Kamis, 27 Desember 2018

Epilog

Deraz terus memikirkan Bruno sejak di pesawat yang membawanya ke Jerman. Begitu menjejakkan kaki di Jerman, Deraz sudah tidak sabar untuk menghubungi nomor rumah Günther yang diperolehnya dari Oma Anna. Günther satu-satunya kerabat Opa Buyut yang Deraz kenal betul, yang mudah-mudahan masih tinggal di desanya dulu. Namun tentu saja prioritas yang pertama-tama adalah membangun hubungan baik dengan keluarga asuh.

Deraz mendapatkan penempatan di Bonn, salah satu kota tertua di Jerman yang dibelah Sungai Rhein. Keluarga asuhnya terdiri dari suami-istri paruh baya beserta kedua putra mereka yang berusia beberapa tahun di atas Deraz.

Keluarga itu sering sekali berlibur di Indonesia. Pembicaraan Deraz dengan mereka kerap kali diisi oleh berbagai hal tentang Indonesia. Sembari memperlihatkan album berisi foto-foto mereka sewaktu berada di Indonesia, keluarga itu menceritakan pengalaman saat mengunjungi Tesso Nilo, Wakatobi, Raja Ampat, dan sebagainya, juga pertemuan dengan Suku Baduy, Suku Toraja, Suku Asmat, dan seterusnya.

Ketika Deraz berkeliling kota bersama saudara-saudara asuhnya, mereka menceritakan tentang serunya bersepeda di Baluran yang suasananya seperti Afrika padahal Jawa. Ketika Deraz menyampaikan cita-citanya untuk kuliah kedokteran di Jerman, orang tua asuhnya malah menanggapi, “Memangnya di Indonesia tidak ada sekolah kedokteran yang bagus? Kamu tahu, di Indonesia banyak daerah terpencil yang penduduknya belum mendapat akses kesehatan memadai. Kalau kamu sekolah kedokteran di negerimu sendiri, tentu kamu akan sedikit lebih mudah untuk berhubungan dengan mereka.”

Onkel Berthold mendeklamasikan puisi-puisi Chairil Anwar seluwes Ayah mendendangkan tembang-tembang Bungsu Bandung. Tante Toni punya lebih banyak koleksi batik daripada Bunda. Jacob dan Wilhelm sudah berkali-kali bertualang sendiri ke taman-taman nasional di Indonesia tanpa ditemani orang tua mereka. Sementara Deraz hendak mempraktikkan bahasa Jerman, mereka justru ingin mempraktikkan bahasa Indonesia. Mereka tahu lebih banyak tentang Indonesia daripada Deraz. Deraz sampai mual terus-menerus dicekoki cerita tentang Indonesia yang belum pernah disaksikannya sendiri.

Di samping itu, Deraz ditaksir oleh anak tetangga yang sekaligus teman sekelas di sekolah. Cewek berambut pendek pirang itu dipanggil Momo oleh anak-anak. Momo suka mengajak Deraz berjalan-jalan berdua atau sekadar duduk-duduk di teras belakang rumah dengan alasan ingin belajar bahasa Indonesia. Pada awalnya Deraz menanggapi setiap ajakan Momo sekadar untuk bersopan santun. Tetapi ketika Momo tahu-tahu mengecup bibirnya lalu mengajak ke kamar, Deraz mundur teratur. Momo menyadari bahwa Deraz mulai menghindari dirinya. Lalu tiba-tiba saja Deraz menjadi bahan gunjingan cewek-cewek di kelas. Cowok-cowok ikut meledeknya karena menampik cewek semenarik Momo. Ditambah lagi, Deraz menolak menenggak bir di pesta-pesta mereka. Padahal awalnya Deraz diterima dengan baik oleh anak-anak karena sudah pandai berbahasa Jerman dan sama jangkung dengan mereka, biarpun kulitnya agak cokelat dan wajahnya tidak kaukasoid amat.

Ketika mulai merasakan stres akibat polah tingkah orang-orang Jerman itu, Deraz mampir ke kafe internet. Adakalanya Deraz login bertepatan dengan Bunda atau Ipong online.

Bunda mengabarkan bahwa sepertinya Dean mantap hendak menembus Berklee College of Music. Sejak sebelum pergi ke Jerman, Deraz tahu bahwa Dean melanjutkan kursus piano serta mengambil kursus bahasa Inggris. Malah pada liburan pergantian tahun ajaran kemarin Bunda mengambil cuti untuk menemani Dean melihat-lihat kampus yang bertempat di Boston, Amerika Serikat, tersebut. Ayah terlihat keberatan walaupun membiarkan. Deraz sendiri tidak mengira bahwa Dean juga berminat sekolah di luar negeri. Bunda bilang, “Syukur sejak ada Rika, Dean jadi punya tujuan, mulai mikir masa depan. Cuma Bunda khawatir Dean enggak bisa jaga diri. Dean kan begitu anaknya. Ayah juga belum dikasih tahu lagi. Siapa tahu aja Dean nanti berubah pikiran.”

Sementara itu, Ipong menceritakan tentang band mereka yang sama sekali bubar tanpa sempat diberi nama, anak-anak OSIS yang pada mulai rajin belajar karena rata-rata mengincar ITB, UGM, dan UNPAD, serta kenorakan Alf saat menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepengurusan OSIS yang padahal dihadiri guru-guru beserta perwakilan ekskul termasuk DKM.

“Masak di akhir dia bilang gini, coba, ‘Ria-chan, daisuki! Tapi dijawabnya nanti aja, ya, kalau aku udah jadi ilmuwan!’”

Deraz terkekeh sendiri di depan layar komputer membaca pesan Ipong. “Reaksi yang lain gimana?” ketiknya.

“Si Ria cemberut lah, sok enggak mau ngelihat ke si Alf. Anak-anak mah pada ngeaminin aja.”

Tanpa diminta, Ipong juga mengabarkan, “Si Zahra mulai kelihatan sama anak-anak DKM lagi, Raz. Kerudungnya asa tambah panjang.”

Zahra.

Kalau tidak diingatkan Ipong, Deraz sudah hampir melupakan nama itu. Tebersit lagi dalam bayangannya untuk menyamperi rumah gadis itu setelah pulang dari Jerman nanti. Jadikah? Ah, urusan nanti!

 

Setelah berbulan-bulan berusaha mengakrabi lingkungannya yang baru, Deraz menghubungi nomor rumah Günther. Betapa harunya Deraz ketika panggilannya berujung suara yang ia kenal. Sudah tentu Günther pangling karena suara Deraz yang bukan lagi bocah. Deraz menceritakan bahwa ia dapat kembali ke Jerman dan tinggal selama setahun berkat program AFS. Ketika ia menanyakan kabar Günther dan keadaan desa tempat tinggalnya dulu, lelaki itu mengatakan, “Du musst selbst hierher kommen.” Tentu saja Deraz mau datang ke sana, tetapi ia harus minta izin pada orang tua asuhnya dulu.

Wie geht es Bruno?” tanya Deraz akhirnya, sembari berdebar-debar. “Er lebt noch, richtig?”

Ach …” suara Günther. “Er ist sehr alt. Du musst wirklich hierher kommen, so bald wie möglich.”

So bald wie möglich. Deraz berdesah. Ia tahu. “Ich werde es versuchen.”

Deraz menyampaikan keinginannya untuk mengunjungi desa tempat tinggalnya semasa kecil kepada orang tua asuhnya. Mereka sudah tahu bahwa Deraz pernah tinggal beberapa tahun di Jerman dan karena itu kemampuannya berbahasa Jerman cukup mengesankan. Tetapi kali ini Deraz melengkapinya dengan cerita tentang Bruno yang mestilah sudah sangat tua. Ia juga sudah tahu kendaraan apa saja yang mesti dinaikinya. Günther memberinya petunjuk dan ia sendiri sudah melakukan survei dengan menghubungi perusahaan transportasi terkait. Ia sudah menyiapkan ongkos. Ia sudah menyediakan waktu kosong. Ia sudah menyiapkan segala-galanya. Ia ingin segera pergi ke sana, namun orang tua asuhnya menganjurkan untuk menunggu sampai musim dingin berlalu.

Waktu yang dinanti-nanti tiba. Orang tua asuh Deraz mengantarnya sampai ke stasiun. “Janji, ya, kamu harus sering-sering mengabari kami,” kata Tante Toni ketika melepas Deraz. Deraz mengiyakan. Dengan menggendong ransel besar, ia berangkat dengan kereta paling pagi kemudian melanjutkan dengan bis. Di pemberhentian bis pada tengah hari Günther telah menunggu dengan mobil bak yang sama dengan yang terakhir kali dilihat Deraz hampir sepuluh tahun lalu.

Sekali lagi, Günther pangling. Kali ini karena ia mendapati tinggi Deraz yang hampir menyamai dirinya. Deraz sendiri mengamati Günther mulai menua, dengan kerut-kerut pada wajah dan pirang rambut yang memudar. Namun badannya masih amat tegap. Deraz baru menyadari bahwa kemungkinan Günther seusia dengan orang tuanya.

Sepanjang jalan, Deraz memerhatikan pemandangan yang sebagiannya masih tertutup oleh lumpur salju, sembari menggali-gali ingatan hendak membandingkan. Di Bonn yang letaknya lebih selatan cuaca sudah mulai agak hangat, sementara di sini musim dingin seperti hendak tinggal lebih lama. Tengah hari saja langit masih agak redup. Begitu memasuki jalan menuju desa—yang diingatnya betul—Deraz serta-merta berkata, “Ich möchte Opas Haus sehen.”

OK,” Günther menuruti. Ia menjalankan mobilnya menuju bukit. Sementara jalan mulai menanjak landai, Deraz menyadari betapa kuatnya Opa-Oma Buyut dulu pada usia lanjut. Sebentar kemudian, mobil memasuki pelataran rumah yang sungguh akrab di benak Deraz. Deraz merasa sesak mendapati kondisinya yang bobrok. Malah pintu depannya tidak dikunci. “Kalaupun ada yang mau mencuri, mereka sudah pada pindah ke kota,” gurau Günther.

Rumah itu kini dihuni keluarga laba-laba. Perabot seperti bufet, kursi, lemari, dan meja masih ada, sementara barang-barang berharga telah berganti pemilik. Kenangan Deraz berkeliaran. Ketika membuka pintu kamar Opa Buyut dan mendapati ranjang besi itu masih ada di sana, ia melihat dirinya pada malam-malam ketika baru tinggal di rumah itu tengah dikeloni Oma Buyut sementara di sisinya yang lain Opa Buyut membacakan buku cerita. Ketika memasuki ruang perpustakaan, ia melihat dirinya duduk belajar membaca bersama Opa Buyut. Ketika melewati ruang keluarga, ia melihat dirinya berlatih piano—yang tinggal bekasnya tercetak pada dinding—sementara Oma Buyut menemaninya sembari merajut. Ketika berakhir di dapur, ia melihat dirinya mengganggu Olga—yang kata Günther sudah pulang ke kampungnya di Rumania tidak lama sepeninggal Opa Buyut—yang sedang menyiapkan makanan. Ketika melalui pintu dapur yang menuju ke halaman samping-belakang, ia melihat dirinya melempar ranting yang telah dibersihkan dan dipotong pendek pada Bruno, yang sontak meloncat dan menangkapnya dengan mulut. Kandang besar itu kini kosong-melompong, hanya menyisakan wadah makanan yang berkerak.

Willst du Bruno sehen?”

Deraz mengikuti Günther kembali ke mobil. Ketika melihat kotak pos di halaman depan, ia menyimpang. Ia membuka kotak pos dan mendapati surat-suratnya telah menguning. Bodohnya ia waktu itu. Ia hanya hafal alamat Opa Buyut dan berpikiran bahwa Olga terus tinggal di sana. Sama sekali tidak terpikir olehnya untuk mengirim ke alamat Günther, padahal ia bisa saja menanyakannya pada Bunda yang akan menanyakannya pada Oma Anna.

Dari rumah Opa Buyut ke rumah Günther yang terletak lebih rendah, Deraz tidak melewatkan pemandangan di sekitarnya. Jumlah orang yang dilihatnya sepanjang jalan sedari pemberhentian bis tadi bisa dihitung dengan jari. Menurut Günther, selain bukit, gereja kayu, hutan, ladang, padang penggembalaan, peternakan, serta rumah-rumah tua berbata merah, orang-orang tidak melihat daya tarik pada desa itu. Desa yang di mata Deraz dulu begitu indah—malah ia ingat Oma-Opa Buyut mengatakannya sebagai “tempat terbaik untuk membesarkan anak” pada Bunda dan Ayah—kini menyerupai desa hantu.

Mobil melewati gerbang peternakan. Begitu Deraz turun dari mobil, Günther berkata, “Geh einfach züruck. Er wartet auf dich.” Deraz menurut. Ia masih ingat tempat Günther mengandangkan anjing-anjingnya, yang berada di depan bangunan untuk sapi. Günther menghalau dengan suara keras beberapa anjing herder yang menggonggongi Deraz, seiring dengan langkahnya yang mendekat dengan gamang. Ada satu anjing terpisah dari kumpulan itu berbaring dengan perut naik-turun yang kentara.

Padahal Deraz masih agak jauh di depan anjing itu. Tetapi Bruno seperti mengenali aroma dan langkah Deraz. Anjing itu serta-merta berdiri dan terengah-engah menjulurkan lidah. Kakinya gemetar menahan beban tubuhnya yang padahal tinggal tulang.

Lalu Bruno goyah dan terjatuh. Deraz tersengat. “Sieh mal, er ist krank,” terdengar Günther sementara Deraz berlari menghampiri anjing itu sembari mengusap kedua matanya bergantian. Ia tahu benar Günther menyaksikannya tetapi ia seperti bocah usia delapan tahun saja. Ia tidak dapat menahannya. “Bruno, ich bin’s ….” Ia terduduk di samping Bruno.

Mata kebiruan anjing itu bergerak menatapnya diiringi suara memilukan. Untuk bernapas saja tampaknya ia sulit. Mulutnya yang membuka memperlihatkan gigi yang sudah tidak utuh. Rambutnya tidak selebat dulu dan begitu kusam.

Sembari menarik ingusnya yang mulai turun, Deraz membelai kepala anjing itu. “Es tut mir leid … es tut mir so leid.” Baunya sungguh menusuk. Bruno bahkan sudah tidak bisa buang air dengan benar. Deraz tidak berani berpaling ke arah Günther, yang padahal sudah beranjak dari situ membiarkan dirinya.

 

Sore itu, Deraz membantu Günther membersihkan pembaringan Bruno yang berlumuran kotoran dan rontokan rambut. Ia ingin sekali membersihkan Bruno juga: mengelapnya dengan air hangat, mengeringkannya, dan menyelimutinya dengan handuk tebal. Namun hari mulai gelap dan udara semakin dingin. Menurut Günther, walaupun ditaruh di depan perapian, Bruno tidak akan segera kering dan bisa-bisa bertambah menderita. Lebih baik menunggu cuaca cerah dan matahari hangat sehingga Bruno bisa sekalian berjemur.

Namun Günther mengizinkan Deraz menyikat gigi Bruno. “Sei vorsichtig. Manchmal hat er gebissen,” Günther memperingati. Dengan hati-hati, Deraz membersihkan gigi Bruno yang tinggal beberapa dan malah sebagian sudah busuk. Sesekali Bruno mendengking ketika gusinya kena dan Deraz segera berdesis menenangkan. Terlepas dari itu, Bruno lemah tidak berdaya.

Setelah membersihkan gigi Bruno, Deraz menyuapi anjing itu dengan bubur sayur-telur yang telah dibuatkan Günther. Tetapi makanan tersebut tidak masuk ke mulutnya. Malah Bruno tahu-tahu bangkit dan memuntahkan busa kekuningan, sebelum terkulai lagi. Deraz tidak putus asa. Namun setelah beberapa lama, Günther menyuruh Deraz untuk menyudahi. “Taruh saja makanannya di situ!”

 

Ketika hendak membersihkan diri, Deraz bingung mengatasi najis berat di pakaian dan tubuhnya tanpa menghabiskan air serta mengotori kamar mandi Günther dengan tanah yang dikeruknya diam-diam dari halaman. Memang, begitu keluar dari kamar mandi, Günther menanyakan sebabnya Deraz begitu lama, yang cuma dijawab dengan cengar-cengir. Deraz mengatakan hendak menumpang menjemur pakaian.

Günther telah menghangatkan segelas besar susu segar untuk Deraz. “Aku paling ingat kamu suka sekali susu. Kamu minum terus sampai omamu melarang karena takut kamu mencret.” Deraz tersenyum mendengarnya. Ia ingat benar ketika Oma Buyut melarangnya demikian.

Günther menuang segelas bir buatannya sendiri. Ia menawari Deraz sebelum meneguknya. Deraz menggeleng sopan seraya menyadari bahwa setiap perabot makan di rumah ini bisa jadi telah bercampur dengan alkohol, lemak babi, dan liur anjing. Keluarga asuhnya sendiri cukup peka dengan keadaan Deraz sebagai muslim, dan menyiapkan perabot khusus untuknya. Mereka juga tidak memelihara hewan apa pun. Namun Günther tampak cuek. Ketika melihat Deraz menggelar sajadah di samping tempat tidur saja, Günther menanyakan yang hendak dilakukannya, yang dijawab dengan “berdoa”, lalu tidak berkata apa-apa lagi. Deraz memenungkan betapa sederhana masa keclnya dulu, tidak pernah memikirkan perkara begini. Sekarang setelah ia besar, mengenal Islam, hendak merengkuh masa lalunya sekalian memperluas dunia, baru terasa olehnya. Deraz meneguk lagi susu sajian Günther sembari berucap bismillah dalam hati. Bisakah ini dikatakan sebagai darurat?

Sembari minum, mulailah Günther menceritakan desa yang semakin sepi. Sebenarnya sebelum Deraz tinggal di situ belasan tahun lalu, desa itu sudah mulai ditinggalkan penghuninya. Kebanyakan yang pergi anak-anak muda yang hendak mencari penghidupan lebih baik, terpikat oleh daya tarik barat. Kebanyakan yang tinggal warga senior. Sampai-sampai pada waktu itu Deraz tidak punya teman sebaya. “Omamu saja tidak kerasan,” ujar Günther, yang dibantah oleh Deraz. Menurut kenangan Deraz, Oma Buyut penuh senyum dan memiliki banyak kegemaran sehingga mestilah ia menikmati hidupnya di sini. Günther menatap Deraz geli. “Itu karena ada kamu.”

Günther melanjutkan bahwa Oma Buyut sering meminta Opa Buyut membawanya berjalan-jalan ke luar desa. Günther mendengar bahwa di negara asalnya Oma Buyut tinggal di kota besar bersama anak, menantu, dan cucu, serta memiliki usaha dengan banyak karyawan. Günther maklum bahwa Oma Buyut yang biasa mengurus banyak hal sendirian dalam kehidupan di Indonesia—yang dibayangkannya jauh lebih padat daripada kota-kota besar di Jerman—lantas merasa kesepian begitu diajak tinggal di desa yang terlalu tenang ini.

Günther sendiri dibesarkan di kota. Setelah lulus sekolah dan bekerja beberapa lama sekadar untuk mengumpulkan modal, ia memutuskan untuk pindah ke desa ini dan menjalankan kehidupan swadaya: berkebun, beternak, dan belajar aneka keterampilan dasar lainnya untuk mengatasi kerasnya alam. Sejak kecil memang ia memiliki minat yang besar terhadap alam dan hewan-hewan. Ia mendambakan kehidupan sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Opa Buyut memiliki kecintaan yang sama. Malah Günther mendapatkan inspirasinya dari Opa Buyut yang dokter hewan. Sejak kecil, ia dekat dengan Opa Buyut yang merupakan adik opanya. Bahkan ia lebih akrab dengan Opa Buyut daripada dengan opanya sendiri. Setelah pensiun, Opa Buyut menyusul Günther tinggal di desa itu dan membantunya mengurus ternak.

Di desa itu pula Günther bertemu dengan Ute, yang kemudian menjadi istrinya. Padahal tadinya Ute hendak mencari pekerjaan di kota juga, namun Günther mengajaknya menikah dan dengan begitu menahannya untuk tetap tinggal. Namun Ute meninggal beberapa tahun lalu. Mereka tidak punya anak. Ketika Günther menyebut nama mendiang istrinya, barulah Deraz teringat pada wanita itu. Ute selalu sedang sibuk bekerja ketika dulu Deraz mengunjungi tempat Günther. Mereka tidak begitu dekat. Sebenarnya, yang paling Deraz ingat dari tempat Günther hanya susunya yang super segar. Deraz segan menanggapi kematian Ute. Günther juga tidak melanjutkan.

Günther mengungkapkan angan-angannya untuk menghidupkan desa dengan menarik anak-anak muda dari berbagai tempat untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tradisional. Ia mendengar ada komunitas semacam itu di luar negeri. “Lagi pula tanah di desa ini sebenarnya subur, murah pula. Sebenarnya pekerjaan ada saja kalau mereka mau mengolah tanah.”

Deraz mengusulkan supaya Günther memasang iklan di internet.

Günther tercenung. “Bagaimana kalau kamu mengajari aku internet, dan sebagai gantinya aku mengajarimu menguliti babi?” guraunya.

Nein,” tolak Deraz. “Aku bisa mengajarimu gratis. Hast du einen Computer?”

Günther tergelak. “Na ja, komputer saja aku tidak punya! Akan kukabari kalau sudah beli. Nanti kamu yang ajari, ya.”

Deraz menyanggupi untuk kembali lagi ke desa itu sebelum pulang ke Indonesia. Ia ingin mengajak keluarga Indonesianisnya serta. Mungkin Jacob dan Wilhelm akan tertarik belajar menguliti babi.

Seketika Deraz merasa lucu memahami betapa rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri, dan betapa dunia terus menyibakkan sisi-sisi yang berlainan seiring ia bertambah usia. Jerman yang dalam benak Deraz selama ini desanya begitu indah dan kotanya demikian canggih ternyata dapat terlihat berbeda.

Obrolan mereka ditingkahi gonggongan dari samping rumah. “Itu Bruno.” Günther terdiam. Deraz terkejut ketika Günther mengungkapkan bahwa tadinya ia hendak mengakhiri sendiri nyawa anjing itu. “Aku mau menguburnya di kaki bukit. Aku sudah menaruh sekop, senapan, dan kantong di bak, tinggal mengangkat Bruno. Lalu tiba-tiba telepon berdering. Ternyata itu dari kamu.”

“Kenapa Bruno tidak dibiarkan mati alami saja?"

“Sebenarnya aku sendiri merasa dilema. Aku kasihan melihat dia kesakitan. Ia sering tiba-tiba meraung sendiri. Apalagi ia sulit makan. Aku jadi frustrasi. Aku sendiri tidak punya banyak waktu untuk merawat dia. Biasanya Ute yang mengurus anjing-anjing tua.”

Beberapa lama keduanya sama hening, hingga Günther mengatakan, “Na ja, aku sampai lupa menawarimu makan. Kemarin aku baru potong babi dan membuat bratwurst. Kamu mau, kan?”

Deraz memikirkan penolakan yang sopan.

 

Keesokan subuh, ketika Deraz bangun hendak salat, ternyata Günther sudah terjaga. Günther hendak memerah sapi untuk para pelanggannya. Setelah salat, Deraz menawarkan diri untuk membantu Günther. Namun Günther malah menyuruh Deraz mendaki bukit, mengejar matahari terbit. Deraz menurut.

Deraz tiba di puncak bukit ketika setitik cahaya lembut tampak di ufuk memudarkan kegelapan di seluruh langit. Di bawah pohon ia duduk memandangi lingkaran itu naik perlahan hingga benderang. Sebelum udara hangat benar, Deraz turun dengan kegirangan bahwa ini akan jadi hari yang bagus untuk membersihkan dan menjemur Bruno. Ia tidak lupa memetiki bunga-bunga liar yang ditemuinya di jalan. Bruno suka mengendusi bunga.

Begitu Günther melihat Deraz kembali, ia langsung menugaskannya untuk memberi makan anjing-anjing. “Setelah itu baru kita sarapan.” Deraz menyanggupi. Günther telah menyiapkan mangkuk khusus untuk Bruno.

Anjing-anjing menyalak begitu Deraz menghampiri mereka. Namun kali ini mereka tidak hendak menakut-nakutinya. Dengan lahap mereka menyambut potongan daging babi rebus yang dibawakan Deraz. Setelah semua anjing yang lain itu kebagian makanan, barulah Deraz menyamperi Bruno dengan membawa mangkuk khusus untuknya. Anjing itu berbaring diam dengan mata terpejam. Deraz berjongkok seraya meletakkan piring di lantai dan membelai Bruno.

Günther lewat sembari kedua tangannya menjinjing ember berisi pakan sapi. Melihat Deraz yang mematung, Günther bertanya, “Was ist passiert?”

Deraz menoleh pada Günther.

Er ist tot.”[]

Rabu, 26 Desember 2018

(55)

Renata yang baru pulang dari Brazil mengajak Deraz bertemu di McDonald’s. Ia yang menghubungi Deraz lebih dulu sejak obrolan mereka tentang ISDC. Ia hendak memberikan oleh-oleh: sebungkus kopi dan sepasang sandal jepit kembang-kembang. Deraz mesem ketika menerima yang terakhir.

I didn’t know your size, so …” ucap Renata sementara Deraz mencoba sepasang sandal itu.

Nah, these fit me. Thanks.”

Are you gonna wear them in German?”

Sure, for the summer. I’ll bring them.”

Do show me your picture wearing them.

I will.”

Those are so gay, you know?”

Then what do you want me to do?!”

Keduanya tertawa.

Well, maybe you can give them to your brother,” sahut Renata dengan tampang menyesal karena jauh-jauh sampai ke Brazil malah memberikan Deraz sandal jepit begitu. Tetapi ia telah meyakinkan Deraz bahwa kopinya sangat mantap.

Yeah, or maybe for his girlfriend.”

Dean has a girlfriend?!” Renata tidak percaya.

Yeah! They’ve been together for almost a year now.”

Seketika terlintas pertanyaan di benak Renata yang setelah beberapa lama terdiam barulah ia ajukan pada Deraz, “How’s it with the girl?” betapapun ragu-ragu pada awalnya. Apalagi ketika Deraz tidak segera menjawab. Senyum Deraz setelah menerima sandal jepit kembang-kembang berangsur-angsur meredup walaupun tidak lenyap sama sekali. Tatapannya merunduk.

It didn’t work.”

Deraz sudah siap seandainya Renata hendak menertawainya. Namun Renata bergeming. Wajahnya sedatar paras Deraz.

Care for a Big Mac?” tawar Renata.

Yeah.”

Renata bangkit dari kursi lalu membelikan Deraz dua bungkus hamburger, lengkap dengan tambahan kentang goreng dan Coca-cola untuk dirinya sendiri.

I can’t believe Dean manages it better than you.”

“Haha.”

Selanjutnya mereka hanya membicarakan tentang pengalaman Renata selama tinggal di Paraná, serta persiapan Deraz ke Jerman.

 

Agustus tiba. Hari kepergian Deraz semakin dekat. Anak-anak OSIS menghampiri Deraz.

“Kita mau ngadain farewell party buat kamu,” ujar mereka.

Jadi sewaktu turbud ia dilempari bahan-bahan roti itu maksudnya apa? Tetapi mau tidak mau Deraz menanggapi gagasan itu, “Oh, boleh. Di mana?”

“Di rumah kamu dong.”

“Si Adip mau nengokin ibu kamu,” ucap Gilang, yang segera disikut oleh yang bersangkutan.

“Kita udah bilang sama Dean.”

Deraz terperangah. Kok sama Dean. Yang mau pergi siapa, yang punya rumah siapa.

Mau tidak mau Deraz menyampaikan keinginan anak-anak OSIS kepada orang tuanya. Ayah sedang ada dinas sehingga tidak akan berada di rumah pada akhir pekan itu. Bunda bersedia untuk menyiapkan makanan dan minuman, sebelum mengungsi ke mal. Zara yang ingin ikut Bunda mengungsi turut membantu menyiapkan segalanya. Walaupun halaman belakang sepertinya cukup untuk dijadikan tempat pesta, Bunda menyuruh Deraz untuk membereskan ruang televisi sekalian. Meja ditepikan dan dikosongkan untuk menyajikan penganan. Maka hari itu hanya Dean yang akan menemani Deraz menjamu anak-anak. Dean mengajukan diri menjadi DJ, yang tugasnya menggonta-ganti CD di stereo serta membesarkan atau mengecilkan volume sesuai dengan keperluan. Lagi pula, pacarnya yang Sekretaris Umum OSIS juga akan datang.

Anak-anak berdatangan menjelang siang. Motor-motor diparkir di carport yang sudah kosong dari mobil Bunda. Yang membawa mobil memarkirkannya di sisi jalan. Ada juga beberapa cewek yang datang bersama-sama menaiki angkot lalu mengirimi Deraz SMS menanyakan jalan. Cowok-cowok kecewa karena hanya mendapati Dean yang bergolek manja di sofa ruang televisi alih-alih ibu si kembar yang menurut mereka masih seperti mbak-mbak mahasiswi di usia paruh baya.

Belum lagi acara dimulai, hujan lebat turun. Anak-anak berjejal di ruang televisi yang sudah tidak ada televisinya karena sementara itu dipindahkan ke kamar. Mereka berdiri membentuk lingkaran di tengah-tengah ruangan. Acara dibuka dengan sambutan dari Alf selaku Mitratama.

“Kita di sini sekalian mau bermaaf-maafan. Kita mohon maaf sekiranya suka bikin kamu kesel, moyokin kamu, ngecandain kamu. Kita cuma ingin membentuk suasana kekeluargaan yang akrab, supaya enggak melulu merasa terbebani oleh tanggung jawab yang besar, tapi juga supaya OSIS tuh bisa jadi sesuatu yang fun. Eh, malah jangan-jangan sebenarnya sedari awal Deraz memang sudah menganggap kita sebagai keluarga. Karena, di hadapan keluargalah kita menunjukkan wajah asli kita.”

“Wuuu …!” Anak-anak bertepuk tangan

“Wajah aslinya Deraz, ya, gitu, tampan!” ada yang menceletuk.

Anak-anak tertawa.

Deraz menunduk saja sembari tersenyum tipis.

“Deraz, lu enggak minta maaf juga sama kita?”

“Maaf buat apa?” Deraz mengangkat kepala dengan sok angkuh.

“Maaf karena selama ini lu nyebelin lah!”

“Maaf karena enggak mau bagi-bagi apel sama roti!”

Mereka tertawa lagi. Namun hingga tawa reda Deraz tidak kunjung berkata apa-apa, malah menunduk lagi.

“Lu bener-bener enggak mau minta maaf, Raz?!”

“Biarin atuh si Deraz mikir dulu! Juara speech mah gitu, kalau ngomong dipilih-pilih dulu!”

Anak-anak memerhatikan tiap kali Deraz mengangkat kepala seakan-akan ada yang hendak keluar dari mulutnya, ia malah menunduk lagi. Hingga beberapa saat kemudian, anak-anak memutuskan. “Udah, udah, kita ngerti kok. Perasaan memang enggak selalu bisa diucapkan dengan kata-kata.”

“Euh ….” Deraz tidak hendak menyerah. Namun yang terputar di benaknya hanyalah banyolan receh anak-anak OSIS, yang mungkin akan dirindukannya selama ia berada di luar negeri dan tidak akan pernah didengarnya lagi bahkan ketika ia pulang nanti. “Saya cuma ingin bilang … kalian …” Deraz terdiam, “ … terbaik.” Ia bertepuk tangan pelan namun mantap.

“Aaah ….” Cewek-cewek OSIS menyuarakan keharuan. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Yang lain ikut bertepuk tangan.

“Kita di sini tuh semuanya sayang sama kamu, Raz,” ucap Soraya yang termasuk ke barisan cewek terharu.

“Kita? Lu aja kali!” tanggap Jati.

“Eh, terus cowok gue mau dikemanain?”

“Perkuat pusat, perluas cabang atuh. Pusat di ITB, cabangnya di Jerman!” sambut Gilang.

Anak-anak meriuhkan.

“Eh, lagian, pas Deraz balik ke sini tuh dia masih berondong, gue udah tante-tante.”

“Lu kira Deraz AFS di galaksi seberang?!”

“Ya, kenapa juga lu nyebut mahasiswa ITB om-om?”

“Ya, enggak apa-apa kali lu sama berondong juga. Lu kan bakal tante girang.”

Tawa riuh lagi.

“Eh, anjir, gue doain jadi om senang, siah!”

“Jadi om tajir aja enggak apa-apa.”

Anak-anak lain lalu bergiliran menyampaikan testimoni yang diliputi canda tawa.

“Testimoni terakhir! Testimoni terakhir!” seseorang berseru yang ternyata merupakan kode. Beberapa cewek OSIS menyelinap ke dapur tempat mereka masuk tadi.

“Deraz, kita punya hadiah buat kamu, lo!” cetus Soraya sembari mengerling ke arah dapur. Sesaat kemudian, beberapa cewek OSIS keluar dari sana dengan menggiring tamu rahasia.

Melihat siapa yang muncul, Deraz malah memalingkan muka dengan kepalan tangan menutupi mulut. Cewek-cewek OSIS terus mendorong Zahra. Cowok-cowok OSIS juga tidak kalah semangat mendorong Deraz. Sampai keduanya berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter. Tetapi tidak ada satu pun yang angkat suara. Keduanya sama-sama menunduk ke arah lain.

“Aaah, malu-malu!”

“Malu meureun kalau dilihatin mah!”

Anak-anak lalu menggiring keduanya melewati pintu Perancis yang membatasi ruang televisi dengan teras belakang. Lalu pintu ditutup sehingga hanya ada mereka berdua di situ, tetapi anak-anak masih dapat mengintip lewat kaca. Walaupun hujan sudah tidak selebat tadi, namun suaranya masih menyamarkan percakapan yang mungkin terjadi di teras. Mereka tidak bisa mendengar Deraz mengambil inisiatif menegur Zahra. Namun mereka bisa melihat Zahra mengeluarkan kado dari tas yang tersampir di pundaknya.

“Nanti aja dibukanya,” ucap Zahra yang hanya terdengar oleh Deraz.

Deraz malah membuka kado itu seketika. Di balik sampul kado ada kotak merah gelap. Begitu membuka penutup kotak itu, ia menemukan lipatan syal rajutan semerah Manchester United.

Deraz dan Zahra terhenti sejenak karena melihat anak-anak yang masih mengintip menggedor kaca dengan riuh.

Terdengar dari dalam ada yang berteriak, “Berisik, woi!” biarpun teredam.

“Cuekin aja,” ucap Deraz.

Zahra tersipu, lalu melanjutkan, “Maaf, aku baru bisanya bikin itu.”

“Enggak apa-apa.” Deraz tersenyum sembari meletakkan kotak yang sebagiannya masih bersalut sampul kado. Ia langsung mengenakan syal itu. “Cocok?” Ia bergaya dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana jin.

“Mmm, tapi masak bajunya kaus?”

Deraz mesem. Ia memasukkan syal itu ke kotak lagi. “Terima kasih.”

Walaupun Zahra menunduk, namun Deraz dapat melihat gadis itu tersenyum manis sekali.

“Maaf juga ….” Zahra berkata lagi. “Aku … udah nyuekin kamu, udah ….”

“Udah, udah,” ucap Deraz. “Yang penting habis ini kita terus menjaga silaturahmi. Lagian satu tahun itu enggak lama.”

“Iya. Deraz baik-baik, ya, di sana.” Zahra tersipu. “Rasanya udah enggak sabar nunggu Deraz pulang.”

Deraz tersenyum geli. “Aku kan masih di sini.”

“Deraz. Oi.”

Deraz baru menyadari bahwa anak-anak sudah tidak lagi berdiri melingkar dengan ia menjadi pusatnya. Dean menyetel album Sushi 3003: A Spectacullar Collection of Japanese Clubpop yang dibeli Deraz di Disc Tarra hanya karena tertarik pada sampulnya yang bernuansa futuristik, dan kini telah sampai pada “Bond Street” dari Les 5-4-3-2-1. Alf dan Ipong yang sama-sama raja DDR telah mengubah ruang televisi menjadi arena joget. Anak-anak pada berlomba memamerkan gerakan konyol. “Ikutan dong, Raz!” ujar Soraya. “Ini semua kan demi lu. Enggak usah sok jaim gitu deh.”

Deraz menanggapi Soraya dengan kernyitan masam. Namun ia pasrah saja ketika Soraya menarik tangannya ke tengah ruangan. Sementara badannya bergoyang dengan enggan, tatapannya mengarah pada pintu Perancis yang tertutup melindungi anak-anak dari hujan angin. Ia melanjutkan khayalannya akan hujan rinai yang melatari obrolan syahdu.

 

Sore itu hujan telah berhenti sama sekali seiring dengan diakhirinya farewell party. Anak-anak berpikiran untuk melanjutkannya dengan acara karaoke di Dago Plaza. Tumben Deraz mengiyakan ajakan.

Yang lebih menakjubkan, Deraz mau ketika disuruh menyanyi. Malah ia berinisiatif memilih “Dua Sejoli” dari Dewa. Ia juga cuek ketika di awal lagu anak-anak serempak mundur sehingga tinggal ia sendiri yang melantunkan lirik pada mikrofon.

Anak-anak terpukau bukan karena suara Deraz yang buta nada lagi jauh dari mirip Once, melainkan karena ia membawakan lagu itu dengan sepenuh ekspresi jiwa. Bahkan matanya tidak selalu mengikuti lirik yang bergerak di layar, seakan-akan lagu tersebut memang keluar dari hatinya sendiri. Sementara bagian instrumen, anak-anak bersorak menyemangati Deraz.

Begitu lirik dimulai lagi, mereka lantas mendorong Soraya agar mendampingi Deraz di depan. Anak-anak semakin kaget ketika Deraz menyambut Soraya. Ia bertingkah seakan-akan lagu itu memang dinyanyikannya untuk Soraya, sampai tangannya menyentuh dadanya sendiri. Mata Deraz tidak lepas dari Soraya yang parasnya menoleh bertanya-tanya pada anak-anak, Si Deraz kesambet apa?

Anak-anak menggeleng tetapi mereka menyuruh Soraya mengikuti saja.

Apalagi ketika lirik sampai di bagian “… bertekuk lutut di hadapmu …” Deraz benar-benar menekuk lutut dan mengulurkan sebelah tangannya pada Soraya dengan ekspresi meyakinkan. Anak-anak bersorak dan bersuit sekuat tenaga sementara Soraya mengipas-ngipasi leher dengan tangan dan megap-megap seperti yang kepanasan sedang tangannya yang lain menyambut uluran Deraz, yang segera dilepas lagi oleh cowok itu begitu bait berganti dan ia berdiri. Lagu itu diselesaikan bersama anak-anak yang kembali turut bernyanyi.

Pada jeda pergantian lagu, Soraya menanyai Deraz dengan semringah bercampur genit, “Yang tadi teh beneran?”

“Apa?” Deraz menoleh.

Melihat tampang Deraz sedatar ubin yang sudah diukur dengan waterpas, Soraya kembali ke tempat duduk dengan memutar mata dan memanyunkan bibir.

“Anjir, meni watir!” Anak-anak menertawainya.

Mereka melanjutkan karaoke dengan beramai-ramai menyanyikan lagu lainnya dari Dewa seperti “Separuh Napas” dan “Sayap-sayap Patah”. Deraz turut menyumbang suara dengan semangat. Sungguh ironis bahwa selama minggu-minggu sebelum UAS Deraz menyetel album Dewa terus-terusan sampai hafal kebanyakan liriknya, tetapi hanya sedikit rumus Kimia yang melekat di otaknya.

Kucoba kembangkan sayap patahku …” anak-anak mengeroyoki mikrofon yang cuma dua.

Na na na ...” Ipong melengkapi.

’Tuk terbang tinggi lagi di angkasa ….”

Na na na ….”

Melayang melukis awan, merangkai awan, awan mendung ….”

Kucoba kembangkan sayap-sayap patah …” walaupun suaranya sudah berubah menjadi bocah SMP, Ipong masih merdu saat menyanyi.

 

Keluar dari ruang karaoke, anak-anak mengadang Deraz, Ipong, dan Soraya. “Foto keluarga dulu!”

“Foto keluarga naon?” Ipong mewakili keengganan yang lain. Namun anak-anak berhasil memaksa ketiganya untuk berderet berlatarkan dinding.

Pada jepretan-jepretan awal, mereka tampak segan. Namun berangsur-angsur, satu per satu mulai tersenyum dan bergaya. Pada jepretan terakhir, Deraz dan Soraya bersama-sama mengangkat Ipong yang membentangkan kedua lengannya seperti hendak terbang. Ketiganya berseri-seri menampakkan gigi dan begitu lepas. Walaupun sedetik kemudian, Soraya sudah tidak kuat mengangkat betis Ipong. Deraz yang kaget karena mendadak beban berat sebelah ikut melepas pegangan. Ipong berdebum di lantai.

Anak-anak tertawa. “Pesawatnya jatuh deh!”

Setelah berfoto beramai-ramai, barulah mereka hendak pulang. Sekali lagi, anak-anak melepas Deraz yang hendak menebeng mobil Yoga.

“Hati-hati di jalan, ya, Raz.”

“Jangan lupain kita, lo, Raz.”

Deraz tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka sebelum memasuki mobil. “Terima kasih, ya!” kata-katanya yang terakhir.

Justru ketika Deraz hendak pergi jauh, anak-anak OSIS baru menyaksikan sisi lain dirinya. Memang kepergian Deraz hanya setahun. Tetapi, ketika ia kembali nanti, mereka sudah tidak ada lagi di SMANSON.

Selasa, 25 Desember 2018

(54)

Di samping rangkaian acara bersama DKM, anak-anak OSIS mulai mempersiapkan MOS. Kali ini Jati yang menjadi ketua panitia. Deraz ditunjuknya menjadi ketua SADIS.

“Kamu enggak usah acting lagi, Raz. Kamu diem aja tampang kamu udah sadis,” Jati membeberkan alasannya.

“Sadis tapi tampan, heu euh,” Alf menceletuk.

“Tampan tapi sadis,” Jati membetulkan. “Ini proker terakhir kita sebelum ganti kepengurusan. Beri penampilan terbaik kamu, ya, Raz.”

“Ya udah,” Deraz menyanggupi. Anak emas pengurus OSIS tahun sebelumnya memang siap mengemban amanah apa saja.

Tercetus gagasan untuk menghadirkan SIMBA gadungan seperti pada MOS-MOS sebelumnya. Anak-anak kontan memikirkan Ipong.

Embung!” tolak Ipong.

“Aaah, Ipong jangan gitu. Siapa lagi kalau bukan kamu?”

“Banyak kali anak lain,” tanggap Ipong.

“Tapi kamu satu-satunya kandidat yang memenuhi syarat, Pong.”

“Enggak mau tahu. Pokoknya Ipong,” Jati menuliskan nama Ipong pada rumusan panitia.

“Hidup Ipong!”

“HIDUP IPONG!” Anak-anak mengepalkan tangan ke atas.

“Namanya siapa, ya?” tanya Jati.

“Fernando! Fernando!”

“Fernando Jose!”

“Fernando,” tulis Jati. “Ceritanya kamu siswa baru dari Meksiko, ya. Bapak kamu diplomat di sana.”

Embung, anjir!” Ipong terus merajuk.

“Ibu kamu namanya Soraya Velasquez. Bapaknya Arderaz Haekal.”

Anak-anak mengakak.

“Bapaknya SADIS, anjir, diplomat Indonesia tapi diam-diam gabung sama kartel narkoba,” Gilang mulai mengarang bebas. “Ibunya punya pabrik TOA di Meksiko buat diekspor ke Indonesia.”

Naon sih, bawa-bawa TOA wae,” protes Soraya. “Mending gue punya pabrik fashion!”

“Lu mau jadi juragan sombrero, Ya?”

“Biarin aja lagi, sombrero kan bentuknya kayak TOA!”

“Ih, fashion kan enggak cuma TOA—eh, topi!” balas Soraya.

“Kalau buat lu mah TOA bagian dari fashion, Ya! Nempel di bibir tiap hari, dibawa ke mana-mana.”

Deraz menggeleng-geleng saja menyimak candaan anak-anak sembari mesem. Sejenak ia melupakan kegundahannya belakangan ini.

Liburan pergantian tahun ajaran diisi oleh persiapan MOS. Anak-anak mempertanyakan Ipong yang sejak hari terakhir tahun ajaran kemarin belum kunjung terlihat.

“Ditelepon enggak diangkat. Balasnya lewat SMS doang. Lagi sakit ceunah,” kata Jati. “Kalau radang tenggorokan tuh sakitnya berapa lama sih?”

“Lagi sibuk pendaftaran siswa baru, meureun,” canda anak-anak.

“Beli seragam SMA.”

“Penghayatan peran.”

“Mentang-mentang jadi SIMBA gadungan, anjir,” keluh Jati.

“Ngambek, meureun, enggak mau jadi SIMBA gadungan.”

“Aaah, enggak profesional!”

Ipong baru nongol pada penghujung liburan, koordinasi terakhir sebelum besoknya MOS dimulai. Anak-anak menyambutnya dengan tegur sapa dan canda ria. Namun Ipong menanggapi mereka dengan dingin, tanpa suara. Ia cuma menjawab dengan ekspresi wajah, gerakan kepala atau bahu. Biarpun dikata-katai, ia bergeming. Koordinasi dimulai.

“Ipong, gimana kesiapan kamu sebagai Fernando? Seragam SMP kamu masih muat, kan?” tanya Jati ketika sampai pada giliran Ipong.

Ipong mengangguk.

Anak-anak memandanginya dengan gemas.

“Biasanya maneh cerewet, Pong.”

Ipong mengangkat bahu, yang malah membikin anak-anak bertambah gemas.

“Pong,” Alf yang duduk di seberang Ipong dalam lingkaran tiba-tiba berkata, yang turut menarik perhatian anak-anak. “Si Rika katanya mau bikin pengakuan.”

“Eh, apa, Alf?” tegur Rieka, si kembang SMANSON yang telah berhasil mengubah pacarnya—cowok paling cantik satu sekolah—menjadi tampan akhir-akhir ini.

“Oh, enggak?” sahut Alf pura-pura bodoh. “Ya udah, atuh. Si Ipong yang mau bikin pengakuan, ceunah. Kemarin SMS ke aing,” dustanya. ”Katanya, dia bogoh sama kamu udah lama, Rika, dari SMP. Tapi malu mau bilang—”

Gandeng, anjing!” salak Ipong.

Anak-anak terperangah.

“Pong, ngomong deui lah, Pong!”

Meni sok jaim, ih! Geuleuh, anjir!”

Ipong menggeleng.

Adip yang duduk di samping Ipong serta-merta menggelitiki anak itu tanpa ampun sampai terlontar sumpah serapah dari mulutnya. Anak-anak ikut kegelian. Suara Ipong bukan lagi suara bocah SD, ataupun Michael Jackson ketika masih bersama Jackson 5! Suara Ipong kini rendah! Mereka pada menyelamati Ipong tanpa lupa mencuri kesempatan untuk menepuk-nepuk kepalanya, atau menyalami tangannya dan menempelkan punggung tangan ke jidat anak yang kini dianggap sudah beranjak remaja itu.

“Entar lagi kumisan, berewokan. Ih, macho!”

“Entar lagi setinggi Papa Deraz, ya.”

“Besok masuk SMP, eh, SMA, ya, Dek Ipong.”

“Stop dedek-dekekin gue, anjir!” Memang sudah tidak berguna bagi Ipong menyembunyikan suaranya yang baru di depan anak-anak.

“Wooo, mentang-mentang udah gede …!”

“Pong, Ipong,” tiba-tiba Deraz memanggil, sembari menepuk-nepuk pahanya, “sini, dipangku sama Papa.”

Anak-anak meledak. Mereka sama sekali tidak menyangka Deraz mendadak kocak!

Moal dipinjemin kaset deui, siah!” Ipong menunjuk Deraz penuh ancaman. Yang ditunjuk cuma ikut tertawa bersama anak-anak lain.

“Kasih Ipong hadiah, yuk!” ada yang berseru

“Oh, iya. Kita kan punya kado kedewasaan. Biar cepet tumbuh bulu!”

Ipong tahu yang akan terjadi. Tetapi tubuhnya masih kalah besar dibandingkan dengan cowok-cowok OSIS yang lain.

Nanaonan ari sia, anjing …!” teriak Ipong begitu mereka mengangkatnya. Ia hampir berhasil melepaskan diri, namun anak-anak segera menangkapnya lagi sambil tertawa-tawa penuh horor.

Tah, di ditu!” Alf menunjung sebatang besi hitam yang tegak menantang. Semakin Ipong meronta, semakin kuat anak-anak memeganginya.

“Satu …!” anak-anak mulai menghitung.

“Allahuakbar!” sahut Ipong.

“Dua …!”

“Aaa …!”

“Tiga …!”

“Cukup, anjeeeeng!”

“Eh, si Ipong teh berapa usianya sekarang?”

“Tujuh belas tahun April kemarin!” seru Rieka.

“Ooo …” anak-anak bersorak.

“Empat …!”

“Aaa ….!”

Sudah jelas, koordinasi pagi itu kacau-balau. Tetapi kali ini Deraz tidak mangkel. Malah ia turut memegangi kaki Ipong yang histeris.

Setelah hitungan ketujuh belas, mereka serempak menjatuhkan Ipong lalu berlari sejauh-jauhnya sambil tertawa puas.

 

Walaupun sudah dicopot dari jabatan ketua panitia, Deraz diizinkan Alf membantu pelaksanaan acara OSIS-DKM. Pada saat inilah Deraz tersentuh karena menyadari bahwa walaupun rapat kerap kali berjalan dengan kacau, tidak serius, dan diwarnai banyak candaan garing, namun anak-anak OSIS benar-benar sigap ketika bekerja. Tidak terkecuali dalam kepanitiaan bersama DKM. Walaupun rapat diisi banyak perbedaan pendapat, namun dalam pelaksanaan di lapangan anak-anak OSIS dan anak-anak DKM menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja sama. Setiap kali hendak bertemu anak-anak DKM dan memulai pekerjaan, anak-anak OSIS melingkar dulu untuk menyatukan hati dan pikiran serta berdoa. Alf mengajak anak-anak berangkulan dalam lingkaran itu dan menambahkan, “Kita lakukan ini untuk saudara kita tersayang dan tertampan, Arderaz Haekal.”

“Yeah!” seru anak-anak.

Acara bersama Aa Gym berlangsung dengan lancar. 

Saat festival nasyid, tidak hanya anak-anak KOMBAS dan kelompok nasyid DKM yang unjuk gigi, tetapi juga cowok-cowok OSIS membentuk tim akapela dengan tentu saja Ipong menjadi pelatihnya sedang Deraz dikecualikan dengan alasan dapat mengganggu keharmonisan suara. Deraz tidak tersinggung karena memang tidak hendak mempermalukan diri bersama anak-anak itu. Ia malah menikmati mereka berlatih keras membawakan “Kasih Putih” dari Snada secara dadakan ketika waktu sudah begitu mepet.

Saat outbond, tiap pos dijaga oleh tim yang masing-masing terdiri dari satu wakil OSIS beserta satu wakil DKM dengan jenis kelamin yang sama. Deraz menyaksikan sendiri kekompakan setiap tim dalam membuat permainan untuk anak-anak panti asuhan yang menjadi peserta, sebab ia menjadi pemandu salah satu kelompok berpasangan dengan seorang akhwat.

Namun sampai sejauh itu Deraz tidak kunjung melihat Zahra di antara anak-anak DKM. Apakah gadis itu tidak meneruskan niatnya untuk bergabung bersama DKM? Tentu saja Deraz segan menanyakannya pada anak-anak DKM, pada siapa pun. Ia sempat berpikiran bahwa jika Zahra sudah tidak bergabung bersama DKM lagi, apakah artinya gadis itu diam-diam memihak Deraz? Namun Deraz terus menahan keinginan untuk mencari nomor baru Zahra ataupun menyamperinya ke rumah. Masih hangat di benak Deraz paras Zahra yang berusaha keras menahan tangis ketika ia mengembalikan diary gadis itu, juga dadanya sendiri yang membiru. Benar-benar akhir yang mantap untuk menyudahi hubungan. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri.

Mungkin nanti saja setelah pulang dari Jerman, pikir Deraz.

 

Sejak penampilan pertamanya di MOS, Deraz mengerahkan kemampuan terbaiknya sebagai ketua SADIS. Para SIMBA putri yang tadinya hendak mengeceng “akang yang itu” jadi pada mengurungkan niat. Ironisnya, Fernando kerap kali mendapat sangsi, yang menjadi perkara begitu acara MOS hari itu diakhiri dan panitia berkumpul untuk rapat.

“Raz, kok gue kena melulu sih? Kalau ngasih hukuman jangan sadis-sadis dong! Mentang-mentang SADIS!” protes Ipong yang lengan dan perutnya mulai sakit akibat kebanyakan push up.

“Soalnya kamu tuh sedikit-sedikit tidur, sedikit-sedikit ngobrol. Kalau kamu dikecualikan, nanti SIMBA-SIMBA pada curiga,” Deraz mengemukakan alasannya dengan tenang.

Puguh gue teh ngobrol biar enggak ketiduran. Panitia kalau bikin acara yang rame dong!” tuding Ipong.

“Dek Ipong nakal sih, jadi dihukum Papa,” balas anak-anak dengan kompor.

“Enggak apa-apa, Pong. Biar kelar MOS badan kamu jadi kekar—six pack kayak Papa Deraz!” Jati meredakan Ipong dengan cara yang tidak berhasil.

Seminar remaja islami jadi disisipkan ke agenda MOS, dengan SIMBA-SIMBA nonmuslim diberikan acara sendiri bersama ekskul kerohanian masing-masing. Entah bagaimana, anak-anak OSIS berhasil melobi anak-anak DKM hingga mereka setuju untuk mengubah tema menjadi “Jihad Pemuda di Era Modern”. Sudah begitu, ustaznya ternyata paman Alf sendiri yang memang biasa menjadi khatib di masjid-masjid besar di Kota Bandung—yang tentu saja menjadi bahan olokan baru bagi anak-anak OSIS.

“Anjir, parah lu, Alf. Durhaka lu sama uak lu!” kata anak-anak dengan nada geli.

“Alf, kapan mau nampilin kakek lu di SMANSON, Alf? Kakek Sugiono?”

“Kakek kamu orang Jawa, Alf? Namanya Sugiono?” tanya cewek-cewek.

Cowok-cowok menjawabnya dengan mengakak.

“Yang penting dapat pembicara!” kilah Alf.

Tentu saja Deraz ikut menghadiri seminar itu. Sebagai bagian dari seksi SADIS, tugasnya menandai SIMBA-SIMBA yang mengobrol atau tertidur untuk nantinya dijatuhi sangsi.

Dengan sendirinya isi seminar itu sedikit-sedikit masuk ke kepala Deraz. Paman Alf mengatakan bahwa jihad yang paling besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu, apalagi bagi pemuda yang sudah memasuki usia akil balig. Masa muda adalah masa ketika syahwat mulai bergejolak. Maka jihad pemuda adalah perjuangan menundukkan hawa nafsunya justru ketika tarikannya sedang begitu hebat. Malah pemuda yang mengisi masa muda dengan kegiatan-kegiatan yang diridai Allah merupakan salah satu di antara tujuh golongan yang akan dinaungi oleh-Nya pada hari ketika tidak ada naungan sama sekali.

Paman Alf yang bisa dibilang hampir kakek itu sama sekali tidak menyebut kata “pacaran” dan semacamnya, malah menganjurkan anak-anak supaya berfokus pada menuntut ilmu yang sesungguhnya berkaitan erat dengan keimanan. “Nah, ini juga masukan bagi bapak-bapak dan ibu-ibu pendidik sekalian …” ujar Paman Alf pada guru-guru yang juga ikut menghadiri seminar tersebut.

Sesaat Deraz teralihkan dari mengawasi para SIMBA. Semua yang dikatakan Paman Alf itu telah disampaikan Pak Karman padanya. Orang yang kuat itu yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Tetapi, bagaimanakah mengendalikan kekhilafan?

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain