TIARACITRA
Refreshing yang kulakukan selama ini akhirnya
membuahkan hasil. Senang sekali. Aku sudah mengetik sampai bab tiga, dan aku
melakukannya dalam waktu cepat. Begitu ya. Kebosanan berminggu-minggu pun
tertebus. Aku sudah mengirim drafku lewat surel pada Pak Bambang, lalu besok
kami akan bertemu. Biasa seperti itu. Setelahnya, entah kenapa aku ingin
menghubungi Hayat. Kalau ditanya lewat sms pasti ia tidak balas. Kira-kira ia
sedang apa ya. Kira-kira bagaimana responsnya kalau aku telepon saja.
Paling-paling aku cuman membangunkannya dari tidur. Lagipula ia tidur sudah
terlalu lama, atau malah baru bisa tidur.
“Hei, aku
udah sampai bab tiga. Besok mau ketemu Pak Bambang. Mau bareng?”
Dari
suara-suara yang melatarinya, aku curiga dia lagi main tembak-tembakan.
“Gue udah
nyerahin kemarin,” dengan nadanya yang hidup-segan-mati-tak-mau.
Mataku
terbelalak. Curang! Padahal selama ini aku memikirkannya, bagaimana TA-nya. Dan
dia melaju sendirian tanpa kabar-kabar. Huh! Lain kali peduli amat deh sama
dia!
“Terus?
Gimana hasilnya punya lo?” tapi aku tidak ingin menyudahi pembicaraan begitu
saja…
“Revisi
lagi. Itu dosen niat ngelulusin cepet apa enggak sih…”
Karena aku
tidak segera merespons, ia berkata lagi, “Lo mau gue temenin ke Pak Bambang?”
…bagaimana
ya…
“Ngomong
aja, enggak usah gengsi.”
Aku
mengernyit. “Enggak usah,” kataku. Kuputus sambungan.
Kulipat
lengan di meja. Desahku keluar. Seharusnya aku katakan “iya” saja tadi. Kalau
begini kan aku jadi benar-benar tidka punya teman. Kubenamkan dagu di balik
lengan. Cewek-sipit itu—Cecilia, bagaimana kabarnya… Kuangkat lagi kepala.
Layar ponsel seperti yang menantangku. Katakan saja, Tiaracitra, katakan saja
sama cowok itu kalau kamu ingin menjalaninya bersama, sampai tuntas TA. Karena
tidak ada orang lain yang cukup dekat untuk diajak, tentu saja. Aku mendesah
lagi. Kenapa hidup harus begini sepi. Hiks.
TIARACITRA
Hayat baru
terlihat setelah aku keluar dari ruangan Pak Bambang. Ia duduk di bangku di
luar ruangan sambil memainkan game di
ponselnya.
“Kamu
enggak tanya gimana draf punyaku?”
“Gimana?”
“Revisi.”
“Hm.” Ia
tersenyum. Aku tebak suasana hatinya masih riang.
“Kamu udah
gabung ke grup Bimbingan Pak Bambang?”
“Enggak ah,”
sahutnya dengan enggan. Aku terkikih kecil.
Lalu
langkah kami sama-sama melambat.
“Ke mana
nih?” tanyanya.
Aku juga
tidak punya tujuan. Setelah berpikir-pikir sebentar, “Gimana kalau kita coba
menu baru di Kantin Gelex? Jus melon-pisang?”
Ia tampak
tidak begitu tertarik. Tapi, “ngikut aja deh.”
Kantin
Gelex terletak berlawanan arah dari Kantin Barat Daya. Jalan pintas menuju ke
sana adalah dengan menembus gedung yang dipakai untuk jurusan lain di fakultas
kami. Tapi begitu mendekati pintu utamanya, kusadari Hayat tidak lagi
mengiringi langkahku.
“Gue lewat
jalan lain aja.”
Yang benar
saja. Kalau tahu-tahu ia minggat bagaimana. Akupun urung, lalu kami melewati
jalan biasa yang mengitari gedung.
“Kenapa
sih?” Ia tidak menjawab. “Ngomong aja,
enggak usah gengsi,” aku menirukan nada suaranya yang kemarin. Ia berdecak.
“Ayudh,”
katanya pelan. Tanpa memandangku.
Mulutku
menyuarakan “O” yang tidak kalah pelan. Aku baru menyadari kalau gedung jurusan
yang tadi adalah gedung jurusan Ayudh. Tapi, hei, jadi cowok ini masih saja
menyimpan perasaan patah hatinya? Parah. Tapi tampangnya yang jadi suram begitu
bikin aku seram, hii, jadi ya sudahlah.
Sudah tidak
begitu pagi, tapi juga belum siang. Kantin rada sepi. Hanya beberapa pasang
mahasiswa yang nongkrong. Hayat memesan kopi-apa-gitu, sementara aku dengan jus
melon-pisang.
“Lu masih
inget cewek yang di atap gedung kapan itu?” Melihat ekspresi Hayat, sepertinya
sih masih. Aku tahu apa yang bakal aku bicarakan ini mungkin tidak enak juga
bagi cowok itu… tapi kupikir harus ada upaya untuk membuat keadaan jadi lebih
baik. “Gue liat dia beberapa kali di perpus.” Hayat memberi gumaman, tanda
menyimak. Tapi itu membuatku ragu lagi. Kira-kira ini bakal menyinggung tidak
ya… Hayat menungguku dengan tatapannya. “…kepikiran aja buat nemenin dia…”
hanya itu yang bisa kuucapkan. Tadinya aku mau menyuruh cowok itu buat minta
maaf. Tapi nanti saja deh.
“Oke.” Ia
mengangguk.
Setelah
menuntaskan kudapan masing-masing, kami ke perpustakaan untuk mencari-cari
cewek itu. Dari lantai satu, kami beredar ke setiap ruangan—kecuali yang
digunakan untuk kantor tentu saja. “Dia biasanya pake sweter,” jelasku, tapi
mengingat Hayat juga sudah pernah bertemu cewek itu di sini, aku tidak
melanjutkan. Sampai di lantai paling atas, kami tidak juga menemukannya.
Kamipun duduk di tepi tangga.
“Dia
sebetulnya pingin lo mencegah dia bunuh diri kemarin,” kataku. Ia menyimakku
sambil menggigit-gigit ujung jempolnya. Apa sebetulnya yang ingin ia gigiti itu
puntung rokok? “Tapi menurut dia, kemarin lo malah pingin dia mati gitu.
Kayaknya dia tersinggung.”
“Kalau buat
gue sih,” ia lemparkan jempolnya, keseluruhan tangannya, ke depan, matanya
tidak langsung melihat padaku, “gue enggak masalah dia mau ngapain. Tapi, ya,
gue tertarik liat dia dari deket.”
“Lo mikir
enggak sih, kalau dia jatuh beneran, lo bisa dianggap jadi tersangka yang
ngedorong dia?”
Hayat
mengangkat bahu. “Kenal aja gue enggak. Lagian bisa aja kan gue alasan mau
nyelamatin dia. Gue pikir tuh cewek enggak bener-bener mau bunuh diri. Cuman
lagi pingin di atap aja. Bawaannya emang kayak orang stres sih.” Aku menantinya
berkata-kata terus. “Jadi ya gue datengin aja. Dia kayaknya nyadar gitu ada
gue. Dia sempet noleh. Gue tanya, ‘Ngapain euy?’.
Dia enggak jawab. Malah kayak makin maju gitu. Gue deketin lagi aja. ‘Lo kayak
mau bunuh diri,’ kata gue. Terus dia kayak defensif gitu. ‘Jangan
deket-deket!’” Ia diam sejenak, seiring pandangannya yang menerawang ke
langit-langit. Mungkin ia sedang mengingat-ingat. “Ini mulai kayak di film-film
tau enggak? Dan gue bosen aja sama adegan orang ngelarang orang lain bunuh diri
gitu. Ya udah. Gue pikir, bukannya pada umumnya tuh, orang-orang pingin kalau
dia meninggal ada seseorang di sisi dia, yang nungguin dia…”
“Jadi lo
mau nungguin dia, berada di samping dia ketika dia terjun ke bawah…” Aku
seharusnya mengganti kata “terjun” dengan “menjemput kematian” supaya terkesan
lebih… dramatis? Tapi terlanjur, ya sudahlah. Memvisualisasikan kata-kataku
sendiri barusan bikin aku agak ngeri.
“…bacain
syahadat di telinganya…” Hayat terus mengoceh sendiri, “…jadi dia enggak mati
sendirian. Lo tau enggak sih gimana rasanya mati kesepian?” Tentu saja aku
tidak tahu, aku belum pernah mati!
Entahlah.
Terasa janggal bagiku, membacakan syahadat di telinga orang yang hendak bertemu
ajal dengan cara… bunuh diri. Apa itu akan membuat dosa-bunuh-dirinya
terampuni, dan dia bisa langsung masuk surga, begitu?
“Gue bakal
kabarin lo kalau liat dia lagi.”
“Oke.”
Kamipun
beranjak, menuruni tangga sampai lupa kalau kami bisa menggunakan lift. “Mau
lanjut ngerjain TA?” tanyaku. “Hmhm…” Hayat tersenyum, lalu menggeleng. Di
gerbang belakang kami berpisah.
HAYAT
Sesekali
Kakak menelepon. Sekadar ingin menceritakan harinya, menanyakan keadaanku.
Menganjurkan ini-itu. Selalu berakhir dengan memperdebatkan pandangan-hidupku,
pilihanku. Aku merasa seperti boneka marionet yang tertangkap basah lagi
masturbasi sambil mengintip cewek mandi, dalam videoklip Unknown Mortal
Orchestra, “Swim and Sleep (Like a Shark)”. Salahkan dia karena aku tidak bisa
terpejam lagi malam ini. Padahal tenang begitu pekat. Lampu sudah kupadamkan.
Tapi jauh, di dasar (apalah yang aku tidak tahu apa namanya), ada sesuatu yang
bergolak.
Akhirnya
aku nyalakan laptop. Selalu seperti itu. Kali ini aku membuka folder berisi
foto-foto yang kuambil saat susur pantai di Gunungkidul, dalam rangka melupakan
yang patut dilupakan—itulah. Teman seperjalananku waktu itu bilang langit
sedang indah, petang itu. Awan membumbung bagai domba kucel yang meloncat dari
gunung berapi, lantas berlari-lari. Jadi seperti ini yang dikatakan indah,
pikirku saat itu sembari memotret. Jadi
seperti ini yang dikatakan indah, kembali aku bertanya-tanya saat
memandangi hasil potretan tersebut, saat ini.
Bahkan
membayangkan Tiaracitra pun tidak berasa! Sepanjang sore tadi, berkali-kali.
Malam, eh, dini hari ini juga. Bahkan kalaupun ia di sini sekarang, bugil, aku
tidak bakal merasakan apapun saat meraba-raba tubuhnya.
Bahkan
merasa ingin merokok pun tidak!
Dan aku
bakal terlalu lelah untuk hidup di pagi nanti. Tidur saja. Dan malamnya akan
kembali seperti ini. Siklus.
[]
Sekiranya
ada yang menginjak-injak, Hayat yakin tubuhnya bakal bergemeretakkan. Ia
membuka jendela, mendapati Jeki sedang menjemur pakaian di balkon. Jam berapa
sekarang, Jek, tegur Hayat diiringi senyum tipis. Matahari dengan hangat
menyengat matanya yang setengah terpejam. Jam setengah dua belas, kata Jeki.
“Beneran?” Hayat tidak yakin, tapi lalu percaya saja. Ia lanjut ke kamar mandi,
membasuh beberapa bagian tubuhnya. Dan salat. Salat apa ini, entah. Yang jelas
ia sepenuhnya terlelap sejak dini hari sampai langit benar-benar terang.
Seorang teman pernah berkomentar, Hayat salat hanya ketika suasana hatinya
sedang baik. Sebab saat kalut ia terlalu sibuk menghujat Tuhan. Kata Hayat,
mending begitu. Banyak orang ingat Tuhan hanya ketika susah. Hayat ingat Tuhan
saat senang dan susah, caranya saja yang berbeda. Terserah kamulah, Yat.
Hayat
kembali rebah di karpet, meletakkan kepala dalam empuknya guling.
Matahari mulai
condong. Setengah sadar Hayat mengecek adakah orang yang menghubungi ponselnya.
Yat, km
dmn?!
Sori, gw
bru bngun. Bru tdur j4 gw.
Tidur aja
selamanya, batin Tiaracitra begitu menerima balasan dari Hayat. Padahal sms
yang dibalas Hayat tersebut ia kirim saat berjam-jam lalu. Ia sudah tidak lagi
berada di perpustakaan, melainkan berdiri di jalanan depan koperasi mahasiswa.
Sebungkus es krim terapit lengannya di bagian tangkai. Ia sedang
menimbang-nimbang untuk pulang atau bertahan. Pencariannya akan cewek-sipit itu
nihil, lagi-lagi, sudah berhari-hari ini. Bagaimanapun, balasan tersebut
membuatnya terkesan. Sori. Sori, katanya, hihi.
Hayat
melirik ponselnya yang bergetar. Balasan dari Tiaracitra. Ia tidak meraihnya.
Ia bergeming dengan bacaan di tangan. Sebuah novel karangan seseorang saat
berusia 17 tahun, atau kurang. Diksi yang bagus, tapi yang dibicarakan tentang
mati, mati, dan mati dengan begitu dramatis, sampai-sampai Hayat risi. Padahal
ia membacanya dari tengah. Ia memiliki novel itu hanya karena ia pernah kenal
dengan pengarangnya, yang cewek, dan lumayan bening. Terpikir cewek-sipit di
atap kapan itu, dan dirinya sendiri. Kenapa sih ada saja anak muda yang begitu
terobsesi dengan mati. Teringat juga ocehan kakaknya, suatu waktu, belum lama sejak
Ayudh memutuskannya, suasana kos hanya membuatnya enek karena sudah dinodai
tangisnya di sana-sini, seperti kucing yang mengencingi berbagai sudut untuk
menandai teritorialnya, dan ia hanya bergelung berhari-hari di sofa apartemen,
“…kamu tuh masih bisa napas, kentut, jalan, lihat, makan, badan kamu masih
utuh, enggak kusta, enggak apa…” Entah apa lanjutannya karena saat itu Hayat
tidak mau dengar, wanita muda itu terlalu nyinyir. Ia tahu yang kakaknya
inginkan hanya melihatnya bangkit, begitu juga dengan keadaannya sekarang.
“Kayaknya
lagi bulan Ramadhan di jiwa gue, Kak. Kebaikan apa yang bisa gue lakuin?”
Hayat tidak
tahan untuk berbagi pada kakaknya.
Kakaknya
bergumam pelan, lalu menjawab, “Minta maaf sama Mama tuh.”
“Masih
Ramadhan, Kak, belum Lebaran,” cetus Hayat.
“…kenapa
juga kudu Lebaran dulu baru minta maaf… Cepet selesein aja TA, lu, Hayy.”
Jawaban
kali ini lebih memuaskannya. Siap!, ucapnya luar-batin. Ia akan melakukannya,
mengerjakan TA, mulai besok, mungkin, mungkin besok, kapan lagi yang lebih
enak?, moga-moga saja besok pagi cukup kondusif, semoga.