Ardian:
Bibe sayang. Akhirnya selesai juga saya garap komposisi-komposisi baru. Waktu baru sampai di sini berapa bulan lalu, waduh, kepala rasanya amburadul. Lalu saya diam saja di apartemen teman saya, cuman mencet-mencet piano. Kadang-kadang ke studio. Sebagian ada sih yang sudah jadi waktu masih di Bandung. Sebenarnya banyak lagi di kepala ini yang mau dikeluarkan. Tapi untuk sementara yang sudah jadi dulu saja saya bagi-bagi. Minta pendapat orang-orang.
Jadi ingat. Belum lama waktu saya baru balik ke Bandung. Mungkin baru beberapa bulan. Saya ikut jipnya Kang Ahéng, lalu menemukan Kamus Kecil Sunda – Indonesia karangan Pak M. O. Koesman di dashboard. Itu buku sudah lama sekali dari tahun 1984. Lalu saya baca-baca. Ternyata waktu pagi anaknya Kang Ahéng mengerjakan PR Basa Sunda di mobil. Hahaha saya juga dulu sok kitu (:suka begitu). Untung keburu. Lalu Kang Ahéng bilang itu buat saya saja. Nanti beliau beli lagi.
Duh. Bibe. Rasanya tiap kata di kamus itu bikin piano di kepala saya jadi berisik. Membacanya enggak sesulit membaca kamus bahasa Jerman. (Padahal dulu saya enggak senang buka kamus tapi lama-kelamaan butuh karena pergaulan.) Apalagi karena memang saya dulu sudah akrab sama bahasa Sunda. Banyak juga yang sama dengan bahasa Indonesia. Misal ada yang artinya sama, seperti “kuda”, “angin”, “batu”, “jalan”, “sawah”, “gunung”, jsb. Tapi ada juga yang beda misalnya “ulah” dalam bahasa Indonesia berarti tingkah laku, sedangkan dalam bahasa Sunda berarti jangan, tidak boleh.
Masih ingat Ambarayah Ambarilé, Bibe? Saya enggak menyangka Teh Ayum bakal pakai nama itu. Padahal saya asal celetuk saja waktu nimbrung obrolan soal rumah makannya itu, waktu baru mau didirikan, sambil baca-baca kamus M. O. Koesman itu. Saya masih ingat beberapa minggu setelah rumah makan itu jadi, saya ajak Bibe ke sana. Menjelang sore Bibe datang. Saya masih mengiringi Ceu Emar sepupunya Teh Ayum nyanyi “A Foggy Day”[1]. Tapi liriknya diganti yang harusnya “a foggy day in London town” jadi “a foggy day in Priangan”. Terus “British Museum” jadi “Rumentang Siang[2]” hahaha. Pas sekali waktu itu kan habis hujan. Di luar masih agak mendung. Bagus sekali Ceu Emar, apalagi ketika melagukannya seperti menyinden. Telinga saya serasa digigit-gigit habis itu digelitiki kemoceng. Brrrr! Untung saya enggak disuruh main lagi. Kita duduk di dekat Aduy, Andar, sama Andihi, masih ingat mereka, Bibe? Terus saya pesan gurame ambarilé, khasnya rumah makan itu. Porsinya besar sekali. Kita makan berdua. Lihat muka Bibe seperti enggak bakal sanggup menghabiskan sendiri hahaha. Lagian saya juga sudah makan itu waktu makan siang. Memang enak sih. Campuran asin, manis, asam, gurih, dan sebagainya meresap merata sampai ke duri-durinya. Makanya disebut ambarilé. Beberapa hari setelah sampai di sini saya masih terkenang-kenang meriahnya rasa gurame itu. Dan jadilah “Gurame Ambarilé”.
Begitu, Bibe. Tiap komposisi ini ada ceritanya masing-masing. Untuk pembuka misal. Saya terinspirasi “Aweuhan Awi Awis” (:gema bambu mahal) waktu anjang ke rumah teman yang punya koleksi alat musik dari bambu. Ada di antaranya dari jenis bambu yang mahal. Sambil santai-santai saya dengar alat musik itu seperti dimainkan angin. Damai sekali. Lalu “Anggel Anggarésol” (:bantal tidak lurus) muncul waktu saya lagi susah tidur. “Aub Angob” (:ikut menguap)—waktu itu saya lagi main ke persawahan punya teman di pinggiran kota. Siang terik panas sekali. Kami minum sari tebu di balé-balé. Tepat di samping saya ada kerbau ikut berteduh juga. Saya sama mengantuknya dengan kerbau itu waktu itu. Saya coba bikin aransemennya untuk saksofon lalu minta teman saya mainkan hahaha. Suara flute mungkin lebih mendekati ya. Tapi dalam suasana begitu rasanya enggak ada yang bisa menggantikan kesyahduan suling bambu. “Arula-arileu” (:berliku-liku) terpikir waktu saya menyetir ke Tasikmalaya, mau menengok saudara Ayah. Kalau bukan saya yang menyetir tapi cuman duduk saja, apalagi di bangku belakang, mungkin saya sudah muntah-muntah. Makanya iramanya cenderung ke swing hahaha. Jangan ikutan pusing, Bibe. Di sana juga saya sempat dengar semacam tembang dari rumah tetangga. Ada baitnya kira-kira begini “…budak leutik bisa ngapung…”[3] (:anak kecil bisa melayang-layang) sampai bikin saya termenung-menung. “Budak kunti meureun,” (:anak kuntilanak mungkin) pikir saya waktu itu. Belakangan ini ketika teringat lagi momen itu saya terilhami untuk memainkannya ulang dengan piano. Begitu juga dengan “Ngancik Enin” (:tinggal di nenek) dan “Hayam Geus Ngampih” (:ayam pulang ke kandang). Itu cerita ketika saya sama adik saya harus tinggal di rumah ibunya Ayah. Ada seminggu lebih. Rasanya seperti berbulan-bulan. Waktu itu orangtua saya lagi keluar negeri. Sedang “Mapay Areuy” (:menyusuri tanaman merambat) tahu-tahu saja muncul waktu saya lagi mengamati lalat naik-naik di gelas saya. Sepertinya waktu itu saya lagi di Cisangkuy[4].
Ah. Banyak juga ternyata. Kapan-kapan disambung lagi ya, Bibe. Saran saya sih langsung saja ke “Antaré” (:santai). Moga-moga bisa mengobati kalau-kalau Bibe lagi capek atau bosan. Juga “Asihan”. Itu mantra supaya disayang orang. Spesial dari Ceu Emar. Beliau juga yang take vocal. Coba saja didengar berulang-ulang barangkali mujarab. Hahaha.
Selamat menikmati ya Bibe.[]
Bibe:
Pernah beberapa kali aku melewati Ambarayah Ambarilé setelah kunjunganku yang pertama… sekaligus yang terakhir. Uang sakuku terasa berat dikeluarkan untuk makan lagi di sana. Selain itu orangtuaku juga sepertinya tidak akan pernah mengajak aku makan di sana sampai kapan pun.
Memindai deretan judul track yang dikirimkan Om Yan menerbangkanku kembali ke masa lalu. Apalagi ketika sampai di “Gurame Ambarilé”. Aku masih ingat samar-samar Om Aduy yang mukanya penuh jerawat, Om Andar yang rambutya gimbal, juga Om Andihi yang bongsor. Aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Lalu setelah kekenyangan makan ikan, dengan mobilnya kami berjalan-jalan tanpa tujuan—nganclong. Sampai ke kawasan yang cukup sepi. Persawahan yang tinggal beberapa petak diapit perumahan dari berbagai arah. Langit agak gelap. Hawa lembap mendekap. Tepian sawah cukup lebar untuk kami ngaleut (:jalan beriringan). Ia mencelup-celupkan tangannya ke air yang menggenangi padi. Memanggilku agar ikut mengamati kodok yang sedang asoy-asoyan (:maju sedikit-sedikit). Kami juga sempat ngala (:memetiki) kersen. Lalu kusadari ia menghilang. Ternyata ia sudah kembali ke mobil. Sandaran joknya direbahkan sebagian. Ia memegang buku kecil yang sampulnya didominasi warna hijau. Tertera tulisan berwarna kuning di atasnya: KAMUS KECIL SUNDA – INDONESIA. Menyambut kehadiranku, ia berpaling sejenak dari bukunya lalu menunjuk langit. “Awang-awang angkeub (:langit mendung),” katanya. …sekarang aku sudah sampai di track berjudul sama… “Aneh enggak kedengerannya? Awang-awang angkeub?” Kukira ia sedang mendengarkan lagu di dalam kepalanya. Ia lalu bercerita tentang ayahnya yang doyan menulis sesuatu dalam bahasa Sunda. Entah puisi, bobodoran (:humor), sampai carpon—carita pondok (:cerita pendek). Lalu aku menyodorkan beberapa tangkai bunga yang kutemukan di pinggir sawah. Ia mengucapkan terima kasih tapi tidak kubiarkan tangannya mengambil. “Bukan buat Om,” kataku. “Tapi buat Tante Ri.” …sekarang judul “Anjang ka Anjeun” (:mengunjungimu) tertera di layar ponselku… Ia tersenyum penuh pengertian. “Hm… Tahu gini mah dibawa ke Lembang aja. Lebih banyak di sana bunganya…” Aku langsung menyambut dengan semringah. “Hayuk! Kapan?”
Lalu ia mengantarku pulang. Sampai ke pintu depan. Walau itu berarti ia harus memarkir mobilnya di seberang gang. Lampu di dalam rumah sudah menyala. Sudah magrib waktu itu. Aku menawarinya masuk. Ia tersenyum sambil berkata lain kali saja. Memang ada Papa dan Mama di rumah. Lalu, sudah tidak mengejutkan lagi sih sebetulnya, Papa senewen. Aku bisa maklum kegusaran Papa karena aku sering pergi dengan laki-laki sebayanya (Om Yan lebih muda beberapa tahun sih) yang belum menikah. Tapi ya aku lawan saja. Aku hanya bersikap sebagaimana aku diperlakukan kan. Lalu sesudahnya Mama mendekatiku. Sempat kami membicarakan prasangka Papa yang bukan-bukan. Mama mestinya memihakku. Om Yan kan teman baik Mama sejak SMA, dan lagi CLBK sama mantan pacarnya waktu di SMA. Jadi kami cuman berteman. Bahkan kadang ia memperlakukanku seperti anaknya sendiri, walau memang sih ia tidak punya anak. Jangan-jangan kalau ia punya anak sendiri sikapnya bakal semenyebalkan Papa? Ujung-ujungnya Mama menasihatiku. Budak teh meni atah adol (:ini anak kurang ajar banget sih), omelnya.
Track berjudul “Aping Pangantén” (:menggandeng mempelai) mengalun. Sehabis ini “Bungah Amarwata Suta” (:gembira sekali) yang bagiku terasa seperti nama orang. Mungkin kalau Om Yan punya anak, ia akan menamai anaknya dengan nama itu.
Toh masa itu sudah berlalu. Papa tidak sering-sering lagi mengusikku. Perhatiannya sekarang lebih tercurah pada Mama yang lagi hamil. Lagipula Om Yan sudah kembali ke Boston tanpa menggandeng istri. Tidak Tante Ri. Tidak siapapun. Kami jarang membicarakan itu karena aku tidak enak saja menyinggungnya. Walaupun baginya mungkin ringan saja. Ia mengocehkannya dalam “Ngaprak Jodo” (:mencari jodoh ke mana-mana)—kusetel ulang. Selang beberapa track di atasnya, ada track yang dijuduli “Ambon” (:cinta sepihak). Aku tidak tahu kenapa aku yang sedih. Aku bekap muka dengan bantal. Sampai track yang baru pertama kali kudengar—“Pagéto Amat” (:sehari setelah esok). Aku mengangkat kepala. Lalu ada bonus track yang dibawakannya bersama Ceu Emar. “Di dinya”[5] (:di sana). Memang, ia tidak lagi di sini.
Aku merasa sangat ambarilé.[]
[1] Berdasarkan lagu “A Foggy Day” oleh Dakota Stanton
[2] Nama gedung pertunjukan kesenian di Bandung
[3] Kalau tidak salah dari pupuh Kinanti
[4] Nama kafe di Bandung yang terkenal karena yoghurtnya
[5] Sebetulnya plesetan dari lagu “Dindinha” oleh Ceumar dari album Putumayo Presents: Music from Coffee Lands II. Sama sekali bukan lagu sunda.
Ini sebetulnya catatan pembacaan yang dimodifikasi. Buku yang dibaca adalah Kamus Kecil Sunda - Indonesia (bagian huruf A doang sih), yang disusun oleh M. O. Koesman dan diterbitkan oleh Penerbit Tarate Bandung, cet. 8, 1996.
Matak hampura alurna kedodoran hehehe. Hatur nuhun sadayana anu tos maca. Sampurasuun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar