Pada tanggal 20 Juni 2012 telah saya tuntaskan novel saya
yang keenam. Novel kali ini terdiri dari 55.594 kata yang terhampar sepanjang 307
halaman A5 dengan spasi single 0 pt, jenis font Tahoma ukuran 12.
Novel ini saya kerjakan dalam rangka Camp NaNoWriMo 2012
edisi Juni. Semula bukan ini yang mau saya garap. Namun cerita yang satu
ternyata belum siap, sementara cerita ini sudah membentuk plot yang (anggap
saja sudah) utuh. Saya pun mengeksekusinya dalam waktu dua minggu kurang.
Sebagaimana novel-novel sebelumnya, saya masukkan beberapa
lagu dalam novel ini, yaitu (cuman yang saya cantumkan liriknya, baik utuh
maupun penggalan): Doel Sumbang – Mumun, She and Him – Why Do You Let Me Stay
Here, HP Girls (Merry Andani, Nini Carlina, Baby Ayu, Anis Marsella) – Anak
Mama, serta She and Him – In the Sun. Kira-kira seperti apa ya ceritanya?
Proses
Sepintas cerita dalam novel ini klise. Cowok ketemu cewek,
mereka saling suka, mereka pacaran, ada gejolak dalam hubungan mereka, apakah
mereka berhasil mengatasinya?
Selama pengerjaan novel ini, saya pun terpikir… ini bukan
novel yang bakal saya baca kalau orang lain yang menulisnya.
Karakter-karakter dalam novel ini berasal dari kaum menengah
perkotaan yang hidup serba cukup—bahkan lebih. Simpati saya terhadap kalangan
ini telah berkurang sejak saya tinggal di Jogja. Ada kalangan yang lebih layak
diberi simpati, karena hidup kalangan satu ini sudah enak. Di dalam teenlit, chiclit, atau semacamnya, permasalahan yang kalangan ini alami
paling ya, gejolak psikologis seputar asmara, eksistensi, atau apa. Saya benci
keadaan yang "ideal", maupun yang mendekati.
Tapi kemudian karakter utama dalam novel ini bilang sama
saya, “Loh, ini kan cerita tentang kamu sendiri? Kamu juga terbiasa hidup enak
dari dulu, meskipun enggak persis kayak saya yang di mata kamu lebih cemerlang.
Bukannya kebiasaan hidup enak itu yang jadi masalah?” …dan bla bla bla lainnya…
“Ambil positifnya ajalah. Kalau kamu pingin serius sama saya, mau enggak mau
kamu tetep harus riset kehidupan saya. Ya manfaatin itu buat motivasi diri kamu
sendiri, supaya kamupun bisa ngeliat dunia yang lebih luas.”
Benar sih. Saya sadari kalau novel ini lebih dari sekadar
novel percintaan ababil. Novel ini adalah soal hasrat yang mengejawantah jadi obsesi,
seksualitas, dan bagaimana mengelola hasrat-hasrat yang ada agar orang-orang di
sekitar bisa terima.
Biarpun cara saya mengemas cerita masih kekanak-kanakkan
(perkara keterampilan teknis nih), saya memperlakukan karakter-karakter yang
ada di dalam kepala saya dengan serius. Meskipun ada di antara mereka yang suka
menulis jurnal, saya tetap membuat jurnal saya sendiri tentang mereka. Untuk
pasangan utama dalam novel ini saja, saya sudah mengutak-atik hubungan mereka
sejak tahun 2009 dan baru deal
belakangan. Nama karakter utamanya sendiri sudah tergurat dalam buku harian
saya pada tahun 2005.
Maka novel ini adalah latihan untuk menyajikan sesuatu yang terkesan
biasa dengan kemasan yang tidak biasa, membungkus kecabulan supaya tidak
kentara, sekaligus menyelami karakter-karakter. Kesembilan karakter yang jadi
penutur cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama—tentu saja semua
pakai gaya bahasa saya! …biarpun mereka punya masalah, tujuan, dan sorotan
masing-masing.
Hasil yang saya peroleh dari penggarapan yang hanya dua
minggu kurang memang tidak memuaskan. Tapi itulah esensi dari ajang semacam NaNoWriMo
dan program nge-camp-nya: kuantitas
terdepan, kualitas belakangan. Saya pun kurang begitu lega ketika bagian terakhir
usai diketik.
Saya ingin menulis ulang novel ini, juga novel-novel yang
telah saya tulis sebelumnya, kalau Allah masih memberi saya daya. Ingin saya
perkuat latarnya dengan riset yang teliti. Ingin saya susun emosinya dengan
kalimat-kalimat subtil yang kaya diksi. Ingin saya asah dialog-dialog di
dalamnya agar lebih bermakna. Ingin saya gali lebih dalam karakter-karakter
yang berkelebatan. Ingin saya pangkas bagian yang kurang perlu, poles dengan materi
yang lebih bermutu. Ingin saya kembangkan dan tata alurnya agar lebih memikat. Dan
seterusnya. Ini adalah proses seumur hidup.
Jadi…?
Menulis novel bukanlah sekadar menulis novel. Menulis novel
adalah keterasingan yang belum tentu layak, dan bakal, dihargai. Menulis novel
adalah ajang pembuktian sebuah komitmen.
Menulis novel adalah suatu kemewahan, karena kamu memiliki
sumber daya untuk itu dan tetap bisa hidup, sementara orang lain harus mengalokasikan
sumber daya yang mereka miliki untuk hal lain atau mereka tak bisa hidup.
Bisakah menulis novel dianggap sebagai bentuk syukurku atas
nikmat dari-Mu, Ya Allah? Apakah aku akan mendapat pahala untuk itu, biarpun
novel tersebut belum layak untuk dipublikasikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar