Rabu, 04 September 2013

Ringkasan Pertemuan dengan Pong

Pong, 23 tahun, di sebuah kafe di kawasan Cibeunying—Bandung utara—menghadiri reuni OSIS SMA. Di luar, lampu sorot kendaran memecah kegelapan. Satu sedan berhenti di pelataran. Pintunya terbuka. Tapi tidak menghadirkan yang dinanti.

Speaker entah di mana, kali ini mengalunkan musik lembut khas Kings of Convenience. “Toxic Girl”. Pong terdiam, tidak lagi jadi bagian dari kericuhan. Duduknya beringsut sedikit dari kawanan. Musik duo asal Norwegia itu acap membenamkannya ke masa lampau, namun tidak sedalam ini.

Ia lelaki berambut galing, tebal di atas dan tipis di samping. Cambangnya tercukur rapi. Kulitnya kuning berseri. Namun dalam posisi duduk saja, kita dapat menerka tubuhnya tidak tinggi.

“Kenapa ujug-ujug diem, Pong?” Seseorang menegur.

“Lagu ini. Ngingetin gue sama seseorang.”

“Cewek?”

“Gitu deh.”

“Lu persis kayak orang di buku ini.”

Orang itu menunjukkan sampul depan buku di tangannya. Pong melirik. Norwegian Wood. Haruki Murakami. Bahkan pembuka cerita ini pun dibuat mengikuti pembuka dalam novel itu.

“Gimana ceritanya?” Pong tanya tanpa benar-benar tertarik. Buku itu pun diambilnya saja tidak.

“Ya… Dia inget sama orang yang dia suka di masa lalu—cewek.”

“Terus gimana dia sama cewek itu?”

“Ceweknya gila terus gantung diri.”

Pong menggeleng.

“Cewek racun,” temannya berkata lagi.

“Yeah, man.” Bener banget.

“Yeah. Gue tahu lagu itu. Asa pernah liat videoklipnya. Enakeun sih. Kalau di sana mah lagu tentang makhluk beracun teh jadina alus (:jadinya bagus), di Indonesia mah jadinya ‘Keong Racun’.”

Pong menanggapi dengan gumaman yang agak lama, lalu, “Yeah. Sama-sama beracun.” Mereka diam agak lama, sampai Pong melanjutkan, “Deraz tuh yang demen sama lagu-lagu Kings of Convenience.” Kawan bicaranya hanya menanggapi dengan hm, sembari menanti Pong terus berkata.

Pada suatu waktu di SMA, di ruang OSIS, ia dan Deraz bermain gitar. Masing-masing duduk di kursi yang berhadapan. Deraz mengulik “Toxic Girl”. Pong mengiringi.

“Sambil nyanyi dong, Raz,” tegur Pong.

“Enggak ah.” Deraz selalu tahu bagaimana menjaga kharisma.

“Gue kenal enggak sama itu cewek?” si teman menyela kenangan.

Tentu saja Pong tidak sudi bilang kalau temannya itu kenal. Pong hanya cerita, suatu kali ia naik KRD ke Rancaekek. Lalu di tengah jalan, keretanya berpapasan dengan kereta yang memuat cewek itu dengan banyak teman lelakinya.

“Loh, itu kan adegan yang ada di videoklip?” sela si teman. Dan jelas kereta dalam videoklip itu bukan KRD tujuan Rancaekek. Lagipula kapan Bandung raya pernah bersalju setebal itu.

“Intinya, nih,” suara Pong memelan, “hati gue sama dia enggak pernah bersatu.” Dengan kedua belah tangan, ia peragakan bagaimana tangan kiri melesat begitu saja tanpa tangan kanan berhasil menepuknya.

“Terus apa itu cewek ujug-ujug datang ke ruang OSIS, terus, yah, tahulah…?” ada adegan ciuman dalam videoklip itu. Si teman sulit membayangkan. Pong juga. Semua tahu kalau Deraz tidak begitu dekat dengan cewek manapun, atau, mereka berharap mereka tahu tapi senyatanya tidak pernah bisa tahu apa Deraz pernah punya hubungan spesial dengan cewek, ataupun cowok. Tapi Pong tahu, seandainya mungkin, cewek yang dimaksudlah yang pernah berharap dicium Deraz. Tapi si teman tidak ia kasih tahu. “Cewek sekolah kita?”

Tentu Pong tidak bilang. Temannya kembali melanjutkan bacaan. Sedang ia menyusupkan earphone ke lubang telinga, lalu mencari satu lagu milik January Christy di playlist smartphone miliknya, bagaimanapun juga angannya sudah kadung… “Melayang”…

“Ipong…”

“Huh?” Pong menengadah. Ah. Dia. Cara cewek itu melafalkan namanya masih menggelitik telinga. “…datang juga.”

Dulu, saat gejolak diri begitu tak terkendali, segala yang tampak pada cewek itu sungguh merawankan. Matanya yang bulat berbinar, hitam menenggelamkan. Sulur-sulur rambutnya yang panjang menjerat hati sampai sesak. Kulitnya bening menyegarkan. Tubuhnya harum memabukkan. Senyumnya manis menyetrum sampai ubun-ubun.

Mereka saling kenal sejak SMP. Hubungan mereka cukup erat berkat masa-masa berat yang mereka jalani bersama di OSIS, dan di sekolah itu sendiri. Saat Pong didaulat mengisi sopran di ekskul vocal group, para jagoan sekolah berlomba-lomba memacari cewek itu. Saat Pong lagi-lagi dijebak memerankan nyonya cerewet dalam kabaret ekskul teater, pacar resmi para jagoan sekolah ramai-ramai mem-bully cewek itu. Saat Pong telah menjadi senior yang eksis berkat kiprahnya di berbagai kegiatan kesiswaan, sadarlah ia kalau tubuhnya tidak cukup tinggi untuk dapat memenuhi kriteria sebagai pacar cewek itu. Saat Pong memasuki SMA yang sama dengan cewek itu, tahulah ia macam apa sebenarnya cowok yang paling diidam-idamkan cewek itu. Tidak satupun pacar-pacarnya terdahulu. Apalagi Pong. Dan hanya Pong yang tahu, siapa.

“Deraz enggak dateng,” kata Pong. Ditatapnya cewek itu lekat-lekat. “Lagi sibuk co ass.” Cewek itu menjawab dengan gumaman seraya menyeruput minumannya. Selama itu Pong tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Begitu cangkir diletakkan, kata Pong lagi, “Baru co ass dia. Kebanyakan jalan-jalan sih.” Hm, tanggap cewek itu. Sial, masih tiis (:dingin) aja lu. “Sampai kena Montezuma’s Revenge segala hahaha…”

“Montezuma apa?”

“Diare.”

Cewek itu makin hening. Mungkin bagian itu seharusnya tidak perlu diceritakan. Mata Pong bergulir ke atas. Barangkali di langit-langit ia bisa menemukan kata-kata untuk dilontarkan lagi. Tapi mendadak cewek-cewek lain mengerubungi mereka—tepatnya, cewek itu.

“Denger-denger lo mau tunangan ya, Ri?” ricuh mereka.

“…kata siapa?” Tersipu-sipu cewek itu.

Bla bla bla. Kya kya kya.

Lepas dari kafe, dengan motor Pong menyusuri jalanan menuju rumah. Sudah hampir dekat. Tampak jendela bekas kamarnya menyerupai kotak cahaya dalam kegelapan. Di situ Deraz pernah berdiri dengan tangan dan dahi menempel di kaca. Sebelumnya Deraz di teras, mengungkapkan maksud kedatangannya pada Mama Pong. Tapi pintu kamar Pong dikunci. Sementara di dalamnya, Mick Jagger meraung keras-keras, dengan Pong meringkuk di balik ranjang, mengeluarkan asap dari mulut dan air dari mata… sama sekali tidak dengar pintu digedor-gedor mamanya. Deraz pun mencoba lewat jendela yang biasanya memang tidak tersaput gorden.

Melihat sosok jangkung itu mengetuk-ngetuk, buru-buru Pong memunggungi seraya mengusap-ngusap muka, baru membuka jendela. “Mau ngembaliin kaset,” ujar Deraz. Transaksi pun dituntaskan.

Tapi Deraz tidak segera pergi. Mungkin karena baru kali itu ia lihat Pong memegang rokok yang membara, mungkin juga karena tanpa sengaja tahu kalau Pong sedang ada “apa-apa”. Barangkali Pong akan mengajaknya masuk dan menceritakan sesuatu.

Tapi tentu Pong tidak akan bilang. Selama ini ia dekat dengan Deraz bukan hanya karena mereka pernah satu kelas, satu selera dalam bermusik, satu band, satu kepengurusan di OSIS, tapi juga karena ia ingin tahu selera Deraz terhadap cewek, dan bagaimana mendekatkan Deraz dengan cewek itu. Cewek yang walau ia tahu ia bukanlah yang terbaik menurut selera cewek itu, tapi ia tetap ingin melakukan yang terbaik untuk cewek itu. Cewek yang ia harap diam-diam akan menyanyikan “Kamulah Satu-satunya” dari Dewa 19 untuknya—yang liriknya, “Kamulah satu-satunya, yang ternyata mengerti aku… Maafkan aku selama ini…” itu—tidak perlu secara harfiah, yang penting esensinya. Cewek yang lalu putus asa karena perhatian Deraz tidak kunjung sampai padanya, dan lalu memacari saudara kembar Deraz, yang lalu dengan begitu akhirnya Deraz menyadari keberadaannya. Tapi ketika Pong memperingatkan cewek itu akan sikapnya yang mendua, apalah balasannya.

“…elo ju­ga diem-diem suka kan?! Elo selalu bangga-banggain dia (Deraz), ngomongin dia (Deraz) seolah-olah elo yang paling ngerti tentang dia (Deraz). …elo enggak per­nah cerita soal cewek sama gue! Apaan elo, Pong?!”

Bagaimana ia bisa cerita tentang cewek yang ia suka pada seorang cewek kalau cewek yang ia maksud adalah cewek itu sendiri—yang sudah pasti bakal menolaknya?

Karena Pong bungkam saja dengan tatapan nanar, Deraz pun menepuk-nepuknya di bahu dengan sorot simpatik. “Bukan karena cewek kan?” Hm, tanggap Pong yang sebetulnya berarti: “kenapa?”—kalau-kalau Deraz bisa menerjemahkannya dengan tepat. Ucap Deraz, “Enggak pantes.”

Hm.

“Kamu enggak pernah suka sama seseorang, Deraz?” Pong bertanya pelan.

“Sampai rasanya ingin melakukan apa saja buat orang itu?”

“…yaah...” Semoga yang disinggung Deraz bukan dirinya.

Deraz mengangkat bahu seraya tersenyum. Ia menendang pelan standar sepedanya, lalu melambaikan tangan. Pong terus memandangi punggung Deraz yang menjauh. Pada saat itulah ia menyadari adanya orang yang begitu menikmati kesendirian.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain