I : Varian Zebra
Hari ini kami diberikan kertas bergambar zebra. Kami harus
mewarnainya. Aku tidak mau zebraku jadi zebra biasa. Maka aku mewarnai
belangnya dengan spidol merah. Jadi zebraku bukan zebra cross, tapi zebra nasionalis,
seperti buyutku waktu zaman penjajahan Belanda. Buyutku anggota KNIL. Keren
kan? [1] Di
sebelah kananku Anila lebih ajaib lagi. Ia mewarnai belang di zebranya dengan
berturut-turut warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Pelangi seperti
mendarat di zebranya. Indah sekali. Di sebelah kiriku Karim malah tidur.
Kepalanya miring membelakangiku. Tapi aku masih bisa mengintip hasil pekerjaannya
di bawah kepalanya. Ia tidak mewarnai sesuai garis. Zebranya separuh hitam
separuh putih, dipisahkan oleh garis lurus yang ia buat sendiri. Mungkin zebranya
peranakan tapir. Garis untuk warna belang zebra di bagian yang putih ia
biarkan saja. Malamnya aku bermimpi menunggangi zebraku di padang berbukit-bukit
hijau yang tetumbuhannya menyerupai permen-permen. Di samping kananku Anila
dengan zebra pelanginya berkerlap-kerlip. “Di rumah aku tambahin
glitter,” kata Anila ceria. Karim menyusul tidak lama kemudian. Ia mengendarai
seekor kuda berwarna abu-abu di samping kiriku. “Ini bukan kuda, ini
zebra,” katanya seolah bisa mendengar pikiranku. “Bukannya tadi zebra
kamu warnanya hitam-putih?” ujarku. Jawabnya, “Iya. Tapi kan aku ketiduran.
Terus kelunturan ilerku.”[]
II : Asal-usul Nyamuk
Malam itu bising sekali. Banyak nyamuk berseliweran di sekitarku.
Memang aku buka jendela karena hawa gerah. Lampu juga kupadamkan karena aku
tidak bisa tidur kalau silau. Kutepuk nyamuk yang hinggap di lengan kiriku.
Dalam keremangan cahaya bulan yang menerobos lewat jendela, aku bisa
melihat nyamuk itu terguling ke sisiku. Bekas tepukanku tidak meninggalkan
darah sama sekali. Dalam sekedip, sekonyong-konyong nyamuk tersebut menjelma
sosok serupa manusia tak berbaju. Cepat-cepat kulempar selimut untuk menutupi
tubuhnya. Untung ia hanya pingsan. Ketika ia siuman, teranglah misterinya.
Begini ceritanya: “Dulu kami menjelma kelelawar. Tapi kemudian manusia
menjadi semakin banyak. Kami pun beralih ke wujud yang lebih efisien, walau
risikonya lebih rentan. Jadi nyamuk, mampuslah engkau sekali tepuk.” Lalu
aku bertanya, “Apa setiap makhluk yang Anda gigit akan jadi vampir juga?”
Dia menjawab, “Tentu tidak. Maaf-maaf saja ya. Kalau ingin regenerasi, kami
juga pilih-pilih.” Lalu aku membiarkannya terbang kembali. Malam berikutnya
aku lagi-lagi sulit tidur. Guling ke sana kemari. Hei, Nyamuk, boleh-boleh
saja kalian gigit aku, tapi mbok ya
tidak usah berdenging-denging begitu. Berisik tahu. Walau mungkin itu tanda
kalian masih punya harga diri. Kalian beri kami sinyal agar kami pun
mengerahkan pertahanan diri, dengan mengibas-ngibas, menepuk-nepuk, atau
menyemprot bau-bauan. Sehingga upaya kalian mencari makan bukanlah kerja
yang pengecut, seperti kutu busuk yang mengisap diam-diam dari dalam
kasur, melainkan suatu perjuangan. Untuk ke sekian kali aku berguling,
menghadap jendela. Tiba-tiba beberapa sosok berjubah tampak. “Berdasarkan
penilaian yang telah kami lakukan selama ini, kami rasa Anda adalah kandidat
yang tepat,” ucap sosok yang di tengah. Sosok di sampingnya menimpali, “Selamat,
Anda terpilih...” Sosok mereka mendekat dengan cara seperti melayang.
“Hei, hei, terpilih apa…?” Aku tidak dengar jelas tadi. Aku beringsut mundur.
Mereka menerkamku di beberapa bagian. Tapi mereka tidak tahu kalau aku
vegetarian. Maka ketika malam-malam mereka menyambangi kasur demi
kasur, aku berburu buah ranum bersama para nyamuk kebun.[]
III : Si Tampan Maut
Hiduplah seorang pemuda yang ketampanannya sungguh terlalu. Gerak-geriknya
mengguncangkan jiwa, hingga banyak pasien baru di panti rehabilitasi.
Senyum-sapanya meluluhkan hati, hingga penyakit kuning mewabah ke seantero
negeri. Ke mana ia berjalan, gadis-gadis mengikuti. “Tampan, bolehkah kami
mengelusmu?” tanya seorang gadis. “Boleh,” jawab Tampan. Begitu berhasil mengelus
si Tampan, melelehlah gadis-gadis itu dibuatnya, hingga meninggalkan
kubangan di jalanan. Warga tidak tahu bagaimana membereskannya. Mereka biarkan
kubangan-kubangan itu diuapkan mentari dan menebar aroma bangkai ke
seantero negeri. Populasi gadis merosot drastis. Para anggota dewan berkumpul
untuk mendiskusikan masalah ini. Kehadiran pemuda itu dianggap mengancam
kelangsungan negeri. “Masa depan negeri ini ada di rahim para gadis. Pemuda
itu tidak boleh berada di negeri ini lebih lama lagi.” Tapi gadis-gadis telah
kadung dimabuk berahi. Mereka mencakar-cakar diri saat pemuda itu
dikerangkeng tentara, dan dibawa ke hutan nun jauh terpencil. Selama
perjalanan yang berputar-putar, penglihatan pemuda itu diselubungi kain
erat-erat supaya ia tidak tahu arah kembali. Ia lalu ditinggalkan di sebuah
gua, bersama penyesalannya karena menjadi terlalu tampan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar