Pong, 23 tahun, di sebuah kafe di
kawasan Cibeunying—Bandung utara—menghadiri reuni OSIS SMA. Di luar, lampu
sorot kendaran memecah kegelapan. Satu sedan berhenti di pelataran. Pintunya
terbuka. Tapi tidak menghadirkan yang dinanti.
Speaker entah di mana, kali ini mengalunkan musik lembut khas Kings
of Convenience. “Toxic Girl”. Pong
terdiam, tidak lagi jadi bagian dari kericuhan. Duduknya beringsut sedikit dari
kawanan. Musik duo asal Norwegia itu acap membenamkannya ke masa lampau, namun
tidak sedalam ini.
Ia lelaki berambut galing, tebal di atas
dan tipis di samping. Cambangnya tercukur rapi. Kulitnya kuning berseri. Namun
dalam posisi duduk saja, kita dapat menerka tubuhnya tidak tinggi.
“Kenapa ujug-ujug diem, Pong?” Seseorang menegur.
“Lagu ini. Ngingetin gue sama
seseorang.”
“Cewek?”
“Gitu deh.”
“Lu persis kayak orang di buku ini.”
Orang itu menunjukkan sampul depan buku
di tangannya. Pong melirik. Norwegian
Wood. Haruki Murakami. Bahkan pembuka cerita ini pun dibuat mengikuti pembuka
dalam novel itu.
“Gimana ceritanya?” Pong tanya tanpa
benar-benar tertarik. Buku itu pun diambilnya saja tidak.
“Ya… Dia inget sama orang yang dia suka
di masa lalu—cewek.”
“Terus gimana dia sama cewek itu?”
“Ceweknya gila terus gantung diri.”
Pong menggeleng.
“Cewek racun,” temannya berkata lagi.
“Yeah, man.” Bener banget.
“Yeah. Gue tahu lagu itu. Asa pernah liat videoklipnya. Enakeun sih.
Kalau di sana mah lagu tentang makhluk beracun teh jadina alus (:jadinya bagus), di Indonesia mah jadinya ‘Keong
Racun’.”
Pong menanggapi dengan gumaman yang agak
lama, lalu, “Yeah. Sama-sama beracun.” Mereka diam agak lama, sampai Pong
melanjutkan, “Deraz tuh yang demen sama lagu-lagu Kings of Convenience.” Kawan
bicaranya hanya menanggapi dengan hm, sembari menanti Pong terus berkata.
Pada suatu waktu di SMA, di ruang OSIS,
ia dan Deraz bermain gitar. Masing-masing duduk di kursi yang berhadapan. Deraz
mengulik “Toxic Girl”. Pong
mengiringi.
“Sambil nyanyi dong, Raz,” tegur Pong.
“Enggak ah.” Deraz selalu tahu bagaimana menjaga kharisma.
“Gue kenal enggak sama itu cewek?” si
teman menyela kenangan.
Tentu saja Pong tidak sudi bilang kalau
temannya itu kenal. Pong hanya cerita, suatu kali ia naik KRD ke Rancaekek.
Lalu di tengah jalan, keretanya berpapasan dengan kereta yang memuat cewek itu
dengan banyak teman lelakinya.
“Loh, itu kan adegan yang ada di
videoklip?” sela si teman. Dan jelas kereta dalam videoklip itu bukan KRD
tujuan Rancaekek. Lagipula kapan Bandung raya pernah bersalju setebal itu.
“Intinya, nih,” suara Pong memelan,
“hati gue sama dia enggak pernah bersatu.” Dengan kedua belah tangan, ia
peragakan bagaimana tangan kiri melesat begitu saja tanpa tangan kanan berhasil
menepuknya.
“Terus apa itu cewek ujug-ujug datang ke ruang OSIS, terus,
yah, tahulah…?” ada adegan ciuman dalam videoklip itu. Si teman sulit
membayangkan. Pong juga. Semua tahu kalau Deraz tidak begitu dekat dengan cewek
manapun, atau, mereka berharap mereka tahu tapi senyatanya tidak pernah bisa
tahu apa Deraz pernah punya hubungan spesial dengan cewek, ataupun cowok. Tapi
Pong tahu, seandainya mungkin, cewek yang dimaksudlah yang pernah berharap dicium Deraz. Tapi si teman tidak ia kasih tahu.
“Cewek sekolah kita?”
Tentu Pong tidak bilang. Temannya
kembali melanjutkan bacaan. Sedang ia menyusupkan earphone ke lubang telinga, lalu mencari satu lagu milik January
Christy di playlist smartphone miliknya, bagaimanapun juga angannya
sudah kadung… “Melayang”…
“Ipong…”
“Huh?” Pong menengadah. Ah. Dia. Cara
cewek itu melafalkan namanya masih menggelitik telinga. “…datang juga.”
Dulu, saat gejolak diri begitu tak
terkendali, segala yang tampak pada cewek itu sungguh merawankan. Matanya yang
bulat berbinar, hitam menenggelamkan. Sulur-sulur rambutnya yang panjang
menjerat hati sampai sesak. Kulitnya bening menyegarkan. Tubuhnya harum
memabukkan. Senyumnya manis menyetrum sampai ubun-ubun.
Mereka saling kenal sejak SMP. Hubungan
mereka cukup erat berkat masa-masa berat yang mereka jalani bersama di OSIS,
dan di sekolah itu sendiri. Saat Pong didaulat mengisi sopran di ekskul vocal group, para jagoan sekolah
berlomba-lomba memacari cewek itu. Saat Pong lagi-lagi dijebak memerankan nyonya
cerewet dalam kabaret ekskul teater, pacar resmi para jagoan sekolah
ramai-ramai mem-bully cewek itu. Saat
Pong telah menjadi senior yang eksis berkat kiprahnya di berbagai kegiatan
kesiswaan, sadarlah ia kalau tubuhnya tidak cukup tinggi untuk dapat memenuhi
kriteria sebagai pacar cewek itu. Saat Pong memasuki SMA yang sama dengan cewek
itu, tahulah ia macam apa sebenarnya cowok yang paling diidam-idamkan cewek
itu. Tidak satupun pacar-pacarnya terdahulu. Apalagi Pong. Dan hanya Pong yang
tahu, siapa.
“Deraz enggak dateng,” kata Pong.
Ditatapnya cewek itu lekat-lekat. “Lagi sibuk co ass.” Cewek itu menjawab dengan gumaman seraya menyeruput
minumannya. Selama itu Pong tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Begitu
cangkir diletakkan, kata Pong lagi, “Baru co
ass dia. Kebanyakan jalan-jalan sih.” Hm, tanggap cewek itu. Sial,
masih tiis (:dingin) aja lu.
“Sampai kena Montezuma’s Revenge segala hahaha…”
“Montezuma apa?”
“Diare.”
Cewek itu makin hening. Mungkin bagian
itu seharusnya tidak perlu diceritakan. Mata Pong bergulir ke atas. Barangkali
di langit-langit ia bisa menemukan kata-kata untuk dilontarkan lagi. Tapi
mendadak cewek-cewek lain mengerubungi mereka—tepatnya, cewek itu.
“Denger-denger lo mau tunangan ya, Ri?”
ricuh mereka.
“…kata siapa?” Tersipu-sipu cewek itu.
Bla bla bla. Kya kya kya.
Lepas dari kafe, dengan motor Pong
menyusuri jalanan menuju rumah. Sudah hampir dekat. Tampak jendela bekas
kamarnya menyerupai kotak cahaya dalam kegelapan. Di situ Deraz pernah berdiri
dengan tangan dan dahi menempel di kaca. Sebelumnya Deraz di teras,
mengungkapkan maksud kedatangannya pada Mama Pong. Tapi pintu kamar Pong
dikunci. Sementara di dalamnya, Mick Jagger meraung keras-keras, dengan Pong
meringkuk di balik ranjang, mengeluarkan asap dari mulut dan air dari mata…
sama sekali tidak dengar pintu digedor-gedor mamanya. Deraz pun mencoba lewat
jendela yang biasanya memang tidak tersaput gorden.
Melihat sosok jangkung itu
mengetuk-ngetuk, buru-buru Pong memunggungi seraya mengusap-ngusap muka, baru
membuka jendela. “Mau ngembaliin kaset,” ujar Deraz. Transaksi pun dituntaskan.
Tapi Deraz tidak segera pergi. Mungkin
karena baru kali itu ia lihat Pong memegang rokok yang membara, mungkin juga
karena tanpa sengaja tahu kalau Pong sedang ada “apa-apa”. Barangkali Pong akan
mengajaknya masuk dan menceritakan sesuatu.
Tapi tentu Pong tidak akan bilang.
Selama ini ia dekat dengan Deraz bukan hanya karena mereka pernah satu kelas,
satu selera dalam bermusik, satu band,
satu kepengurusan di OSIS, tapi juga karena ia ingin tahu selera Deraz terhadap
cewek, dan bagaimana mendekatkan Deraz dengan cewek itu. Cewek yang walau ia
tahu ia bukanlah yang terbaik menurut selera cewek itu, tapi ia tetap ingin
melakukan yang terbaik untuk cewek itu. Cewek yang ia harap diam-diam akan menyanyikan “Kamulah Satu-satunya” dari Dewa 19
untuknya—yang liriknya, “Kamulah satu-satunya,
yang ternyata mengerti aku… Maafkan aku selama ini…” itu—tidak perlu secara
harfiah, yang penting esensinya. Cewek yang lalu putus asa karena perhatian
Deraz tidak kunjung sampai padanya, dan lalu memacari saudara kembar Deraz,
yang lalu dengan begitu akhirnya Deraz menyadari keberadaannya. Tapi ketika Pong
memperingatkan cewek itu akan sikapnya yang mendua, apalah balasannya.
“…elo
juga diem-diem suka kan?! Elo selalu bangga-banggain dia (Deraz), ngomongin dia (Deraz) seolah-olah elo yang paling ngerti tentang
dia (Deraz). …elo enggak pernah
cerita soal cewek sama gue! Apaan elo, Pong?!”
Bagaimana ia bisa cerita tentang cewek
yang ia suka pada seorang cewek kalau cewek yang ia maksud adalah cewek itu
sendiri—yang sudah pasti bakal menolaknya?
Karena Pong bungkam saja dengan tatapan
nanar, Deraz pun menepuk-nepuknya di bahu dengan sorot simpatik. “Bukan karena
cewek kan?” Hm, tanggap Pong yang sebetulnya berarti: “kenapa?”—kalau-kalau
Deraz bisa menerjemahkannya dengan tepat. Ucap Deraz, “Enggak pantes.”
Hm.
“Kamu enggak pernah suka sama seseorang,
Deraz?” Pong bertanya pelan.
“Sampai rasanya ingin melakukan apa saja
buat orang itu?”
“…yaah...” Semoga yang disinggung Deraz
bukan dirinya.
Deraz mengangkat bahu seraya tersenyum.
Ia menendang pelan standar sepedanya, lalu melambaikan tangan. Pong terus
memandangi punggung Deraz yang menjauh. Pada saat itulah ia menyadari adanya
orang yang begitu menikmati kesendirian.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar