi air dingin pada pagi buta mem­bu­at uda­ra terasa semakin menggigit, dan baju yang dikenakannya ternyata berlengan pen­dek. Ia hendak melilitkan sajadahnya yang tipis itu di lehernya serupa syal, tapi ba­tal be­gitu seorang lelaki tua yang juga hendak menuju masjid melewatinya. Ia mem­per­ce­pat lajunya seperti lelaki itu.

Sesampainya di masjid, jemaah sudah rukuk. Buru-buru ia menggelar sa­ja­dah dan mengikuti, dan setelah tahiyatul akhir lupa mengganti Al-Fatihah yang ter­le­wat. Se­te­lah bersalaman dengan baik yang dikenalnya maupun tidak, ia meng­a­mati orang-orang yang berzikir atau menunaikan salat entah apa. Maka ia me­man­fa­at­kan setiap de­nyut yang kembali mencubiti kepalanya sebagai pengganti biji tasbih. Sa­at pengurus mas­jid mengumumkan khatib subuh hari itu, ia menyadari bahwa me­mang sudah ter­lam­bat untuk angkat kaki. Maka sembari menyangga kepalanya yang terasa semakin be­rat dengan kedua tangan agar tidak jatuh, petuah demi pe­tu­ah untuk memuliakan ibu yang telah sepuh mendekam di dalam benaknya. Merah tem­baga yang mewarnai ba­junya pun ambyar di matanya.

 

Di luar gelap telah memudar saat jemaah mengenakan alas kaki masing-masing. Me­re­ka berjalan berdua-dua atau bertiga-tiga menjauhi masjid, namun ada pula yang sen­di­ri, termasuk dirinya. Hangat yang merangkulnya di masjid tadi telah lalu ber­sama orang-orang berpeci dan bersarung, digantikan oleh dorongan untuk me­ra­ba-raba kan­tung celana jin hingga ditemukannya sebungkus A Mild dan pemantik.

Dengan khidmat diisapnya dan diembusnya panas yang meliak-liuk me­mu­tih­kan uda­ra bersama petuah sang khatib melayang-layang ke langit biru muda, yang di­ta­tap­nya sem­ba­ri membatin, Ibu, karena dirimu mulia, aku ingin jadi orang pertama yang me­li­hat­mu tiada….

Karena itu aku pulang.

 

Sepulangnya di rumah, ibunya tengah menyeduh teh di pantri.

“Lho, udah bangun?” suara ibunya yang lebih dari sekadar teguran saat me­li­hat­nya masuk.

“Udah,” sahutnya seraya mendekat dan mengecup pipi wanita itu. “Selamat pa­gi, Ibu,” sambil tangannya menggamit cuping cangkir dan menelan isinya ber­te­guk-teguk, me­resapi sensasi rempah yang memadamkan gelora mual yang tadi ham­pir mencapai mu­lutnya. “Teh buatan Ibu emang paling enak.”

Tersungging di bibir ibunya lebih dari sekadar senyuman.[]

 

 

 

buat om-om di Jalan Kliningan yang habis dari subuh di masjid

credit to: Claude Bolling & Jean-Pierre Rampal – “Baroque and Blue”



[1] Ajang pencarian bakat yang populer pada 2000-an di saluran televisi berlogo ikan terbang

Kamis, 14 Mei 2015

Q

Madie mendukungku untuk mengadopsi Jasmine. Jadi keputusanku sudah bulat. Ada suatu hal yang mengganjalku semasih memikirkannya, yaitu ingatan tentang kejadian sesudah pemakaman ayahku dua puluhan tahun yang lalu.

Sore itu, saudara laki-lakiku mengajakku dan adik perempuan kami bicara bertiga saja di sudut yang sepi di rumah duka. Mataku masih berat, tapi aku berlagak siap mendengarkan apapun yang ingin dikatakannya.

Saudara laki-lakiku bilang, sesaat sebelum jenazah Ayah diberangkatkan ke pemakaman, ada dua perempuan datang. Perempuan yang lebih tua mengenalkan diri sebagai mantan istri Ayah. Perempuan yang lebih muda tidak berkata apa-apa, selain menangis sambil memandangi jenazah Ayah, dan dari mulutnya keluar suara meratap yang kedengarannya seperti, “Ay… ah….”

Adik perempuan kami malah marah mendengar itu. Bilangnya, bisa-bisanya saudara laki-laki kami itu mengungkapkan hal yang seperti itu saat masih masa berkabung. Ia mulai menangis lagi.

Tapi saudara laki-lakiku bergeming saja. Menurutnya, cepat atau lambat kami semua akan (atau mesti) mengetahuinya. Meski rasanya seperti ada yang menyumbat tenggorokanku, kupikir memang sebaiknya begitu, dan mengikhlaskannya supaya Ayah lapang di kuburnya.

Aku dan saudara laki-lakiku memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah perempuan itu, sekadar memenuhi rasa penasaran kami. Perempuan itu tidak memberi tahu alamatnya pada kesempatan bertemu yang lalu. Jadi kami melacaknya dari saudara-saudara Ayah. Mereka sepertinya maklum bahwa hal yang selama ini ditutupi itu akhirnya tersingkap juga.

Perempuan itu tinggal di kota yang sama dengan kami. Rumahnya menyempil di pelosok perkampungan padat. Rumah Enin—ibunya Ayah—juga berada di kawasan yang persis seperti itu. Ayah pernah bercerita, sewaktu ia dan adiknya masih kecil, Enin membawa anak-anaknya itu ke gelanggang dan mencari orang yang bisa membina mereka menjadi atlet. Enin berharap anak-anaknya kelak mendapat santunan pemerintah. Enin tidak akan sanggup membiayai sendiri hidup mereka.

Sewaktu memasuki ruang tamunya yang mungil, namun cukup apik dan terawat, aku semakin merasa memahami hubungan di antara Ayah dan perempuan itu—selain karena dulunya mereka seprofesi. Apalagi ketika melihat fotonya terpajang di lemari yang menyekat ruangan itu dengan ruangan di baliknya. Dalam foto yang sudah mulai buram itu Ayah merangkul seorang gadis kecil dengan latar semacam danau—ada perahu-perahu bebek di sisinya. Gadis kecil itu berseri dan sama sekali bukan adik perempuan kami. Kapan foto itu diambil? Diam-diam aku menyenggol saudara laki-lakiku dan memberikan isyarat. Ia mulai memandangi foto itu. Hanya satu itu foto yang memuat ayah kami yang terlihat di ruangan itu.

Seorang perempuan muda lalu datang dari dalam, membawakan minuman. Ia tidak mengarahkan matanya pada kami, atau tidak mau. Ibunya yang sedari awal duduk di hadapan kami menyentuhnya dan memberi tahunya agar ikut menemani “saudara-saudara”nya di ruang tamu. Tapi ia berlalu saja dan tidak muncul lagi. Lalu aku menyadari kalau ia gadis kecil dalam foto itu.

Perempuan yang menua itu tidak secantik ibu kami, meski rautnya lembut dan meneduhkan. Mungkin aku beranggapan begitu karena kelewat meninggikan Ibu. Atau karena Ibu yang selama ini meninggikan dirinya sendiri? Perempuan itu bilang, ia dan Ayah bercerai beberapa tahun setelah menikah, sewaktu gadis mereka masih balita. Ia tidak menjelaskan penyebab perceraiannya, dan entah kenapa kami juga merasa segan mengoreknya. (Baru lama setelahnya, sewaktu sedang berhubungan lagi dengan mantan pacarku sewaktu SMA yang sudah bercerai, aku bisa memahami kalau dua orang bisa bercerai karena apa saja.) Beberapa tahun setelah perceraian itu, Ayah bertemu dengan Ibu, lalu keduanya menikah. Ibu meminta Ayah untuk tidak pernah mengungkit masa lalunya. Ibu tidak pernah mau menganggap keluarga kecil Ayah yang sebelumnya. Sampai di situ aku mencoba menangkap kalau-kalau ada emosi tertentu pada raut perempuan itu.

Ibu mungkin tidak senang kalau Ayah mempertemukan kami dengan keluarga kecilnya yang dulu. Tapi samar-samar aku merasa sepertinya gadis itu bukannya asing sama sekali. Aku mungkin pernah bertemu dengannya di rumah Enin, sekali-dua. Aku lupa yang dilakukannya. Sepertinya ia menempel terus pada Enin. Ia sangat pemalu. Tidak mau diajak berkumpul bersama. Aku kira ia anak tetangga atau keponakan Ayah. Mungkin ia sempat memanggil “Ayah” pada Ayah. Aku membiarkannya karena pada waktu itu kupikir ayahku sangat baik sehingga wajar kalau semua anak ingin memanggilnya begitu. Mungkin adik perempuanku yang agak tidak senang ada anak lain yang mengakui ayahnya. Tapi pada waktu itu kami sama-sama masih kecil. Dengan cepat persoalan itu terlupakan.

Pulang dari rumah perempuan itu, rumah yang kutinggali sampai aku lulus dari SMA jadi terasa sangat lapang, dan aku terus memenungkannya sampai beberapa lama.

Kalau kuingat-ingat cekcok di antara kedua orangtuaku yang kadang-kadang terjadi, dan semakin intens saja menjelang aku pergi jauh untuk kuliah, persoalannya barangkali memang bukan sekadar soal nilai-nilai raporku yang jelek, atau apa-apa yang dilakukan kedua saudaraku yang lain. Tapi lebih daripada itu, apapun itu.

Di sela-sela kesibukan dalam pekerjaannya yang sering kali membuatnya tidak pulang sampai lama, Ayah selalu menyempatkan diri untuk menelepon kami, anak-anaknya, satu per satu, dan barangkali anaknya yang satu itu juga… meskipun perempuan itu katanya tidak bisa berbicara dengan lancar karena pendengarannya yang terbatas sejak lahir. Tapi lidahnya jadi sangat peka. Sewaktu masih di rumah itu tadi, ibunya bilang, hampir semua makanan di rumah itu dibuat sendiri olehnya, atau mungkin aku seharusnya menyebutnya, “Kakak”.

Aku mencoba membayangkan sekiranya aku dan kedua saudaraku mengetahui hal ini dari awal. Apakah kami akan akur dengan “kakak” kami itu? Meski berbeda ibu, tapi toh kami sedarah. Apakah kami akan bermain bersama sewaktu kecil, saling menanyakan kabar sewaktu besar?

Aku dan saudara laki-lakiku itu sama sekali tidak menyinggung pertemuan kami dengan keluarga lama Ayah pada Ibu. Ada perasaan enggan, atau lebih tepatnya, sungkan. Ibu lebih banyak menyendiri selama masa berkabung.

Lalu aku kembali ke kota tempat kampusku berada dan semakin jarang pulang.

Sesekali, ketika mengontak saudara laki-lakiku, aku bertanya apakah ia masih mengunjungi perempuan itu dan “kakak” kami. Tapi rupanya ia sudah tidak acuh, di samping kesibukannya kuliah, jalan-jalan, dan entah apa lagi. Memang di antara kami bertiga, ia yang paling tidak dekat dengan Ayah dan Ibu. Sulit mengharapkan perhatiannya pada urusan keluarga dan semacamnya. Soal itu pun semakin jarang tercetus di antara kami. Apalagi dengan adik perempuanku, yang sepertinya lebih suka tidak menganggapnya, seperti ibu kami.

Baru beberapa belas tahun setelahnya, ketika aku kembali tinggal bersama Ibu, aku menanyakan soal itu padanya. Ia tidak langsung menjawab, diam sebentar sebelum menyatakan pikirannya dengan balik bertanya, buat apa membicarakan soal itu sekarang? Ayah sudah lama tiada. Ibu dan perempuan itu sama sekali tidak pernah berurusan.

Tapi keberadaan “kakak”ku masih mengiang dalam kepalaku.

Aku mencoba mencarinya lagi, bertanya sekalian bersilaturahmi pada saudara-saudara Ayah yang tersisa. Mereka semua masih mengenalnya, bahkan ada yang masih menjalin hubungan dengannya. Mereka justru heran dengan kedatanganku sebab aku satu-satunya dari keluarga “kedua” ayahku yang masih ingat untuk mengunjungi mereka setelah begitu lamanya. Aku beralasan kalau kini saudara laki-lakiku tinggal di luar negeri, adik perempuanku sibuk mengurus keluarganya, sedangkan ibuku sudah tidak kuat bepergian jauh (meski kenyataannya ia memang seorang ratu yang lebih senang berdiam dalam istananya).

Lalu, pastinya, aku berangkat ke rumah “kakak”ku itu. Taraf hidupnya tidak banyak meningkat sejak terakhir kali kami bertemu. Mobil yang kubawa jelas tidak bisa diparkir tepat di dekat rumahnya. Aku mesti bertanya beberapa kali pada orang di jalan sebelum akhirnya sampai di tujuanku.

Ia sudah berkeluarga. Aku sempat bertemu dengan suaminya. Lelaki itu berjalan menggunakan tongkat dan bekerja di sebuah panti di daerah itu. Sesaat kupikir mereka pasangan yang saling melengkapi. Mereka punya dua anak yang sama-sama sudah lulus dari sekolah menengah. Yang satu menjadi atlet, yang lainnya bekerja di pabrik.

Aku merasa ia agak menjaga diri. Aku mesti banyak-banyak berbasa-basi. Misalnya saja, dengan menyinggung kemampuannya memasak, menebak-nebak kalau sederet toples berisi kudapan di meja itu bikinannya semua, dan mencicipinya dengan nikmat.

Aku hanya ingin membuatnya senang dengan kehadiranku, keberadaanku, sebagai anak lainnya yang barangkali telah banyak menyita perhatian ayahnya, lebih banyak daripada yang diberikan untuknya.

Bagaimanapun juga, rasa masakannya memang selezat rasa masakan Enin, dan seperti Enin, ia menyambung hidup keluarganya dengan memasak untuk orang lain.

Aku mengamati juga penampilannya, mencari-cari jejak Ayah pada dirinya.

Aku seperti sedang berusaha untuk membuktikan bahwa ikatan darah itu memang nyata. Mungkin saudara laki-lakiku terlalu cuek, sementara adik perempuanku terlalu sensitif untuk hal seperti itu. Tapi aku harus.

Aku mengunjungi perempuan itu sampai beberapa kali lagi. Sedikit demi sedikit aku mengerti bahasa yang digunakannya. Mengingat bahasa yang sama digunakannya juga untuk suaminya, aku merasa komunikasi di antara mereka pastinya sangat mendalam, lebih mendalam daripada yang bisa diperbuat kebanyakan orang yang segala indranya terbuka tapi sering kali tidak menyadari nikmatnya. Sedikit demi sedikit juga, ingatan kami terbuka. Bahkan sewaktu baru mengetahui kenyataan bahwa Ayah sudah pernah berkeluarga sebelum dengan Ibu, aku, dan kedua saudaraku, aku tidak merasa dikhianati. Tidak sama sekali. Meskipun Ayah tidak menyatakannya demi menjaga perasaan Ibu, tapi aku dan kakakku itu tahu sama tahu bahwa kami pernah dipertemukan bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali, kapanpun ada kesempatan, dalam setiap acara-acara keluarga besar Ayah (yang tidak pernah disertai oleh Ibu). Biarpun kami tidak saling mendekat karena malu-malu, atau karena jarak apapun yang ditanamkan ibu kami masing-masing dalam pikiran kami sedari kecil.

Lalu ibuku meninggal. Aku kembali pergi dari kota itu.

Pertama kali aku bertemu dengan Jasmine saat aku sedang menemani seorang anak yang sudah seperti kerabatku sendiri menjenguk kakeknya di panti jompo di luar negara bagian. Bibinya Jasmine bekerja di sana, dan sepulang sekolah anak itu sering datang, memainkan piano di ruang bersama dan disenangi para orang tua.

Begitu juga yang ingin kulakukan pada Jasmine: mencari-cari jejakku padanya, mulai dari matanya, dagunya, sampai ikal rambutnya. Orang-orang bilang kami berdua sangat mirip. Dan meski mereka menambahkan kalau ia bisu, tapi pendengarannya bagus sekali—ia toh pintar main piano—jadi kurasa ia cuma sedang tidak ingin bicara… setidaknya ia bisa memanggilku, “Ay… ah….” Aku berjanji akan mengenalkan lebih banyak kata dalam bahasa orangtuaku kepadanya nanti.

Lagipula keterhubungan yang kurasakan padanya lebih daripada itu. Juga lebih daripada dokumen dari institusi yang menyatakan anak itu berasal dari spermaku, yang dipilih seorang perempuan yang tidak akan pernah bisa kuajak bercengkerama sampai kapanpun—kecuali mungkin nanti, saat kami sudah berada di alam yang sama.

Madie sangat senang mengetahui soal Jasmine—meskipun aku bisa melihat ia berusaha menyembunyikannya—sebab sarannya supaya aku menyumbangkan spermaku akhirnya membuahkan hasil. Sejujurnya, aku heran kenapa bukan ia sendiri yang membiarkan rahimnya untuk menampung dan membesarkan benihku. Tapi ia selalu bersikeras tidak ingin punya anak—jangankan pernikahan. Jadi aku diam saja. Ia sudah seperti kakakku dan banyak membantuku sejak masa awal kedewasaanku di negeri yang asing bagiku dan juga jauh dari keluarga. Aku menghormatinya apapun pandangan dan pendapatnya.

Aku tidak pernah tertarik melacak anak biologisku dari sesuatu semacam bank sperma itu. Tapi sepertinya pertemuanku dengan Jasmine memang sudah takdir. Tidak ada yang kusesali. Dan ibunya memberinya nama itu, Jasmine. Aku merasa perempuan itu memang diam-diam sangat mengenalku.

Dan, biarpun pada suatu waktu Esmé tidak mau mengakui dirinya mengandung bayi siapa, serta ingin melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian saja, dalam kegelisahanku aku tahu. Saat itu aku sedang melanjutkan studi di negaranya dan ia ikut tinggal di kamar sewaanku yang sempit dan panas, supaya sewaktu-waktu kami bisa menyatu, menggeliat dan basah seperti cacing tanah dirajam matahari. Awalnya aku sama sekali tidak mau tahu. Apalagi karena reputasi Esmé di kalangan teman-temanku. Bisa saja itu hasil perbuatan salah satu dari mereka. Tapi lama kelamaan, sambil berulang-ulang mengenang setiap ucapan dan gelagat Esmé padaku selama kebersamaan kami yang singkat itu, setiap kali aku mengunjunginya dan mendapati Étienne yang terus bertumbuh, dalam keharuanku aku tahu. Aku tahu. Aku hanya berharap saat aku meninggal nanti, mereka akan datang, dan Esmé akan menyampaikannya pada Étienne.[]

 

 

 

credit to “Me and My Arrow” – Harry Nilsson

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain