Jumat, 20 Desember 2024

Masuk Surga Karena Memungut Sampah

Gambar dari situs web
Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
Penulis : Bahagia, SP., MSc.
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
ISBN : 978-979-461-976-6
Edisi pertama, November 2015

Pertama-tama, izinkan saya berkeluh kesah mengenai masalah teknis pada buku ini. 

Ukuran hurufnya kekecilan buat saya, tapi kalau dibesarkan, buku ini bakal ketebalan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman saja sudah membuat buku ini tampak tebal. 

Sudah begitu, caranya menguraikan dan merumuskan gagasan-gagasan banyak yang kurang efektif, menggunakan kalimat-kalimat panjang bertele-tele bahkan tidak logis, membuat saya merasa capek, kesal, stres saat membacanya, dan sedih mengingat jumlah uang yang dikeluarkan untuk membelinya padahal bertahun-tahun kemudian di Ipusnas ada--gratis T_T 

Menjaga kebersihan lingkungan dapat dikategorikan sebagai dosa??? 

diadakan apa????

Kendati disertai rujukan ke dalil ini atau data itu, kesan yang timbul alih-alih ilmiah malah sambatan belaka. Jadi, supaya tidak merasa teramat rugi, saya mesti menganggap sambatan dalam buku ini sebagai sambatan saya sendiri yang dituliskan orang lain dan dibukukan. Toh gagasan-gagasannya--yang berhasil tertangkap oleh saya dari kekacauan cara penyampaiannya itu--memang menjadi perhatian saya juga. 

Buku ini pun mestilah menjadi "pelajaran" bagi saya yang sendirinya asal-asalan saja dalam menulis. Bagaimanapun, menulis yang benar-benar baik itu proses yang sulit dan lama. Namun, mengutarakan gagasan secara serampangan saja, terlebih sampai dicetak dalam sebentuk buku yang dijual dengan harga lumayan, tidak saja menyiksa dan merugikan pembaca, tetapi juga membuang-buang kertas yang padahal untuk memproduksinya harus menebang pohon yang berarti memusnahkan satu kehidupan, dan jadi ironis apabila buku tersebut isinya menyerukan kepedulian pada lingkungan hidup.

Kedua, izinkan saya mencurahkan sambatan saya sendiri mengenai persoalan lingkungan hidup yang terpantik selama membaca buku ini. Terlepas dari penulisannya yang bikin frustrasi dalam membacanya, buku ini sesungguhnya memuat ide yang bagus dan penting, di antaranya bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kualitas keimanan kita sendiri, kotornya lingkungan menunjukkan kotornya hati, kemudian menjabarkan perilaku apa saja yang tampak lazim padahal sesungguhnya mencemari. 

Menyambung buku Konservasi Alam dalam Islam, yang diangkat pula dalam buku ini, dalam Al-Qur'an dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk sehubungan dengan alam. Dalam Al-Qur'an, misalnya, terdapat cerita tentang Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan hewan, tentang Nabi Nuh yang memasukkan hewan sepasang-sepasang ke dalam bahtera, hingga tentang kaum-kaum terdahulu dengan kemampuan membangun yang hebat (di antaranya memahat gunung-gunung jadi rumah) tetapi kemudian dimusnahkan entahkah oleh banjir bandang, hujan batu, atau ledakan gunung berapi--unsur-unsur alam, sehingga seolah-olah alam membalas dendam atau merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia. 

Al-Qur'an juga mengisyaratkan agar manusia memperhatikan kebesaran alam yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengenal Allah. Begitu pentingnya alam, yang terlebih dahulu diciptakan daripada manusia, menjadi perantaraan bagi manusia untuk dapat terhubung dengan Tuhan, senior bagi manusia tetapi juga lebih rendah hati sebab menolak untuk dilimpahi peran yang kemudian diambil manusia, dan apakah kemudian yang dilakukan oleh si newbie nan bodoh dan zalim ini? Dia lupa diri. Sekian lama bergulat dengan alam, pada suatu masa dia berhasil menaklukkannya, menggantikannya dengan produk-produk rekayasanya sendiri, sehingga anak keturunannya tidak saja terputus keterhubungannya dengan alam, tetapi juga dengan Tuhan. 

Kemudian ada hadis-hadis yang salah satunya menyatakan bahwa muslim berserikat dalam sumber-sumber daya alam. Apakah berarti air dan sebagainya itu sesungguhnya haram untuk diperjualbelikan? Apakah tidak semestinya orang mematok tanah dan mengeklaimnya sebagai milik pribadi? Bagaimanakah persisnya penerapan itu dalam konteks sekarang? Bagaimanakah itu akan diterapkan jika pemerintahan Islam benar-benar ditegakkan? Namun, gagasan akan "pemerintahan Islam" umumnya membuat orang ngeri, termasuk orang yang mengaku sebagai muslim. Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim justru kacau balau pemerintahannya. Ada pula yang menjadi makmur setelah menguras sumber daya alam yang mereka miliki, padahal itu tak terbarukan (lain ceritanya kalau dinosaurus masih hidup dan dapat dibudidayakan).

Maka bicara tentang bagaimana alam beserta lingkungan hidup semestinya dikelola dalam konteks luas bagi saya yang awam ini masih perkara memusingkan. Memang semestinya setiap kalangan bekerja sama serempak, tetapi hanya mempersoalkan pemerintah harus begini, pengusaha harus begitu, tampak seperti omong kosong di luar kendali pribadi.  Saya sendiri hanya bisa memikirkan sebatas yang bisa saya lakukan sebagai individu, syukur-syukur bisa memengaruhi orang di sekitar. Malah makin banyak orang yang berpikiran dan bertindak demikian, lambat laut bisa menjadi aksi kolektif. Solusi individual itu sedikitnya ada dua: 

1) tazkiyatunnafs atau introspeksi jiwa secara berkala, sebab alam dirusak, hutan ditebang, hewan dibunuh, adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang pada taraf ini tidak sekadar untuk yang mendasar tetapi terus memperturutkan nafsu yang bertambah-tambah, tak bisa cukup dengan kehidupan sederhana yang membosankan, menyusahkan, lagi dianggap terbelakang, kendati dengan cara demikian alam terlindungi kelestariannya,

2) ekonomi sirkular skala rumah tangga yang kurang lebih dapat berupa mendaur ulang sampah sendiri sehingga bisa swadaya sampai taraf tertentu, dan mengurangi kebergantungan pada sumber daya alam yang jadi jatah hidupan liar selebihnya.

Kalau solusi individual ini diterapkan oleh setiap orang, kiranya beban pekerjaan konservasi alam atau pemulihan lingkungan hidup dapat berkurang. Toh alam dapat mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Lihat saja waktu COVID-19 ketika giliran manusia dikerangkeng di rumahnya masing-masing, kecuali persoalan sampah yang bertambah banyak (itu pun dampak dari perilakunya sendiri), terdengar bahwa di tempat-tempat wisata alam hewan-hewan pada keluar, kualitas udara pun membaik. Ketimbang mengurus alam, yang perlu dikelola manusia itu justru dirinya sendiri, hawa nafsunya. 

Sudah sewajarnya manusia ingin terus "maju". Atau, dari sana-sini--entahkah orang-orang di sekitar atau media sosial--menggempur agar "berkembang", hidup jangan begitu-begitu saja. Namun, kalau memiliki wawasan akan dampak pembangunan terhadap alam sampai serincinya, serta memahami sebabnya Al-Qur'an melarang bermegah-megahan dan Rasulullah pun mencontohkan kesederhanaan, hidup jadi dijalani dengan guilty pleasure, serbasalah. Di balik kemajuan umat manusia, ada pengorbanan alam semesta. Alam sebagai "kakak" daripada manusia banyak mengalah, tapi sewaktu-waktu dapat mengamuk untuk mengambil kembali haknya melalui bencana-bencana. Sudah sepantasnya manusia beristigfar seratus kali sehari--tidak, malah semestinya setiap saat.

Islam memang menganjurkan untuk kaya. Agar dapat menunaikan rukun Islam yang keempat dan kelima, orang perlu memiliki sejumlah kekayaan. Belum lagi perintah untuk banyak bersedekah, menafkahkan harta di jalan Allah. Hanya saja, kekayaan itu diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Untuk memiliki emas batangan saja, prosesnya mungkin memerlukan merkuri yang limbahnya berbahaya bagi lingkungan. Untuk membangun rumah megah lagi estetik, pohon-pohon ditebang, bukit-bukit dihancurkan, pasir dikeruk, dan sebagainya, untuk memperoleh materialnya. Untuk membangun perumahan sederhana saja menurut standar sekarang, berapa banyak makhluk lain yang terampas hak hidupnya sebab tanah tempatnya bertumbuh telah dilapisi beton? Agaknya untuk menjadi "kaya" dalam pengertian materialistis, memang tak terhindarkan cara-cara kotor dan zalim pada makhluk lain, sehingga harus berzakat, bersedekah banyak-banyak, untuk menyucikannya.

Islam juga menganjurkan untuk menikah dan beranak pinak (sunah), tetapi perlu diperhatikan pula bahwa dalam Al-Qur'an pernyataan jangan berbuat kerusakan di muka bumi itu bernada imperatif (wajib). Maka rasa-rasanya ada yang tidak sinkron apabila orang melakukan sunah menikah dan beranak-pinak tapi melalaikan yang wajib karena sebagai dampaknya, salah satunya, jadi menghasilkan lebih banyak limbah tanpa sanggup bertanggung jawab atas itu. Ingatlah ayat yang pertama-tama diturunkan, Bacalah dengan nama Tuhanmu: apakah layak membesarkan anak dalam lingkungan yang cemar, dengan sumber daya alam yang kian terbatas saja untuk mereka bertahan hidup kelak? Sepertinya, AMDAL diperlukan buka hanya dalam membangun bangunan atau proyek-proyek material semacam itu, melainkan juga dalam membangun rumah tangga! 

Andaikata setiap manusia dapat mengendalikan hawa nafsu, selain tidak harus bersusah payah memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkannya sendiri, pemandangan kemiskinan pun tidak perlu ada, sebab apabila diberikan kelebihan rezeki lebih suka membaginya dengan yang kekurangan ketimbang memperkaya diri. Namun, tampaknya sudah sunatullah kebanyakan manusia ditaklukkan hawa nafsu sehingga pemandangan kerusakan dan kemiskinan itu senantiasa ada. 

Sudah keniscayaan pula bahwa untuk dapat membangun, ada yang perlu dihancurkan terlebih dahulu. Contoh simpelnya, untuk dapat memperoleh kompos, sampah organik perlu diurai terlebih dahulu. Untuk dapat membangun peradaban, alam perlu disingkirkan. Untuk dapat membangun pribadi yang baik, ego perlu dirobohkan. 

Sudah ah sambatannya, mau lanjut belajar bagaimana persisnya manusia harus memajukan diri tanpa berbuat kerusakan di muka bumi. Mungkinkah kemajuan yang semestinya dituju itu lebih dalam hal spiritual daripada material?

Kamis, 19 Desember 2024

Perkenalan dengan Orwell

Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di rumah, saya membacanya, Apa sih ini, mengembalikannya tanpa menamatkannya. Maklum, waktu SMA, jiwa remaja saya masih sarat warna-warni teenlit (sampai sekarang sih). Ketika itu saya baru memulai pembacaan karya sastra yang dianggap "serius", dan baru dapat terkesan oleh puisi-puisi Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.

Masa kuliah saya punya sendiri buku 1984 itu. Berbeda dengan yang saya temukan di perpustakaan SMA, yang kovernya berlatar kemerahan, kali ini berlatar abu-abu dengan gambar close up kepala merah yang bagian lehernya ber-barcode, sepertinya terbitan Bentang. Mungkin maksudnya mau melanjutkan pembacaan waktu SMA, tapi tidak kunjung terlaksana. Waktu itu pun tampaknya buku tersebut terbilang langka, belum ada yang mencetak ulang. Sebab, mengetahui saya punya buku itu, seorang kenalan sangat menginginkannya sampai menawarkan barter segala. Merasa sesungguhnya buku itu berharga, awalnya, saya tidak berkenan melepaskannya. Namun, pada akhir masa kuliah, saya mengalami periode ingin-bermurah-hati, sehingga melepaskan buku itu begitu saja kepada si kenalan, walau sepertinya masih agak kurang rela juga (bagaimana sih???).

Bertahun-tahun kemudian, buku itu kembali hadir di lemari rumah. Kali ini yang kovernya kehijauan, sepertinya adik yang membelinya. 

Seakan-akan, takdir berkali-kali menyorongkan novel ini ke muka saya agar membacanya, tapi sampai waktu menulis ini, saya masih, "Entar dulu ah!"

Ada satu lagi karya Orwell yang telah hadir di rumah, yaitu Animal Farm yang kovernya pink bermuka babi itu. Karena ceritanya menyerupai fabel dan bukunya lebih tipis pula, yang ini tampak lebih ringan daripada yang satunya. Saya sudah membacanya sampai tamat, kira-kira pada 2015 atau 2016, tapi ketika itu saya sedang tidak hendak menulis catatan. Yang bisa saya ingat hanya kesan saya pada buku itu positif: bagus, menggugah, semacam itu.

Gambar dari situs web Kakatua.
Karena karya Orwell akan dibahas di klub buku, barulah saya tergerak lagi untuk mencari. Karya tersebut adalah buku kumpulan esai Mengapa Saya Menulis terbitan Kakatua, 2023. Buku ini dapat dibaca di aplikasi Baca Kakatua. Menurut situs web Kakatua, buku ini memuat sepilihan esai yang diterjemahkan dari judul-judul berikut:

Why I Write
Books v. Cigarettes
Good Bad Books
Confessions of a Book Reviewer
Bookshop Memories
Literature and Totalitarianism
Politics and the English Language
Notes on Nationalism
My Country Right or Left
Shooting an Elephant
How the Poor Die
A Hanging
A Nice Cup o Tea

Esai-esai bagian awal berkenaan dengan kepengarangan Orwell ("Why I Write") beserta ihwal perbukuan yang digulatinya ("Books v. Cigarettes", "Good Bad Books"). Selain menjadi pengarang, Orwell pernah bekerja sebagai peresensi buku ("Confessions of a Book Reviewer") dan pegawai toko buku ("Bookshop Memories"). Karena saya juga pernah suka mengarang fiksi, me-review buku, dan sempat sesekali menjaga toko buku, selain itu lebih banyak berekreasi lewat buku daripada secara fisik yang kemungkinan bakal menghabiskan lebih banyak uang, termasuk pembaca karangan yang kiranya tergolong ke dalam "good bad books", serta meminjamkan buku-buku kepada orang-orang yang entah apakah akan dikembalikan, saya merasa dapat mengaitkan diri dengan yang diungkapkan Orwell dalam esai-esai ini, walaupun tentunya pengalaman saya tak sampai setaraf beliau.

Esai-esai bagian tengah, yaitu "Literature and Totalitarianism", "Politics and the English Language", "Notes on Nationalism", "My Country Right of Left", merambah ke ranah politik, yang tidak begitu saya minati. (Mungkin ini sebabnya saya tidak segera tergerak untuk membaca 1984 :v)

Esai-esai berikutnya, "Shooting an Elephant", "How the Poor Die", serta "A Hanging", menceritakan pengalaman Orwell semasa menjadi polisi imperial di Burma. Hal ini mengingatkan pada Multatuli, pengarang Max Havelaar. Keduanya memiliki beberapa kesamaan: pria kulit putih Eropa, pernah bekerja sebagai pegawai kolonial di kawasan Asia Tenggara dan tidak betah, kemudian pulang ke kampung halaman dan menuliskan pengalamannya itu. Semuanya esai yang menyentuh, kiranya dapat dikatakan sebagai contoh karya creative nonfiction, yang menghidupkan kembali suatu peristiwa nyata dengan detail, dialog, dan sebagainya, hingga memberikan efek kepada pembaca seolah-olah turut menyaksikan atau mengalami. 

Soal yang dikemukakan dalam "How the Poor Die" menimbulkan paling banyak reaksi dalam perbincangan di klub. Sewaktu-waktu kita mesti berurusan dengan rumah sakit, entahkah sebagai pendamping atau pasien itu sendiri. Namun, dalam keadaan yang boleh dikata sedang kurang menguntungkan itu, kita tidak selalu mendapatkan pelayanan yang baik. Tidak semua tenaga kesehatan bekerja dengan hati. Atau, memang sifat dari pekerjaan itu memerlukan atau menjadikan orang keras hati.

Esai penutup, "A Nice Cup of Tea", memberikan petunjuk menyeduh teh yang sedap. Ternyata ada serangkaian langkah untuk mendapatkan efek dan kenikmatan maksimal dari secangkir teh, agar menjadi lebih bijaksana, berani, dan optimistis setelah meminumnya. Yang perlu diperhatikan mulai dari sumber teh, bahan teko, cara memperlakukan teko, kondisi air, sampai perkara mencampurkan susu yang sudah kayak pertentangan bubur ayam diaduk vs kagak kalau di kita mah. Sementara itu yang saya tahu sebagai keturunan Jawa di tanah Sunda hanyalah teh nasgitel vs teh tawar encer. 

Mengenai esai jenis instruksional, selain "A Nice Cup of Tea", "Politics and the English Language" juga mengandung beberapa poin petunjuk praktis menulis. Walaupun klise, petunjuk-petunjuk ini banyak diabaikan sehingga menggusarkan pemerhati bahasa.

Di samping kumpulan esai terpilih ini, aplikasi Baca Kakatua menyediakan buku-buku Orwell lainnya. Buku-buku Orwell juga bisa dibaca di aplikasi Gramedia Digital dan Ipusnas. Di Ipusnas yang gratis itu ada buku-buku Orwell terbitan Diva Press dan Gramedia, tapi terakhir kali saya cek, semuanya lagi dalam antrean dong. Apa Orwell lagi populer?

Beberapa kutipan yang kena:
"It is his job, no doubt, to discipline his temperament and avoid getting stuck at some immature stage, or in some perverse mood: but if he escapes from his early influence altogether, he will have killed his impulse to write." ("Why I Write", 1946)
"After the age of about thirty they abandon individual ambition--in many cases, indeed, they almost abandon the sense of being individuals at all--and live chiefly for others, or are simply smothered under drudgery." ("Why I Write", 1946)
".... 'I don't want short stories', or 'I do not desire little stories' .... they sometimes explain that it is too much fag to get used to a new set of characters with every story, they like to 'get into' a novel which demands no further thought after the first chapter." ("Bookshop Memories", 1936)
"People talk about the horrors of war, but what weapon has a man invented that even approaches in cruelty some of the commoner diseases? 'Natural' death, almost by definition, means something slow, smelly and painful." ("How the Poor Die", 1946)

Senin, 16 Desember 2024

Mati Satu, Muncul Seribu

Setelah Napster mati, penyedia program pertukaran dokumen musik bermunculan. Industri rekaman kewalahan.

GAJAH mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Napster tutup? Penyedia layanan pertukaran dokumen musik ini meninggalkan sekitar 20 juta pengguna. Selama tiga tahun beroperasi, situs yang didirikan Shawn Fawning itu bagaikan surga bagi para penggemar musik. Di situ mereka dengan gampang bisa saling tukar dokumen musik dengan pengakses lainnya. Punya satu bisa mendapat seribu.

Terang, pesta itu membuat para bos industri rekaman di Amerika Serikat berang. Tergabung dalam Recording Industry Association of America (RIAA), mereka lalu menghantamnya dengan tuduhan mematikan: penyebar wabah pelanggaran hak cipta.

Tukar-menukar dokumen musik identik dengan penggandaan. Ini menabrak pasal dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual. Setelah melewati proses hukum yang panjang, pengadilan federal akhirnya melarang Napster beroperasi lagi. Dan sejak akhir Juli lalu, situs kondang itu benar-benar tutup layar.

Selesai? Belum. Tak lama kemudian, bermunculan situs sejenis dengan layanan berbeda-beda. Malah tiga situs paling populer saat ini, Kazaa, Grokster, dan Morpheus, diminati lebih banyak orang. Totalnya sekitar 70 juga pengguna aktif. Ketiga situs itu hampir sama dengan Napster, hanya teknologinya lebih canggih, sehingga secara hukum sulit dijegal. Mereka tak hanya menyediakan layanan tukar-menukar dokumen musik, tapi juga videogame, foto, program aplikasi, dan film layar lebar yang sedang diputar di bioskop. Semua kenikmatan tersebut bisa didapat secara gratis.

Pengurus RIAA, yang mewakili delapan raksasa industri rekaman, pun gerah lagi. Demikian pula asosiasi perfilman Amerika (MPA), yang mewakili 19 studio. Munculnya situs pengganti Napster membuat angka penjualan cakram padat (CD) produk mereka di seluruh dunia anjlok lima persen. Sebaliknya, angka penjualan CD kosong meningkat pesat, bahkan untuk pertama kalinya melampaui CD rekaman. 

Mereka lalu menggugat pemilik ketiga situs tersebut. Tuduhannya sama: pelanggaran hak cipta. "Kami tak punya pilihan," kata Cary Sherman, penasihat hukum RIAA, "Kalau kami tidak menggugat, ribuan situs seperti mereka akan terus muncul dan mengganggu bisnis kami."

Hanya, pengelola ketiga situs itu punya argumen kuat. Mereka mengaku tak punya kontrol apa pun pada pemakaian layanan yang mereka sediakan. Pengelola juga tak mengetahui siapa saja yang menggandakan dan menukar dokumen, entah itu lagu milik Eminem, entah resep masakan kalkun panggang ala Seattle, lewat jaringan mereka. Pemilik situs Kazaa, Grokster, dan Morpheus memang agak sulit disalahkan. Soalnya, cara kerja mereka berbeda dengan Napster. Ketiganya mendesentralisasi sistem server-nya. Mereka hanya menyediakan programnya, sedangkan server-nya berupa komputer milik pengakses yang jumlahnya puluhan juta itu. Dulu Napster gampang disalahkan karena menggunakan server sentral yang bisa melacak dan mengontrol transfer dokumen di antara sesama penggunanya.

Gugatan RIAA pun kedodoran. Dalam memo rahasia yang bocor ke mana-mana, tim pengacara lembaga ini terus terang mengakui bahwa gugatan mereka sebetulnya tak sekuat ketika menghadapi Napster. Karena itu, mereka tak yakin bakal memenangkan gugatan.

Secara teknis, sulit juga menghentikan pertukaran dokumen musik atau film lewat program yang disediakan ketiga situs itu. Kata Niklas Zennstrom, pendiri Kazaa, satu-satunya jalan menghentikan pemakaian layanan situsnya adalah memerintahkan agar semua pengakses mematikan program di komputernya. Ini sesuatu yang mustahil.

Kalaupun semua situs ini ditutup karena perintah pengadilan atau alasan lainnya, belasan situs serupa telah siap menggantikannya. Soalnya, "Situs-situs itu sekadar alar," kata seorang penggemar Kazaa kepada majalah Fortune, "Kalau industri rekaman menutup mereka, saya bisa mencari gantinya di tempat lain." Begitu juga para penggemar lainnya. 

Wicaksono



Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002



Senin, 11 November 2024

Investigasi Pohon-pohon: 100 Puisi tentang Kerusakan Lingkungan Hidup

Gambar dari Tonggak Pustaka.
Penulis : Chairul Anwar
Edisi buku cetak I, September 2009
Edisi buku digital II, November 2022
ISBN : 978-623-91272-2-0 (E-) 978-623-361-000-0
Penerbit : Tonggak Pustaka dan Amongkarta, Yogyakarta

Saya menemukan buku ini di Ipusnas waktu iseng mencari buku puisi terkait alam dan sebagainya, langsung memulai membacanya, seperti membaca buku biasa. (Sampai titik ini, saya berpikiran bahwa membaca puisi sebagaimana yang diajarkan buku-buku teori terlalu memakan waktu, mungkin hanya bisa diterapkan oleh yang mempelajari puisi secara serius, bukan pembaca kasual :-/). 

Banyak puisi dalam buku ini mengulang-ulang celaan terhadap cukong, politikus, siapa-siapa yang terang berperan dalam perusakan hutan, yang demi dolar tidak saja menzalimi aneka ragam flora fauna, tetapi juga suka menzinai "asisten wanita berwajah kemilau". 

Karena kerap terasa bagai sambatan, buku ini mengingatkan pada buku Masuk Surga Karena Memungut Sampah (yang dalam waktu ini masih dibaca). Hanya saja, karena bentuknya puisi ketimbang esai, buku ini relatif lebih lancar dibaca. 

Sebagian puisi diakhiri dengan ketidakberdayaan penulis, kadang pula seperti mengakui bahwa yang diurainya hanya racauan. Contohnya dalam pernyataan-pernyataan berikut.
Rasanya tulisan ini harus menepi deh sebab hanya bikinan orang sedih berlarat-larat (halaman 127, "Kabar Pohon dan Semak-semak Dilumat Api")
Aku hanya pengembara yang kantongnya kosong perut juga keroncongan dan tulis puisi walau tak ada yang baca (halaman 129, "Puisi Iseng Semak-semak Pakis Tak Terbaca")
Sebaiknya kata-kata dalam puisi ini jangan dibiarkan mengalir deras ke hulu. Kesasar kau nanti. Sebab hanya ditulis orang yang hidup sepi sendiri di hilir berteman gerimis (halaman 135, "Pesan Ikan Mujair kepada Jeram")
Agaknya tak penting dilanjutkan keluh peyair yang cuma keturunan anak buaya (halaman 144, "Keluhan Keturunan Buaya")
Setelah banyaknya puisi yang cenderung seragam, jadi timbul gagasan bahwa kuantitas bisa saja diimbangi dengan perluasan atau pendalaman kualitas. 

Misal, dalam isu lingkungan hidup, sesungguhnya bukan cuma cukong/politikus saja yang bisa dipersalahkan, melainkan setiap manusia termasuk orang biasa pun berperan. Individu dapat mengambil tanggung jawab terhadap apa pun yang ia konsumsi, dengan melacak mulai dari bagaimana barang itu diproduksi, didistribusikan, sampai setelah menjadi sampah. Apalagi dalam kaitannya dengan keperempuanan, jenisnya bukan cuma "asisten wanita berwajah kemilau" melulu yang bisa diungkit, sebab dalam urusan belanja kerumahtanggaan yang biasanya dipercayakan kepada perempuan, kaum ini memiliki peran tak kalah penting dalam menentukan timbunan sampah yang berakhir di TPA. 

Selain itu, melihat dari judul-judulnya saja dalam daftar isi yang menyebut beragam spesies (: pinang, angsoka, mahoni, ular sanca, sonokeling, akasia, cocorbebek, burung murai, kuping gajah, kayu ulin, kerbau, lebah, kucing hutan, semut, burung parkit, babi hutan, burung merak, siamang, landak, kumbang, harimau belang, dan banyak lagi), jadi timbul ekspektasi puisi-puisi ini akan memberikan kekayaan wawasan sebagaimana dalam buku Pohon-pohon Sahabat Kita: Sajak Anak-anak. Namun, isinya lagi-lagi tentang cukong dan "asisten wanita wajah kemilau", alih-alih mengeksplorasi lebih jauh atau spesifik mengenai spesies yang disebut pada judul.

Kesan seragam itu mengemuka kiranya karena puisi-puisi ini dibaca secara terusan. Sebetulnya ada saja sepilihan puisi yang kena dalam menggugat kepedulian pembaca agar berempati terhadap makhluk-makhluk selainnya, menempatkan mereka dalam posisi yang sejajar. Puisi dalam buku ini pun mungkin akan lebih seru bila dibacakan keras-keras sebagai pengisi acara lingkungan hidup. 

Berikut salinan utuh satu puisi sebagai contoh.
Air Mata di Pipi Pohon-pohon Pinang

Kini aku pohon-pohon pinang di hutan-hutan yang tak lagi perawan
mustahil bisa menatap sinar matahari menerobos dari daun-daun dan ranting-ranting
Simak setiap bunyi yang keluar dari siul burung-burung tentang kedamaian
Dari azan subuh berkumandang hingga isya menyapa yang tersisa hanya udara kering
Doa-doa untuk kebahagiaan terjepit di geladak kapal mengangkut kayu gelondongan
Orang-orang yang senantiasa mengisi hidupnya degan mulut madu kebohongan

Engkau tidak seksama melihat pohon meranti meneteskan air mata
Pernahkah engkau punya niat menghapus air mata di pipi pohon keruing?
Apakah engkau pernah membandingkan air mata bahagia keluargamu bergelimang harta
dengan air mata pohon-pohon pinang di hutan yang terluka parah karena hangus?
Banyak yang kita tidak tahu apa yang dirasakan tanaman di hutan dan binatang melata
Tetapi engkau juga tidak tahu apa yang engkau dan keluargamu rasakan itu semacam rakus
Sadar atau tidak, kalau berbulan-bulan kayu gelondongan diseret liar ke mana-mana
Selama itu pula orang-orang telah melukai tubuhnya dan sungai meminum darahnya
Tetapi pernahkah terpikir olehmu suatu ketika mereka meminta engkau tetap jadi tikus?
Tidak, tidak sama sekali, katamu dengan tubuh terguncang dan mulut terbata-bata
Tetapi tetap saja engkau riang gembira meminum darahnya tak putus dirundung haus

Engkau senang membawa ke mana-mana kepala kosong lantaran enggan merenung
betapa berharga darah dan nyawa, meskipun itu hanya sebatang pohon dan seekor capung
Kebahagiaanmu, kebahagiaan keluargamu, kolegamu adalah kolaborasi membagi untung
tinggal menyisakan korban diiringi penyesalan, apa guna untung jika kepala buntung?

Yogyakarta, 18 Juli 2014

(halaman 11-12)
Kutipan favorit:
Kesendirian adalah jalan terbaik yang harus ditempuh agar kau luruh
bersemayam dalam sepi berkerumun sunyi agar jiwamu mudah tersentuh
menyaksikan harimau belang berlarian dikepung lidah api tubuh melepuh
(halaman 149, "Harimau Belang dan Beruang Madu")

Selasa, 27 Agustus 2024

Arie Hanggara di Ipusnas

Lagi membaca Tempo No. 22/XXXI/28 (atau 29?) Juli – 4 Agustus 2002, di halaman 20 menemukan kolom “ARSIP” dengan kover Tempo tempo doeloe yang mengangkat kasus Arie Hanggara. Tak ingat mula-mula tahu tentang Arie Hanggara dari mana, dulu pernah sempat menonton filmnya di YouTube tapi tidak meneruskan, mungkin karena keburu meneteskan air mata :’{ Film ini menampilkan Dedi Mizwar sebagai ayah Arie Hanggara, ketika itu usianya mungkin baru sekitar 30-an tahun, sedang saya baru “mengenal”-nya (tidak secara personal, hanya melalui televisi) setelah menjadi Pak Haji di Lorong Waktu dan membintangi iklan obat sakit mag.

Klik gambar agar huruf terbaca jelas.
Tempo edisi Arie Hanggara diangkat dalam Tempo edisi 28/29 Juli – 4 Agustus 2002 sepertinya untuk meramaikan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli. Dalam Tempo edisi akhir Juli 2002 ini pula terdapat selingan yang menyoroti eksploitasi anak, baik di masyarakat bawah maupun di dunia hiburan.

Di Ipusnas ada dua “buku” mengenai Arie Hanggara, tepatnya dua  kumpulan artikel Tempo (disusun oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, diterbitkan oleh TEMPO Publishing), masing-masing berjudul Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan terhadap Anak dan Kisah Arie Hanggara yang Terkapar di Tangan Machtino. Buku pertama terbit 2019 total 111 halaman, sedang buku kedua 2023 60 halaman. Setelah dicek, rupanya buku kedua hanya menerbitkan ulang sebagian artikel yang ada di buku pertama. Sudah begitu, halaman yang terisi dalam buku kedua itu cuma sampai nomor 40 dan selebihnya kosong.

Gambar screenshot
dari Ipusnas.
Catatan ini meringkas artikel-artikel dalam kedua buku tersebut, disertai komentar kalau ada.

Tewas di Tangan Ayah Kandung (17 November 1984)

Artikel ini menyampaikan secara detail bagaimana Arie Hanggara didisiplinkan oleh orang tuanya, yaitu ayah kandungnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi. Arie dihajar dengan tangan dan gagang sapu, ditempeleng, diguyur air, diacung-acungi pisau. Kepalanya dibenturkan ke tembok. Sampai akhirnya Arie meninggal dunia. Jasadnya yang penuh memar dicurigai pihak rumah sakit, sehingga polisi dihubungi.

Kasus ini dilatari permasalahan rumah tangga Machtino-Santi. Konon Santi yang galak sebab harus membiayai Machtino yang mengganggur beserta ketiga anaknya. Machtino sendiri katanya cukup sabar, penyayang dan pengalah.

Pemicu dihajarnya Arie sampai tewas adalah karena ditemukannya uang yang cukup besar pada waktu itu (8000 atau 8500) dalam tas anak tersebut. Arie mengatakan bahwa uang itu dicurinya dari anak SMA di yayasan tempatnya bersekolah. Namun, setelah pihak sekolah memeriksanya, tidak ada yang mengaku kehilangan uang.

Ketika berita ini diturunkan, Arie baru dimakamkan sekitar seminggu sebelumnya yaitu 9 November setelah pada 8 November dini hari diantarkan ke rumah sakit.

Yang Terkapar di Tangan Machtino (24 November 1984)

Membayangkan beban ekonomi keluarga Arie, saya berpikiran wajar kalau Santi menderita stres. Machtino pun bukannya lelaki dengan penampilan dan kepribadian yang sama sekali buruk, ia punya beberapa kualitas. Namun, kenyataannya, yang dipentingkan dari laki-laki terutama adalah kemampuan untuk menghasilkan secara mapan. Laki-laki tidak bisa sekadar menjadi bapak rumah tangga yang baik, tetapi mungkin stres dari mencari kerja/tidak memberikan nafkah, apalagi dengan beberapa anak, dapat memengaruhi caranya mendidik. Sama halnya dengan perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, apabila suaminya kurang berpenghasilan sementara ia pun belum dapat menunjang ekonominya sendiri, mungkin mengalami stres hingga  melampiaskan kepada anak-anaknya (bahkan ada yang pernah sampai membunuh).

Membuka video-video tentang Arie Hanggara di YouTube dan membacai komentar-komentarnya, ada yang mengatakan bahwa ia menjadi “masokis” sebab sebagai anak tengah sebetulnya sedang mencari perhatian orang tuanya. Orang tuanya sendiri “kreatif” dalam menghukum Arie, bukan cuma secara fisik, melainkan juga psikis misalkan dengan menulis kalimat yang sama berulang-ulang. Ada pula yang berkomentar bahwa pemberitaan Arie Hanggara sempat efektif menyadarkan orang tua pada masa itu agar tidak terlalu keras kepada anaknya. Walaupun pedih, ada hikmahnya. (Walaupun, sekitar empat puluh tahun sejak kasus ini terjadi yaitu sekarang ini, masih ada saja kasus penganiayaan/pembunuhan anak?)

Benarkah Kita Tidak Kejam? (1 Desember 1984)

Kasus Arie Hanggara hanyalah gunung es dari banyaknya kasus kejahatan orang tua kepada anak. Memang tidak persis sama, tapi tak kalah keji. Ada anak-anak perempuan yang dicabuli ayah kandungnya sendiri—apalagi ayah tiri—sampai hamil. Ada anak-anak lelaki yang mencari perhatian, tapi malah dihukum dengan kekerasan fisik sehingga lari dan menjadi pencuri untuk bertahan hidup sampai menjadi tahanan. Ada pula yang setelah dewasa menjadi kriminal.

Ini 40 tahun lalu, sudah ada istilah “child abuse” dan akibat dari kasus Arie Hanggara adalah diangkatnya perhatian pada pendidikan anak, serta “warisan” atau istilahnya sekarang mungkin “generational trauma”, yakni orang tua memperlakukan anaknya sedemikian karena sekadar meneruskan perlakuan orang tuanya sendiri terhadap dirinya. Menurut Singgih Gunarsa (guru besar Fakultas Psikologi UI yang bersama istrinya pada tahun ’80-an menerbitkan serangkaian buku psikologi anak, remaja, dan keluarga), orang tua yang menghukum untuk mendidik (tidak menyakiti) itu cuma 5%. Selebihnya yang 95% itu memukul anak karena tidak pandai mengendalikan emosi. Maka fenomena ini umum sekali … sampai sekarang. Malah sekarang tampak kian kompleks saja, dengan munculnya fenomena childfree juga marriage is scary, saking takutnya mewariskan luka batin pengasuhan orang tua kepada generasi selanjutnya serta saling menyakiti dengan pasangan akibat luka-luka itu.

Menariknya, para ayah yang disorot dalam artikel ini pada pensiunan polisi/tentara. Ada juga yang tahanan politik.

Artikel ini menyebut judul artikel lain yang sepertinya terkait, “Tidak Hanya di Sini”, tapi sayang tidak disertakan ke dalam buku ini, apa karena tidak secara langsung berhubungan dengan Arie Hanggara? Dari judulnya jangan-jangan mengangkat tentang kasus kejahatan kepada anak di negara-negara lain?

Petaka Usia Tujuh Tahun (1 Desember 1984)

Artikel ini tampak mencoba memahami sudut pandang Machtino, ayah Arie Hanggara, dengan menelusuri sebab-sebabnya sampai tega menghabisi nyawa anaknya. Ketika kurang lebih seusia dengan Arie, pada usia 7 tahun, ia sendiri mengalami “petaka”, berupa perceraian orang tuanya. Ayah Machtino anggota DPR/MPR yang memulai kehidupannya dari bawah sekali, dan mendidik anak-anaknya dengan hukuman disiplin. Disiplin ayahnya ini hendak ditiru Machtino.

Adapun mantan istri Machtino alias ibu kandung Arie Hanggara, yaitu Dahlia, adalah anak mayor. Walau keduanya anak orang punya jabatan, mereka sama-sama memiliki banyak saudara dan itu juga tidak menjamin kemulusan dalam pendidikan dan pekerjaan. Baik Machtino maupun Dahlia sama-sama tidak menyelesaikan pendidikan. Machtino pun sulit mempertahankan pekerjaan.

Memang kasus kejahatan orang tua kepada anak tidak hanya dipengaruhi oleh masalah emosi orang tua tetapi juga keadaan ekonominya. Namun, melihat latar belakang Machtino dan Dahlia yang sepertinya bukan bawah amat, tampak kedudukan orang tua tidak menjamin kesuksesan anak.

Setelah Arie, Siapa Lagi (15 Desember 1984)

Artikel ini mengangkat kasus-kasus pembunuhan anak akibat penganiayaan orang tua yang rupanya terjadi tidak hanya kepada Arie di Jakarta, tetapi juga di tempat-tempat lain di Indonesia seperti Tangerang dan Jayapura. Yayasan Perguruan Cikini (tempat Arie dan ayahnya sama-sama pernah bersekolah) menanggapi kasus Arie dengan mengadakan seminar yang dihadiri ratusan peserta. Dalam diskusi ini, dibicarakan mengenai hubungan orang tua-anak, bagaimana orang tua tidak mau mendengarkan anak, dan bagaimana peran anak dalam keluarga yang cenderung dianggap sebagai pelampiasan, perpanjangan cita-cita orang tua, serta sarana produksi (membantu pekerjaan orang tua untuk menambah pendapatan). Padahal anak punya hak-hak tersendiri, tapi masih rancu juga batasan usia yang disebut sebagai anak itu; ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada juga yang 18 malah 21, selama belum kawin.

Mengetahui banyaknya kekerasan terhadap anak-anak, dalam hal ini anak-anak Generasi X (tahun ’80-an) yang sekarang pun sudah memiliki anak-anak yang disebut sebagai Generasi Z, jadi bertanya-tanya, apakah generasi muda dewasa ini acap disebut-sebut “lembek” karena orang tuanya yang segenerasi dengan Arie Hanggara itu tidak hendak mengulangi cara orang tua mereka yang dianggap terlalu keras? Arie telah menjadi martir bagi anak-anak Generasi X Indonesia, dan mereka paham tidak ada anak yang minta dilahirkan, sehingga berusaha memberikan kehidupan yang sebaik mungkin bagi anak mereka sendiri, Generasi Z, walaupun jadinya dianggap terlalu memanjakan …. 

Arie, Sebuah Simbol (12 Januari 1985)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) ketika itu, Nugroho Notosusanto, punya ide membuat patung Arie Hanggara sebagai simbol ketiadaan kasih sayang orang tua. Rencananya, patung ini akan ditaruh di depan museum pendidikan Dep. P & K. Maka ditugaskanlah seorang dosen patung ISI Yogyakarta untuk mengerjakannya. Namun timbul kontroversi. Patung itu dirasa menyinggung keluarga Arie, seperti hendak menghukum mereka tujuh turunan. Arie mungkin cuma model, tetapi bagi keluarganya tetap ada kesan personal.

Gambar screenshot
dari Ipusnas.

Siapa Bertanggung Jawab Bila …. (26 Januari 1985)

Bukankah sikap dan perilaku seseorang terbentuk dalam rumah tangga dan lingkungan tempat ia dibesarkan. Mungkin orang tua yang suka memukul anak-anaknya dulu dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang membuat mereka mudah bersikap kasar.” (halaman 75)

Artikel ini menyorot persidangan Machtino-Santi, yang penontonnya membeludak melebihi kapasitas ruangan, terutama oleh ibu-ibu dan anak sekolah. Masyarakat mudah menghujat, apalagi kalau sudah sampai jadi berita. Tapi, Tempo tidak berhenti di sana, terus mengusut sebab-sebab terjadinya kasus demikian, sampai menelisik latar belakang/masa lalu para pelaku menurut psikologi.

Pasangan model Machtino-Santi agaknya kian jamak sekarang ini: lelaki friendly tapi kurang pekerja keras bertemu wanita mandiri tapi kurang kasih sayang orang tua. Machtino sendiri memiliki ayah yang sangat sukses dan sudah berdikari sejak usia belia. Namun efek kesuksesan ayahnya padanya hanyalah sebagai angan-angan, sulit diteladani oleh dirinya. Kesuksesan sang ayah itu pula agaknya membuat terlalu sibuk, sehingga pertemuan mereka kurang berkualitas untuk membina karakter.

Simbol Itu Dibatalkan (26 Januari 1985)

Kembali menyoal patung Arie Hanggara, gagasan Menteri P & K dibatalkan sebab menuai protes masyarakat. Beliau berjiwa besar dengan menerima protes itu. Tapi pematungnya ternyata bikin patung lain yang semiabstrak. Kalau menteri setuju, patung itu yang akan diberikan kepada Dep. P & K. Ada pula yang mengusulkan di Kompas: kalau ingin bikin monumen peringatan anak, mending modelnya anak-anak pekerja di jalanan, sebab itu “masalah kita semua, lebih dari kasus Arie”.

Bila Rumah Bukan Lagi Tempat …. (26 Januari 1985)

Artikel ini mengumpulkan kasus anak dari berbagai kalangan: ada yang kecanduan narkotika, ada yang berbuat kriminal, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Rupanya ini karena ada beda persepsi antara orang tua, guru, dan anak. Orang tua dan/atau guru cenderung memaksakan kehendak sendiri, tidak membuka dialog dengan anak. Kalau orang tua kurang berperhatian, terlalu mengekang, atau terlalu keras, lalu anak memberontak, itu tampak wajar. Ada juga yang di rumah tak ada masalah, orang tuanya tanggap, tapi di sekolah si anak bikin masalah melulu karena berkonflik dengan guru.

Pelajaran untuk Orang Tua (13 April 1985)

Isinya berita tentang pernikahan resmi Machtino-Santi, serta Dahlia mengambil kembali saudara-saudara Arie yang padahal sudah diserahkannya kepada Machtino.

Simpulan:

Masalah emosi dan ekonomi orang tua dapat memengaruhi kesejahteraan anak. Tapi, walaupun keadaan ekonomi orang tua baik-baik saja, bahkan termasuk golongan berkedudukan, kalau kesibukan dari aktivitas ekonomi dan kedudukannya itu sampai berakibat pada kurangnya perhatian, tetap saja tidak menguntungkan anak. Mau begini atau begitu, sama-sama berpotensi menimbulkan masalah.

Sekalipun orang tua sudah berusaha membesarkan anaknya dengan baik, masalah tetap bisa datang dari luar (guru, teman-teman, lingkungan pergaulan, elite kapitalis global, dan seterusnya). 

Mungkin memang ada pihak-pihak yang bersalah dan harus berikhtiar untuk memperbaiki segala sesuatunya, tapi ujungnya adalah soal qada dan kadar, bahwa memang dunia ini tempatnya cobaan/ujian dan manusia tempatnya salah/dosa. Terima bahwa begitulah hidup: masalahnya tiada akhir.

Kedua buku ini mengandung banyak tipo dan ada detail yang membingungkan (sekolah penerbangan yang sempat diikuti Machtino itu di Curug atau Belgia?)

Senin, 08 Juli 2024

Dari Dapur untuk Dunia

Gambar dari Instagram
LawangBuku.
Penulis : Luthfia Hastiani Muharram, Wulan Pertiwi, Muhammad Fauzi, Muhammad Kahfi N. F., Komme Edcadian Siringoringo, Nisa Ihsani, Nelis Hernahadini, Siti Saodah, Irma Vitriani Susanti, Astrid Prasetya, Annisa Joviani Astari, Mesa Dewi Puspita, Gun Gun Saptari Hidayat, Indriyani Rachman

Penerbit : CV. Penerbit Eja, Makassar

Cetakan pertama : Mei 2024

Tebal : vi + 127 halaman

Ukuran : 14,8 cm x 21 cm

ISBN : 978-623-88962-3-3

Buku ini terdiri dari enam bagian.

Bagian pertama, "Mengapa Harus Mengolah Sampah Organik?", seperti ditunjukkan pada judul utamanya, berisi pengenalan terhadap sampah organik, fakta terkini, kaitannya dengan pemanasan global, dampaknya, mekanisme dekomposisi bahan organik, serta manajemennya yang dimulai dari dapur. Kalau dalam skripsi, bagian ini seperti Bab 1 dan Bab 2 yang memaparkan latar belakang permasalahan, batasan, tujuan, hingga landasan teori penuh dengan istilah-istilah sains dan rujukan ke banyak terbitan ilmiah lain. 

Loncat sejenak ke bagian belakang buku, yaitu halaman biografi penulis (tidak semuanya ditampilkan), beberapa merupakan dosen Program Studi Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Bandung, yang adalah perguruan tinggi berbasis organisasi Islam. Maka tidak heran pemaparan ilmiah tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran mengenai tanggung jawab manusia sebagai khalifah termasuk dalam mengelola hasil buangannya sendiri (Al-Baqarah: 30, Asy-Syura: 30, Ar-Rum: 41). Malah ada ayat-ayat "kompos" yang menyiratkan tentang daur organik yaitu Al-An'am: 95 dan Ali Imran: 27. 

Lebih jauh lagi, Muhammad Fauzi, dalam membuka tulisannya, "MANAJEMEN SAMPAH ORGANIK DIMULAI DARI DAPUR", mengajukan pertanyaan yang menyentil: "Boleh gak kalau sampah yang kita hasilkan sehari-hari diibaratkan persis tumpukan dosa?" Ini persis dengan yang kadang-kadang terpikirkan oleh saya: bagaimana kalau hisab di akhirat kelak bukan hanya soal dari mana kita memperoleh rezeki dan bagaimana kita memanfaatkannya, melainkan juga bagaimana kita memperlakukan sisa-sisa dari rezeki itu? Bagaimana kalau hisab meliputi juga setiap sampah yang kita hasilkan? Kalau tidak memanfaatkannya secara optimal sampai habis tak bersisa, apakah kita sudah membuangnya secara bertanggung jawab? Malah surah Ar-Rum: 41 tampak menunjukkan bahwa apabila bukan untuk dihisab nanti, maka akibatnya dapat ditimpakan sekarang juga semasa masih hidup di dunia: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Di media dapat kita temukan banyak contoh kerusakan itu telah menimpa sebagian manusia.

Bagian kedua, "Teknik Mengompos di Rumah", memaparkan prinsip serta aneka teknik mengompos. 

Prinsip agar pengomposan berhasil ada tiga, yaitu: 

1. Keseimbangan unsur C dan N, yang dapat diartikan sebagai unsur cokelat/sampah kering dan unsur hijau/sampah basah. Unsur cokelat dapat berupa daun kering, kertas, dan dus. Unsur hijau adalah yang dapat membusuk dan berair seperti sisa makanan, potongan tumbuhan, dan sebagainya. Rasionya 5:3.

2. Kelembapan dan kehadiran oksigen, yang berarti kondisinya tidak boleh terlalu kering ataupun basah, mesti ada cukup oksigen bagi mikroorganisme aerob (KBBI: makhluk yang dapat hidup hanya apabila tersedia oksigen bebas). Karena itulah pengadukan kompos secara berkala dianjurkan supaya terjadi aerasi (KBBI: penambahan oksigen ke dalam air dengan memancarkan air atau melewatkan gelembung udara ke dalam air), sehingga mikroorganisme aerob mendapatkan oksigen yang dibutuhkannya.

3. Kehadiran bioaktivator, yaitu sekumpulan mikroorganisme yang sengaja ditambahkan dalam pengomposan untuk mempercepat prosesnya. Bioaktivator dapat dibuat sendiri misalnya dengan melakukan fermentasi gula, bisa juga dibeli dalam bentuk EM4 (yang botolnya kuning). Penambahan tanah gembur, kompos matang, atau pupuk organik lainnya juga dapat berfungsi sebagai bioaktivator.

Teknik mengompos ada bermacam-macam, bergantung pada kondisi lingkungan yang ada. Yang ditunjukkan dalam buku ini mulai dari yang paling simpel sampai yang tampak rumit (memerlukan keahlian tertentu atau banyak tenaga dan tempat), yaitu:
- Kantong kompos (compost bag)
- Keranjang (Takakura atau Octaco*)
- Ember yang ditumpuk*, galon yang dilubangi, bisa juga ember yang dipadukan dengan karung (Kang Empos*)
- Membuat gundukan (metode Windrow)
- Biodigester biomethagreen*
- Lubang resapan biopori, sumur resapan, dan kolam sumur resapan air*

(Yang saya beri tanda bintang adalah yang diperincikan dalam bab tersendiri di buku ini.)

Bagian selanjutnya, "Mengenal Agen Hayati Pemroses Sampah Organik", kembali pada penjelasan sains, khususnya mengenalkan pada makhluk hidup yang berperan dalam pengomposan, di antaranya mikroba dan magot Black Soldier Fly (selanjutnya BSF). 

Mengenai mikroba, namanya juga mikroba, sayang sekali saya tidak bisa melihatnya kecuali dengan menggunakan mikroskop, sehingga, sebagaimana terhadap makhluk gaib, saya hanya bisa meyakini bahwa mereka sungguh ada dan berjasa dalam mengolah sampah kami sampai serenik-reniknya. Mikroba yang disebutkan dalam bab ini yaitu bakteri dan fungi. Kehadirannya dipengaruhi oleh kelembapan yang mesti 40-60%. Kalau terlalu rendah, pertumbuhannya terhambat; kalau terlalu tinggi, yang terjadi adalah proses anaerob sehingga menimbulkan bau dan bisa beracun. Bab yang disertai daftar rujukan ilmiah ini menyimpulkan bahwa EM komersial yang katanya mengandung 4 jenis mikroorganisme itu ternyata tidak efektif meningkatkan kecepatan pengomposan. Lebih efektif kompos matang (usia tiga bulan dari sisa makanan dan daun kering) walaupun tidak terlalu tinggi (halaman 62-63).

Mengenai magot BSF, buku ini memberi saya keterangan akan siklus hidup hewan yang kadang saya temukan di compost bag dan sekitarnya. Kalau di dalam compost bag, biasanya yang berwarna terang. Menurut buku ini, itu larva dewasa berusia 0 - 18/21 hari dan berwarna putih kecokelatan. Di sekitar compost bag, mereka biasanya berkumpul di bawah ban mobil di carport dan terserak sampai masuk ke dalam ruangan garasi, warnanya hitam. Itu rupanya magot dalam fase prepupa sampai pupa, mulai hari ke-18/21, tidak makan, memanjat dari media mencari tempat kering, lalu diam selama 7 hari - 1 bulan sampai menetas. 

Gambar dari situs Better Origin.

Tampak BSF ini berbeda alias bentuk tubuhnya memanjang dibandingkan dengan lalat rumah biasa yang membulat apalagi lalat hijau gede-gede. Dalam buku ini diterangkan bahwa BSF menyukai tempat yang bersih dan tidak akan menghinggapi sampah yang sudah dirubungi lalat hijau yang identik dengan pembawa bibit penyakit. Larva BSF juga menghasilkan antiobiotik yang dapat menekan Salmonella sp. dan E. coli (halaman 73). Ujungnya dikatakan bahwa BSF dan compost bag memang saling mendukung dan melengkapi, sebagaimana yang saya temui sendiri di halaman rumah.

Bagian berikutnya, "Bagaimana Menangani Macam-macam Limbah?", menyimpang dulu ke jenis limbah yang lain. Walau judulnya "Macam-macam Limbah", dalam bagian ini hanya ada satu bab yang mengkhususkan pada minyak jelantah (selanjutnya mijel). Bab ini mencakup uraian mengenai bahaya membuang mijel sembarangan serta beberapa cara mengolahnya yaitu dengan membuatnya jadi sabun, lilin aromaterapi, hingga bahan bakar alternatif. 

Untuk mijel, saya belum dapat mengolahnya sendiri. Bertahun-tahun ini saya hanya mengumpulkan di botol-botol bekas dan pernah sekali "menjual" ke bank sampah dengan perolehan lumayan (harganya lebih tinggi daripada jenis sampah lain). Saya penasaran untuk setidaknya coba membeli hasil olahan orang lain sebagai contoh, tapi sampai waktu menulis ini belum terlaksana.

Bagian kelima, "Pembelajar dan Pejuang Sampah Organik", berisi pengalaman atau testimoni alumni Pelatihan Mengolah Sampah Organik yang diselenggarakan secara daring oleh Program Studi Bioteknologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Muhammadiyah Bandung sejak 2019 dan telah mencapai empat gelombang. Ada tiga bab dalam bagian ini, yang berarti ada tiga cerita; semuanya ditulis oleh ibu-ibu. Peserta pelatihan ini diberikan compost bag, sehingga cerita mereka mengenai pengalaman menggunakan barang tersebut. Yang saya herankan, pelatihan ini sudah dari 2019, buku ini terbit 2024, tapi dalam cerita para ibu tersebut tampaknya mereka belum begitu lama menggunakannya karena pada baru menunggu panen pertama.

Membongkar isi compost bag 200 L yang sudah
mau matang untuk dipindahkan ke compost bag
berukuran lebih kecil untuk penyimpanan 
(supaya lebih mudah mengambilnya).
Karena itu, saya terpantik untuk melengkapinya dengan berbagi pengalaman sendiri yang sudah bertahun-tahun menggunakan compost bag, tepatnya dari sekitar 2019 atau 2020, pokoknya sejak produk ini muncul di pasaran yang seiring dengan masa pandemi COVID-19. Sebelumnya saya mencoba pakai ember pecah dan karung, tapi hasilnya tidak meyakinkan. Memang saya tidak telaten dalam mencacah sampah, memperhatikan pelapisannya, jangankan mengaduk-aduknya :p Setelah sampah terkumpul dalam wadah-wadah itu dan binatang pada bermunculan, saya tinggalkan saja wkwkwk. Baru setelah pakai compost bag, "ajaib"!, kompos bisa matang sampai berbentuk remah-remah hitam padahal saya masih tak telaten. Dari yang tadinya satu compost bag ukuran 80 L, bertambah satu demi satu atau lebih sekaligus, sampai sekarang ada 4 compost bag 80 L di balkon untuk penyimpanan media tanam dan kompos yang sudah dikeringkan, dan di halaman ada 7 compost bag 200 L untuk pemrosesan (tapi sudah ada 1-2 yang jadi penyimpanan), 4 compost bag 80 L untuk penyimpanan, dan tambahan 3 ember ukuran sedang dengan tutupnya untuk penyimpanan juga--total ada 15 compost bag

Hasil olahan dari dokumen kerja Papa yang
sebagian sudah jadi sarang rayap. Mungkin
karena banyak kertas, hasilnya tampak 
kecokelatan dan padat.
Kalau boleh saya bilang, compost bag adalah cara mengompos paling malas Anti Ribet No Ribet Club. Murah dibandingkan dengan komposter plastik yang sepenuhnya tertutup. Mudah dibandingkan dengan apabila harus terlebih dahulu melubangi ember atau memotong-motong kardus untuk bikin keranjang Octaco. Dengan ini pula, kita bisa terapkan no rule composting. Segala sampah yang kira-kira terurai saya masukkan saja ke dalamnya, termasuk sisa daging dan tulang juga jenis sampah kering seperti dus kemasan yang ternyata mungkin saja mengandung plastik, besi, dan semacamnya, yang pada akhirnya tidak terurai--gampang, nanti kalau komposnya sudah jadi tinggal dibuang. Tanpa dipotong kecil-kecil, tanpa diaduk. Hanya sesekali disiram campuran air bekas cucian beras dan limbah cair lainnya (misal sisa minuman, kuah sayuran, dan sebagainya yang mungkin mengandung gula), yang disimpan dalam botol tertutup (sisanya untuk disiramkan ke tanaman).

Ada yang suka mi merah jambu?
Saya sepakat dengan kata Ibu Irma Vitriani Susanti dalam "IBADAH MENGELOLA SAMPAH", di halaman 92, "Jangan sampai saya stress gara-gara urusan potong-potong sampah", atau kalau boleh saya bahasakan sendiri, "Jangan sampai enggak jadi jalan hanya karena merasa ribet". Make it as simple as possible! and nature will do the rest. Saya biarkan alam yang bekerja selebihnya. Saya biarkan hewan-hewan berdatangan mencari makan di sana: belatung, bekicot, cacing, kaki seribu, kecoak, kelabang, kutu, siput, ulat .... Padahal dulunya saya bisa sampai menjerit-jerit bila bertemu hewan-hewan itu, tapi sekarang biasa saja, ya, enggak sampai sengaja pegang-pegang juga sih, dan saya masih mengenakan "APD" ketika melakukan pekerjaan terkait pengomposan (minimal sarung tangan, masker, dan celana panjang, kadang-kadang sepatu bot). Saya anggap mereka sebagai "rekan kerja" yang mau tidak mau saya hadapi untuk mencapai tujuan dari suatu misi penting. Saya berusaha untuk menghargai mereka sebagai sesama ciptaan Tuhan, yang bekerja bersama-sama untuk memelihara lingkungan. Makanya kadang saya sedih kalau enggak sengaja menginjak bekicot atau menjemur cacing yang ternyata masih ada dalam kompos. 

Alhamdulillah keluarga saya pun mendukung. Di ujung dapur disediakan wadah penampungan sementara (satu untuk sampah basah seperti sisa makanan dsb, satu untuk yang kering seperti potongan kertas dll), yang bila sudah penuh saya kosongkan ke compost bag. Ayah saya yang bagiannya mengurus halaman pun mengumpulkan sampahnya di karung-karung sehingga saya tinggal memasukkannya ke compost bag. Dengan begini, ada sinergi antara saya, keluarga, dan alam semesta.

Memang penggunaan compost bag ini dimungkinkan karena sejumlah kondisi. Pertama, ada halaman. Compost bag saya tempatkan di halaman sebelah belakang, di area yang beralaskan kerikil sehingga kalau-kalau ada cairan yang merembes bisa meresap ke bawahnya. Area itu juga cukup ternaungi oleh tajuk pohon dan atap gazebo sehingga lumayan teduh. Kedua, halaman tersebut cukup menyuplai daun kering sebagai unsur cokelat. Kalau tidak, perlu mencarinya sendiri sampai ke pinggir jalan atau taman umum. Ketiga, ada jarak antara area pengomposan dan rumah, sehingga hewan-hewan dari compost bag tidak sampai merayap ke dalam. Sebetulnya, kadang ada kaki seribu, siput, bahkan ulat, yang entah bagaimana tahu-tahu nongol di dalam rumah. Tapi kadang kelelawar juga menumpang makan di dalam rumah, bertengger terbalik di lampu ruang-ruang terbuka yang kosong. So, it's fine. Yang kecil-kecil bisa disapu untuk dikembalikan ke halaman. Seandainya tidak punya halaman sama sekali, sepertinya saya akan memilih komposter yang sepenuhnya tertutup.

Walau demikian, ada juga kekurangan dari compost bag yaitu sebagai berikut.
 
- Konsekuensinya, munculnya hewan-hewan yang tidak semua orang bisa toleran sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas. Malah bisa saja compost bag yang sudah lama didiamkan untuk menunggu isinya matang dijadikan sarang penyimpanan telur oleh bangsa semut bahkan kecoak.

- Bila sudah terisi banyak dan berat, adakalanya compost bag tumbang sehingga saya memerlukan bantuan tenaga untuk menegakkannya kembali dan selain itu penahan yang cukup tinggi dan berat supaya tidak jatuh lagi; untuk ini, saya menggunakan dekorasi taman yang sudah tidak terpakai dari bahan entah apa namanya (batu? beton? semen? ada yang sudah berlumut). Ternyata dalam buku ini disebutkan bahwa pengisian compost bag jangan sampai penuh, tapi disisakan sepertiganya. Mungkin itu karena kalau kepenuhan bakal ambruk kali, ya? 🤔

- Ritsletingnya gampang rusak. Malah ada satu compost bag yang baru banget saya beli sudah rusak lagi ritsletingnya. Sebagai pengganti ritsleting, saya menggunakan tiga peniti besar untuk mengaitkan penutup kemudian bagian atasnya dilapisi dengan lembaran plastik/karung yang cukup besar, ditimpa lagi dengan benda cukup berat (misalnya sapu rusak atau patahan dahan). Cara ini sekalian dapat melindungi compost bag dari hujan. Ada beberapa compost bag yang awet ritsletingnya, saya duga itu yang dibeli sudah lama dengan harga masih lebih mahal. Tiap kali membeli lagi, saya cenderung mencari yang semurah-murahnya tanpa melihat tokonya. Walaupun penampakannya sama-sama bertulisan Easy Grow, bahannya juga sama, jangan-jangan ada perbedaan atau penurunan kualitas. Tapi compost bag yang ritsletingnya sudah rusak ini hanya yang 200 L, mungkin karena yang sering dibuka-tutup untuk memasukkan sampah organik sehari-hari; yang 80 L karena berfungsi sebagai penyimpanan, dibukanya sesekali saja bila perlu mengambil kompos untuk dikeringkan atau menanam di halaman/memupuk tanaman.

- Mudah berlubang. Ada yang bolongnya kecil-kecil di dasar. Ada juga yang di pinggir dan di atas, dilihat dari tepi lubang yang tidak rata sih (plus tahi yang berceceran) sepertinya karena gigitan tikus. 

- Ada beberapa compost bag yang bagian dalamnya sudah mengelupas, sepertinya yang sudah lama. 

- Ada yang jahitannya sudah lepas di bagian pintu bawah dan area ritsleting.

- Perekat Velcro mudah lepas sehingga daripada membuka-tutup pintu bawah, saya memilih untuk menunggu sampai isi compost bag sudah kelihatan matang (paling tidak, kalau bagian atasnya sudah kelihatan matang, bagian bawahnya lebih-lebih lagi) baru mengeluarkannya sesekop-sesekop dari atas dan selebihnya dikosongkan dengan cara dijungkir-balikkan. Walaupun, ketika dijungkir-balikkan begitu, perekatnya mungkin lepas dengan sendirinya sih. Sebelum compost bag dipakai lagi, biasanya perekatnya saya sikat dulu untuk menyingkirkan kotoran yang menempel, tapi tetap dapat terlepas setelah diisi, ketika isinya itu dipadat-padatkan dari atas :v

Sementara compost bag-compost bag yang rusak atau bolong ini masih memadai untuk menampung sampah. Belum ada yang sama sekali sudah tidak bisa dipakai sehingga harus dibuang atau apa. 

Kompos yang sudah dikeringkan dan diayak
supaya bersih untuk keperluan menanam di
balkon atau dibagikan ke teman-teman.
Masalah yang timbul setelah bertahun-tahun berhasil mengompos adalah pemanfaatan, yang sayangnya sampai waktu ini saya belum bisa giat. Sekarang masih ada ruang untuk menambah compost bag, tapi lama-lama, bisa-bisa tidak ada tempat lagi. 

Sementara ini, berdasarkan pengalaman sendiri serta testimoni teman-teman yang sudah diberi, kompos ini sangat subur, bahkan setelah dikeringkan yang katanya dapat mematikan mikrobanya. Tanpa ditanami biji apa-apa, kompos ini dapat menumbuhkan pepaya, bayam, sirih cina,  gingseng jawa, bahkan kalau beruntung cabai dan tomat, minimal rumput-rumputan lah. Pernah saya mau menanam caisim dengan media tanamnya dicampur kompos buatan sendiri yang sudah dikeringkan, jadinya malah hutan bayam sedang caisimnya pada tenggelam.

Bagian terakhir buku ini, "Inspirasi Bersih dari Berbagai Negara", menyampaikan pengelolaan sampah di tiga negara yaitu: Belanda, Austria, dan Jepang. Cerita dari Jepang, tepatnya Kota Kitakyushu, bagi saya mengharukan sebab dahulu kota ini berpolusi parah dan tepi perairannya pun kumuh oleh rumah-rumah, tapi mereka dapat memperbaikinya yang tak lepas dari kegigihan pemerintah. Mudah-mudahan kota-kota di Indonesia dapat mencontohnya.

Selain buku ini, ada Pisah Daun: Pilah Sampah Dapat Untung terbitan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat yang bisa diunduh secara cuma-cuma--googling saja. Jika buku ini menyertakan teori, Pisah Daun merupakan petunjuk teknis berbentuk infografik yang lebih lengkap, terperinci, dan penuh warna pula. Mungkin memang masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah dalam pengelolaan sampah, tapi dengan diterbitkannya petunjuk teknis seperti Pisah Daun, juga sudah disediakan layanan jemput sampah besar gratis (khususnya di Kota Bandung), tinggal kesadaran dan inisiatif masyarakat untuk memanfaatkan dan menjalankannya. 

Lagi pula, "Keinginan Indonesia mengolah sampah seperti negara lain sepertinya butuh waktu yang cukup lama, jika kita hanya bergantung kepada pemerintah," kata Ibu Siti Saodah di halaman 85 buku ini. Pengelolaan sampah secara mandiri justru menunjukkan keberadaban kita sebagaimana kata Kang Gun di halaman 93, "Semakin kita memperhatikan pengelolaan sampah, berarti peradaban kita semakin tinggi. Peradaban terendah adalah tidak membuang sampah sembarangan. Sementara peradaban tertinggi adalah dengan bisa memanfaatkan sampah ini." Terlebih, bagi yang masih mengaku sebagai mukmin, mengelola sampah adalah wujud keimanan, seperti kata Ibu Irma Vitri Susanti di halaman 94, "Mengelola sampah sesungguhnya adalah doa. Doa meminta perlindungan dari kemarahan Allah yang wujudnya dapat kita lihat dalam bentuk kemarahan alam berupa banjir dan longsor, karena sebagian besar dari kita tidak menjalankan fungsi kekhalifahan dengan baik di muka bumi."

Jumat, 17 Mei 2024

Bijak Kelola Limbah Makanan pada Bisnis Kuliner

Gambar dari Instagram @jabardekranasda.
Sebelum sajian utama, ada pengantar yang menarik dari perwakilan Evermos. Beliau menyingkap bahwa terdapat kategori usaha kecil dan menengah berdasarkan pada pendapatan tahunan, mulai dari Newcomer (<1 miliar/tahun), Artisan (1 - 5 M), Emerging (5 - 100 M), Challenger (100 - 500 M), hingga Mainstream (>500 M). Kebanyakan--kalau bukan hampir semua--UMKM di Indonesia masih pada level Newcomer (99,85%), sedikit sekali yang sudah sampai Artisan (0,5%), apalagi level-level selanjutnya hingga Mainstream yang berarti produknya telah menjadi pilihan utama masyarakat. Untuk beralih dari satu level ke level selanjutnya ada gap yang berarti diperlukan lompatan atau sokongan yang lebih besar. Gap paling besar ada di antara Emerging dan Challenger. Kebanyakan pemilik usaha tidak mengetahui mereka ada di level mana, juga tidak memiliki sumber daya untuk naik level. Tampaknya Evermos hendak menyediakan sarana penyokong UMKM itu. Melalui platform daring, penggunanya dapat menjadi reseller dari merek-merek yang telah dipilih secara ketat untuk memenuhi kebutuhan umat. Ternyata dalam dunia usaha pun ada semacam "jenjang karier"!

Gambar dari situs World Economic Forum.

Sajian utama menghadirkan Ghea Anisa (selanjutnya saya sebut Teh Ghea) selaku pemilik beberapa bisnis yaitu: @tiasa.plantbased, @pasarguyub.id (berpartner dengan @ngadaur dan @lifewithjubelo), serta @gi_ga. Di antara bisnisnya itu berupa restoran. Beliau berbagi mengenai hal-hal yang dihadapi dalam mengelola bisnis dalam bidang kuliner, yaitu:
  • Cara penyimpanan yang baik,
  • Gramasi bahan dengan baik,
  • Pemilihan menu yang cermat,
  • Sistem pre-order,
  • Pemilihan kemasan,
  • Alternative packaging,
  • Reduce plastic,
  • Jumat berkah minim sampah.
Perlu dipikirkan cara supaya bahan makanan tidak ada yang terbuang, mulai dari penyimpanan agar tidak cepat busuk hingga merancang menu agar semua termanfaatkan secara efisien. Kalaupun tetap ada sampah, paling tidak tersedia komposter untuk mengolahnya sendiri.

Untuk pengemasan, sekarang sudah ada alternatif dari plastik yaitu bagasse yang terbuat dari ampas tebu (bisa dicari di platform belanja daring). 

Jumat berkah minim sampah berarti menyediakan makanan gratis dengan sistem prasmanan, yang mana sasaran program ini diajak untuk makan di restoran dengan peralatan yang telah disediakan yang nantinya dapat dicuci dan digunakan lagi, alih-alih mengemasnya per porsi untuk dibagi-bagikan yang alhasil menimbulkan sampah berupa wadah makanan.

Pemilik usaha mesti aktif dalam mengedukasi baik pelanggan maupun pegawainya, serta kreatif untuk mengadakan cara-cara yang halus. Jangan memaksakan, tetapi berikanlah pilihan. Misalnya, pelanggan dapat ditawari pilihan untuk menggunakan kemasan yang biasa (plastik) atau ramah lingkungan sembari diberikan penjelasan mengenai harga yang lebih mahal jika menggunakan yang ramah lingkungan. Pelanggan juga dapat diberikan diskon apabila membawa wadah sendiri. Untuk membentuk kebiasaan para pegawainya agar memedulikan sampah, Teh Ghea membuat grup WhatsApp di mana mereka mesti memberikan laporan dalam format timestamp. Apabila mereka lalai, ada sistem hukuman sehingga kena denda; namun denda tersebut disalurkan untuk donasi yang laporannya akan kembali kepada mereka. 

Walaupun sudah berupaya melakukan pemilahan sampah di restorannya, Teh Ghea mengalami tantangan dalam pengangkutan yang masih memanfaatkan jasa pemerintah. Oleh jasa angkut sampah dari pemerintah itu, sampah yang telah dipilah malah dicampur lagi. Usahanya belum dapat menyediakan anggaran untuk membayar jasa angkut sampah oleh swasta yang lebih tahu cara menangani sampah yang sudah dipilah tetapi harganya masih terasa mahal.

Usaha Teh Ghea juga pernah mendapat rating bintang satu akibat keengganannya menggunakan cable ties (semacam kabel pengaman kemasan). Beliau tahu bahwa sampah cable ties mungkin saja berakhir di lautan dan termakan oleh hewan di sana. Maka pemilik usaha perlu memaklumi bahwa tidak semua pihak dapat dibuat senang. Tidak semua orang dapat menjadi pelanggan. Pemilik usaha sendiri mesti terlebih dahulu senang dengan apa yang dilakukannya, yang sejalan dengan nilai-nilai yang dipegangnya. Fokus saja pada target pasar tertentu yang mampu dan mau untuk membeli produknya. 

Selanjutnya ada pemaparan dari Greeneration, organisasi yang di antara programnya adalah pendampingan masyarakat untuk perubahan perilaku terhadap lingkungan hidup. Menurut Teh Ines, selaku pembicara dari Greeneration, untuk mengubah perilaku itu idealnya memerlukan waktu tiga tahun, sementara program dari organisasinya sendiri biasanya berjalan minimal enam bulan sampai dua tahun. Walaupun belum memiliki program yang berkaitan langsung dengan bisnis kuliner, sepertinya upaya mereka dapat membentuk masyarakat yang peduli untuk menghindari sampah dalam mengonsumsi makanan.

Produk rajutan keresek.
Dalam sesi berikutnya, peserta acara dapat bertanya dan atau berbagi mengenai pengalamannya sendiri dalam mengatasi persoalan sampah. Ada yang memproduksi sumpia dalam kemasan toples yang dapat digunakan kembali. Ada yang mengolah nasi sisa yang belum basi menjadi kerupuk, dan menanyakan soal keterusterangan mengenai bahan yang digunakan serta nama yang layak untuk produk jualannya itu. Ada yang menunjukkan hasil karyanya merajut keresek jadi topi dan kantong wadah minuman.

Sesi terakhir adalah Focus Group Discussion, peserta dikelompokkan untuk menuliskan inovasi apa yang dapat dilakukan oleh bisnis kuliner dalam pengelolaan limbah makanan. Di kelompok saya ada pengusaha moci, comfort food (seperti chicken katsu, spageti, dan nasi goreng), serta baso tahu. Menurut mereka, bahan makanan biasanya habis terpakai; kalaupun ada, masih dapat diberikan kepada hewan piaraan. Yang lebih jadi soal adalah kemasan. Menurut Kang Gigi yang menjual baso tahu, keresek berbahan singkong gampang rapuh apalagi begitu kena air. Mau tak mau, untuk mengemas kecap dan sambal masih menggunakan plastik biasa. Kalau menggunakan wadah kecil khusus, harga akan naik. Teh Anggun yang menjual comfort food mengaku kerap mendapat rating rendah di antaranya karena tidak secara cuma-cuma menyertakan perintilan macam sendok-garpu plastik atau sambal dalam paket makanannya; menurutnya, barang-barang itu pada akhirnya akan menumpuk saja belum tentu dimanfaatkan. Sebagai pengganti keresek dalam mengantarkan makanannya kepada pembeli, Teh Anggun memberikan thermal bag kepada kurir langganannya. 

Perwakilan dari beberapa kelompok kemudian maju untuk menyampaikan hasil diskusi. Ada satu kelompok yang, sebagaimana kelompok saya, terdiri dari beberapa pengusaha makanan yang bahannya habis terpakai sehingga tidak menghasilkan limbah; kalaupun ada, limbah itu dapat diolah menjadi pupuk. Ada pula yang menerangkan cara membuat sabun dan lilin aromaterapi dari minyak jelantah.

Kamis, 16 Mei 2024

Diskusi Buku DUNIA REVOLUSI: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945 - 1949

Buku Dunia Revolusi adalah bunga rampai hasil dari proyek kerja sama Indonesia - Belanda dalam penelitian sejarah mengenai suatu periode setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1949. Dieditori oleh dosen-dosen dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kontributor buku ini adalah peneliti sejarah dari kedua negara. Untuk peneliti dari Indonesia, instansinya bermacam-macam tidak hanya dari UGM. Proyek ini dikerjakan selama 2017 - 2022, sempat tersendat oleh pandemi COVID-19. Terdapat berbagai tantangan lain di antaranya tradisi historiografi yang berbeda antara peneliti Indonesia dan peneliti Belanda, serta tanggapan yang kurang mendukung dari masyarakat sejarah sendiri. 

Dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah, periode ini dikenal sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama itu terjadi konferensi-konferensi (di antaranya Linggarjati, Renville, dan Meja Bundar) diselingi dua kali Agresi Militer Belanda. Selama pemerintahan masih diproses di meja-meja konferensi itu, rupanya terjadi banyak konflik lokal bahkan kekerasan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini, sebagian dari kekerasan itu menyasar kalangan minoritas seperti Tionghoa dan India khususnya di separuh atas Sumatera. 

Pelajaran Sejarah di sekolah pun, seingat saya, tidak menyebutkan tentang "Periode Bersiap" berkenaan dengan masa itu. Informasi tentang "Periode Bersiap" saya dapatkan sendiri secara tidak sengaja, ketika pada 2018 silam hendak mencari tahu mengenai sesuai hal dan bertemulah dengan artikel yang menerangkan tentang hal ini. Yang saya ketahui sebatas pada masa ini rakyat lokal seperti melakukan balas dendam atas penjajahan berabad-abad dengan membunuhi warga sipil Belanda, dan mungkin pula bangsa Eropa lainnya asal menyerupai Belanda.

Saya duga sisi kelam dari bangsa sendiri inilah yang membuat proyek ini kurang mendapat tanggapan positif. Sikap sungkan tampak dari tim editor selama acara bedah buku ini. Seakan-akan mereka dihadapkan pada suatu reaksi: sudahlah, yang lalu apalagi kalau buruk tidak usah dikorek-korek; janganlah membuka aib sendiri. Apalagi kalau ada uang yang terlibat, dibiayai pemerintah bekas negara penjajah untuk menggiring opini masyarakat, misalnya, bahwa orang-orang yang selama ini kita elu-elukan sebagai pahlawan pejuang tidaklah seheroik itu, ada pula kejahatan yang dibuatnya. 

Karena pada dasarnya kurang mendalami sejarah dan tidak pula mengikuti keramaian di media perkara proyek ini, saya dan teman mewakili masyarakat awam selaku peserta acara ini pun agak kebingungan memahaminya. Kami sekadar menunjukkan bahwa informasi mengenai periode yang berkabut ini kurang tersebar luas di masyarakat.

Kalau boleh saya refleksikan secara pribadi, agaknya bagian dari pendewasaan adalah mau berkaca dan mengakui kesalahan sendiri, menerima bahwa diri ini tidak selalu berada di pihak yang harus dibela, dianggap baik tanpa pernah berdosa. Setelah keburukan itu diakui, maka dipikirkan cara untuk memperbaikinya yang tentu saja perlu disusul dengan tindakan nyata yang berkelanjutan. Walaupun, menurut Pak Bambang Purwanto selaku kepala editor buku ini, dalam sejarah tidak segala hal mesti berkelanjutan; ada pula yang hilang, takkan berulang. Inginnya yang buruk itu yang takkan berulang.

Versi bahasa Inggris buku ini berjudul Revolutionary Worlds, bisa dicari di internet dan diunduh secara cuma-cuma. Namun versi ini diedit secara lebih ketat, sehingga tidak seautentik atau seutuh versi bahasa Indonesia yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, 2023.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain