Jumat, 31 Agustus 2018

Bahasa-bahasa yang Terpikir untuk Dipelajari (1)

Minat untuk mempelajari bahasa asing baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya saya heran dengan orang yang punya minat belajar berbagai bahasa asing. Bagi saya sendiri, bahasa Inggris sudah cukup. Dari SD sampai kuliah saya mendapatkan pelajaran bahasa Inggris secara formal, tetapi saya tidak kunjung menguasainya (selipkan emoji tertawa sambil menangis). Hampir seumur hidup saya tinggal di Bandung, tetapi saya kagok berbicara bahasa Sunda. Lima tahun lebih tinggal di Jogja tidak membuat saya fasih berbahasa Jawa. Boro-boro bahasa Arab, walaupun selama beberapa tahun saya mendapatkan pelajarannya di SD dan SMP serta pernah mengambil kursus singkat ketika libur kuliah.

Bahasa yang paling saya kuasai mestilah bahasa Indonesia. Selain karena itu bahasa sehari-hari saya, saya juga senang membaca sehingga mungkin secara automatis tata bahasanya terserap ke dalam otak saya, walau ketika menulis tetap saja saya masih harus mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia serta Ejaan yang Disempurnakan. Tetapi untuk bahasa-bahasa lainnya, tampaknya saya tidak punya bakat alami atau cukup minat untuk mengembangkannya. Selain itu, agaknya belajar bahasa baru benar-benar efektif jika kita menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, misalnya dengan melancong atau studi ke luar negeri, atau entah bagaimana caranya punya teman-teman asing. Sementara itu, saya tidak ada keinginan kuat untuk ke luar negeri dan pergaulan saya terbatas.

Mau tidak mau, kemampuan berbahasa Inggris terus diasah. Selain tersentil karena teman pada waktu itu suka membaca novel berbahasa Inggris serta bisa menonton Spongebob Squarepants tanpa dubbing dan subtitle--sementara saya kebanyakan membaca dalam bahasa Indonesia saja--juga memang ada banyak sekali bacaan menarik dalam bahasa Inggris. Walau begitu, untuk membaca teks pendek saja, saya perlu menyalin definisi dari tiap kata yang tidak saya mengerti dari kamus ke margin halaman atau sela barisan. Untuk bisa menangkap garis besar dari sebuah jurnal, saya perlu membacanya berkali-kali. Jumlah buku berbahasa Inggris yang berhasil saya tamatkan bisa dihitung dengan jari, dan itu pun mungkin tidak saya mengerti sepenuhnya. Alhamdulillah, seiring dengan berjalannya waktu, lama-lama saya terbiasa membaca artikel berbahasa Inggris tanpa sedikit-sedikit melihat kamus.

Bahasa asing pertama yang saya pelajari dari nol--maksudnya saya tidak pernah mendapatkan pelajarannya di sekolah sebagaimana bahasa Indonesia, Inggris, Sunda, serta Arab, dan juga bukan bahasa kampung halaman saya seperti bahasa Jawa--yaitu bahasa Jerman. Baru juga memulainya, minat saya meluas ke bahasa Belanda dan Perancis, dan bahasa Sunda, dan bahasa Arab. Tetapi, upaya saya untuk belajar bahasa-bahasa tidak pernah bertahan lama. Setelah mengumpulkan materi belajar sebanyak-banyaknya, mulai dari buku-buku yang sudah ada di rumah hingga sumber-sumber baru dari internet, saya mencobanya beberapa saat dan kemudian mungkin ada hal lain yang lebih menarik serta lebih mudah bagi saya. Juga bisa jadi karena saya insaf bahwa sebaiknya saya fokus pada bahasa tertentu saja, misalnya bahasa Inggris. 

Berbagai cara kemudian saya lakukan untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, mulai dari penerjemahan, penpaling, aplikasi stranger chat, journaling, dan sebagainya. Awalnya saya takjub karena ternyata saya bisa berinteraksi dengan orang asing, walau hanya lewat texting di internet. Tetapi, mempraktikkan bahasa adalah soal bersosialisasi sementara kadang kapasitas saya tidak mencukupi. Journaling tidak diteruskan karena pada dasarnya itu sarana untuk berekspresi secara lepas sementara kosakata saya masih terbatas. Penerjemahan juga dirasakan tidak efektif karena adakalanya saya menemui kata atau ungkapan yang sudah pernah saya telusuri tetapi saya tidak ingat pengertiannya sehingga saya harus mencarinya lagi di berbagai kamus, googling lagi.

Sementara waktu, minat belajar bahasa menguap sampai kemudian saya memiliki tablet. Dengan tablet itu saya bisa mengunduh aplikasi belajar bahasa seperti Duolingo dan lain-lain. Perjalanan saya mengeksplorasi bahasa pun berlanjut.

Bahasa Inggris

Duo, si burung hantu
penyemangat belajar bahasa.
sumber
Alhamdulillah, bahasa Inggris saya sudah memadai untuk menjadi bahasa pengantar dalam mempelajari bahasa lain termasuk di Duolingo. Saya juga cenderung mengonsumsi lebih banyak artikel, forum, dan video berbahasa Inggris ketimbang yang berbahasa Indonesia. Ketika menonton video berbahasa Inggris, subtitle mesti dinyalakan. Selain karena kemampuan listening saya pas-pasan (dan saya malas menguji diri), juga untuk mengetahui cara pengucapan kata-kata dalam teks. Biasanya ada banyak kata yang belum saya pahami artinya, sehingga mungkin itu sebabnya jika tanpa subtitle saya tidak berhasil menangkap sebagian kata dan akhirnya kehilangan minat untuk terus menonton. Untuk sementara waktu saya tidak mencari teman-teman asing lagi. Ada beberapa surel dari teman asing yang tidak kunjung saya balas, alasannya antara lain karena saya malas berpikir dalam bahasa Inggris di samping tidak memiliki peristiwa menarik untuk diceritakan serta takut menjadi pelakor, hahaha. (Aduh, enggak banget, ya.) 

Sampai akhirnya beberapa waktu lalu, tepatnya tidak lama setelah Lebaran Idul Fitri, saya berkesempatan untuk menjadi murid gadungan bagi peserta pelatihan mengajar bahasa Inggris mengikuti kursus gratis di salah satu tempat kursus bahasa Inggris paling mentereng di Kodya Bandung. Programnya cukup intensif yaitu dua jam tiap hari kerja (Senin-Jumat) selama empat minggu. Di kelas mau tidak mau kami mendayagunakan berbagai kemampuan berbahasa Inggris seperti berbicara, mendengarkan, mengerjakan soal, dan sebagainya. Selain mengasah kemampuan berbahasa Inggris dan mendapatkan grup WA teman-teman baru, selepas program itu entah bagaimana saya termotivasi untuk kembali mempelajari bahasa tersebut, terutama dalam berbicara dan menulis. 

Bottled mengapung-apung
mencarikanku teman dari negeri seberang.
sumber
Bersamaan dengan kursus itu, saya mulai mencoba aplikasi chatting baru bernama Bottled. Saya menganggap Bottled ini perpaduan yang oke antara penpaling dan stranger chat apps. Kita tidak harus punya peristiwa menarik untuk diceritakan hingga berparagraf-paragraf sepatutnya dalam e-mail untuk penpal. Percakapan juga relatif awet ketimbang di stranger chat apps karena kita bisa menyimpan lawan bicara, melihat profilnya, dan menggali pertanyaan dari situ, bahkan memberinya "hadiah". Memang sih, untuk menjaga percakapan dibutuhkan kreativitas dan keaktifan kedua belah pihak. Malah kadang saya mengajukan pertanyaan dari buku IELTS, hahaha. Melalui aplikasi ini juga akhirnya saya punya teman berlatih speaking dari negeri asing. Kebetulan saja dia punya kepentingan yang sama dan tampaknya beriktikad baik, karena biasanya enggak mudah menemukan orang asing yang cocok untuk dijadikan teman mengobrol lewat telepon.

Bahasa Arab

Tujuan utama mempelajari bahasa ini tidak lain supaya bisa mengerti ketika Alquran dibacakan. Biasanya, ketika mengikuti salat berjamaah dan imam membacakan ayat keras-keras, pikiran saya semakian melantur ke mana-mana. Tahu arti bacaan Al-Fatihah saja masih sulit khusyuk, apalagi kalau tidak mengerti. Tetapi, itu saja tidak cukup. Baiklah, saya memang belum berkomitmen. 

Hingga belakangan ini saya bertemu orang-orang berbahasa Arab di Bottled lalu membuat mereka takjub dengan sisa pengetahuan bahasa Arab yang saya peroleh di SD-SMP. Apalagi setelah saya mengunduh keyboard Arab di tablet sehingga saya bisa praktik menulis. Malah ada di antara mereka yang antusias untuk mengajari saya bahasa Arab, lengkap dengan slangnya, walau sekarang entah bagaimana kabar dia. Kemudian saya berpikiran bahwa belajar bahasa Arab sehari-hari dari Youtube dan mempraktikkannya langsung dengan orang-orang Arab di internet lebih menarik daripada belajar bahasa Alquran dari bukuteks. Sebenarnya di Youtube juga ada pelajaran bahasa Arab Alquran, tetapi, ya, beda penampilan dengan pelajaran bahasa Arab pergaulan. Walau begitu, pelajaran bahasa Arab sehari-hari dari berbagai saluran yang tampaknya lebih atraktif itu tidak serta-merta bisa dipraktikkan pada teman-teman Arab. Apalagi pada dasarnya saya pemalas. Dijejali beberapa kata sekaligus dalam sekali waktu tidak efektif buat saya karena saya tidak suka menghafal.

Alhamdulillah, ada dua aplikasi belajar bahasa Arab Alquran yang lumayan, yaitu e-iqra dan Quran IQ. (Semoga ini menjadi amal jariah bagi para pembuatnya, aamin.) Kedua aplikasi ini bisa menjadi alternatif bagi yang sehari-hari malas membaca Alquran.

e-iqra, Duolingo KW 2
tetapi boleh juga.
sumber
Tampilan e-iqra benar-benar menyerupai Duolingo KW 2, tetapi bagaimanapun saya mengapresiasinya. Jadi, bayangkan saja belajar bahasa Arab di Duolingo, dengan tiap pelajarannya berlabelkan aspek-aspek kebahasaan seperti kata benda, kata ganti, verba, dan sebagainya, tetapi kosakatanya berhubungan dengan ajaran Islam diselingi pembacaan ayat Alquran yang memuat kata yang bersangkutan. 

Harus bayar, tetapi tidak apa-apa.
sumber
Adapun Quran IQ seperti Alquran terjemah per kata yang dibuat versi game-nya, ya tidak jauh dari Duolingo juga sih. Tiap pelajaran memuat beberapa ayat dalam satu surat, sehingga satu surat akan selesai dalam beberapa pelajaran. Tiap beberapa pelajaran ada selingan berupa video yang menerangkan tata bahasa Arab atau tafsir singkat mengenai surat yang baru diselesaikan. Dalam mengerjakan aplikasi ini, saya sangat mengandalkan buku Terjemah Al-Quran secara Lafzhiyah Penuntun bagi yang Belajar Jilid XI/Juz XXX (Juz Amma) terbitan Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam "Al-Hikmah" Jakarta. Pelajaran dalam aplikasi ini dimulai dari Juz Amma sehingga kalau saya sudah menamatkan satu juz, saya harus mencari buku jilid berikutnya. Saya lebih menyukai buku terjemahan ini daripada Al-Qur'anulkarim Terjemah Tafsir Per Kata keluaran Syaamil Al-Qur'an karena yang belakangan adakalanya tidak menerjemahkan per kata, tetapi per frasa. Sayangnya, aplikasi Quran IQ ini gratisnya cuma sampai An-Nas, pokoknya surat-surat awal. Untuk melanjutkan, kita perlu membayar. Harganya relatif murah sih, bisa ditebus dengan pulsa dan pembayaran ini hanya sekali untuk selamanya (katanya sih). Selain itu, tiap kata dilagukan dengan sangat merdu, mirip suaranya Tompi.

(Karena entri terlalu panjang, maka saya bagi menjadi dua. Bagian dua ada pada entri berikutnya.)

Sabtu, 18 Agustus 2018

Mengurbankan Kemerdekaan

Kemarin pagi saya mengidam gorengan. Setelah membeli sebungkus gorengan seharga sepuluh ribuan di depan Alfamart dekat rumah, dalam perjalanan pulang tahu-tahu terbayang oleh saya masyarakat adat yang tersingkir dari kampung tempat mereka mencari penghidupan sehari-hari, anak orangutan yang kehilangan induknya, jutaan burung yang kelabakan mencari sarang baru, serta sekian spesies yang punah. Semua demi menghasilkan aneka produk kelapa sawit, yang di antaranya berupa minyak goreng, agar saya bisa menikmati sebungkus gorengan pada pagi nan cerah yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Bukan hanya perkebunan kelapa sawit, tetapi juga pertambangan batu bara dan sebagainya menggantikan hutan alam demi memenuhi konsumsi manusia modern. Batu bara merupakan sumber utama energi listrik (baca di sini). Berkat listrik, kita dapat memainkan gadget seharian. Sudah menjadi topik yang klise betapa hidup manusia sekarang ini sangat bergantung pada teknologi--gadget. Agaknya listrik sudah termasuk kebutuhan primer dalam hidup kita, mendampingi pangan, sandang, dan papan.

Merayakan kemerdekaan dengan berkurban.
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Dalam rangka mensyukuri hari kemerdekaan, biasanya kita disuruh untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan yang telah bertempur melawan kompeni bersenjatakan bambu runcing. Tetapi rupanya ada lebih banyak nyawa yang harus dikorbankan agar sebagian manusia dapat menikmati gorengan dan gadget dengan merdeka bangsa yang merdeka ini dapat melangsungkan pembangunan.

Sebetulnya saya cuma ingin berbagi rasa terusik saya setelah membaca dua artikel ini di Mongabay:

Community vs. company: A tiny town in Ecuador battles a palm oil giant
Bornean villagers who fought off a mine prepare to do battle again

Selain itu, saya pernah membaca hadis yang mengatakan bahwa sesuap yang kita makan pun akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat. Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban kita jika segenggam gadget yang kita pakai sehari-hari ternyata mengakibatkan terzaliminya suatu suku di pedalaman Papua?

Sesampai saya di rumah, setelah makan beberapa bala-bala dan cireng lalu merasa mual, saya melempar topik ini ke suatu grup WA serta memikirkan langkah-langkah yang dapat saya lakukan untuk mengurangi rasa bersalah saya.


  • Berhenti makan gorengan sama sekali. Batasi makanan hanya berupa buah, sayuran, serta apa pun yang direbus dan dikukus, dan beli dari warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
  • Berhenti minum minuman sachet sekalian. Toh kamu malas mendaur ulang sampahnya, ya kan? Minum air putih saja. Kalau ingin minum yang berasa, alternatifnya: air + madu, air + perasan jeruk nipis atau lemon + madu, kunyit asam, serta aneka minuman herbal lain yang dibuat sendiri dan bahan-bahannya dibeli di warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
  • Batasi penggunaan gadget. Kalau malam, daripada menyalakan lampu kamar dan menyendiri sambil menyetel musik supaya ada "suara-suara", lebih baik menggunakan lampu ruang tengah bersama-sama anggota keluarga yang lain. Toh mereka juga bersuara.
  • Cari tahu tentang sumber energi alternatif.


Ow, really?!

Gagasan-gagasan di atas sama sekali tidak menyenangkan, dan banyak alasan untuk tidak melakukannya. Kan enggak tiap hari makan gorengan, sekali-sekali enggak apa-apa lah, dan lagi bala-bala itu enak banget. Memeras jeruk nipis atau lemon tiap pagi sangat merepotkan dan makan waktu, begitu pula dengan memasak herba-herbaan. Belajar bahasa asing lewat Duolingo, Youtube, dan berbagai sarana lain di internet lebih menyenangkan daripada lewat buku cetak yang hampir-hampir tidak ada gambarnya. Mencuci piring, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai terasa membosankan tanpa mendengarkan jaz. Berkumpul bersama di ruang keluarga sangat canggung dan tidak semua orang ingin menonton siaran Asian Games di televisi. Bahkan bergaul pun hampir-hampir tidak mungkin dilakukan tanpa gadget. Zaman sekarang, ketika kita ingin menemui seseorang kita mesti menghubungi dia lebih dulu lewat WA atau apalah, alih-alih menelepon atau mendatangi langsung ke rumah dan memanggil-manggil namanya dari balik pagar seperti dahulu kala. Begitu pula dengan bekerja. Bahkan peternak pun menggunakan aplikasi untuk menyebarkan pelet dalam dosis yang tepat. Pekerjaan apa yang tidak menggunakan teknologi dewasa ini? Yah, ada saja sih dan mungkin bisa dihitung dengan jari, tetapi apa mau bekerja seperti itu? Selain itu, belajar tentang sumber energi alternatif pasti memusingkan! Ada alasannya saya enggak memilih ITB jurusan teknik menjelang lulus SMA.

Kebetulan tahun ini hari kemerdekaan berdekatan waktunya dengan Idul Adha, yang identik dengan kurban. Ternyata keduanya punya keterkaitan makna juga. Kita bisa merdeka berkat pengorbanan para pahlawan, masyarakat adat, orangutan, burung, dan aneka spesies lain. Pengorbanan berarti kita lepas, bebas, merdeka dari keterikatan dengan sesuatu yang kita dikasihi, disayangi demi sesuatu yang Tinggi, seperti pembangunan perkebunan dan pertambangan demi menunjang ekonomi bangsa seperti Nabi Ibrahim As yang hendak menyembelih putranya semata-mata karena perintah Allah Swt.

Mengurbankan kemerdekaan
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Kalau sebagian nyawa rela atau terpaksa berkorban agar kita bisa memperoleh kemerdekaan dalam hal-hal tertentu, sudikah kita melakukan sebaliknya demi kebaikan yang lain? Maksudnya, kan bisnis muncul karena ada permintaan. Perkebunan dan pertambangan terus dibuka menggantikan hutan karena konsumsi masyarakat atas produk dari jenis usaha tersebut meningkat. Bisa saja perkebunan dan pertambangan itu setelah tidak digunakan lagi direhabilitasi agar kembali menjadi hutan, tetapi akankah dapat menghidupkan lagi spesies yang telanjur punah? Akankah itu memulihkan luka emosional serta perubahan mental dan gaya hidup suatu kaum yang telah mengalami marginalisasi selama bergenerasi-generasi? Sudikah kita mengorbankan gorengan? Sudikah kita mengorbankan minuman sachet? Sudikah kita mengorbankan waktu bermain gadget demi melakukan aktivitas lain yang lebih aktif, bersosialisasi secara nyata? Sudikah kita membersihkan rumah dan segala isinya tanpa sambil menyalakan radio? Sudikah kita mengorbankan waktu untuk melacak sumber listrik PLN, berkelanjutan atau tidak, dan kalau tidak lantas berhenti berlangganan serta mencari dan memasang alternatifnya? Sudikah kita mengorbankan segala kenyamanan hidup ini? Pasti sulit, ya, dan penderitaan yang kita rasakan ketika harus berpisah dari hal-hal itu apakah sebanding dengan yang dialami masyarakat adat yang tersingkir dari kampungnya, anak orangutan yang terpisah dari induknya, jutaan burung yang hancur sarangnya, serta sekian spesies yang tidak dapat lagi berkembang biak? Bagaimana pula dengan penderitaan kita di neraka akibat secara tidak sadar menzalimi makhluk hidup lain? Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, tetapi kita terus berbuat kerusakan di muka bumi dengan ketergantungan kita pada gorengan, gadget, listrik, bahkan baju baru yang limbahnya mencemari Sungai Citarum. Tapi, tapi, tapi, gimana nasib penjual gorengan, gadget, PLN, pedagang baju di Pasar Baru, serta karyawan batu baru dan kelapa sawit kalau kita berhenti membeli barang mereka??? Gimana dengan laju ekonomi bangsa??? Uuugh, stres akutu.

Sementara itu, teman-teman dari grup WA mengingatkan saya untuk tidak berpikir terlalu jauh. Tanggapan mereka juga mengingatkan saya pada orang-orang yang kemudian depresi, paranoid, dan sebagainya akibat memikirkan betapa kekuatan asing telah menguasai Indonesia atau dahsyatnya siksa neraka. Tidak lupa, ada cerpen Ursula Le Guin, "The Ones who Walk Away from Omelas" (versi bahasa Indonesia coba-coba di sini) yang seakan-akan menyiratkan bahwa begitulah kehidupan manusia: demi kebahagiaan suatu kaum, ada pihak lain yang harus menderita. Pada akhirnya, semakin berumur kita akan menjadi semakin pemilih: mana yang harus dipedulikan dan mana yang sebaiknya diabaikan. Agaknya orang memang perlu cuek supaya tetap waras. Hidup sungguh bagai makan buah simalakama. Tapi tapi tapi apa enggak buah lain yang enak dimakan?

Marilah berbagi kemerdekaan, sepertinya.
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Jadi, apa sih kemerdekaan itu jika sampai harus mengorbankan hajat hidup makhluk lain? Memang sih, siapa juga yang sudi berkorban demi kepentingan penjajah? Tetapi, bagaimana jika setelah penjajah itu pergi, kitalah yang ganti menduduki posisinya dan menjajah bangsa sendiri, tanpa kita menyadarinya? Bisakah kita merdeka dari berbuat salah dan dosa? Bisakah kita hidup tanpa berbuat kerusakan di muka bumi? Mengapa begitu banyak kesenangan dunia yang mesti dikorbankan demi kebaikan akhirat?

Keep istigfar, tobat dan belajar zuhud, sepertinya.

Selasa, 14 Agustus 2018

Pengantar Eksplorasi Gaya Hidup tanpa Uang

sumber
Sebelum membaca The Moneyless Man oleh Mark Boyle, saya sudah bersikap irit, cuek, urakan, sederhana, serta tertarik pada gagasan seputar asketisme dan lingkungan hidup. Saya suka menabung. Saya menolak menggunakan kendaraan motor pribadi dan malah menikmati jalan kaki serta naik kendaraan umum. Saya bergabung dengan ekskul pencinta alam di SMA (walau hanya sesaat). Saya memilih kuliah di jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Saya juga lebih banyak menghabiskan uang untuk buku ketimbang pakaian dan kosmetik (walau sebagian mungkin karena saya menderita inferiority complex dan social inhibition).

Gagasan gaya hidup tanpa uang baru relevan setelah saya lulus kuliah dan bermasalah dalam menemukan sumber penghasilan. Saya tidak tertarik bekerja di bidang kehutanan. Saya tidak lagi ingin menulis, yang padahal dulu merupakan passion saya. Saya hanya ingin lenyap ditelan bumi. Saya baru melihat-lihat lowongan kerja ketika bosan, tapi saya dihadapkan pada banyak kebingungan. Apa saya memiliki skill yang diperlukan dalam pekerjaan ini? Apa saya benar-benar menginginkan pekerjaan ini? Terlunta-lunta begitu, saya mendapati gagasan tanpa uang sebagai arah baru. Yah, mungkin bukan mutlak gaya hidup tanpa uang, melainkan gaya hidup alternatif. 

Saya cocok dengan gagasan ini dalam beberapa hal. Pernah dengar istilah "kreatif"--kere tapi aktif? Juga peribahasa "tiada rotan akar pun jadi" dan komik Si Botak Hagemaru? Saya suka dengan gagasan betapa keadaan bokek menjadikan otak mencari cara untuk memanfaatkan apa pun yang sudah ada di sekitar. Tidakkah situasi tersebut menjadikan kita bersyukur bahwa ternyata ada yang masih bisa kita manfaatkan; ternyata kita tidak memerlukan lebih; ternyata Tuhan memang sudah mencukupi kita? Saya suka betapa keadaan bokek memaksa kita untuk berdamai dengan kesederhanaan, yang merupakan salah satu teladan Rasulullah SAW. Saya suka betapa rezeki tidak mesti diartikan  dalam bentuk "uang" dan datangnya bisa dari mana saja--arah yang tidak disangka-sangka--seperti yang dikatakan Alquran. Saya suka betapa gagasan ini memaksa saya untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain karena mereka bisa menjadi jaring pengaman saya. Saya suka betapa berhemat berarti mengurangi kerusakan yang kita perbuat di muka bumi. Saya suka betapa gaya hidup ini dalam beberapa hal sesuai dengan amanat Islam, agama yang saya anut.

Tapi, di sisi lain, Islam menghalalkan jual beli. Islam punya hukum sendiri dalam mengatur perekonomian. Selain itu, untuk melaksanakan ibadah tertentu secara wajar seperti zakat, kurban, dan haji, kita membutuhkan uang. Mark Boyle sendiri mempertimbangkan berbagai dampak yang dapat terjadi jika banyak orang berhenti menggunakan uang sama sekali. Lagi pula, jika kita ingin hidup lebih baik secara finansial, fisik, mental, sosial, dan sebagainya, toh ada banyak alternatif di samping hidup tanpa uang sama sekali yang terlalu ekstrem. Toh sekarang ini mulai tren yang namanya gaya hidup minimalis atau organik atau pindah ke pedalaman sekalian dan berburu rusa untuk makanan seperti dalam film Captain Fantastic. Mark Boyle juga mengajukan bahwa gagasan ini untuk diterapkan secara individual. Kita bisa memilih berhenti menggunakan uang dalam aspek tertentu saja, tidak harus semuanya. Misalnya saja, kita bisa berhenti membeli sabun serta sampo dan kembali pada cara lama untuk mandi: pakai batu kali atau menanam oyong di halaman sebagai ganti spons.

Bacaan, tontonan, percobaan, pengalaman serta pertemuan dengan berbagai orang membuat saya mau tidak mau terus menimbang ragam gaya hidup alternatif secara kritis. Lucu juga ya mendapati orang itu bermacam-macam. Banyak orang ingin gaji besar dan hidup nyaman, tapi ada saja orang yang padahal sudah punya gaji besar dan hidup nyaman melepaskan segalanya itu untuk hidup "miskin" lagi "susah" di pedalaman. Ujung-ujungnya, ekonomi itu mengenai pemenuhan kepentingan diri yang bermacam bentuknya. Saya sendiri masih perlu terus mencari mana yang baik bagi saya; apa yang bisa saya kerjakan dengan sarana yang sudah ada.

Alhamdulillah, saya memiliki orang tua yang masih dapat menyokong saya sementara saya terus mengeksplorasi. Ikhtiar untuk memiliki sumber penghasilan yang sreg, halal lagi tayib perlu terus dilakukan. Mempelajari gaya hidup tanpa uang lebih seperti antisipasi jika ikhtiar itu gagal, maka saya tidak akan sebegitu merana. Back up plan lah. Banyak yang masih perlu dikaji dan diuji mengenai gaya hidup ini. Saya berharap perjalanan tersebut dapat mengajari saya untuk menjadi kreatif, kanaah, istikamah, tabah ... insyaallah.


Sabtu, 11 Agustus 2018

Natural Environments I Enjoy Spending Time in

As a city dweller since ever, nature is something I attempt to appreciate. Gladly, I live in a city that provides facilitates to feed my hunger for it and I also got an opportunity to learn more about it both theoretically and practically while in a university. Generally, I can say that I enjoy nature and I am fortunate to have experiences spending time in various kinds of natural environments.

Urban green spaces

I am grateful for living in Bandung city. It has a lot of city parks, especially after the last mayor turned them into thematic parks. They are wonderful places to hang out with your friends. You can walk, eat, or hold an event there with them. Of course you can also do the things alone. What a pleasure to contemplate about the universe while sitting on a park bench surrounded by ancient trees. Some of the parks I like visiting: Taman Balaikota, Taman Lansia, Taman Tegalega, and Taman Maluku.

source
There is also an urban forest worth-visited: Babakan Siliwangi. The urban forest has a conflicted background and my undergraduate thesis told about the stakeholders involved. Basically, the conflict was about the issue of developing Babakan Siliwangi as an aparthotel and such. Many people spoke on social medias against the development. Eventually, in 2011 Babakan Siliwangi was declared as a world urban forest in an international event.

I have a special label on this blog for my writings about the urban forest. Now Babakan Siliwangi has a forest walk, I recommend it to anyone. The forest walk is basically a floating bridge surrounding inside the forest. I went through the bridge once with a friend from North Sumatra. Along the way, he found various species of trees that brought him back to his childhood memories.

As a cyclist, I enjoy having trees canopies above me when I bike. Fortunately, there are a lot of streets with trees in Bandung. The streets are also not too wide and the weather is relatively cool. Those make Bandung is a comfortable city to bike.

Homeyard is also included. I like to see what people plant in front of their houses to prevent me from boredom while jogging around neighborhood.

White sand beaches

When I was studying in Yogyakarta, I had the opportunities to visit some good beaches there. Yogyakarta has a lot of beaches. The beaches in Gunungkidul are really wonderful because they are white sand. The water is as crystal clear as in your bathtub. You can also find exotic creatures like starfish, sea cucumber, and sponge. 

source
Some of the white sand beaches in Yogyakarta I have ever visited are Pantai Wediombo and Pantai Drini. To reach the beaches, we had to take our own vehicles because there were no major roads. I went there with colleagues from organizations, by motorcycles and buses. The trips took about two hours from the city. Once we reached the beaches, it was awesome because no one else came to those places. It felt like the beaches belonged to our own.

Places I visited for field study

When I was in university, I studied Forestry. That brought me to a lot of new, exotic places; various kinds of forests. I had opportunities to visit teak and pine forests, Nusa Kambangan (the Guantanamo version of Indonesia), thorny bushes, mangrove, Ujung Kulon, etc. Those were my best years ever. I really enjoyed my four years experience as a Forestry student and I don't regret it. I got to know different kinds of people as well during my time there. The places I visited as a student also gave me much inspiration to write, especially for this blog.

What kinds of natural environments do you enjoy spending time in?*

*) The question is taken from Essential Words for The IELTS with Audio CD by Dr. Lin Lougheed (2011, Barron's Educational Series, Inc.) 

Minggu, 05 Agustus 2018

Response to "Chapter 2: Spotting Errors in Your Thinking"

On Fortune-telling

Sometimes I don't visit a social event because I feel like I won't enjoy it. And if I don't enjoy it, I would act bad, though sometimes indeed it turns out different. 

Well, now if I don't feel like visiting a social event, I consider it more as a choice. I deserve to decide what I want to do, even though some may find it not good. I don't lose anything because everything happens for a reason. Even when I am reluctant to meet anyone in person, that means I have more time to sleep or gain new knowledge from the internet, and that's worth.

On Labelling

I still believe that I am worthless, inferior, inadequate, no good, useless, a failure, and bla bla bla all the negative labels even though I may be not, just because I don't like people to expect something from me. It's kind of avoiding responsibility, I think. Because when people expect something good from you, you feel it like a burden, that you have to maintain--if not enhance--that good trait for your whole life whereas you can be bad sometimes.

Another case, if I see myself in a positive way, and then some circumstance makes me find out that I am not that good, I would be disappointed in myself, and that would be bad. So, I would be better to put low--if not zero--expectation of myself, and therefore I would be happy if I am actually better.

On Personalising

I remember that I had this feeling when I missed important events that my friends had. When my friends didn't tell me about important events that they just had, I felt left behind. I felt that I am less worth hence they didn't bother to tell me about stuffs.

This got me asking to myself about what I had done to them so they didn't find me as a significant person to tell every time they had an important event. I realised that I did very little to them--if none. And that made me feel more worthless. And then I shut in.

After I reclused myself for years and got hit by antidepressants, I don't think much of it anymore. I know that I have missed more important events that my friends had, intentionally, and I don't find it matters anymore.

Besides, I didn't want to meet my friends because I was afraid that they would think bad things of me or utter remarks that make me more uncomfortable with my situation and then I would snap at them in return as a defense mechanism. 

When eventually we met again after many years severed, that bad scenario didn't matter anymore. We shared stories and I found that they had their own problems which on their perspective might be bigger than mine. I even think that my problem actually doesn't matter at all to them. They are too attached to their own problems. 

So, when I gather with them, I like to be more a listener than anything else. If possible, I don't talk about my problem at all, because my problem is not as important as theirs, or I can say, I have much less problem than them. Yeay.

On Getting Intimate with Your Thinking

Since I was in elementary school, I loved to pour all my thoughts in diary. It went until last few years. So, if I am to review my thoughts, I already have thousands sheets of paper. All I have to do is just analysing them and indeed when I read my journal back then from year to year, I can spot patterns of my thoughts, especially the negative ones.

My action towards it is by just stop writing at all, because I am bored, I would just write same things all over again. It makes me frustrated to know that I make very little improvement--if none at all-with my life during years.

In other words, I think by stop writing I would stop thinking of those negative things as well. So, basically I just don't give a damn about them all. 

Sometimes I think of doing gratitude journal, which means I keep writing but only in positive way. But that's just another useless idea. I never do it. That's not really interesting to me.

Truthfully, sometimes I realise that there are so many good things happen to me everyday, that I can't put them all in writing, and that would be boring to write the same good things every single day. It doesn't mean that I am not grateful. It's just boring. 

And sometimes I feel guilty about it, because I can do nothing to express my gratitude for those tons of blessing I get everyday. I get overwhelmed. So, once again, it's better to not think about them at all: both the negative thoughts and all the good things that actually happen.

I think I am pretty good at analysing this kind of thing. In fact, I think about it over and over but I never put a steady action on whatever it is because I suck at doing. I am definitely not a man of action. At this point, I hesitate that CBT would help me. Even though I could develop positive way of thinking, I can't ever beat my laziness. Moreover, I am afraid that through CBT I would have a positive outlook to keep maintaining this habit. 

Conclusion

At this point, I see that CBT tells to be mindful about every single act, no matter how small it is. I am afraid at some point that would be overwhelming. Anyway, CBT is intended for overthinking persons, isn't it? And I see that it's about how to direct the overthinking habit towards positive way.



Catatan : Seperti yang terlihat dari judul, tulisan ini dibuat untuk menanggapi bab dalam suatu buku, yaitu Cognitive Behavioural Therapy for Dummies oleh Rob Willson dan Rhena Branch (2006, John Wiley & Sons, Ltd., Inggris). Tanggapan ini ditulis dalam bahasa Inggris karena saat itu saya sedang bersemangat untuk berlatih menulis dalam bahasa Inggris. Tanggapan ini sekiranya dapat menjelaskan sedikit tentang masa yang hilang dalam blog ini #halah. And I dedicate it firstly to Ristirianto Adi (do you still want to study abroad?), and then to friends I find on Bottled, a sophisticated-if-not-annoying-due-to-frequent-lags chatting application. And last but not least, pardon my English, would you? I am just learning!

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain