Rabu, 31 Juli 2013

(10)

TIARACITRA

Refreshing yang kulakukan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Senang sekali. Aku sudah mengetik sampai bab tiga, dan aku melakukannya dalam waktu cepat. Begitu ya. Kebosanan berminggu-minggu pun tertebus. Aku sudah mengirim drafku lewat surel pada Pak Bambang, lalu besok kami akan bertemu. Biasa seperti itu. Setelahnya, entah kenapa aku ingin menghubungi Hayat. Kalau ditanya lewat sms pasti ia tidak balas. Kira-kira ia sedang apa ya. Kira-kira bagaimana responsnya kalau aku telepon saja. Paling-paling aku cuman membangunkannya dari tidur. Lagipula ia tidur sudah terlalu lama, atau malah baru bisa tidur.

“Hei, aku udah sampai bab tiga. Besok mau ketemu Pak Bambang. Mau bareng?”

Dari suara-suara yang melatarinya, aku curiga dia lagi main tembak-tembakan.

“Gue udah nyerahin kemarin,” dengan nadanya yang hidup-segan-mati-tak-mau.

Mataku terbelalak. Curang! Padahal selama ini aku memikirkannya, bagaimana TA-nya. Dan dia melaju sendirian tanpa kabar-kabar. Huh! Lain kali peduli amat deh sama dia!

“Terus? Gimana hasilnya punya lo?” tapi aku tidak ingin menyudahi pembicaraan begitu saja…

“Revisi lagi. Itu dosen niat ngelulusin cepet apa enggak sih…”

Karena aku tidak segera merespons, ia berkata lagi, “Lo mau gue temenin ke Pak Bambang?”

…bagaimana ya…

“Ngomong aja, enggak usah gengsi.”

Aku mengernyit. “Enggak usah,” kataku. Kuputus sambungan.

Kulipat lengan di meja. Desahku keluar. Seharusnya aku katakan “iya” saja tadi. Kalau begini kan aku jadi benar-benar tidka punya teman. Kubenamkan dagu di balik lengan. Cewek-sipit itu—Cecilia, bagaimana kabarnya… Kuangkat lagi kepala. Layar ponsel seperti yang menantangku. Katakan saja, Tiaracitra, katakan saja sama cowok itu kalau kamu ingin menjalaninya bersama, sampai tuntas TA. Karena tidak ada orang lain yang cukup dekat untuk diajak, tentu saja. Aku mendesah lagi. Kenapa hidup harus begini sepi. Hiks.

TIARACITRA

Hayat baru terlihat setelah aku keluar dari ruangan Pak Bambang. Ia duduk di bangku di luar ruangan sambil memainkan game di ponselnya.

“Kamu enggak tanya gimana draf punyaku?”

“Gimana?”

“Revisi.”

“Hm.” Ia tersenyum. Aku tebak suasana hatinya masih riang.

“Kamu udah gabung ke grup Bimbingan Pak Bambang?”

“Enggak ah,” sahutnya dengan enggan. Aku terkikih kecil.

Lalu langkah kami sama-sama melambat.

“Ke mana nih?” tanyanya.

Aku juga tidak punya tujuan. Setelah berpikir-pikir sebentar, “Gimana kalau kita coba menu baru di Kantin Gelex? Jus melon-pisang?”

Ia tampak tidak begitu tertarik. Tapi, “ngikut aja deh.”

Kantin Gelex terletak berlawanan arah dari Kantin Barat Daya. Jalan pintas menuju ke sana adalah dengan menembus gedung yang dipakai untuk jurusan lain di fakultas kami. Tapi begitu mendekati pintu utamanya, kusadari Hayat tidak lagi mengiringi langkahku.

“Gue lewat jalan lain aja.”

Yang benar saja. Kalau tahu-tahu ia minggat bagaimana. Akupun urung, lalu kami melewati jalan biasa yang mengitari gedung.

“Kenapa sih?” Ia tidak menjawab. “Ngomong aja, enggak usah gengsi,” aku menirukan nada suaranya yang kemarin. Ia berdecak.

“Ayudh,” katanya pelan. Tanpa memandangku.

Mulutku menyuarakan “O” yang tidak kalah pelan. Aku baru menyadari kalau gedung jurusan yang tadi adalah gedung jurusan Ayudh. Tapi, hei, jadi cowok ini masih saja menyimpan perasaan patah hatinya? Parah. Tapi tampangnya yang jadi suram begitu bikin aku seram, hii, jadi ya sudahlah.

Sudah tidak begitu pagi, tapi juga belum siang. Kantin rada sepi. Hanya beberapa pasang mahasiswa yang nongkrong. Hayat memesan kopi-apa-gitu, sementara aku dengan jus melon-pisang.

“Lu masih inget cewek yang di atap gedung kapan itu?” Melihat ekspresi Hayat, sepertinya sih masih. Aku tahu apa yang bakal aku bicarakan ini mungkin tidak enak juga bagi cowok itu… tapi kupikir harus ada upaya untuk membuat keadaan jadi lebih baik. “Gue liat dia beberapa kali di perpus.” Hayat memberi gumaman, tanda menyimak. Tapi itu membuatku ragu lagi. Kira-kira ini bakal menyinggung tidak ya… Hayat menungguku dengan tatapannya. “…kepikiran aja buat nemenin dia…” hanya itu yang bisa kuucapkan. Tadinya aku mau menyuruh cowok itu buat minta maaf. Tapi nanti saja deh.

“Oke.” Ia mengangguk.

Setelah menuntaskan kudapan masing-masing, kami ke perpustakaan untuk mencari-cari cewek itu. Dari lantai satu, kami beredar ke setiap ruangan—kecuali yang digunakan untuk kantor tentu saja. “Dia biasanya pake sweter,” jelasku, tapi mengingat Hayat juga sudah pernah bertemu cewek itu di sini, aku tidak melanjutkan. Sampai di lantai paling atas, kami tidak juga menemukannya. Kamipun duduk di tepi tangga.

“Dia sebetulnya pingin lo mencegah dia bunuh diri kemarin,” kataku. Ia menyimakku sambil menggigit-gigit ujung jempolnya. Apa sebetulnya yang ingin ia gigiti itu puntung rokok? “Tapi menurut dia, kemarin lo malah pingin dia mati gitu. Kayaknya dia tersinggung.”

“Kalau buat gue sih,” ia lemparkan jempolnya, keseluruhan tangannya, ke depan, matanya tidak langsung melihat padaku, “gue enggak masalah dia mau ngapain. Tapi, ya, gue tertarik liat dia dari deket.”

“Lo mikir enggak sih, kalau dia jatuh beneran, lo bisa dianggap jadi tersangka yang ngedorong dia?”

Hayat mengangkat bahu. “Kenal aja gue enggak. Lagian bisa aja kan gue alasan mau nyelamatin dia. Gue pikir tuh cewek enggak bener-bener mau bunuh diri. Cuman lagi pingin di atap aja. Bawaannya emang kayak orang stres sih.” Aku menantinya berkata-kata terus. “Jadi ya gue datengin aja. Dia kayaknya nyadar gitu ada gue. Dia sempet noleh. Gue tanya, ‘Ngapain euy?’. Dia enggak jawab. Malah kayak makin maju gitu. Gue deketin lagi aja. ‘Lo kayak mau bunuh diri,’ kata gue. Terus dia kayak defensif gitu. ‘Jangan deket-deket!’” Ia diam sejenak, seiring pandangannya yang menerawang ke langit-langit. Mungkin ia sedang mengingat-ingat. “Ini mulai kayak di film-film tau enggak? Dan gue bosen aja sama adegan orang ngelarang orang lain bunuh diri gitu. Ya udah. Gue pikir, bukannya pada umumnya tuh, orang-orang pingin kalau dia meninggal ada seseorang di sisi dia, yang nungguin dia…”

“Jadi lo mau nungguin dia, berada di samping dia ketika dia terjun ke bawah…” Aku seharusnya mengganti kata “terjun” dengan “menjemput kematian” supaya terkesan lebih… dramatis? Tapi terlanjur, ya sudahlah. Memvisualisasikan kata-kataku sendiri barusan bikin aku agak ngeri.

“…bacain syahadat di telinganya…” Hayat terus mengoceh sendiri, “…jadi dia enggak mati sendirian. Lo tau enggak sih gimana rasanya mati kesepian?” Tentu saja aku tidak tahu, aku belum pernah mati!

Entahlah. Terasa janggal bagiku, membacakan syahadat di telinga orang yang hendak bertemu ajal dengan cara… bunuh diri. Apa itu akan membuat dosa-bunuh-dirinya terampuni, dan dia bisa langsung masuk surga, begitu?

“Gue bakal kabarin lo kalau liat dia lagi.”

“Oke.”

Kamipun beranjak, menuruni tangga sampai lupa kalau kami bisa menggunakan lift. “Mau lanjut ngerjain TA?” tanyaku. “Hmhm…” Hayat tersenyum, lalu menggeleng. Di gerbang belakang kami berpisah.

HAYAT

Sesekali Kakak menelepon. Sekadar ingin menceritakan harinya, menanyakan keadaanku. Menganjurkan ini-itu. Selalu berakhir dengan memperdebatkan pandangan-hidupku, pilihanku. Aku merasa seperti boneka marionet yang tertangkap basah lagi masturbasi sambil mengintip cewek mandi, dalam videoklip Unknown Mortal Orchestra, “Swim and Sleep (Like a Shark)”. Salahkan dia karena aku tidak bisa terpejam lagi malam ini. Padahal tenang begitu pekat. Lampu sudah kupadamkan. Tapi jauh, di dasar (apalah yang aku tidak tahu apa namanya), ada sesuatu yang bergolak.

Akhirnya aku nyalakan laptop. Selalu seperti itu. Kali ini aku membuka folder berisi foto-foto yang kuambil saat susur pantai di Gunungkidul, dalam rangka melupakan yang patut dilupakan—itulah. Teman seperjalananku waktu itu bilang langit sedang indah, petang itu. Awan membumbung bagai domba kucel yang meloncat dari gunung berapi, lantas berlari-lari. Jadi seperti ini yang dikatakan indah, pikirku saat itu sembari memotret. Jadi seperti ini yang dikatakan indah, kembali aku bertanya-tanya saat memandangi hasil potretan tersebut, saat ini.

Bahkan membayangkan Tiaracitra pun tidak berasa! Sepanjang sore tadi, berkali-kali. Malam, eh, dini hari ini juga. Bahkan kalaupun ia di sini sekarang, bugil, aku tidak bakal merasakan apapun saat meraba-raba tubuhnya.

Bahkan merasa ingin merokok pun tidak!

Dan aku bakal terlalu lelah untuk hidup di pagi nanti. Tidur saja. Dan malamnya akan kembali seperti ini. Siklus.

[]

Sekiranya ada yang menginjak-injak, Hayat yakin tubuhnya bakal bergemeretakkan. Ia membuka jendela, mendapati Jeki sedang menjemur pakaian di balkon. Jam berapa sekarang, Jek, tegur Hayat diiringi senyum tipis. Matahari dengan hangat menyengat matanya yang setengah terpejam. Jam setengah dua belas, kata Jeki. “Beneran?” Hayat tidak yakin, tapi lalu percaya saja. Ia lanjut ke kamar mandi, membasuh beberapa bagian tubuhnya. Dan salat. Salat apa ini, entah. Yang jelas ia sepenuhnya terlelap sejak dini hari sampai langit benar-benar terang. Seorang teman pernah berkomentar, Hayat salat hanya ketika suasana hatinya sedang baik. Sebab saat kalut ia terlalu sibuk menghujat Tuhan. Kata Hayat, mending begitu. Banyak orang ingat Tuhan hanya ketika susah. Hayat ingat Tuhan saat senang dan susah, caranya saja yang berbeda. Terserah kamulah, Yat. 

Hayat kembali rebah di karpet, meletakkan kepala dalam empuknya guling.

Matahari mulai condong. Setengah sadar Hayat mengecek adakah orang yang menghubungi ponselnya.

Yat, km dmn?!

Sori, gw bru bngun. Bru tdur j4 gw.

Tidur aja selamanya, batin Tiaracitra begitu menerima balasan dari Hayat. Padahal sms yang dibalas Hayat tersebut ia kirim saat berjam-jam lalu. Ia sudah tidak lagi berada di perpustakaan, melainkan berdiri di jalanan depan koperasi mahasiswa. Sebungkus es krim terapit lengannya di bagian tangkai. Ia sedang menimbang-nimbang untuk pulang atau bertahan. Pencariannya akan cewek-sipit itu nihil, lagi-lagi, sudah berhari-hari ini. Bagaimanapun, balasan tersebut membuatnya terkesan. Sori. Sori, katanya, hihi.

Hayat melirik ponselnya yang bergetar. Balasan dari Tiaracitra. Ia tidak meraihnya. Ia bergeming dengan bacaan di tangan. Sebuah novel karangan seseorang saat berusia 17 tahun, atau kurang. Diksi yang bagus, tapi yang dibicarakan tentang mati, mati, dan mati dengan begitu dramatis, sampai-sampai Hayat risi. Padahal ia membacanya dari tengah. Ia memiliki novel itu hanya karena ia pernah kenal dengan pengarangnya, yang cewek, dan lumayan bening. Terpikir cewek-sipit di atap kapan itu, dan dirinya sendiri. Kenapa sih ada saja anak muda yang begitu terobsesi dengan mati. Teringat juga ocehan kakaknya, suatu waktu, belum lama sejak Ayudh memutuskannya, suasana kos hanya membuatnya enek karena sudah dinodai tangisnya di sana-sini, seperti kucing yang mengencingi berbagai sudut untuk menandai teritorialnya, dan ia hanya bergelung berhari-hari di sofa apartemen, “…kamu tuh masih bisa napas, kentut, jalan, lihat, makan, badan kamu masih utuh, enggak kusta, enggak apa…” Entah apa lanjutannya karena saat itu Hayat tidak mau dengar, wanita muda itu terlalu nyinyir. Ia tahu yang kakaknya inginkan hanya melihatnya bangkit, begitu juga dengan keadaannya sekarang.

“Kayaknya lagi bulan Ramadhan di jiwa gue, Kak. Kebaikan apa yang bisa gue lakuin?”

Hayat tidak tahan untuk berbagi pada kakaknya.

Kakaknya bergumam pelan, lalu menjawab, “Minta maaf sama Mama tuh.”

“Masih Ramadhan, Kak, belum Lebaran,” cetus Hayat.

“…kenapa juga kudu Lebaran dulu baru minta maaf… Cepet selesein aja TA, lu, Hayy.”

Jawaban kali ini lebih memuaskannya. Siap!, ucapnya luar-batin. Ia akan melakukannya, mengerjakan TA, mulai besok, mungkin, mungkin besok, kapan lagi yang lebih enak?, moga-moga saja besok pagi cukup kondusif, semoga.

Selasa, 30 Juli 2013

(9)

TIARACITRA

Semalam sehabis salat isya aku berdoa, Ya Allah, aku tidak ingin melalui masa mengerjakan TA ini sendirian. Iya sih, ada beberapa teman… tapi bisakah Kau memberiku teman-teman yang cukup waras?

Aku terpikir beberapa nama yang seangkatan di jurusan. Astaga. Apa cuman aku cewek yang tersisa? Aku mengingat-ingat beberapa nama lagi, masih satu jurusan namun satu angkatan di bawahku. Mayoritas dari mereka juga sudah lulus. Bagaimana aku bisa bergabung dengan yang tersisa. Aku mengingat-ingat juga mereka yang satu angkatan namun beda jurusan, beda fakultas. Bagaimana kabar mereka. Mereka sudah lulus atau belum sih, jarang lihat di kampus. Aduh… Aduh aduh. Ini menyakitkan. Apalagi kemajuanku dalam mengerjakan TA juga sangat lamban. Oh tidak, ini lebih dari menyakitkan, ini mengerikan!

Aku terpikir Hayat, seolah aku sudah lupa dengan segala perlakuannya yang tidak mengenakkan kepadaku. Seharusnya aku dan dia bisa saling mendukung kan. Dosen pembimbing sama. Bahan yang harus kami ambil juga sama. Jurusan dan angkatan, apalagi. Tapi ia seperti ogah-ogahan dengan TA, juga denganku.

Aku terpikir Cecilia juga. Sempat kubayangkan untuk berteman dengannya. Tapi, apa aku bisa tahan menghadapi sikapnya yang… entahlah, aku rada prihatin sebenarnya…

Aaah…

maLem nenG, meT bUbU…

Sms dari mas-mas alay sudah tidak begitu merisaukanku lagi. Selamat, Anda sudah terbiasa.

Saat salat subuh kuulangi doaku.

Aku tidak mengharapkan apa-apa ketika tiba di kampus. Aku tidak melihat Hayat di atap. Aku tidak melihat Cecilia menaiki tangga. Aku nyalakan laptopku, menahan pedih di mata ketika meninjau lagi coret-coretan Pak Bambang di print-out-ku. Mengembuskan napas berkali-kali. Aku pasti bisa mengatasi semua dan menghadapinya, kukutip lagu Citra Skolastika, “Pasti Bisa”, yang jadi favoritku akhir-akhir ini.

Laptopku menangkap sinyal wi fi.

Apa yang harus aku lakukan…

Masuk ke Facebook tentu saja. Memperbarui statusku. Berbagi semangat untuk mengerjakan TA. Setidaknya untuk memberi kesan kalau aku tidak mengabaikannya. Seketika muncul pemberitahuan, Pak Bambang mengomentari statusku. Ia memang dosen yang perhatian. Aku membalas. Ia membalas lagi. Aku membalas. Ia membuatku harus mengirim sms ke Hayat, semoga dibalas. Hayat jarang membalas.

Tapi siang itu ia datang juga ke kantor Pak Bambang. Bukan pertemuan yang “menghasilkan”, karena memang tak satupun dari kami berdua yang sudah membuat kemajuan berarti. Pak Bambang menyarankan kami untuk bergabung dengan grup “Bimbingan Pak Bambang” di Facebook. Anak-anak angkatan di bawah kami yang membuatnya, saking banyak yang dibimbing Pak Bambang. Walau awalnya Pak Bambang juga yang menyarankan agar sesama bimbingannya bisa saling membantu satu sama lain. Terima kasih, Pak. Kamipun undur diri.

“Mau ke mana habis ini?”

Aduh! Seharusnya aku tidak usah menanyakannya! Lidahku!

“Nonton,” katanya.

Ikut atau tidak. Ikut atau tidak. Ikut atau tidak. Aku menghitung kancing di terusanku yang jumlahnya hanya tiga. Ugh. Seharusnya aku mulai dengan kata “Tidak”! Seolah aku tidak punya pilihan lain(!), aku mengikutinya ke perpustakaan.

Baru aku sadari ranselnya tampak kempis. Sepertinya ia tidak bawa laptop.

Ia masuk ke American Corner, mengempaskan diri ke sofa lalu menyalakan TV. Ia duduk di pojok kanan, aku di pojok kiri. Ia meletakkan remot begitu saja di antara kami. Saluran FX. Ada semacam teaser untuk sebuah serial, yang sesekali diselingi adegan orang begituan. Ih. Aku mengernyit tiap potongan-potongan itu muncul, walau singkat saja. Lalu sebuah serial dimulai. Aku coba mengikuti ceritanya. Aku tidak begitu doyan menonton yang begini.

Sikut kanan Hayat bertumpu pada lengan sofa, sementara jemarinya tertekuk menopang pelipisnya. Rambutnya tampak rancung-rancung ke depan. Ekspresinya datar.

Tahu-tahu satu episode usai. Teaser lagi dari serial berbeda. Masih saja diselingi potongan adegan yang bikin aku kurang nyaman.

“Kenapa sih suka ada adegan gituannya,” aku tidak dapat menahan diri untuk tidak menyampaikan komentarku. Walaupun aku sudah punya perkiraan seperti apa ia bakal bereaksi. Siap-siap jijik lagi, Tiaracitra…

“Iya, gue juga enggak suka,” ucapnya.

Membuatku menoleh padanya hingga dua kali.

“Sejak kapan lo enggak suka?”

“Sejak nyokap gue ngambek dan enggak ngisi rekening gue dan jadinya gue harus puasa.” Ia sama sekali tidak menoleh padaku.

Aku harus menyampaikan terima kasih sama mamanya Hayat!

[]

Terlelap sebelum jam tiga dan terjaga sebelum jam delapan itu anugrah. Hayat merasa masih agak mengantuk, sekaligus terlalu segar untuk kembali tidur. Ia membuka jendela lebar-lebar. Cerah merajah. Diterjang sejuk, ia mencari-cari lagu yang kira-kira pas untuk mendukung suasana pagi itu. Di antara tumpukan CD berisi koleksi mp3, yang ia kumpulkan semasa SMA. Bibirnya mengapit rokok, asapnya meliuk tipis. It was a fine bright day, Hayat teringat pembuka suatu cerpen yang pernah ia baca namun tidak pasti akan judulnya. Sesuatu in the park dan pada Sunday[1], tapi ini in the room dan pada… hari apa ini? Rasanya sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melihat kalender. Yaitu pada hari wisuda Ayudh. Aduh. Hari wisuda atau hari tunangan, ia juga tidak pasti. Ia tengadah sejenak. Langit terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulutnya terlalu tawar untuk dicemari rokok. Hayat tersengal. Apa ini, epifani lagi? Ia menyeret asbak lalu memadamkan bara.

Selang sejam kemudian Tiaracitra menapaki tangga perpustakaan. Di belokan yang dibatasi dinding kaca, ia berhenti. Kepalanya terangkat sedikit. Terpikat langit. Begitu jernih. Semoga pikirannya juga, saat mengerjakan TA nanti. Dan hatinya, kalau-kalau ada orang kurang waras yang harus ia hadapi. Setelah desahan panjang yang optimis, ia melanjutkan langkah dengan senyum tipis. Ia akan memilih bangku di pinggir jendela, supaya tetap terpapar cerahnya hari.

Baru saja ia merapikan barang-barangnya di meja, lalu pandangannya tak sengaja menyapu puncak gedung di seberang perpustakaan.

Langit terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulut terlalu tawar… Hayat masih saja terpana. Ia kini bersila di atap gedung seberang perpustakaan. Bahkan angin dengan ramah membelai-belai rambutnya yang sekaku ijuk. Jemarinya sudah mengepit puntung, tapi, ia masukkan lagi ke kotaknya di saku kemeja flanel yang ia kenakan. Sekali lagi meringis. Sepertinya ini hari yang baik… untuk bertemu Ayah.

Sepertinya ini hari yang baik… untuk mengingatkan Hayat pada TA. Suasana mendukung begini sangat sayang untuk diabaikan. Sekadar tanya saja, Yat, TA lo udah sampe mana?

Ke atap, Cit.

Tatapan Hayat menyambutnya saat ia sampai. Bersila di tengah atap seraya bersidekap. Bahkan cowok itu pun tersenyum! Oh! Puja-puji bagi semesta alam.

“Hari ini lo mau ngapain, Cit?”

Ngapain? Ya ngerjain TA-lah, ngapain lagi?

“Jalan yuk. Bosen ngampus mulu.”

Tiaracitra terperangah, lalu menyambut dengan semringah. “Ayuk, jalan-jalan!”

Mereka pun menaiki angkot. Sepanjang jalan Tiaracitra bertanya-tanya ke mana cowok itu akan membawanya. Cowok itu diam saja, tapi ekspresinya menyenangkan. Ternyata mereka berhenti di tepi jalan menuju kosan Hayat.. Cowok itu hendak mengambil kendaraannya. Motor bebek biasa. Ia menyodorkan helm kulit bermodel vintage pada Tiaracitra, sedang ia sendiri mengenakan helm full face. Lalu mereka berkendara ke utara kota, melalui jalan menanjak. Kepadatan bangunan di kiri-kanan mulai berkurang. Angkot semakin jarang. Udara semakin sejuk segar. Tiaracitra kembali menduga-duga… minum susu murni?, mengudap ketan bakar?, perkebunan stroberi?, kebun bunga?, peternakan sapi?, atau sekadar mengamati cekungan yang mewadahi kota?

“Lu mau jadi seniman kan, Cit?” sayup-sayup suara Hayat disabet angin. “Lu mesti ketemu ayah gue.”

…ketemu ayah?

Lahan terbuka semakin luas mengisi kiri-kanan jalan yang disusuri Hayat. Tiaracitra sama sekali tidak menyangka di mana mereka akan berhenti. Tahu-tahu saja Hayat menarik rem. Di sebelah kiri mereka kini terdapat bangunan bernuansa saung-saungan, dengan dinding kayu dan atap ijuk. Warna hitam mendominasi. Dari balik semak-semak yang tumbuh di halaman bangunan tersebut, berdiri seorang pria bertubuh tegap. Rambutnya panjang bergelombang. Mukanya yang dirimbuni kumis dan cambang tidak sedikitpun menutupi keramahannya. Sebelah tangannya menggenggam sabit.

“Hai, Matahari!”

Hayat hanya menjawab dengan senyum, lalu menyuruh Tiaracitra untuk turun. Sementara Hayat dengan motornya melalui jalan berbatu yang mengarah ke bagian belakang rumah tersebut, Tiaracitra memerhatikan kotak besar di muka jalan. Warna cat tulisan itu sudah memudar. Yang jelas terbaca hanya “Galeri”, lalu selebihnya ia harus mengeja. Tapi Hayat keburu memanggilnya.

Hayat dan pria itu bersalaman, hanya jabat tangan yang kencang. Malah sepertinya hanya tangan pria itu yang kukuh. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Hayat. Ternyata ada beberapa baris uban di rambutnya, tadi tidak begitu terlihat. “Ini, temen,” Hayat menunjuk Tiaracitra dengan sebelah tangan. Pria itu juga menjabat tangan Tiaracitra kuat-kuat. Tiaracitra berusaha untuk tidak meringis.

“Udah makan belum?” tanya pria itu yang sepertinya hendak beranjak lagi.     

“Belum,” jawab Hayat pelan.

“Makan dulu gih.” Lalu ia kembali ke tempatnya semula, jongkok dan menyiangi rumput. Di bibirnya sudah terapit rokok, yang sebelumnya terselip di balik telinga dan tersembunyikan oleh rambut gondrongnya. Tiaracitra baru menyadari.

Mereka masuk melalui pintu di samping rumah tersebut, menuju sebuah area terbuka. Pandangan Tiaracitra mengitari suasana natural tersebut. Lumut mewarnai beberapa bagian dinding. Barisan genteng yang menghitam di bawahnya. Tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitarnya. Aroma tanah yang begitu gelap dan lembap meruap. Seonggok sepeda roda tiga di pojok yang satu. Sebatang pohon rindang di pojok yang lain. Hampir Tiaracitra menabrak tiang jemuran dari kayu, kawat-kawat merintang membentuk jalur-jalur dari puncak satu ke puncak yang lain. Seorang wanita paruh baya di pojok yang lain sedang menyapu dedaunan dengan sapu lidi, berhenti sejenak untuk menyambut Hayat dengan tatapannya. Tiaracitra tidak melihat senyum. “Makan, Bik,” kata Hayat. Wanita itu malah lanjut menyapu, tapi tidak lama. Rupanya ia hanya merapikan pekerjaannya, sebelum memasuki ruangan gelap yang sepertinya dapur. Kepala Tiaracitra bergerak-gerak, mencoba untuk melihat isi ruangan tersebut dari jauh. Ia takjub ketika mendapati tungku. Karena Hayat duduk di kursi di sebelah luar ruangan tersebut, Tiaracitra pun turut. Pandangannya masih mencuri-curi. Sempat ditangkapnya tangan Hayat yang menempel dekat bibir. Ia kira Hayat bakal merokok, tapi ternyata tangan cowok itu kosong saja. Menyadari gelagat Tiaracitra, “Masuk aja,” katanya. Tiaracitra mengangkat kepala, lalu menggeleng dengan malu, “Enggak ah.”

Beberapa lama Tiaracitra hanya mengamati induk ayam yang tengah mengajari anak-anaknya mematuki tanah, dilatari ciak-ciak dan krik-krik yang entah berasal dari mana. Nyaris tertidur, tapi nasi goreng sudah datang. Lengkap dengan dua gelas air bening di meja di samping Hayat. Tiaracitra bahkan sampai lupa bilang tadi kalau ia sudah makan. Selamat menambah lemak, cewek itu kurang bersemangat. Ia mengangkat dedaunan yang menghiasi tepian piring. Hayat meliriknya. “Nasi goreng, pake lalap.” Tiaracitra mengangguk, lalu mulai melumat jatahnya pelan-pelan.

Hayat menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu menaruh piring yang sudah kosong di meja di sampingnya. Tiaracitra masih separuh. “Boleh dilanjutin nanti, enggak?” Cowok itu mengambil piring Tiaracitra, lalu meletakkannya di atas piring yang sebelumnya. Hayat segera menandaskan minumannya, lalu beranjak. Tiaracitra juga mengambil jatahnya di meja yang berjarak satu kursi darinya itu, lalu menenggaknya buru-buru sebelum mengejar Hayat.

Ada pintu lagi di pojok bagian belakang rumah itu, yang sedari tadi terbuka. Hamparan kebun di baliknya. “Waah…” Tiaracitra tercengang. Cewek itu mengekor Hayat menyusuri pematang.

“Ini punya kamu, eh, keluarga kamu?”

Cowok itu mengerutkan kening. “Bukanlah.”

Tiaracitra merasa suara mereka begitu lepas di tempat yang sangat terbuka ini. Langit seakan tak berbatas. Beberapa bangunan tampak kecil saja di seberang.

“Tadi itu… ayah kamu?”

Gumaman Hayat mengiyakan.

“Tadi ayah kamu manggil kamu Matahari…”

“Nama gue kan artinya matahari…”

Mulut Tiaracitra membulat.

“Kalau kakak gue, bulan. Namanya Lunamun Chandra. Terserah lu mau panggil dia apa, Luna, Mumun, apa Chandra.”

“Ya ya.” Cewek itu mengangguk-angguk. Diamatinya tanaman-tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan yang telah ia lalui. Ia mengira-ngira. Wortel. Kentang. Tomat. Kubis. Loncang. Lalu geli sendiri dengan terkaannya, kalau-kalau tidak tepat. Di depannya Hayat berjongkok.

Cowok itu menggenggam segumpal tanah. “Ini tanah apa coba?” Tiaracitra menjawabnya dengan cengiran. “Kuliah di jurusan apa lo, nama-nama tanah aja enggak hapal.” Ya ampun ini kan dasar banget. Ia ingin melemparkan gumpalan tersebut ke rok terusan Tiaracitra, tapi sepertinya cewek itu malah bakal menangis. Mereka kan tidak seakrab itu, Hayat seolah baru menyadarinya. Cuman intim di alam mimpi. Sekarang pun Hayat sudah (atau mungkin hanya sedang) terbebas dari gangguan itu. “Kirain keluarga lo enggak di sini. Lo enggak tinggal bareng ayah lo?” terdengar suara cewek itu sementara Hayat berpikir. “Kejauhan dari kampus, ya?” kata cewek itu lagi seolah menanggapi sendiri yang sebelumnya tidak digubris Hayat. Hayat pun duduk di pematang itu. Dengan ragu-ragu, Tiaracitra membenahi roknya lalu duduk juga di samping cowok itu. Sesekali ia mengecek seberapa parah tanah mengotori pakaiannya. Tidak begitu menempel sih. Biarkan saja deh.

“Ceritanya… dulu orangtua gue kawinnya cepet. Di kampus situ juga. Ayah di Kriya, nyokap gue di jurusan yang lebih basah. Tipikal pasangan nekat gitulah. Orangtuanya nyokap gue enggak setuju. Tadinya mau kawin lari, tapi enggak jadi. Akhirnya dinikahin aja. Terus selagi hamil kakak gue gitu, nyokap gue kuliah… selesai… kerja… mapan… terus enggak bareng lagi sama bokap. Selesai.”

“Oh… orangtua kamu udah… cerai?” tanya Tiaracitra dengan pelan sekaligus tak enak hati.

Hayat tidak menjawab, tapi tampang cowok itu biasa saja.

Tiaracitra merasa matahari sudah menyengat kulitnya. Alamak. Makin gosong saja nanti. Ia bersyukur ketika Hayat akhirnya mengajaknya kembali ke rumah. Ia dibawa ke sebuah ruangan besar di tengah rumah yang adem sekali. Sesaat begitu mengempaskan tubuh ke sofa, beragam warna menyerbu pandangan Tiaracitra berganti-ganti. Hayat memberinya sekaleng soft drink. Titik-titik air  memenuhi permukaannya yang belum terjamah tangan. “Lemes banget,” komentar Hayat. “Capek,” tanggap Tiaracitra. “Lu ada penyakit?” tanya cowok itu lagi. “Anemia.” Cowok itu menenggak minumannya. “Yah, kirain…” Terus kenapa, apa cowok ini mengharapkannya mengidap penyakit yang lebih serius. Tiaracitra menatap Hayat dengan sebal, tapi cowok itu tidak melihat.

Masih di ruangan itu, mereka duduk berdampingan sambil mengudap nasi timbel. Sembari membuka helai demi helai daun yang melapisi nasinya, tanya Tiaracitra, “Ini bikin sendiri?” Hayat menjawab dengan gumaman. “Sepi.” Sekilas mata Tiaracitra menyapu instalasi-instalasi besar yang mengisi bagian tengah ruangan. Terasa begitu lapang, dan gelap. Walau matahari dapat meneroboskan cahayanya dengan leluasa. Barisan bohlam tersaput debu melekat di langit-langit. Tegel berwarna kelam, namun yang menyusun tepi ruangan berhiaskan corak bernuansa etnik. “Biasanya ada cewek,” kata Hayat setelah jeda lama. “Cewek?” ulang Tiaracitra. “Siapa?” Hayat menjawab, “Enggak tahu. Suka ada aja, cewek.” Tahu-tahu Tiaracitra merasa dingin. “Lo bisa ngeliat, Yat?” Cowok itu tampak mencibir, dengan gelas dipegang tangannya. “Ya bisalah. Gue punya mata.” Tukas Tiaracitra, “Maksud gue, ngeliat yang gitu-gitu…!” Cowok itu mengernyit. “Manusia,” tegasnya. “Manusia?” ulang Tiaracitra. “Iya, ceweknya manusia.” Tiaracitra tertegun. “Terus siapa?” Cowok itu mengedikkan bahu. “Males tanya, gue.” Tanya Tiaracitra lagi, “Pencuri? Orang gila? Berbagai kecurigaan segera mengisi benak cewek itu. “Pelacur.” Hayat meletakkan gelas di meja. Tiaracitra enggan bertanya-tanya lagi. Cowok itu benar-benar suka asal kalau bicara.

Sisa siang mereka habiskan di ruangan itu juga. Tiaracitra sempat menjelajah ke ruangan-ruangan lain yang lebih kecil. Hayat bilang ayahnya suka menggunakan bahan-bahan dari alam. Maka cewek itu memerhatikan bagaimana instalasi-instalasi itu dirakit, menerka-nerka apakah ia bisa membuat yang semacam itu dengan kreasinya sendiri. Sesekali ia mengamati suatu instalasi lama-lama, lalu menyadari bentuk-bentuk tertentu dari benda itu yang membuatnya malu. Ini pasti gara-gara bergaul dengan Hayat. Hih. Bapak-anak sama saja! Perhatian Tiaracitra tidak meluputkan lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, terutama pada ruangan-ruangan lain yang lebih kecil tersebut. Bahkan lukisan pun… hm… Tiaracitra tidak bisa melanjutkan. Ia beralih ke lukisan lain, yang semoga lebih aman bagi matanya.

Dari ambang pintu Tiaracitra bisa melihat Hayat tiduran saja di sofa, sambil membaca buku. Seharian ini ia sama sekali tidak melihat Hayat mengeluarkan rokok, walau ia tahu kotak itu tersimpan di saku kemeja flanel cowok itu. Ini memang hari yang bagus, senyum Tiaracitra, walau akibatnya tidak ada kemajuan untuk TA, perasaannya jadi agak kecut.

Sesekali tatapan Hayat berpindah, dari barisan kata-kata ke atas halaman yang terbentang. Cewek itu betah juga melihat-lihat. Ia sih sudah bosan. Biasanya ia kemari sendirian, dalam suasana hati yang buruk. Bengong sampai petang. Tapi ia sedang butuh uang. Sampai mana tadi. Hayat mengulang baca dari pojok kiri halaman. Novel ini, berkali-kali dibaca, tetap saja tidak dimengertinya. Ibunya membeli novel itu dalam suatu perjalanan bisnis ke Swiss. Sekadar oleh-oleh yang tampak berbudaya bagi putranya, ia sendiri tidak baca. Judulnya Ulysses. Kenapa novel sejelimet ini harus tercipta di muka bumi, Hayat tak habis pikir.

Cewek itu sepertinya hendak duduk di sofa. Hayat melipat kaki. Setelah beberapa paragraf, dilihatnya cewek itu termenung saja. Hayat menengok arloji yang semula terpendam di saku celana.

“Kalau enggak lama sekalian, dikasihnya juga kurang banyak.”

Tiaracitra tidak mengerti.

“Lu enggak pingin jadi seniman juga, Yat, kayak ayah lu?”

Hayat tergelak, seakan itu pikiran yang bodoh. “Enggaklah.”

Tiaracitra bungkam lagi.

“Eh tapi pernah deng,” suara Hayat menggema dalam hening. “Gue pernah bercita-cita pingin film gitu, pokoknya film-film nyeni gitulah.”

“Seni erotika,” Tiaracitra berusaha untuk tidak muntah saat mengucapkannya.

“Bener.” Kepala Hayat mengangguk sedikit. “Tapi yang main orang Indonesia lah. Emangnya cuman Eropa aja yang bisa.”

“Semoga mimpi lo enggak pernah terwujud.”

Cowok itu tersenyum saja, disertai gumaman pelan. Matanya pada bacaan. 

Menjelang jam lima barulah anak dan ayah bertatap muka lagi. Mereka duduk di ruang depan. Tiaracitra di samping Hayat. Ayah Hayat di hadapan mereka. Selama obrolan yang secara mengejutkan hanya sebentar itu, Tiaracitra mengamat-amati Ayah Hayat dengan saksama. Mungkin begitu juga rupa Hayat kalau berbulan-bulan tidak cukuran. Bahkan daun telinga mereka sama bulatnya. Wajah berseri-seri milik pria itu nantinya terus terbayang-bayang di kepala Tiaracitra, bahkan ketika cewek itu sudah sampai di rumah. Perpisahan pun terjadi. Ayah Hayat menarik lipatan uang dari saku celana pendek yang ia kenakan. Hayat menerimanya. Pria itu menepuk-nepuk kepala Hayat. “Baik-baik, ya.”

Pria itu telah kembali ke dalam rumah, atau galeri. Dengan tampak depan seperti itu, siapapun tidak akan menyangka kalau bagian dalam rumah itu begitu luasnya. Motor Hayat sudah di tepi jalan. Helm sudah membungkus masing-masing kepala. Tapi Hayat masih menghitung. “Bokap gue tuh kayaknya suka ngitungin gitu, berapa jam gue ada di rumahnya, terus dikaliin deh…” Ia menyerahkan selembar yang berwarna biru pada Tiaracitra. “Gantinya kopi. Enggak usah kembali.” Cewek itu bahkan sudah lupa.

Hayat menurunkannya di kampus. Tiaracitra sebetulnya ingin cowok itu mengantarnya sampai ke depan rumah Nenek. Tapi ia sungkan meminta. Biarlah. Anggap saja kelebihan dari gantinya kopi ini sebagai pengganti ongkos angkot.

nen9 Qo lUm pul9? uD Q tnGGuin l0h

Tiaracitra mendesah.

Ia menghitung. Goban dikurang kopi dikurang ongkos angkot… ting-ting-ting… dikurang ongkos angkot ke toko buku… sepertinya cukup untuk buku setipis itu. Baiklah. Toh ini demi kebaikan bersama, kepentingan bangsa. Begitu lewat mas-mas alay itu nanti, ia akan berjalan cepat-cepat sambil melempar buku itu—Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.



[1] Ingatan Hayat merujuk pada  cerpen Bel Kaufman, “Sunday in the Park”, yang sebenarnya redaksinya tidak persis seperti itu.

Senin, 29 Juli 2013

Norwegian Wood: Pembacaan Kedua

Norwegian Wood cetak ulang! Masih ada sisa duit (yang sekarang tidak lagi)!

Pada pembacaan kali ini, novel di tanganku adalah milikku pribadi (yang dibeli dengan duit orangtua tentu saja haha *tawakering). Jadi aku bisa menandai bagian-bagian tertentu dengan pensil. Beberapa poin pikiran yang muncul pada pembacaan kedua sebetulnya relatif sama dengan pembacaan pertama. Tapi ada beberapa hal pada pembacaan pertama yang belum aku sampaikan di blog, pun beberapa hal yang baru aku sadari pada pembacaan kedua.

Dalam artikel tentang proses kreatifnya, Haruki Murakami berkata, “Saat menjelaskan sesuatu kepada pembaca, saya harus pelan-pelan dan menggunakan kata-kata yang tidak sulut dicerna, metafora yang masuk akal, alegori yang baik. … Saya harus menyampaikan cerita dengan hati-hati dan bahasa yang jelas.”

Barangkali itu sebabnya ketika membaca Norwegian Wood aku seperti mendapat semacam ketenangan. Seolah apa yang kukutip itu terbukti. Setiap habis membaca bagian demi bagian dari novel ini, aku seakan terpengaruh untuk menuliskan secara jelas dan rinci apapun yang melintas di kepalaku. Dalam seminggu selagi membaca novel ini, aku menghabiskan tiga puluh lebih halaman A4 untuk cacatan harian (plus 24.000 kata draf CampNaNoWriMo-Juli-2013). Biasanya tidak sebanyak itu. Interaksi di antara Toru dengan Midori juga kadang-kadang menyegarkan.

Aku masih terkesan dengan karakter Toru Watanabe selaku protagonis dalam novel ini. Kali ini yang aku soroti adalah cara pandangnya, seolah tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Walau perkuliahan membosankan, tapi ia menganggapnya sebagai latihan menghadapi kebosanan. Sementara bagi Midori aturan conditional dalam bahasa Inggris dan trigonometri itu tidak penting, Toru menganggapnya sebagai latihan untuk berpikir sistematis. Seperti yang ia bilang pada Naoko, saat cewek itu membayangkan kemungkinan buruk apabila mereka bersama, pada dasarnya ia orang yang optimis.

Aspek menarik lain dari novel ini adalah seksualitasnya. Aku bisa menulis panjang-lebar terkait ini, tapi untuk kenyamanan satu sama lain monggo dibaca saja artikel ini. Lucu saja ketika ada yang menyebut karya Haruki Murakami ini sebagai pornografi—sensitive-dude-pornography. Setelah membaca artikel tersebut dan membaca lagi Norwegian Wood, aku pikir-pikir, Iya juga sih.

Kenikmatan pembacaanku sebetulnya terusik dengan adanya unsur romance—cinta-birahi-semacam-itu. Tapi bukannya Norwegian Wood memang novel romance? Cinta segitiga antara Toru-Naok0-Midori. Toru mencintai Naoko yang mengidap gangguan jiwa. Karena itu pulalah Naoko merasa dirinya tidak layak dicintai. Di sisi lain, Toru didekati Midori yang begitu periang. Toru tidak bisa serta-merta berpaling pada Midori karena cintanya pada Naoko. Tapi toh Naoko meninggal juga. Midori pun sudah tidak cocok dengan cowoknya. Apa sebetulnya yang diupayakan Toru ini? Novel ini lebih merupakan suatu revelation alih-alih resolution. Aku lebih suka memahami novel ini sebagai slice of life. Penggalan kehidupan yang acak dan kompleks. Ada problem yang lebih dari sekadar romance. Problem mendasar.

Ada beberapa momen dalam novel ini yang kuidentifikasi sebagai problem eksistensial. Di awal, Naoko meminta Toru untuk tidak melupakannya. Di tengah, Toru merasa bersalah karena ingatannya pada Kizuki memudar sekaligus sadar kalau ingatan manusia memang terbatas. Di akhir, lewat telepon Midori bertanya Toru sedang di mana namun Toru tidak bisa menjawabnya.

Sekarang aku di mana? Sambil tetap memegang gagang telepon, aku mengangkat muka, dan menebarkan pandangan ke sekeliling. Aku sekarang berada di mana? Tapi aku tak tahu di mana itu. Juga tak bisa mengira-ngiranya. Sebenarnya di manakah aku ini? Yang tampak di mataku hanya sosok tubuh orang-orang yang tak terhitung banyaknya sedang berjalan entah menuju ke mana. Aku terus memanggil-manggil Midori dari tengah-tengah tempat entah di mana. –halaman 426[1]

Seandainya aku mahasiswa Filsafat, mungkin ini bakal jadi tema skripsiku. He.

Tapi ada juga beberapa orang yang merasa tidak mendapatkan pesan moral dari cerita ini, maupun mengeluhkan nuansanya yang kelewat muram. Sebetulnya ada bagian di mana Toru menyatakan sikapnya terhadap bunuh diri, yang bisa dikatakan sudah merupakan suatu pesan moral (menurut seseorang di suatu forum berbahasa Indonesia tentang Haruki Murakami). Selain itu kukira ada semacam “kekebalan” bagi orang yang sudah terbiasa larut dalam kemasygulan, sehingga yang lebih mengena baginya dari novel-suram semacam Norwegian Wood ini justru sisi hiburan dan pemikiran.

Pada akhirnya memang optimisme Toru berangsur-angsur pudar hingga ditutup dengan kegalauan. Ketimbang terseret dalam suasana itu terus, mending aku ingat-ingat saja kutipan berikut darinya. Mungkin berguna.

Jangan terlalu serius memikirkan segala sesuatu… —halaman 35        

…menjadi serius tidak selalu sama dengan mendekati kebenaran. –halaman 36

… “… Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?” –halaman 209

[]






[1] Diterjemahkan oleh Jonjon Johana. Cet. Keempat, Mei 2013. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta

Minggu, 28 Juli 2013

(8)

TIARACITRA

Aku baru saja memasuki lobi lantai dua ketika melihat cewek itu, beralih dari tangga dari lantai satu menuju tangga ke lantai tiga. Kepalanya merunduk. Langkahnya tersaruk. Ia seperti menjelang cahaya, yang menyorot melalui dinding kaca di peralihan tangga berikutnya. Ia masih mengenakan sweater tebal dan rok lipit… pakaian yang sama dengan yang aku lihat di pertemuan sebelumnya? Aku urung menelusuri lantai dua lebih dalam. Tadinya aku mau semacam menjelajah gitu. Mencoba ruangan demi ruangan di bangunan ini, lalu pada akhirnya menemukan mana yang ter-cozy.

“Boleh ikut duduk?” tanyaku pada cewek itu. Aku menemukannya duduk di salah satu bangku yang berderet di pinggir jendela. Tampaknya ia sengaja memilih area yang bisa menyingkirkan kesuramannya. Ah. Maafkan aku. Semoga ia tidak bisa dengar batinku. Bagaimanapun tanpa menanti jawabannya, yang aku kira tidak akan keluar, aku sudah terlanjur duduk di hadapannya dan meletakkan barang-barangku di antara kami. Tidak ada barang selain milikku di meja, tampaknya ia tidak membawa apapun.  

Ia mengangkat kepalanya sedikit. Kedua tangannya tersembunyi di bawah meja.

Aku menjulurkan tangan. “Namaku Tiaracitra.”

Sesaat tanganku menggantung saja.

Aku lanjutkan dengan menyebut jurusan dan angkatanku. Barulah ia  menyambut. Matanya seakan ingin menyiletku.

“Cecilia.” Ia dari Farmasi. Setahun di bawahku.

Dalam hati aku merunduk, menghitung-hitung berapa lagi mahasiswa seangkatanku yang tersisa di kampus ini. Memalukan…

Beberapa lama kami hanya diam. Sebetulnya aku mencari-cari topik untuk dibicarakan. Cecilia udah TA? Kira-kira menyinggung tidak ya. Tapi kan secara angkatan aku lebih tua. Seharusnya pertanyaan itu lebih sensitif buatku. Cecilia apa kabar? Cecilia sebenarnya yang kemarin itu kejadiannya gimana sih? Cecilia di Farmasi belajar apa aja? Cecilia… Seandainya aku anak persma, mungkin aku bisa memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik… Aku melirik saja ke jendela sementara berbagai alternatif pertanyaan berkecamuk di kepala. Oke. Sebetulnya aku menghindari tatapannya. Sekarang dengan mata-siletnya itu ia seperti ingin mengulitiku. Apa keputusan untuk menegurnya ini salah. Aduh. Aku beranikan diri membalas tatapannya. Kami seperti dalam perlombaan saling menatap. Yang bisa menatap lawannya paling lama yang menang.  Sewaktu kecil aku dan teman-temanku suka melakukan permainan ini, yang selalu berakhir dengan tawa berderai-derai. Tapi yang kali ini sangat amat tidak lucu sekali. Menakutkan.

“Kenapa?” tanyaku akhirnya dengan rada gugup. “Rambutku kurang rapi?” Jemariku berlagak membenahi sisi kepala. Padahal yang ia tatap kan mataku. Adakah skenario yang lebih baik?

“Rambut kamu bagus. Emang aslinya ikal gitu ya?”

“Ya…?” Mungkin kami bisa mulai membicarakan rambut. Apa aku boleh menanyakan merek samponya? “Rambut kamu juga, lurus, jatuh, bagus. Aku suka rambut lurus. Kayak iklan sampo.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Daripada tidak terpikir apa-apa sama sekali? Huff…

“Kamu korban iklan ya?” Suaranya kali ini terdengar begitu jernih, tidak serak memilukan seperti kemarin. Apa ini juga efek duduk di pinggir jendela? Tapi kepalanya yang agak menunduk itu, sementara matanya tetap menyorot padaku semakin bikin aku… seram, rada seram. Ia tidak bakal tiba-tiba menjulurkan kedua lengannya, mengapit leherku, lalu menggigit leherku kan? Hauh.

Aku menggeleng.

Akhirnya ia menarik kepalanya. Kedua lengannya bersidekap. Aku mulai menimbang-nimbang, lebih menakutkan mana antara ia dengan Hayat.

Kembali kami diam. Kembali tatapanku jatuh ke tepian meja.

“Mana yang satu lagi?” tanyanya mengangkat kepalaku. Tapi begitu aku dapati tatapannya yang menyelidik, rasanya aku ingin lari lagi.

“Oh. Enggak bareng,” kataku.

“Pacar kamu?”

“Oh. Bukan,” kusertai gelengan.

“Bagus. Jangan pacaran sama dia.”

Tentu saja.

“Aku benci dia.”

Hei. Apa cewek ini sudah mengenal Hayat sebelumnya?

“Kenapa?” tanyaku hati-hati.

“Dia enggak seharusnya kayak gitu sama orang yang mau bunuh diri,” Kedua sikunya menapak di meja. Hanya ujung-ujung jemarinya yang tampak, selebihnya tenggelam dalam sweater rajutannya yang gombrang. Sementara kuku-kukunya saling beradu, tatapannya masih lekat padaku.

Sejenak aku terperangah. “Jadi bener kemarin kamu mau bunuh diri?” sepelan mungkin aku mengucapkannya.

“Ya. Di jam-jam habis kuliah. Biar rame. Biar orang-orang tahu aku mati.” Kuperhatikan matanya yang membulat di bagian atas, lalu menyipit di ujung, barangkali ada kegentaran. Sepertinya ia sadar aku memandanginya dengan begitu serius. “Jangan liat aku kayak gitu.”

Aku terkesiap. Kutempelkan punggung ke sandaran namun masih dalam posisi tegak.

“Tapi cowok itu… cowok itu…” malah pandangannya yang beralih ke jendela. Kukira mengingat Hayat bikin napasnya tidak stabil. Bisa kumengerti. Kadang aku segeregetan itu juga dengannya. Ia kembali menoleh padaku. “Bukannya kalau kamu pingin mati, kamu pingin ada orang yang mencegah kamu?”

“Eh?” Aku tidak pernah terpikir untuk mati sebelumnya. Aku masih bisa membayangkan masa depan di dunia. Bekerja dengan celemek di dapur dan menjadi ibu rumah tangga yang berbahagia, hal-hal indah seperti itu…

“Tapi cowok itu…! Bedebah! Ada orang yang mendukung aku buat mati! Kamu tahu rasanya itu?!” Dia tiba-tiba berdiri. Lalu setelah teriak-teriak begitu, dia meninggalkanku. Orang-orang memandangku, memandang Cecilia. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas mereka. Semoga mereka segera mengabaikanku. Mungkin aku tenggelamkan saja kepalaku di bawah meja, lalu menghitung sampai seribu, dan begitu aku mengangkat kepalaku, orang-orang yang kulihat bukan lagi orang-orang yang sama, atau mungkin aku sudah berada di negeri lain.

Sabtu, 27 Juli 2013

Pertolongan Buaya

http://weeklylibery.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

Frannie si Kodok merasa lelah. Tapi ia harus mengarungi arus supaya bisa sampai ke rumah. Buaya tua besar bernama Tex menawarkan tumpangan di punggungnya.
                “Kamu mau memakanku,” kata Frannie.
                “Aku janji aku tidak akan memakanmu, kalau kamu mau mengajari aku caranya membuat suara kroak-kroak yang keren itu,” kata Tex.
                Frannie pun melompat ke punggung Tex lalu dimakan.[]


Amanat: jadi kodok jangan goblok


sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain