Menyambung pembacaan Hiji Tanggal nu Dipasinikeun, buku ini telah dibahas di klub.
Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan Klub Buku Laswi dapat dilihat di Instagram biblioforum atau lawangbuku. |
Pertemuan ini menjadi kesempatan untuk memperjelas hal-hal yang tidak jelas bagi saya ketika membaca sendiri kumpulan cerpen berbahasa Sunda tersebut, dengan menanyakan langsung kepada yang membahas.
Yang membahas, Erlangga, adalah mahasiswa jurusan Bahasa Sunda UPI. Ia tidak mengalami kendala bahasa dalam membaca kumpulan cerpen ini. Yang menjadi kendalanya hanyalah memahami logika pengarang cerpen yang kadang-kadang ajaib, misalkan ada serabut akar pohon yang dapat berbicara. Mengetahui itu, berarti saya sendiri mengalami dua kendala: 1) bahasa, 2) logika.
Dalam tulisan ini, saya akan mengangkat beberapa cerpen yang tadinya tidak jelas bagi saya tapi sekarang menjadi jelas atau sudah cukup jelas lalu menjadi makin jelas. Sayangnya, saya akan membocorkan jalan cerita karena untuk sambil dipikirkan maksudnya.
Katumbiri (Mangle, April 1959)
Dalam pembacaan saya sendiri, yang saya dapat tangkap dari cerita ini adalah mengenai kenangan akan masa kecil yang awalnya suci tetapi mulai berdosa sejak mengintip bidadari waktu turun mandi. Ia mengintip bidadari dengan maksud mencuri kainnya. Terpengaruh oleh dongeng yang diceritakan padanya, ia percaya bidadari bisa terbang dan dengan begitu ia bisa minta diambilkan layangan putus sebagai syarat mengembalikan kain.
Karena pemahaman yang terbatas, saya kira ceritanya cuma itu. Ia merenungkan perbuatan itu yang dijadikannya rahasia, sedang yang ditampakkannya kepada orang lain yang baik-baik saja. (Bagian ini terasa menyindir perilaku manusia pada umumnya).
Setelah dijelaskan Erlangga, ternyata konsekuensi dari perbuatan si tokoh utama sangatlah serius. Yang dianggapnya sebagai bidadari sebenarnya merupakan manusia perempuan biasa yang lagi mandi di kali. Ketika ada banjir, teman-temannya segera beranjak dari kali. Namun perempuan itu tidak bisa pergi karena kebingungan mencari kain penutup tubuhnya. Akibatnya, ia pun keburu terbawa hanyut oleh air bah.
Mengetahui ceritanya ternyata seperti itu, saya sendiri jadi terkejut. Bisa dibayangkan dampak kejiwaan yang dialami si tokoh utama setelah menyadari perbuatannya itu setelah ia dewasa. Bisa dikatakan, secara tidak langsung, ia telah menghilangkan nyawa orang sekalipun pada waktu itu ia masih kecil--belum mengerti bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan konsekuensi tertentu bahkan fatal.
Kawung Ratu (Mangle, Mei 1963)
Secara keseluruhan, alur cerpen ini dapat saya tangkap. Namun ada beberapa hal yang terlewatkan oleh saya karena kendala bahasa itu.
Yang pertama menyangkut kepercayaan. Sewaktu menanam kawung, orang mesti hafal melakukannya sambil menghadap ke mana dan arah tersebut mesti selalu jadi patokannya ketika merawat tumbuhan itu. Kemudian jimat yang diberikan menak kepada si Aki kemudian ia masukkan ke dalam batang kawungnya.
Yang kedua menyangkut latar cerita yang sempat menjadi topik di antara pembahas dan teman-temannya sesama mahasiswa Bahasa Sunda. Cerita ini diperkirakan terjadi dari sebelum sampai sesudah Kemerdekaan. Ketika ada menak yang meminta produk kawung Aki, kemungkinan peristiwa itu terjadi sebelum Kemerdekaan. Namun setelah Kemerdekaan, pemimpin Aki bukan cuma sang menak melainkan ada pula dari Desa. Ketika keduanya sama-sama meminta Aki melakukan hal yang berbeda pada kawungnya, ia menjadi bingung dan tidak bisa memutuskan mana yang harus dituruti sehingga memutuskan untuk menggantung diri saja.
Dari cerpen ini juga kita dapat mempelajari sebentuk kearifan lokal. Aki memperlakukan kawungnya sebagai bukan sekadar komoditas untuk dimanfaatkan, melainkan sebagai sesama makhluk yang juga patut dihargai.
Dehem (Mangle, Februari 1964)
Dalam pembacaan saya sendiri, yang saya tangkap cuma ada lelaki yang mau ke dukun beranak karena istrinya akan melahirkan sehingga ia harus melewati hutan bambu pakai obor. Tahu-tahu ada kekasihnya dahulu yang kini sudah jadi janda sehingga tebersit CLBK tetapi sepanjang jalan mereka cuma saling berdeham.
Rupanya dukun beranak itulah mantan kekasih si suami. Karena istrinya akan segera melahirkan, si lelaki mencari dukun beranak. Kebetulan dukun beranak yang ditemukannya itu adalah mantan kekasihnya. Ketika ia hendak mengantar pulang sang dukun, keduanya melewati hutan bambu yang dahulu menjadi tempat pacaran mereka sehingga teringatlah segala kenangan bersama tetapi hanya dapat mengutarakannya dengan berbalas deham ... =_=;
Kuncen (Wangsit, 1966)
Cerita ini dapat saya ikuti, tapi memang ada yang kurang jelas mengenai "kandil emas".
Rupanya Aki Ja'i sang kuncen "menjual" kepercayaan mengenai berkat berupa "kandil emas". Saya kira triknya seperti undian berhadiah. Dengan pergi ke makam dan melakukan berbagai ritual, para peziarah seperti sedang mengajukan undian. Barangsiapa yang beruntung akan memenangkan lotre berupa "kandil emas" yang berarti kesuksesan hidup atau sebagainya.
Nu Pararegat (Mangle, 8 Januari 1976)
Cerpen ini sepertinya yang paling sulit dimengerti karena terkesan absurd, sureal. Cerita ini menampilkan serabut akar yang dapat berbicara, mau turun menembus tanah tapi tidak bisa karena tanahnya telah dilapisi. Kemudian ada orang yang saudaranya kekurangan darah sehingga mengajukan pinjaman uang kepada atasan tapi yang turun tidak seberapa. Akar berserabut lalu menangis dan ada kakek-kakek naik tangga mau bertemu dengan bapak "Duka Wastana" yang dalam bahasa Sunda berarti "tidak tahu namanya" tapi orang-orang lain menganggap bahwa memang itulah namanya.
Dalam pembahasan, timbul kesimpulan bahwa cerpen ini merupakan satire simbolik yang menggambarkan jarak menyusahkan berupa birokrasi yang menjadi penghalang bagi bertemunya penguasa dengan bawahan. Pararegat sendiri berasal dari kata pegat yang artinya putus.
.
Usai Erlangga menyarikan isi sebagian besar cerpen dalam buku ini, satu topik yang otomatis menjadi pembahasan kami adalah mengenai kurangnya minat membaca Sastra Sunda. Yang asli keturunan Sunda saja belum tentu suka membaca. Kalaupun mau membaca, ada banyak kosakata yang tidak digunakan dalam percakapan sehari-sehari sehingga mesti rela sambil membuka kamus. Karena itulah, membaca karya berbahasa Sunda tampak kurang memiliki manfaat praktis di dunia nyata.
Lain halnya dengan membaca karya berbahasa Inggris. Soalnya, memang bahasa Inggris menggempur di mana-mana. Konten-konten serba berbahasa Inggris, bahkan yang mestinya berbahasa Indonesia pun dicampur-adukkan dengan istilah-istilah berbahasa Inggris. Kalau ingin meluaskan pergaulan, meningkatkan karier, dan semacamnya, kemampuan berbahasa Inggris akan sangat bermanfaat. Bahasa Inggris dianggap lebih menjual, contoh saja: banyak novel yang judulnya bahasa Inggris tapi isinya bahasa Indonesia.
Rasanya mengherankan, mengetahui bahwa penyusun kamus bahasa Sunda yang pertama-tama justru orang Belanda. Mengapa bukan orang Sunda sendiri? Mengapa orang Belanda menganggap penting pengetahuan mengenai satu bahasa dari sekian banyak bahasa lain dari suku-suku yang ada di Nusantara? Apakah mereka melakukan hal yang sama terhadap bahasa-bahasa lainnya juga? Pembahasan akan terlalu melebar kalau begitu.
Diduga, ada kepentingan ekonomi dan politik di balik minat mereka. Toh tanah Sunda sangatlah subur. Namun, mengapa masih ada rakyatnya yang miskin dan kelaparan? Rupanya banyak tanah yang dikuasai menak, dijadikan hutan yang terlarang untuk dimasuki sesiapa, sekadar untuk menjadi tempat hiburan yang eksklusif bagi mereka sendiri. Di sinilah timbul dilema. Jika hutan itu bebas dimanfaatkan oleh siapa saja, kemungkinan akan dibuka untuk dijadikan entah apa saja. Memang dengan begitu dapat menghidupi sekian banyak manusia, tapi bagaimana dengan keanekaragaman hayati di dalamnya? Bukankah mereka juga berhak hidup dan dihargai sebagaimana kawung si Aki? Bingung, tapi tak usahlah ikut gantung diri.
Memang tampaknya tak ada manfaat praktis dari membaca sastra Sunda, bahkan sastra pada umumnya mau dalam bahasa apa pun. Paling tidak, ada prinsip dulce et utile--kesenangan yang bermanfaat. Ada kesenangan dari menyimak sebuah cerita. Apalagi jika cerita tersebut menyembunyikan banyak hal, entahkah itu namanya "amanat", "makna", "simbol", "pesan moral", dan seterusnya, yang bagaikan permainan berburu harta karun bagi peminatnya. Apalagi jika ada di antara hal tersebut yang bisa dikaitkan dengan pengalaman sendiri, menjadi bahan perenungan diri.
Memang kendala bahasa mengurangi keasyikan membaca. Namun, dengan pengetahuan bahasa yang sekadarnya itu, tetap ada "harta karun" yang dapat diambil. Paling tidak, kita bisa mempelajari cara yang digunakan pengarang untuk menyampaikan ide-idenya yang beragam itu. Ada cerpen-cerpen yang realis apa adanya saja menceritakan kenyataan seperti "Ngabeca" dan "Bi Empat". Ada cerpen-cerpen yang tampak mengandung amanat dalam hubungan suami istri atau kehidupan rumah tangga seperti "Hiji Tanggal nu Dipasinikeun" dan "Kawin Emasna Dahim". Ada cerpen-cerpen yang mengangkat kearifan lokal dan mistikisme seperti "Kawung Aki" dan "Kuncen". Ada cerpen-cerpen yang menggunakan twist---teknik untuk mengecoh pembaca--seperti "Halimun" dan "Aki Warung". Ada cerpen-cerpen yang menunjukkan caranya mengeksplorasi keresahan dalam suatu momen seperti "Dehem", "Cipanon", serta "Hiji Tanggal nu Dipasinikeun". Belum lagi yang absurd-surealis macam "Nu Pararegat", serta cerpen-cerpen lain yang dapat memantik renungan seputar berbagai hal sebagaimana yang sudah saya utarakan dalam catatan pembacaan sebelumnya.