Selasa, 04 Desember 2018

(33)

Arderaz. Zahra. Dari nama saja mereka sudah melengkapi. Arderaz berawalan huruf “a” dan berakhiran huruf “z”, sedang Zahra berawalan huruf “z” dan berakhiran huruf “a”. Ujung dan pangkal saling bertemu, seperti Yin dan Yang. Deraz kebanyakan membaca artikel feng shui.

Tiada hari tanpa momen yang berkesan dengan Zahra.

Kini Deraz tahu bahwa Zahra gadis yang sangat minder. Tetapi segala kekurangan diri yang Zahra ungkapkan pada Deraz tidak menjadi masalah. Deraz malah melihat itu sebagai peluang untuk menjadikan dirinya semakin berarti bagi Zahra.

Misal ketika Zahra akan mendapat giliran berpidato dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Deraz menceritakan pengalaman awalnya saat mengikuti lomba debat dan pidato di SMP, yang Zahra dengarkan dengan takjub sekaligus sangsi. Zahra tidak percaya Deraz juga pernah gagap dan gugup sampai berkeringat banyak. Deraz bahkan meninjau teks pidato Zahra, memperbaikinya, membuatkan sontekan, dan memberikan strategi. Ketika Zahra maju, tiap kali ia lupa hendak mengatakan apa, dilihatnya Deraz, yang membantunya dengan gerak bibir dan cue cards, yang cepat-cepat diturunkan lagi ke bawah meja begitu Pak Guru melirik.

Misal pula ketika Zahra menceritakan tentang keraguannya untuk menjadi dokter. Rupanya Papa Zahra sudah tidak bekerja. Sebelumnya Papa Zahra punya perusahaan di Jakarta. Namun sekitar dua tahun lalu perusahaan itu dinyatakan pailit dan merugi, sampai-sampai mereka sekeluarga harus menjual rumah dan pindah ke rumah Kakek Zahra. “Mas Imin baru kuliah. Mas Ardi juga mau kuliah tahun depan. Kedokteran kan mahal biayanya. Jadi enggak tahu kalau nanti masih ada uang buat aku kuliah atau enggak. Mama cuma guru yayasan. Gajinya kecil,” ungkap Zahra sendu.

Deraz justru senang mendengar itu. Bukan atas kesulitan yang menimpa Zahra sekeluarga, melainkan karena ia mulai melihat jalan bagi kebersamaan mereka di masa depan. Akhirnya arah hidup Zahra bersesuaian dengan cita-citanya! Setidaknya, itu dapat diarahkan. Ia merasa kejatuhan Papa Zahra memang sudah ditakdirkan terjadi karena Deraz yang akan mengambil alih untuk menjaga putrinya.

“Kamu belajar bahasa Jerman aja dari sekarang, terus nanti kita sama-sama cari beasiswa kuliah gratis di sana. Kamu pernah dengar DAAD?”

“Belajar bahasa Jerman? Kursusnya berapa?” Zahra sudah takut saja mesti meminta biaya yang tidak sedikit pada orang tuanya untuk kursus bahasa Jerman.

“Aku bisa ajarin kamu.”

Namun Zahra punya kekhawatiran lain. “Tapi aku belum tahu mau jadi dokter apa. Lagian, kalau jadi dokter, aku mesti sering ketemu orang.”

“Jadi dokter hewan aja,” mendadak Deraz menjadi konselor karier, seperti opa buyutku.

“Nanti kalau pasiennya anjing, gimana? Kan najis.”

“Kamu bisa pakai sarung tangan.”

“Bener juga sih.”

Zahra bercerita lebih lanjut tentang ibunya yang membelikan dia buku-buku keterampilan: memasak kue kering, merajut, dan sebagainya. Deraz kegirangan mendengar itu.

“Mungkin Mama pikir sebaiknya aku belajar wirausaha aja, terus nyari duit kuliah sendiri dari jualan. Tapi aku enggak mau jualan. Kalau sama-sama mesti ketemu orang, aku mending jadi dokter daripada wirausaha. Tapi kalau enggak ada duit, enggak bisa kuliah.”

“Hei, hei, Zahra,” Deraz menenangkan, “Pertama, kamu kan bisa cari beasiswa kayak aku bilang. Kedua, memangnya mama kamu bilang kalau kamu harus jualan? Enggak, kan? Itu baru prasangka kamu. Enggak ada salahnya dari sekarang kamu belajar keterampilan kayak gitu. Kalaupun kamu enggak dapat beasiswa atau enggak suka jualan, kamu bisa jadi ibu rumah tangga dan punya anak banyak. Jadi kamu tetap punya kesibukan di rumah.”

“Tapi kalau nanti suami aku nasibnya kayak papa aku, gimana? Aku mesti tetap kerja buat nombokin, kan?”

“Oh, enggak. Suami kamu nanti pekerja keras dan punya skill tinggi. Jadi dia akan selalu punya pekerjaan dan gajinya besar,” Deraz begitu yakin, “lebih dari cukup buat keluarganya hidup layak. Kamu enggak usah khawatir. Kamu belajar masak yang enak aja buat suami kamu: kue, roti, sup, apfelstrudel, bretzel, schwarzwalder kirschtorte, ….” Deraz mendaftar berbagai masakan yang pernah dibuatkan Oma Buyut untuknya.

“Itu apa? Aku mah tahunya sayur asem, sayur lodeh, tumis kangkung, ….”

“Kamu harus belajar segala macam masakan. Jangan cuma masakan lokal. Siapa tahu nanti kamu tinggalnya di luar negeri sama suami kamu. Ke Jerman, gitu, misalnya.”

“Kenapa Jerman?”

Warum nicht? “Misalnya aja.”

“Mmm …. Aku pengin cobain belajar masakan Jepang sama Korea.”

“Kenapa Jepang sama Korea? Jepang masakannya amis. Korea pedas-pedas asam ….” Deraz menyeringai mengingat kunjungannya ketika diajak makan oleh Bunda di restoran-restoran asing. Ia terus berpidato tentang keunggulan masakan Eropa. Zahra mendengarkannya dengan bingung.

Zahra mulai membawakan kue kering buatannya untuk Deraz. Warna tiap potong kue bergradasi. Bentuknya juga tidak ada yang sama, padahal cetakannya hanya satu. Kadang rasanya seperti Lego, kadang menyerupai dodol.

Teringat oleh Deraz ketika sewaktu di SD Dean ditawari nastar buatan teman sekelas mereka. Dean mengajak Deraz untuk mencicipi juga. Setelah sepotong kue itu sampai di mulutnya, Deraz ingin melepeh karena rasanya seperti pasir.

Namun Dean malah memuji, “ Mmm, enak. Bikin lagi yang banyak. Entar aku bagi sama bakteri-bakteri di perut aku ….”

“Kamu makan semua, gitu?” tanya anak perempuan teman sekelas mereka itu.

“… juga sama kecoak, tikus, cacing, belatung, dan hewan pengurai lainnya,” Dean masih hafal soal ulangan IPA yang baru berlalu, berikut jawabannya. Mendengar perkataan Dean, Deraz tersenyum karena mengira sebetulnya Dean juga ingin membuang seluruh isi kotak bekal itu ke tempat sampah. Ketika melihat temannya manyun, Dean menambahkan, “Enggak atuh, bercanda. Sini aku habisin.”

“Ih, jangan. Mau dibagi-bagiin buat yang lain.”

Tentu saja Deraz tidak akan memakai cara Dean.

“Buat lagi lebih sering. Lama-lama pasti enak.” Deraz menyemangati.

“Jadi itu enggak enak?” tanya Zahra murung.

“Eh ….” Deraz menjadi salah tingkah. “Maksudnya …. Buat lagi yang banyak, biar aku bagi sama bakteri-bakteri di perut aku.” Deraz mengerutkan kening mendengar ucapannya sendiri.

Zahra berusaha mencerna kata-kata itu.

Telepon terus berlanjut, bahkan lebih sering dan lebih lama.

Sepulang dari kursus bahasa Jerman, sehabis mandi, Deraz menelepon Zahra sembari menggeletak di tempat tidur. Zahra bertanya apakah Deraz sudah belajar untuk ulangan besok. Deraz yang normal pasti menjawab bahwa sehabis ini ia akan belajar satu-dua jam sebelum tidur, atau jika sudah lelah menyetel alarm pukul tiga-empat pagi dan biar Dean yang membangunkannya nanti. Malah sebenarnya ia sudah menyempatkan diri untuk belajar sembari menunggu kelas di tempat kursus, karena tahu bahwa setibanya di rumah nanti ia hanya ingin menelepon Zahra. Maka Deraz menjawab, “Males, ah. Capek.”

“Eeeh …” tegur Zahra. “Katanya kamu mau ranking satu?”

“Kamu udah mau tidur?”

“Belum.”

“Temenin dong belajar.”

Deraz bangkit dan duduk di meja belajar, mengeluarkan buku-bukunya dan alat tulis. Sembari mendengar Zahra merangkum drama Korea yang ditontonnya tadi sore, di buku tulisnya ia menggambar rumah, anjing, bunga, bunga, dan bunga. Ia bahkan tidak benar-benar mendengarkan Zahra. Ia hanya suka mendengar suara gadis itu yang terasa bagaikan usapan kain sutra di telinga.

Tahu-tahu saja Zahra berkata, “Kayaknya aku harus tidur sekarang. Nanti susah bangun.”

“Ya udah.”

Deraz kembali menggeletak di tempat tidur dan lanjut bertukar SMS dengan Zahra sampai pukul satu dini hari.

Kali berikutnya, Zahra tidak lupa berpesan, “Kita teleponannya sampai jam sembilan aja, ya? Biar gampang bangunnya buat salat tahajud.”

“Oh, iya. Bangunin aku juga dong. Aku juga mau salat tahajud,” sambut Deraz. “Missed call, ya.”

“Insya Allah.”

Pukul sepuluh malam, tidak kunjung ada SMS balasan dari Zahra. Deraz memejamkan mata sembari memeluk guling dan mengenang setiap momen yang baru ia lewatkan bersama Zahra hingga tertidur.

Pukul tiga dini hari, Dean terbangun karena mendengar ponsel Deraz berbunyi. Ia terseok-seok mendekati meja belajar Deraz dan membaca nama di layar ponsel. “Die Blume?” Deraz menyimpan kontak dengan nama samaran?

“Halo?” angkat Dean. Suaranya di telepon saat baru bangun tidur terdengar mirip suara Deraz.

“Bangun. Udah jam tiga,” suara di seberang kecil sekali, seakan-akan tidak ingin membangunkan siapa pun lagi.

Dean terdiam, lalu menebak, “Zahra?”

“Ya?”

“Kenapa kamu nelepon jam gini?”

Telepon ditutup.

Dean menendang betis Deraz dengan sebal. Tetapi yang ditendang malah berbalik memunggunginya sembari tetap memeluk guling.

Pukul setengah tujuh pagi di kelas, Zahra menyambut kedatangan Deraz dengan cemberut.

“Kok Dean yang ngangkat?”

Deraz baru menyadari bahwa Zahra hendak membangunkan dia pukul tiga tadi. Deraz tertawa saja.

Namun Zahra terus cemberut sampai jam istirahat. Ketika diajak akhwat-akhwat ke masjid, Zahra menggeleng sambil meringis. “Aku lagi enggak.” Deraz menjadi maklum sekaligus geli.

Selepas kepergian akhwat-akhwat dan tidak ada lagi anak yang tinggal di kelas selain mereka berdua, Deraz mencolek pipi Zahra dengan pantat pulpen. “Katanya mau salat tahajud, tapi ternyata lagi enggak salat.”

“Ih ….” Zahra menghindari colekan Deraz berikutnya. “Baru keluar pas subuh.”

“Oh.” Deraz tidak benar-benar ingin membicarakan itu sebetulnya. Tetapi ia terus melancarkan manuver dengan pantat pulpen. Zahra mengambil buku dan berusaha menampik serangan Deraz. Malah ia mendorong muka Deraz jauh-jauh dengan buku. Namun begitu buku Zahra lepas dari mukanya, Deraz mulai lagi.

Sementara itu, Dean memasuki XI IPA 9 dan tertegun mendapati dua orang yang sedang saling membelai dengan perantaraan alat tulis.

Zahra keburu melihat Dean dan segera berhenti sembari menunduk dalam-dalam. Deraz menoleh. Dean menghampiri mereka seraya membentangkan buku.

“Deraz, bantuin PR ….”

Deraz memindai barisan soal yang diajukan Dean, lalu menengok Zahra yang terus menunduk sembari cemberut maksimal. Deraz ingat bahwa kali terakhir ia membantu Dean mengerjakan PR, maksudnya, mengerjakan PR Dean, setelahnya Zahra memberi tahu dia untuk berhenti.

Deraz menyodorkan buku itu kembali pada Dean. “Saya bantu, tapi kamu yang ngerjain.”

Dean merajuk. “Tapi lebih cepet kalau dikerjain sama kamu langsung. PR-nya dikumpulin habis istirahat ini. Waktunya udah mepet!” Dean berlutut dengan kedua lengannya menjulur di permukaan meja dan meratap. Wajah itu.

Deraz menoleh lagi pada Zahra, dan memantapkan hati. Mungkin memang ini saatnya untuk melepas Dean, dan merengkuh yang baru. “Enggak,” ucapnya sembari memancangkan mata pada dinding di depannya, menghindari tatapan Dean.

Dean mengerang. Ia berdiri dan mengambil PR-nya.

“Ya udah, kalau gitu! Moga-moga kalian jadi pasangan berbahagia, dikaruniai keturunan saleh dan salehah!” sahut Dean dengan nada menyumpahi. Deraz dan Zahra menatap Dean seraya mengerutkan kening.

Terdengar di luar kelas Dean berpapasan dengan pacarnya. “ Neng, Deraz enggak mau bantuin PR aku lagi!”

“Sini, sini, mana yang susah?” pacar Dean sepertinya sangat keibuan.

Deraz menoleh pada Zahra. Gadis itu sudah tersenyum lagi seakan-akan mengapresiasi keberhasilan Deraz.

Senin, 03 Desember 2018

(32)

Renata tentu saja ingin mengetahui kabar Deraz di ISDC. Mereka bertemu di Yahoo Messenger.

"I am not going," Deraz mengabarkan. "I made it to the ninth, though. And West Java team got runner up for National Round."

"THE NINTH?!" balas Renata. "And you're proud of that?"

Deraz mengetik, "Not really, but—"

Keburu muncul pesan baru dari Renata, "How come?"

Deraz menghapus kata-katanya tadi, lalu mengetik, "I don't know. I don't carry handycam anywhere like you."

"You're lame," sahut Renata.

Deraz terdiam. Ia sendiri sudah melupakan momen tersebut. Ia pulang membawa piala dan berbagai bentuk penghargaan lain termasuk uang. Yang ada di pikirannya hanya menggunakan uang itu untuk menraktir Zahra di suatu tempat bergengsi, walaupun belum sempat. Begitu tiba di rumah dan kembali ke sekolah, ia langsung disibukkan oleh banyak hal lain. Ia sudah merelakan kekalahan itu. Sekarang ia harus mengungkitnya lagi karena Renata. Deraz tidak akan tersulut.

"I've done my best, though. The competition was harsh. Bali and Jakarta got it all."

"That can't be an excuse."

"Well, how's Brazil?"

"Rainy season here."

"Same here."

"And there's a Japanese-Brazilian boy seems to have a crush on me."

"LOL. Send me his picture."

"He's chubby and wearing glasses. Not very tall. His name is Rodrigo Kazuya Ishihara. He’s somewhat cute, though.

Deraz ingin memasukkan emotikon, namun ia selalu membutuhkan waktu terlalu lama untuk memilih. Renata keburu mengirim pesan baru.

"You don't seem to be very upset."

"Why must I be upset?"

"I remember each of our defeats. We used to keep talking about it until weeks later, even until the next contest."

"I am not a middle-schooler anymore."

"You used to be very eager to win."

"I am still." Karena Renata tidak segera membalas, Deraz menambahkan, "Anyway, you were, too. I used to be encouraged by you, to be honest, Ms. Win-It-All." Deraz tersenyum mengenang kontes-kontes debat yang pernah dijalaninya bersama Renata selama di SMP.

Pernah mereka mendapat sesi siang sehabis waktu istirahat. Deraz mengantuk sedang Renata mulas karena mengambil terlalu banyak sambal saat makan siang. Ketika mereka dipanggil, Renata mencubit lengan Deraz keras-keras karena ditepuk-tepuk saja tidak bangun. Sudah begitu, posisi Deraz sebagai pembicara pertama. Bicaranya agak lambat. Renata pembicara kedua, dan berbicara dengan sepenuh perasaan untuk menandingi mulasnya yang semakin hebat. Begitu Renata duduk lagi, ia berbisik pada Deraz bahwa ia ingin pegang batu. Deraz menyerahkan tangannya. Renata mencengkeram tangan Deraz kuat-kuat sampai kukunya menancap. Deraz hanya bisa menahan kernyit kesakitan. Begitu mereka turun dari panggung, Renata segera berlari ke toilet. Menurut guru pembina penampilan mereka tidak buruk-buruk amat. Malah Deraz terlihat rileks, sedang Renata sangat bersemangat. Tetapi kemudian mereka hanya mendapat runner up. Renata menuding Deraz suka begadang main The Sims, sedang Deraz menyalahkan Renata yang tidak tahan melihat sambal. Itu terus menjadi bahan ledekan mereka pada satu sama lain sampai kontes berikut.

Ketika Deraz nervous, Renata relax. Ketika Renata nervous, Deraz relax. Keduanya saling mengingatkan. Guru pembina menjuluki mereka Dynamic Duo dan mengatakan mereka punya bonding yang erat.

Renata bertanya, "Are you having a girlfriend now?"

"Why?"

"Just guess."

"Can't be sure."

"What do you mean?"

"She doesn't date anyone. Girl with veil."

How close are you with her?”

We’re deskmates.

And?”

And what?”

What kind of relationship do you have with her? Do you simply have a crush on her but no guts to tell her so?”

I already say it.

Say what?”

That I like her and bla bla bla ….”

And what does she say?”

“... in German.

“LOL.”

Deraz merasa wajahnya memanas. “I will definitely tell her in Bahasa, but not now.”

Why?”

Deraz kehabisan kata.

I thought you don’t date anyone as well,” pesan Renata lagi. “And I even remember you said that you’re not looking for one until you’re, like … 35?”

“Yeah.”

So, how are you gonna have it with her?”

Keine Ahnung.”

Don’t talk to me in German, please.”

You should learn it. It’s the most beautiful language in the world.

So, now you’re kind of HTS-an with her?”

“HTS-an?”

“HUBUNGAN TANPA STATUS.”

Does status really matter?”

Dammit, Deraz. Kamu tuh beken, tapi kuper, ya. HAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

Deraz mendiamkan Renata hingga muncul pesan barunya.

Tell me more about her.”

Deraz menurut. Ia menceritakan apa pun yang diketahuinya tentang Zahra secara panjang lebar. “We’re just doing good,” Deraz menyimpulkan.

You’re playing with fire.

What do you mean?”

I mean it’s not gonna work. You and her.

Why?” Enak saja Renata bilang begitu. Seakan-akan ia mengetahui segalanya, melihat sendiri Deraz dan Zahra dua puluh empat jam luar dan dalam. Ia bahkan tidak berada di Indonesia!

I just know. Female intuition.”

Deraz mendengus. “What do you know? You don’t even have a boyfriend, ever.

I’m just like you. It never works.”

We’re not that similar. I am really sure I am not as unfortunate as you at being in this kind of relationship. I am gonna make it.

Do you mean make her wait until you’re 35? HAHAHAHAHA. I thought you already have everything well-planned.

Well, we never know what’s ahead.

That’s what I am telling you.”

Why are you so discouraging?”

Saving you from a tragic broken heart, my dear soul brother.”

That’s not gonna happen to me.

How can you be so sure?”

I AM sure.

You can’t even assure yourself to be one of the WSDC delegates.

Why are you so bitter? Your terrible past experiences have nothing to do with me.

Honestly, I am pretty sure you would make it to sixth or fourth had you not wasted your time with her.”

That’s nothing to do with anything.

It is. How much time did you spend to text or call her before and during the ISDC?”

Not much. It’s true.

You know what 15 minutes can do.

It brought us to be the runner-up.

You could be the first.

You don’t know what she did to me. It would be worse had she not there with me.

OMG. Now you’re being dependent on her. You can’t make it if it’s not for her.

Deraz mengusap wajah. Baru tersadar olehnya bahwa ia tengah berhadapan dengan juara debat tingkat dunia.

Namun debat bukan soal benar atau salah. Debat itu soal mempertahankan pendapat, dan Renata akan terus mempertahankan pendapatnya terlepas dari bagaimana kenyataannya. Bagaimana kenyataan itu jadinya terserah pada Deraz, dan Zahra.

Just see,” ketik Deraz.

We’ll see.

I wish you will be lucky with that Japanese-Brazilian boy so you don’t have to be so cynical for the rest of your life. Seems a spinster’s life awaiting for you,” lanjut Deraz gemas.

Renata tidak membalas lagi.

Minggu, 02 Desember 2018

(31)

Jerih payah Deraz terbayarkan. Memang sudah sepantasnya kali ini ia lolos seleksi debat tingkat regional ke ISDC. Deraz optimistis ia bisa lolos sampai ke WSDC.

Selama delapan hari Deraz menjalani kehidupan yang sibuk di hotel dekat Taman Safari. Bersama kedua rekannya sebagai tim dari Jawa Barat, setiap hari ia melalui tiga kali penyisihan, mengalahkan tim demi tim dari berbagai provinsi di Indonesia, menembus enam belas besar, perdelapan final, perempat final, semifinal, ….

Walaupun tak terhitung jam yang ia habiskan untuk membahas mosi demi mosi bersama timnya sampai rasanya mau jadi gila. Walaupun para perwakilan dari Bali dan DKI Jakarta sungguh tak boleh dipandang sebelah mata. Walaupun tiap hari ia mendapat menu yang nyaris sama: teh atau kopi tiga kali sehari, nasi goreng tiap pagi, puding tiap malam. Walaupun seiring dengan berlalunya hari bekalnya niscaya menipis hingga sama sekali habis, namun tidak ada banyak waktu untuk berburu makanan lain yang layak di lidahnya sehingga ia harus menerima apa adanya sajian yang sudah disediakan. Walaupun hujan kerap turun dan ia mesti lari-lari dari gedung ke gedung, ruangan ke ruangan. Walaupun ia mesti begadang terus-terusan dan hanya dapat terkapar barang beberapa jam hingga subuh kembali menjelang. Walaupun seragam yang dibawanya hanya dua setel hingga pada hari-hari terakhir ia sudah tidak betah mengenakannya. Walaupun wajahnya yang kesal, letih, mengantuk, atau mumet kerap menjadi sasaran para juru foto.

Namun ia menikmati semua itu. Ia berkenalan dengan banyak orang dari seantero Indonesia. Ia sekamar dengan perwakilan dari Kalimantan. Anak-anak Papua sangat ramah. Yang berasal dari Sumatra pada seru. Lucu mendapati sebagian peserta mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk menanam bibit-bibit asmara.

Ada juga cewek-cewek yang tampaknya mencoba menarik perhatian Deraz. Tetapi Deraz lebih tertarik untuk mengecek ponselnya, tiap kali ada kesempatan dan terutama ketika sedang merasa suntuk. Sekarang Deraz sudah biasa mengirim SMS yang isinya sekadar, “Lagi apa?” Jika belum ada SMS baru dari Zahra, ia membaca ulang kiriman gadis itu yang disimpannya di kotak draf. Zahra sepertinya punya koleksi SMS bergambar lucu dan mengirimkannya satu per satu, selalu tepat ketika Deraz sedang membutuhkan semangat. Contohnya:

Happiness, Zahra.

Tetapi tidak apa-apa. Mungkin saking mengantuk, Zahra tidak sempat mengedit. Memang Zahra kerap menemaninya begadang, walaupun dari kejauhan dan Deraz tidak selalu sempat membalas.

Di mata Deraz, SMS semacam itu hanya berupa susunan karakter dan simbol yang entah bagaimana dianggap sebagai gambar beruang, bintang, orang, dan sebagainya dengan beragam ekspresi. Yang ditangkap oleh Deraz hanya kata-katanya. Itu, dan yang penting niatnya.

Menerima SMS saja sudah meresapkan sedikit hepineshappiness, apalagi ketika menelepon si dia. Zahra sudah membeli nomor baru dari provider yang sama dengan milik Deraz. Jika ada waktu sedikit lapang, Deraz menyempatkan untuk menelepon Zahra walau hanya beberapa menit dan sambil sesekali mengecek arloji. Jika diakumulasikan, selama delapan hari itu ia menelepon Zahra hanya sekitar lima belas menit. Namun lima belas menit itu cukup untuk mengembuskan tim Jawa Barat ke grand final melawan tim dari Bali, yang tak terkalahkan.

Zahra begitu perasa hingga kerap meminta maaf jika SMS kirimannya mengganggu Deraz. Tentu saja tidak, Zahra. Deraz pandai membagi fokus dan waktu. Setidaknya, Deraz terus mengupayakannya hingga momen ini tiba. Ia sudah bertekad bahwa antara prestasi dan hubungannya dengan Zahra mesti dapat berjalan beriringan, bahkan saling mendukung. Selain itu, sebelum menutup telepon, Zahra selalu mengingatkan Deraz untuk memohon kelancaran kepada Allah dan bertawakal. Kurang apa lagi, coba?

Tibalah malam ketika semua orang berpakaian formal dan berada di ruangan besar yang megah. Lima belas pembicara terbaik akan diumumkan. Walaupun Deraz tahu bahwa namanya akan disebut belakangan, namun setiap nama baru diumumkan dan urutan pembicara terbaik semakin naik ke nomor yang lebih kecil, jantungnya berdebar. Ia tersenyum menyaksikan teman-teman barunya satu per satu naik ke panggung dan menerima penghargaan.

The ninth best speaker.”

Deraz tengah berbincang dengan orang di sampingnya.

Congratulations.”

Lalu anak-anak yang duduk di belakangnya menimbrung.

From Jawa Barat.

Delapan hari kebersamaan telah menjadikan mereka begitu akrab.

“Arderaz Haekal.”

Anak-anak di sekitar Deraz serempak menganga. Mereka menepuk-nepuk pundak Deraz agar segera maju. Serta-merta Deraz berdiri, menyambut jabatan tangan mereka, dan tersenyum. Namun, sementara berjalan ke panggung, ia linglung.

Apa barusan tadi? The ninth best speaker? The NINTH?!

Ia kembali ke tempat duduknya dengan mengalungi medali dan mengapit map.

“Selamat, ya, Arderaz!” Anak-anak yang belum sempat menyelamati menyambutnya.

Deraz menerima semua itu diriingi senyum lebar dan ucapan terima kasih.

Malam semakin larut. Sebagian anak masih bersukaria. Ada yang jajan sate. Ada pasangan yang jadian. Mereka tampak tak memusingkan hasil yang telah diumumkan. Malah sebagian sudah bersyukur hanya dengan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam ISDC. Persiapan mereka pun seadanya.

Deraz duduk membungkuk di tepi kasur, membelakangi teman sekamarnya yang sudah terkapar. Ia masih bertanya-tanya apakah gerangan yang salah. Jangankan menjadi delegasi Indonesia ke WSDC berikutnya, masuk ke daftar delapan pembicara terbaik saja tidak! The ninth best speaker?! The NINTH?! Why not eight, at least?! Setidaknya, beri ia kesempatan untuk bersaing dalam seleksi menuju WSDC dan meningkatkan posisinya dari kedelapan menjadi yang pertama!

Kalau anak-anak OSIS akan bilang, Nanggung pisan, anjir!

Padahal sudah berkali-kali ia mendapatkan predikat Best Speaker dari lomba-lomba debat yang pernah diikutinya. Segala usaha dan prestasinya di dunia debat selama bertahun-tahun ini seolah-olah tidak ada artinya.

Ia tidak segetol Renata yang gemar membawa handycam ke setiap lomba, sehingga tidak ada rekaman yang bisa diamatinya benar-benar. Ia hanya dapat mengandalkan memorinya, mengingat-ingat penampilannya sendiri serta penampilan orang lain. Ia bahkan meragukan para juri. Ia mengingat-ingat kedelapan pembicara terbaik yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi ke WSDC. Mereka rata-rata berasal dari Bali dan DKI Jakarta, dan ada satu rekannya dari Jawa Barat yang termasuk. Memang penampilan mereka outstanding. Percaya diri. Penguasaan bahasa Inggris yang sempurna. Penuturan argumen yang rapi dan telak. Deraz harus mengakui itu.

Tetapi ia juga merasa telah berusaha semaksimal mungkin.

Am I not good enough yet for international level? Deraz menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangan.

Getaran ponsel mengusiknya. Ia menoleh pada benda yang menggeletak di sampingnya itu dan mendapati pesan baru.

Zahra? Pukul dua pagi begini?

Lagi-lagi gadis itu mengirim SMS dengan gambar yang entah apa, tetapi kali ini diiringi kalimat:

Dengan nama Allah aku bertawakal kepada-Nya dan tiada daya serta upaya kecuali dengan izin Allah.

Tawakal? Deraz mengingat-ingat arti kata tersebut.

Masakkah memang ini yang terbaik untuknya?

Ia sadar belum memberitakan apa pun tentang malam ini pada Zahra.

“Belum tidur?” Ia membalas SMS Zahra.

Tidak lama kemudian, “Belum.”

“Boleh telepon?”

“Boleh.”

Deraz keluar dari kamar. Ia melewati Pintu Darurat lalu duduk di tangga.

“Hei,” sapanya begitu Zahra mengangkat telepon.

“Halo,” suara Zahra pelan.

“Aku enggak lolos,” sahut Deraz.

“Oh.”

“Tapi enggak apa-apa. Aku udah bikin kemajuan dari tahun kemarin,” Deraz memasang nada tegar. Ia melanjutkan dengan berbagai pengalaman positif yang diperolehnya selama hari-hari ini. Secara keseluruhan, ia baik-baik saja. Begitulah yang ingin ditampakkannya pada Zahra.

Baru disadarinya kemudian bahwa sedari tadi cuma ia yang bersuara. “Kamu … belum tidur?” akhirnya ia berujar.

“Belum. Enggak bisa tidur.”

“Tumben. Biasanya kamu nempel langsung molor.”

“Ih, kamu ….”

Terlintas oleh Deraz bahwa mungkinkah Zahra tidak bisa tidur karena memikirkannya? Toh Deraz sudah memberi tahu Zahra sebelumnya bahwa malam ini ada pengumuman penting.

Tetapi itu sudah tidak penting lagi kini.

Sesaat kemudian Deraz menjadi bagian dari anak-anak yang bersukaria dan penuh syukur. Ia bercakap dengan Zahra hingga menjelang subuh. Definisi tentang si dia pun berkembang.

Dia bukan hanya yang menemani dalam perjalanan terjal menuju puncak, melainkan juga yang hadir ketika terjatuh.

Sabtu, 01 Desember 2018

(30)

Anak-anak OSIS mulai memerhatikan Zahra. Kalau hanya melihat sekilas foto dari Ipong, wajah itu sulit dihafal. Maka ketika melihat cewek berjilbab yang sepertinya Zahra, mereka perlu sambil membandingkannya dengan foto. Tentu saja ada juga anak-anak OSIS yang sudah mengenal Zahra, entah karena dulu satu gugus atau satu kelas. Tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan tentang gadis itu. Mereka hanya tahu bahwa ia tidak populer. Ia selalu menunduk. Gerak-geriknya kikuk.

Anak-anak OSIS yang suka menongkrong di Kabita—kantin SMANSON—pada jam istirahat tahu bahwa kadang Zahra terlihat bersama akhwat-akhwat DKM. Di mata mereka Zahra terlihat seperti cewek berjilbab pada umumnya. Kulitnya tidak putih, tidak gelap. Badannya tidak gendut, tidak kurus. Mereka berusaha memahami kecantikan Zahra yang mistis, hingga Deraz tertarik.

“Jelek sih enggak juga. Tapi yang lebih cantik kan banyak,” kata Ipong.

Puguh cantikan Dean, asana mah,” sambung Alf.

“Namanya aja pasaran,” imbuh Jati.

“Memang orang tidak bisa memilih dengan siapa dia jatuh cinta,” simpul Gilang.

Perhatian cowok-cowok malah teralih pada dua akhwat yang mengiringi Zahra, yang kulitnya lebih terang, bibirnya lebih merah, dan badannya lebih tinggi.

“Anak DKM geulis-geulis geuningan nya.”

“Kalau mau kenalan, harus pakai taaruf,” terang Alf.

“Taaruf?”

“Sama aja sih artinya mah, kenalan. Cuma kalau pakai bahasa Arab lebih gimana gitu. Lebih makbul jigana mah,” lanjut Alf. “Urang ge engke rek taarufan mun geus siap lahir batin mah.” Anak-anak menoleh pada Alf. Mereka tidak menyangka bahwa sang otaku ternyata berjiwa alim, padahal di komputer kamarnya ada video Kakek Sugiono. Malah mereka baru menyadari bahwa Alf itu jomlo, sejak putus dengan pacarnya semasa SMP. “Mun urang teu kaburu dapat pacar baru sih,” sambung Alf.

“Anak DKM teh bukannya enggak pacaran, ya. Eh, si Zahra anak DKM, lain?”

“Kalau dilihat sepintas sih gaulnya sama anak-anak DKM. Pas ketemuan di balkot juga dia pakai rok. Bajunya longgar. Enggak mau salaman. Tapi kerudungnya sedikit kurang panjang,” Alf membeberkan hasil pengamatannya. “Jadi sepertinya … belum bisa dipastikan.”

“Lagian, siapa sih yang dapat menolak pesona Deraz?” ujar Jati. “Blasteran Jerman, gitu. Cicitnya Daendels, cucunya Hitler. Yang punya Anyer-Panarukan. Soraya ge daek aslina mah, kalau enggak keburu digaet om-om ITB. Iya, enggak, Sor?”

“Sar-sor-sar-sor,” balas Soraya ketus.

“Tapi da si Derazna nu teu daekan ka maneh,” ungkap Gilang.

“Tuh kan, mulai deh,” Soraya mengangkat telunjuk pada Gilang, “tapi bener sih. Kayaknya memang tipe dia bukan cewek kayak gue.”

“Iya, tipe dia tuh yang alim kalem kayak Zahra, gitu. Kalau lu kan TOA.”

Bersamaan dengan itu, Zahra dan akhwat-akhwat menghampiri penjual roti bakar yang berada tidak jauh dari mereka.

“Eh, itu madu gue!”” ucap Soraya, sembari sebelah tangannya mengetuk-ngetuk meja menarik perhatian para cowok.

“Kalau dia madu, berarti lu racunnya dong!” sembur Ipong.

Soraya tidak menggubris. Ia berteriak memanggil Zahra sambil melambaikan tangan.

“Anjir, enggak tahu malu,” cowok-cowok mengikik.

“Suara lu TOA pisan, Ya.”

“Emang dia kenal sama lu, Ya?”

“Pura-pura enggak kenal, pura-pura enggak kenal,” mereka merunduk dan memalingkan kepala.

“Zahra …!”

Setelah beberapa kali panggilan, Zahra menoleh. Ia terheran-heran mendapati seorang cewek berambut panjang lurus meneriakkan namanya. Ia mengenali wajah Soraya yang memang termasuk populer di sekolah, tetapi sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan cewek itu. Begitu Zahra membalas pandangannya, Soraya mengisyaratkan dengan tangan supaya gadis itu mendekat. Zahra memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan menghampiri Soraya.

Begitu Zahra mendekat, Soraya bergeser menepuk-nepuk ruang duduk di sampingnya. Zahra duduk.

“Kamu Zahra, kan, ya?”

“Udah tahu nanya, lagi,” komentar Adip.

Soraya tidak acuh. Ia menyalami Zahra. “Gue Soraya.” Lalu ia memperkenalkan satu per satu anak-anak OSIS yang pada duduk di sekitar mereka. “Kita semua OSIS, temennya Deraz.”

“Oh.” Zahra terkesima. Ia menoleh pada teman-temannya para akhwat, namun mereka melambaikan tangan padanya hendak meninggalkan Kabita.

“Zahra, lu deket, ya, sama Deraz?” tembak Soraya.

“Eh ….” Zahra kaget. Ia mendapati anak-anak OSIS pada menatapnya. “Mmm, enggak juga sih. Cuma … sebangku.”

“Oh, sebangku,” anak-anak pada menganggut.

“Memang deket sih kalau sebangku mah. Enggak sampai satu meter jaraknya.”

“Cinlok berarti.”

“Zahra, Deraz pas nembak pakai proposal, enggak?” ganti Jati yang menembak.

“Eh ….” Zahra menunduk. Lalu, jawabnya perlahan-lahan, “Kita enggak … pacaran kok. Cuma … sahabatan.”

“Apa? Enggak kedengeran,” sahut Bram yang duduk di paling ujung.

“Oh, Hubungan Tapi Sahabat, berarti,” suara Soraya memang lebih keras.

“Oooh …” sahut Bram.

“Nadanya biasa aja atuh, Ya. Jangan kayak tokoh antagonis gitu,” celetuk Alf.

“Apa sih?!”

“Iya ih, mentang-mentang Deraz udah dapet cewek yang lebih baik,” tambah Ipong.

“Gue juga biasa aja kali!”

“Kalau disingkat jadi HTS, ya,” Jati mengabaikan perselisihan sebagian anak itu.

“Proposalnya belum jadi, berarti,” simpul Gilang.

“Belum perfect,” tambah Jati.

“Deraz tuh kalau bikin proposal teliti banget lo, sambil lihat KBBI dan pedoman EyD,” terang Alf.

“Pakai riset juga, biar meyakinkan gitu, argumentatif sekaligus persuasif. Pakai retorika! Makanya proposal OSIS banyak yang gol,” sambung Jati.

“Itulah gunanya punya anggota OSIS yang sekaligus anak ekskul sepak bola,” simpul Gilang.

“Deraz memang striker andal,” Bram mengiyakan.

“Deraz tuh kesukaannya bikin proposal, benerin proposal, master proposal, terobsesi sama proposal. Bikin catatan, bikin daftar, bikin jadwal. Cita-citanya jadi petugas tata usaha,” Jati mulai mengarang.

“Oh, kirain Deraz mau jadi dokter,” hanya itu yang terpikirkan oleh Zahra untuk menanggapi.

“Oh,” kompak anak-anak OSIS.

“Tata usaha rumah sakit berarti,” Jati melengkapi.

Zahra tidak tahu mesti menjawab apa.

Sejenak semuanya terdiam.

“Kita ini di OSIS udah kayak keluarga lo,” ujar Alf tiba-tiba.

“Bener!” Jati segera menyambut. “Soraya ini dulunya istri Deraz, tapi udah dicerai, soalnya ternyata dia cewek jadi-jadian. Wujud aslinya siluman TOA.”

“Apa sih, lu!” Soraya menyambit Jati dengan gumpalan bungkus permen.

“Kalau ini Dek Ipong. Dek Ipong senang katanya punya mama baru. Iya, enggak, Dek?”

Ipong menghindari tangan Gilang yang hendak menepuk-nepuk kepalanya.

“Udah diajak jalan-jalan ke mana aja sama Deraz?” tanya Jati pada Zahra.

Yang malah dijawab Ipong, “Entar minta jalan-jalan ke ‘Bukit Berbunga’ aja, bukit yang indah.”

“Atau ke Jalan Kenangan aja, biar sepanjang jalan saling bergandeng tangan. Apalagi pas hujan rintik-rintik, di awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu,” sambung Gilang.

“Bermalamnya di Cianjur, anjir. ‘Semalam di Cianjur’,” lanjut Bram.

“Oh!” Jati mengacungkan telunjuk. “Terus dari Cianjur, ke Cipanas, terus ke Puncak. Pas tah! Banyak bukit!”

“Entar bukan bukit berbunga atuh namanya, tapi bukit teh!” protes Ipong.

“Panjangan mana, Cianjur-Puncak apa ‘Antara Anyer dan Jakarta’?” Alf urun suara.

“Panjangan Anyer sampai Panarukan atuh, lagian Deraz yang punya jalan.”

Cowok-cowok terbahak.

“Entar mah mau dipanjangin, tahu, sampai Papua Nugini,” cetus Adip. “Habis itu rencananya mau bikin jalan tembus ke Paraguay lewat Samudra Pasifik. Jadi Anyer-Paraguay via Panarukan-Papua Nugini-Pasifik.”

“Terus lanjut ke Paris, heu euh?” ujar Alf.

“Ke Patagonia heula, cuy. Beli llama buat Lebaran Haji.”

“Dengan mengerahkan tenaga anak OSIS sedunia, anjir,” sahut Jati.

Zahra bengong.

“Maaf, ya, Zahra. Cowok-cowok ini tuh kalau ngomong memang suka ngaco,” ujar Soraya.

Tahu-tahu Jati sudah menceletuk lagi, “Eh, Zahra, kamu ada hubungan kekerabatan sama vokalis Gigi, ya?”

Zahra bingung. Ia tidak menyadari bahwa kerudungnya tersingkap hingga menampakkan sebagian nama di dadanya, yang terbaca oleh Jati.

“Kan nama kamu Zahra Maulana. Satu klan atuh sama Arman Maulana,” jelas Jati.

Tawa cowok-cowok menimpali.

“Garing, anjir!” seru Soraya.

“Eh, Zahra, kamu kan cewek, jadi harusnya nama kamu Zahra Maulani,” sambung Gilang.

“Suka-suka yang kasih nama atuh!” malah Soraya yang menanggapi.

“Eh, Zahra, kamu tahu enggak nama kepanjangannya Soraya apa?” Adip mendapat gagasan.

“Enggak.” Zahra menggeleng terheran-heran.

“Dengerin baik-baik, ya,” Adip berdeham, lalu, “Soraya Velasquez de La Fea Chiquiqita Fernando Torres Paraguay Argentina Burkina Faso Che Guavara Dian Sastrowardoyo!”

Cowok-cowok mengakak. “Meni kuateun anjir maneh ngomongna!”

“Soraya Sandrina!” koreksi Soraya.

“Kamu mah nama teh meni kayak tokoh antagonis di telenovela, anjir. Musuhnya Maria Mercedes. Bapak kamu Fernando Jose, ya?” cetus Ipong.

“Bukan!”

“Tapi orang Meksiko, kan?” tunjuk Adip.

“Ngaco!”

“Orang Chicago, ari kamu,” koreksi Gilang. “Dari Cimahi belok kanan saeutik.”

“Hahahahahaha, anjir, belegug!”

“Cikagok, meureun.”

Sementara anak-anak OSIS malah sibuk dengan sesamanya, Zahra yang salah tingkah mengedarkan pandang. Matanya bertemu dengan mata Deraz yang kebetulan saat itu tidak sengaja menoleh kepadanya. Deraz sedang berdiri agak jauh di ujung Kabita, mendengarkan obrolan Yoga dengan Kang Ega. Zahra tersenyum agak menunduk, namun matanya tetap terarah pada Deraz. Anak-anak menyadari arah pandang Zahra dan mengikutinya, lalu mendapati Deraz yang sedang tersenyum juga. Sontak mereka bersorak dan bersuit. Zahra langsung menunduk dalam-dalam, menatap punggung tangannya yang mencengkeram rok. Deraz juga memalingkan wajah, namun senyumnya terus terulas.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain