Gambar di-screenshot dari Ipusnas. |
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Bandung, bekerja sama dengan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda
Cetakan kesatu, Oktober 2017
ISBN : 978-979-419-479-9
Edisi Elektronik, 2018
ISBN : 978-979-419-669-4
Buku ini saya baca karena katanya akan dibahas di klub yang saya ikuti. Buku ini dapat diakses di Ipusnas. Menurut mahasiswa Bahasa Sunda UPI yang hendak membahas buku ini di klub, Wahyu Wibisana (l. 1935 - w. 2014) merupakan pengarang Sunda kenamaan. Cerpennya termasuk ke dalam buku kumpulan 10 cerpen terbaik Sunda yang kini sulit ditemukan. Menurut pengantar dalam buku ini (oleh Abdullah Mustappa serta Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda), Wahyu Wibisana berkarya selama lebih dari setengah abad. Total jumlah cerpen ada 80-an sejak dari tahun 1950-an, yang tersebar di banyak terbitan berbahasa Sunda. Yang dimuat di Mangle (yang paling saya kenal tapi tidak pernah betul-betul membacanya) saja ada 40-an cerpen. Wahyu Wibisana adalah contoh cerpenis yang bagus dan produktif dalam khasanah kesusastraan Sunda. Untuk kumpulan ini, Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda memilihkan 16 cerpen saja.
Setelah membaca secara keseluruhan, saya mendapati sendiri bahwa cerpen dalam kumpulan ini pada pernah dimuat sebelumnya di Warga, Wangsit, atau Mangle dalam kurun 1950-1980-an. Beberapa cerpen awal, yang terbit tahun 1950-an, tampaknya merujuk ke peristiwa bersejarah seperti DI/TII ("Halimun", "Sora") dan revolusi Jogja ("Dua Gagang Kembang Radiul"). Terdapat istilah-istilah yang sudah "kuno" atau peninggalan zaman Belanda seperti "Sekolah Rakyat", "Ilmu Pasti", "Ilmu Hayat", dan "bronfiets" (dalam cerpen "Ngabeca"--ongkos becak pun masih 5 rupiah!). Malah ada yang masih menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu ("Dua Gagang Kembang Radiul"). Cerpen yang terbit pada tahun '80-an ("Dawuh") mengangkat tren masa itu yaitu memberikan piring cantik sebagai hadiah pernikahan (yang juga dialami ibu saya). Banyak cerpennya yang mengandung renungan spiritual seperti tentang ketuhanan ("Sora"), kematian, ("Dua Gagang Kembang Radiul", "Bulan Tanggal Tilu"), perbuatan dosa ("Sora", "Katumbiri"), dan kemerdekaan ("Dawuh").
Seperti dalam pembacaan buku fiksi berbahasa Sunda yang sebelumnya, saya kurang menikmati karena terbatasnya pemahaman tapi sedikit-sedikit masih dapat menangkap beberapa bagian yang menarik. Walau begitu, saya bersyukur. Kalau tidak memaksakan diri membaca buku kumpulan ini, saya tidak akan menemukan cerpen-cerpen bagus yang kapan-kapan bisa saja saya terjemahkan sebagai bahan belajar bahasa Sunda sekalian menulis kreatif. Kapan-kapan itu mungkin kalau saya sudah menuntaskan lebih banyak literatur berbahasa Sunda sehingga sudah akrab dengan kosakatanya :v
Di sini saya akan mencatat beberapa cerpen dalam kumpulan ini yang benar-benar menarik buat saya. Peringatan: saya mungkin membocorkan jalan ceritanya.
Ngabeca (Warga, 15 September 1955)
Cerpen ini berisi curhat seorang tukang becak, menggunakan sudut pandang orang pertama. Penuturannya rada bodor, tapi dasarnya bikin terenyuh seperti dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang suka mengangkat nasib mengenaskan rakyat kecil.
Katanya, sewaktu kecil ia hidup enak, turunan bangsawan sehingga dinamai Raden. Namun kenapa sekarang jadi begini? Tidak dijelaskan. Untung ia punya istri setia. Ia mengeluhkan susahnya menjalankan kewajiban sebagai seorang lelaki kepala keluarga. Cerita ini juga mengandung amanat agar tidak menertawakan kadar (nasib) orang lain, demikian menurut pepatah Cina yang diulang-ulangnya.
"Keur leutik dipiara ku asih, di sakola rada keras jeung di masarakat leuwih beurat." (halaman 55)
Bi Empat (Warga, 30 April 1956)
Ini cerita yang mengharukan, walaupun yang kena buat saya cuma bagian akhirnya heuheuheu. Endang diasuh sejak jabang bayi oleh Bi Empat sampai berusia sekitar 7 tahun. Anak itu mau dikembalikan kepada orang tua kandungnya. Namun di antara Endang dan Bi Empat sudah ada ikatan. Kenapa juga dahulu Endang diberikan kepada Bi Empat? Itu saya tidak mengerti.
"Kuring geus nyaksian kaagungan anjeun, ya Maha Kawasa. Nantung di dieu, karasa sagala asa leutik. Sabenerna kuring keur ngaji. Ngulik tauhid dina kanyataan." (halaman 56)
Kawung Ratu (Mangle, Mei 1963)
Dari cerpen ini sepertinya bisa ditarik pelajaran mengenai kepercayaan dan penghidupan orang zaman dahulu, serta relasi sosial dalam masyarakat semisal rakyat dengan menak yang harus dituruti apa pun kemauannya (seperti dalam novel Baruang ka nu Ngarora). Kepercayaannya bercampur antara Islam dan animisme. Aki si tokoh utama dalam cerita ini percaya bahwa kawung yang jadi pendongkrak derajatnya itu titisan dewi atau semacam itu, sehingga disukai menak dan menjadi sumber penghidupan dia untuk seterusnya, sampai-sampai memilih untuk mengorbankan diri sendiri ketimbang tumbuhan tersebut. Kepercayaan itu meliputi uang pemberian menak, yang bukan untuk dibelanjakan melainkan dijadikan sebagai jimat. Cerpen ini yang katanya termasuk ke dalam kumpulan 10 cerpen Sunda terbaik.
"... sagala pagawean oge kudu tamat. Hartina kudu jucung meureun, ulah satengah-satengah." (halaman 115)
Kuncen (Wangsit, 1966)
Bukan hanya menarik, cerita ini secara tidak langsung lagi kocak mengajarkan ilmu dagang/entrepreneurship sekalian menyelami dunia kepercayaan klenik.
Ceritanya mengenai Aki Ja'i yang kuncen sudah turunan, memikirkan pewaris profesinya. Ia menghendaki anaknya yang sulung, yang ternyata punya passion bukan untuk menjadi kuncen melainkan dagang dan main kecapi (enggak jauh beda lah ya sama muda-mudi jaman now yang pengin jadi entrepreneur tapi juga doyan main musik). Aki Ja'i saking sayangnya sama si anak jadilah mencoba sendiri mencari berkah di kuburan yang selama ini dijaganya. Sampai mati, tak ia dapat apa-apa. Otomatis anak tersebut lah yang menggantikan dia sebagai kuncen. Bisnis klenik ini justru berkembang karena si anak memang pintar dagang sehingga mengadakan sejumlah inovasi untuk memikat lebih banyak pelanggan, ataukah justru berkahnya itu baru terkabul belakangan? Ini soal kepercayaan, tapi menggelitik lah. Saya pikir cerita ini juga mengandung sindiran, kalimat terakhirnya seperti menyatakan bahwa tradisi ini membodohi orang.
"Umurna nu karek nincak tujuh taun, jiwana memang aya dina mangsa transisi antara fantasi budak jeung alam kanyataan." (halaman 121)
Cipanon (Mangle, 5 Mei 1969)
Ada seorang perempuan mendapat pertanda-pertanda buruk sehingga menyusul suaminya ke sawah sembari diguyur hujan. Sudah bertemu di saung, suaminya disuruh pulang. Baru jalan, saungnya disambar petir. Apakah maksudnya firasat istri lebih kuat daripada suami? Soalnya, suami lama di sawah karena ia juga mendapat pertanda baik (dari mengamati perbintangan) untuk mulai menggarap.
Hiji Tanggal nu Dipasinikeun (Mangle, 23 November 1972)
Cerpen yang menjadi judul buku kumpulan ini ternyata kocak dan ... romantis? Ada sepasang suami istri yang menunggu 20 tahun untuk melaksanakan janji mereka, yaitu si istri mau menyisirkan rambut suaminya. Masalahnya, suaminya sudah botak sehingga akhirnya ia menggunakan ... wig.
Sebetulnya ada beberapa cerpen lainnya yang cukup menarik. Namun karena keterbatasan waktu, saya cukupkan sampai sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar