Kulihat puncak kepala itu lagi. Hitam mengikal di ujung berpendarkan uban. Lalu menghilang dari pandangan karena laju jalanku.
Setiap hari aku melintasi jalan ini sebagai bagian dari rute rumah-kampus. Memang tak setiap hari pula kulihat ia—yang kuanggap begitu rajin menunaikan solat duha—tapi penampakannya di balik kaca jendela musola komplek begitu kerap kudapat. Kadang menyentilku untuk melakukan hal serupa setibanya di kampus.
Hingga pada suatu hari, datang kesempatan padaku untuk menyadari sesuatu. Aku tertahan di depan musola karena ada ibu-ibu yang menarikku dalam percakapan singkat. Tak fokus mataku pada lawan bicara. Karena dari balik kaca jendela musola kuperhatikan benar gerakan solat pria itu. Solat macam apa yang tak pakai sujud?
Kala kulihat sepenggal kepala itu lagi pada esok harinya, sejenak aku mendekat ke jendela. Kuamati lagi gerakan solatnya. Sama seperti kemarin.
Sejak itu, entah mengapa setiap kali aku menemukannya lagi di sana, sengaja aku mendekat untuk mengamati gerakan solatnya diam-diam. Kadang gerakan solatnya lazim sebagaimana gerakan solat yang biasanya. Kutunggui sampai ia usai untuk memastikan asumsi. Kusimpulkan bahwa ia memang sedang menunaikan solat duha. Langkahku tak jadi menjauh karena sekilas mataku menangkapnya berdiri, seperti hendak menunaikan solat lagi. Benar dugaan, ia melakukannya, gerakan solat tanpa sujud.
Kupendam heranku akan pria aneh itu dari hari ke hari. Dari sejak kengehanku akan kehadiran pria itu beserta perbuatannya hingga terjadinya erupsi Gunung Merapi baru-baru ini. Kalau dihitung-hitung… aku tak menyangka tahun demi tahun dapat berlalu sedemikian cepatnya. Namun aku tak sampai berinisiatif untuk mengungkit kelakuan pria itu pada siapa pun yang mungkin mengenalnya di sekitar komplek ini.
Erupsi Gunung Merapi membuat telingaku ketagihan mendengar siaran RRI. Kalau di rumah aku dapat mendengarkannya keras-keras, di jalan menuju kampus kupasang headset yang tersambung dengan setelan radio dalam ponselku. Aku seakan tak dapat melakukan apapun, sepanjang hari-hari yang dibayangi musibah ini, selain memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi dari waktu ke waktu. Tempat tinggalku hanya berjarak sekian puluh kilometer dari kawasan tersebut—di mana aku pernah mengikuti beberapa kegiatan di sana, sehingga aku merasa berkepentingan untuk mengetahui apa yang terjadi. Namun hidup harus tetap berjalan bukan? Sebagaimana aku yang tetap berjalan ke kampus biarpun tak piawai mengemudi kendaraan apapun.
Kusaksikan prosesi pemakaman Mbah Maridjan dan para kerabatnya lewat visualisasi dalam kepala—sebagaimana yang dideskripsikan oleh reporter RRI, sementara mataku sendiri menyaksikan sang pria aneh dengan kebiasaannya dalam musola di waktu duha. Aku tercenung. Seperti ada sesuatu yang tersambung dalam mozaik pikiranku. Sesampainya di kampus, tahulah aku.
Beberapa mahasiswa berinisiatif mengadakan solat jenazah berjamaah di masjid kampus bagi para korban bencana alam, baik di Merapi maupun Mentawai. Pikirku saat itu, di Indonesia ini mau tinggal di kaki gunung maupun di tepi pantai sama saja terkena bencana—entah itu wedhus gembel atau tsunami. Tinggal di tengah kota pun bencana tetap bisa melanda. Kuingat lumpuhnya Jakarta karena banjir dan macet.
Meniru gerakan imam di depan, mozaik itu membangkitkan jiwa Archimedes dalam benakku. “Eureka!” sorakku dalam hati. Aku menemukannya! Makna gerakan solat yang pria aneh itu lakukan—ialah solat jenazah!
Kendati telah terkuak, masih tetap aneh pria itu bagiku. Untuk apa ia menunaikan solat jenazah sesering itu, padahal bencana yang menyebabkan ketewasan massal hanya terjadi sesekali saja? Berbagai tanya dan spekulasi mengisi rongga kepalaku.
Tak ingin lama kupendam lagi. Esok hari, sengaja aku bermaksud telat ke kampus. Di tangga teras musola, kutunggu pria itu menunaikan kebiasaannya. Berharap ia lekas usai, lekas ke luar dari dalam musola untuk menerima sambutanku.
Rasa ketar-ketirku terpecah karena bergesernya pintu musola. Mata pria itu menatap lantai teras dengan syahdu. Badannya lebih tinggi dari yang kuperkirakan namun agak bungkuk. Sesaat aku tergugu karena hawa yang ia pancarkan. Ketika ia mulai memasukkan sebelah kakinya dalam rengkuhan sandal jepit, kudorong diriku untuk pertama-tama sekedar menegur, “Habis solat, Pak?”
“Hm,” hanya begitu tanggapnya.
Sebelum sepasang sandal jepitnya menginjak paving block, kusambung lagi kata-kataku, “solat jenazah?” Pria itu tersenyum sekilas. Kuputus lagi diamnya, “buat korban Merapi ya, Pak?”
Pikiranku tak bisa mencerna makna pandangan aneh yang ia tujukan padaku. Aku meneguk ludah. Ingin kukatakan bahwa aku melihatnya solat jenazah begitu sering, meski tak sedang ada bencana yang menewaskan, meski tak ada jasad sesungguhnya di depan muka, dan betapa aku penasaran akan kelakuannya itu. Aku mulai berpikir bahwa pria ini agak sinting. Kuredam kecemasanku dengan kesadaran bahwa hari masih terang dan aku bisa teriak, meronta-ronta, atau berlari sekencang mungkin kalau terjadi apa-apa. Jadi aku berterus terang saja padanya.
Ia mendengus.
Aku memang tak mahir berbahasa Jawa, namun dapat kutangkap inti dari jawabannya, “Setiap detik ada orang yang mati. Di antara mereka ada yang muslim.”
Lalu aku ingat pada para saudara seimanku di Palestina, yang setiap hari hidup di bawah naungan hujan peluru.
Rasanya aku ingin menunaikan solat jenazah di setiap waktu.
(erupsi pikiran pasca erupsi Gunung Merapi, 28 Oktober 2010)
Setiap hari aku melintasi jalan ini sebagai bagian dari rute rumah-kampus. Memang tak setiap hari pula kulihat ia—yang kuanggap begitu rajin menunaikan solat duha—tapi penampakannya di balik kaca jendela musola komplek begitu kerap kudapat. Kadang menyentilku untuk melakukan hal serupa setibanya di kampus.
Hingga pada suatu hari, datang kesempatan padaku untuk menyadari sesuatu. Aku tertahan di depan musola karena ada ibu-ibu yang menarikku dalam percakapan singkat. Tak fokus mataku pada lawan bicara. Karena dari balik kaca jendela musola kuperhatikan benar gerakan solat pria itu. Solat macam apa yang tak pakai sujud?
Kala kulihat sepenggal kepala itu lagi pada esok harinya, sejenak aku mendekat ke jendela. Kuamati lagi gerakan solatnya. Sama seperti kemarin.
Sejak itu, entah mengapa setiap kali aku menemukannya lagi di sana, sengaja aku mendekat untuk mengamati gerakan solatnya diam-diam. Kadang gerakan solatnya lazim sebagaimana gerakan solat yang biasanya. Kutunggui sampai ia usai untuk memastikan asumsi. Kusimpulkan bahwa ia memang sedang menunaikan solat duha. Langkahku tak jadi menjauh karena sekilas mataku menangkapnya berdiri, seperti hendak menunaikan solat lagi. Benar dugaan, ia melakukannya, gerakan solat tanpa sujud.
Kupendam heranku akan pria aneh itu dari hari ke hari. Dari sejak kengehanku akan kehadiran pria itu beserta perbuatannya hingga terjadinya erupsi Gunung Merapi baru-baru ini. Kalau dihitung-hitung… aku tak menyangka tahun demi tahun dapat berlalu sedemikian cepatnya. Namun aku tak sampai berinisiatif untuk mengungkit kelakuan pria itu pada siapa pun yang mungkin mengenalnya di sekitar komplek ini.
Erupsi Gunung Merapi membuat telingaku ketagihan mendengar siaran RRI. Kalau di rumah aku dapat mendengarkannya keras-keras, di jalan menuju kampus kupasang headset yang tersambung dengan setelan radio dalam ponselku. Aku seakan tak dapat melakukan apapun, sepanjang hari-hari yang dibayangi musibah ini, selain memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi dari waktu ke waktu. Tempat tinggalku hanya berjarak sekian puluh kilometer dari kawasan tersebut—di mana aku pernah mengikuti beberapa kegiatan di sana, sehingga aku merasa berkepentingan untuk mengetahui apa yang terjadi. Namun hidup harus tetap berjalan bukan? Sebagaimana aku yang tetap berjalan ke kampus biarpun tak piawai mengemudi kendaraan apapun.
Kusaksikan prosesi pemakaman Mbah Maridjan dan para kerabatnya lewat visualisasi dalam kepala—sebagaimana yang dideskripsikan oleh reporter RRI, sementara mataku sendiri menyaksikan sang pria aneh dengan kebiasaannya dalam musola di waktu duha. Aku tercenung. Seperti ada sesuatu yang tersambung dalam mozaik pikiranku. Sesampainya di kampus, tahulah aku.
Beberapa mahasiswa berinisiatif mengadakan solat jenazah berjamaah di masjid kampus bagi para korban bencana alam, baik di Merapi maupun Mentawai. Pikirku saat itu, di Indonesia ini mau tinggal di kaki gunung maupun di tepi pantai sama saja terkena bencana—entah itu wedhus gembel atau tsunami. Tinggal di tengah kota pun bencana tetap bisa melanda. Kuingat lumpuhnya Jakarta karena banjir dan macet.
Meniru gerakan imam di depan, mozaik itu membangkitkan jiwa Archimedes dalam benakku. “Eureka!” sorakku dalam hati. Aku menemukannya! Makna gerakan solat yang pria aneh itu lakukan—ialah solat jenazah!
Kendati telah terkuak, masih tetap aneh pria itu bagiku. Untuk apa ia menunaikan solat jenazah sesering itu, padahal bencana yang menyebabkan ketewasan massal hanya terjadi sesekali saja? Berbagai tanya dan spekulasi mengisi rongga kepalaku.
Tak ingin lama kupendam lagi. Esok hari, sengaja aku bermaksud telat ke kampus. Di tangga teras musola, kutunggu pria itu menunaikan kebiasaannya. Berharap ia lekas usai, lekas ke luar dari dalam musola untuk menerima sambutanku.
Rasa ketar-ketirku terpecah karena bergesernya pintu musola. Mata pria itu menatap lantai teras dengan syahdu. Badannya lebih tinggi dari yang kuperkirakan namun agak bungkuk. Sesaat aku tergugu karena hawa yang ia pancarkan. Ketika ia mulai memasukkan sebelah kakinya dalam rengkuhan sandal jepit, kudorong diriku untuk pertama-tama sekedar menegur, “Habis solat, Pak?”
“Hm,” hanya begitu tanggapnya.
Sebelum sepasang sandal jepitnya menginjak paving block, kusambung lagi kata-kataku, “solat jenazah?” Pria itu tersenyum sekilas. Kuputus lagi diamnya, “buat korban Merapi ya, Pak?”
Pikiranku tak bisa mencerna makna pandangan aneh yang ia tujukan padaku. Aku meneguk ludah. Ingin kukatakan bahwa aku melihatnya solat jenazah begitu sering, meski tak sedang ada bencana yang menewaskan, meski tak ada jasad sesungguhnya di depan muka, dan betapa aku penasaran akan kelakuannya itu. Aku mulai berpikir bahwa pria ini agak sinting. Kuredam kecemasanku dengan kesadaran bahwa hari masih terang dan aku bisa teriak, meronta-ronta, atau berlari sekencang mungkin kalau terjadi apa-apa. Jadi aku berterus terang saja padanya.
Ia mendengus.
Aku memang tak mahir berbahasa Jawa, namun dapat kutangkap inti dari jawabannya, “Setiap detik ada orang yang mati. Di antara mereka ada yang muslim.”
Lalu aku ingat pada para saudara seimanku di Palestina, yang setiap hari hidup di bawah naungan hujan peluru.
Rasanya aku ingin menunaikan solat jenazah di setiap waktu.
(erupsi pikiran pasca erupsi Gunung Merapi, 28 Oktober 2010)