Selasa, 26 Februari 2013

Tentang Fikfan



Dikenang-kenang, perkenalan saya dengan fiksi diawali dari fiksi fantasi—fikfan. Sailormoon. Doraemon. Minky Momo. Power Ranger. Ultraman. Ninja Hatori. P-Man. Dr. Slump. Pokemon. Hunter X Hunter. Saya mengkhayalkan fikfan dengan boneka-boneka saya. Saya mengkhayalkan fikfan sembari belajar menggambar. Seorang putri yang menikah dengan musang. Sekumpulan anak yang kesasar ke lain dunia. Makhluk-makhluk berbentuk aneh.  

Kemudian saya kenal dengan fiksi islami, teenlit, sampai fiksi serius. Kadang mampir ke forum tertentu di dunia maya, dan mendapati antusiasme terhadap fikfan. Namun saya berpikir—wew ini bukan untuk saya. Saya tidak mengerti kenapa banyak anak negeri gandrung banget sama yang semacam The Lord of The Rings begitu, kenapa tidak mengolah yang bernuansa lokal (walau jatuhnya mistis). Saya rumit dengan nama-nama asing, barangkali asal. Jadilah saya terdorong untuk bikin fikfan tradisional… tapi baru angan…

Kemudian saya “didoktrin” Eyang soal fiksi yang “baik” adalah yang tidak sekadar mengumbar sensasi. Kemudian saya iseng tes di http://www.mypersonality.info/, dan katanya saya INFPmakna penting buat saya.

Sesungguhnya saya bukan tidak pernah menulis fikfan sama sekali. Semula tidak dimaksudkan sebagai fikfan. Namun memang demikian kemasan yang saya pikir pas untuk menyampaikan substansi cerita. Salah satunya bisa ditengok di sini. Saya juga terpikir beberapa ide, kebanyakan low fantasy, yang saya tidak tahu kapan saya bakal sanggup menggarapnya.

Saya melirik betul fikfan, ketika saya hendak menggarap proyek yang lebih dari sekadar slice of life. Saya ingin aksi, kehebohan, segala macam sensasi!, dalam novel ini. Saya ingin sebuah metafiksi—fiksi yang membicarakan tentang fikfan. Saya pun berburu fikfan (or I thought so) kembali, mulai dari 6000 Mil di Bawah LautGaruda 5 Utusan Iblis, Biru Indigo, Nagabumi I, Nibiru, dan seterusnya.  

Sebelumnya, dari seseorang saya menemukan sumber belajar fikfan seperti blog Fikfanindo hingga Kastil Fantasi—komunitas yang mewadahi para penggemar fikfan di Indonesia. Ditambah dengan tercemplungnya saya ke Kekom. Banyak nian yang meminati fikfan. Bahkan saya kira interaksi dengan fikfan-mania justru lebih mudah. Semangat mereka dalam berbagi ilmu kepenulisan juga luar biasa *aplaus. Perlahan benak saya pun terdistraksi—eh “distraksi” belum ada di KBBI loh.
           
Memang saya masih kepayahan dalam memahami fikfan. Ada cerita yang saking WAH, sampai-sampai saya pening dengan detailnya. Ada cerita yang saya tidak habis pikir mengenai latarnya. Saya bingung dengan konsep baru yang ditawarkan. Membaca fikfan tertentu bikin saya mengalami semacam "gegar dunia". Bagaimana sesungguhnya konvensi dalam perfikfanan? Apa yang dimaksud dengan fikfan? Apa saja yang tergolong fikfan? Makna apa yang bisa diambil dari cerita ini? Akhirnya saya putuskan untuk tidak memusingkannya, melainkan menikmatinya saja! Seolah ini konsekuensi yang harus saya hadapi kalo ingin mengembangkan imajinasi. 

Lamat-lamat saya memahami kenapa begitu banyak anak negeri yang gandrung sama fikfan… yang tidak bernuansa lokal. Globalisasi. Satu kata itu berhasil membungkam tanya. Sayangnya saya sudah tidak lagi tergugah dengan manga dan anime, apalagi game

Bagaimanapun juga ide untuk digarap menjadi novel(-novel) dengan genre fantasi pernah mendatangi benak saya. Saya merasa “harus” mewujudkan mereka. Maka saya “harus” mulai melangkahkan kaki di jagat perfikfanan. Sekaligus untuk menemukan petunjuk. Konon, dalam kehidupan beda antara realitas dengan fantasi itu remang-remang.

Bismillah. 


sekadar tanggapan untuk ini serta satu suggestiondi The Heath Guide to Literature 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...