Ada FTV yang menarik sore ini.
Tokoh laki-lakinya yang ganteng menawan, bersanding serasi dengan tokoh
perempuan yang tak kalah rupawan. Mereka saling berpegangan tangan. Tetes demi
tetes air bergulir dari pelupuk mata si perempuan.
“Maaf, Raya,” kata yang lelaki. Lembut tapi tetap berwibawa.
Perempuan yang bernama Soraya itu menukas, “Kenapa kamu enggak kasih kita
kesempatan, Ja, kenapa?” Wajahnya memerah sudah.
“Aku belum bisa,” ucap Eja setelah diam sebentar. Soraya menangkup wajah
dengan kedua belah tangan. “Pastinya ada cowok yang lebih tepat buat kamu,
Raya.”
“Aku enggak bisa mikir cowok lain selain kamu…” Sembap di wajah Soraya
kembali terlihat.
“Bisa…” kata Eja.
Terisak beberapa saat, Soraya pun bilang ingin menumpang ke kamar mandi.
Aku meloncat beberapa langkah dari gorden lalu cepat-cepat berlagak menyapu
kembali. Pintu terbuka. Soraya melaju ke kamar mandi dengan menunduk. Tak
sedikitpun berpaling ke arahku. Bagus deh kalau tidak ketahuan.
Yap. Adegan barusan mungkin tidak tepat disebut FTV—Film
Televisi—melainkan FTeras—Film Teras—karena aku menontonnya di teras alih-alih
di televisi, daaan… bukan rekayasa sama sekali. Terdengar guyuran air di kamar
mandi. Kulirik Eja yang berdiri di ambang pintu sambil garuk-garuk leher.
Setelah tampak baik-baik saja kembali, Soraya pun pulang. Eja kembali
tiduran di sofa seberang TV, menyetel saluran favoritnya. Aku duduk di dekat
kakinya. “Masak kamu enggak suka sama Soraya sih, Ja? Dia bukannya temen baik
kamu dari SMA? Kalian bareng juga kan di OSIS. Ya ampun Ja, kalau aku yang jadi
kamu mah bakal aku baik-baikin ih. Udah cantik, pinter, baik lagi.” Cewek mana
yang tidak ingin seperti Soraya. Calon pacar idaman bagi setiap cowok—kukira.
Aku terus merepet tanpa acuh ekspresi Eja yang berangsur-angsur tidak nyaman.
“Atau… kamu kalau udah punya cewek, bilang sama dia. Jangan jadi pemberi
harapan palsu.”
“Enggak adaa…!” sergahnya.
“Atau… bilang kek kalau kamu anak rohis, jadinya enggak pacaran. Biar dia
maklum.”
“Siapa yang anak rohis?”
Aku diam sebentar untuk memikirkan apa kira-kira reaksi Eja kalau
kuberikan pertanyaan yang akhirnya terlontar juga, “Apa kamu sukanya sama
cowok, Ja?”
Dia diam. Aduh.
“Siapa?” kataku lagi. Dia tanya balik, siapa apa? “Siapa cowok yang kamu
suka?”
Dia agak berjengit, lalu dahinya makin berkerut saja.
“Teeh… Teteh…” keluhnya. Dan bangkit. Dan membuka kulkas. Dan tidak
menggubrisku sama sekali.
“Pelit! Homo!”
Wajahnya berpaling ke arahku dengan gusar, tapi segera berbalik lagi.
Langkahnya terdengar mengentak-ngentak setelah itu—menuju ke kamarnya. Pintu
berdebam.
Apa salah kalau aku peduli sama nasib adikku? Dengan kulitnya yang terang,
badannya yang kokoh, wajahnya yang bak dipahat, bibirnya yang cerah, prestasinya
di sekolah—dan sekarang di kampus baik dalam akademis maupun ekstra (baru tahun
kemarin dia ke Boston untuk acara Model United Nation atau apa itu), aku selalu
mengira, dan berharap, sebetulnya, dia bakal mendapatkan cewek yang sebanding.
Ya, yang model Soraya begitu, yang tahu bagaimana cara merawat otak, sikap, dan
tentu saja fisik. Atau Kinan. Laras. Santi. Siapalah. Nama-nama cewek yang
pernah mengisi inbox di ponselnya
(aku iseng mengintip waktu menumpang kirim sms kapan itu), dan mengharap-harap
perhatiannya. Ya, aku tahu, soalnya sebagai cewek aku pun pernah coba-coba
kirim sms cari-perhatian macam itu sama cowok yang aku suka. Seandainya Eja
lain dengan keadaannya, alias lebih menyerupai aku yang bagai tanah liat
diinjak-injak ini, aku mungkin bisa maklum kalau dia belum juga punya cewek.
Persamaanku dengan Eja secara fisik mungkin hanya pada rambut kami yang
sama-sama ikal, baik di kepala maupun di sekujur lengan dan betis. Yang
terakhir itu mungkin membuat Eja makin gagah, tapi buatku yang cewek dan
berkulit gelap… bisa dibayangkan sendiri lah ya. Dari sekian jumlah cowok di
dunia ini, aku harap ada yang berselera rada menyimpang. Tidak melulu doyan
yang putih-mulus-unyu-unyu, tapi juga ada yang bisa menghargai cewek eksotis
macam aku. Ada sih cowok yang seperti itu, namanya Martin, dari Argentina, dan
tinggal di dalam khayalanku.
Sejak aku mulai tahu yang namanya “cinta-cintaan”, aku juga memerhatikan
bagaimana yang terjadi pada Eja. Kami terpaut hanya satu tahun, dan selalu satu
sekolah sejak TK, SD, SMP, sampai SMA (hanya pas kuliah ini dia ingin di luar
kota dan akhirnya diterima di PTN di Jogja), dan akibatnya aku tahu kalau Eja
memiliki cukup banyak penggemar—bahkan di angkatanku. Biasalah, mereka mulai
membicarakan dari tampang, lalu berangsur-angsur ke informasi pribadi, dan
terperangah begitu tahu aku kakak-kandung Eja. Ada yang memfitnahku anak
pungut. Ada juga yang bilang Eja anak bangsawan yang diculik waktu masih bayi.
Enak saja. Kalau mereka lihat betapa langit-buminya ayah-ibu kami, baru deh
mereka maklum.
Dari sejak SD saja, telepon rumah sering berdering, dengan peneleponnya adalah cewek di kelas anu atau kelas itu, dan yang dituju adalah Eja, Eja, dan Eja. Sampai-sampai, suatu kali telepon berdering, aku langsung teriak saja, “Eja!”, padahal belum juga diangkat. Aku suruh dia standby di samping telepon. Tapi biar hampir tiada hari tanpa telepon untuk Eja, adikku itu selalu meladeni siapa yang meneleponnya dengan santun. “Siapa? Rini? Oh… Kenapa, Rini? Hm…” dst. dst. sampai, “Dah Rini…”—ia selalu menyebut nama orang yang bicara dengannya! Alih-alih sok cool seperti kebanyakan cowok sok beken sebayanya—yang sebayaku juga berarti. Aku pernah suka satu cowok semacam itu—sekelas. Aku cuman kasih tahu satu orang teman sekelas waktu itu. Dan segera. Begitu menyebar ke seantero kelas, cara cowok itu memandangku seperti aku ini cacing yang baru bangkit dari kubur. Lalu tanpa upacara dengan bubur merah putih segala ia ganti namaku dengan julukan yang—maaf aku tidak suka mengingatnya.
Waktu SMP, frekuensi dering telepon berkurang karena ponsel mulai tren.
Ganti Mama yang mengeluh karena Eja sering minta pulsa. Ia sibuk membalasi sms
yang tiap hari berbondong-bondong menjejali inbox-nya.
“Enggak usah dibales semua kali,” kataku waktu itu. “Kasian ah,” kata dia.
Andai saja kecenganku waktu itu berpikir seperti Eja. Mama pun menjatah pulsa
hanya sebulan sekali. Aku yang menyisihkan uang sakuku sedikit demi sedikit
demi menambal kebutuhan pulsa Eja, demi empatiku pada cewek-cewek yang mengharapkan
simpati cowok yang mereka suka, walau yang dikirim cuman, “Y” atau “G”, saking
Eja bingung mau balas apa. Aku nasihati Eja, sayang pulsa kalau yang dikirim
hanya satu karakter. Penuhi satu halaman sekalian. Tapi Eja sudah berusaha
semampunya. Dan pengorbananku itu akhirnya terbayar setiap hari Valentine.
Biasanya Eja pulang dengan setumpuk cokelat, yang kami lahap bersama-sama
sambil menonton Spongebob Squarepants.
Dari SD sampai SMP itu, ada juga yang diam-diam mengirim surat. Tapi
seringkali tanpa nama. Kalaupun ada, setahuku Eja pasti membalas, walau isinya
hanya, “Maaf, kita temenan aja ya.”
Waktu SMA, aku sudah tidak begitu mengurus “Eja Fans Club”. Toh sebetulnya
dia bisa menanganinya sendiri. Banyak temanku ingin main ke rumah, hanya demi
kesempatan untuk melihat Eja. Sayangnya Eja lebih aktif di luar hahaha. Kadang
juga Eja yang membawa teman-teman ke rumah. Dan aku tahu, dalam hati para cewek
yang termasuk rombongan itu, mereka pasti merasa sangat beruntung sekali.
Bagaimanapun aku tetap memantau siapa saja cewek yang digosipkan dekat
dengannya. Aku selalu dalam prasangka Eja akhirnya bakal jadian dengan si ini
atau si itu, tapi ketika kukonfirmasi, dia selalu bilang, “temen doang.” Tidak
seru sekali hidupmu, Eja. Kasihan cewek-cewek yang mengelilingimu, di-friendzone terus!
Lalu Eja pun kuliah. Padahal di sinipun banyak kampus bagus. Tapi Eja
bilang ingin cari pengalaman di kota lain (atau tebar pesona, Ja?). Biarlah,
anak laki, kata Papa. Di kampusnya, Eja pun aktif dengan kegiatan ini-itu.
Pernah dalam setahun dia pulang hanya pas lebaran. Kalaupun pada libur lain dia
pulang, tidak pernah lebih dari seminggu. Dan ketika pulang itulah, dia sibuk
membalas undangan untuk kumpul-kumpul. Mestilah di antaranya para penggemar
setia yang ingin melepas rindu. Padahal yang Eja inginkan hanya bermalas-malasan
seharian di sofa sambil menonton saluran favoritnya. Aku tahu, karena akhirnya
dia yang didatangi di rumah, sehingga tidak perlu repot berganti baju untuk ke
mal ini atau ke kafe itu. Akupun sibuk mengintip deh, he.
Aku mungkin telah menyaksikan penolakan halus Eja pada banyak cewek. Tapi
aku benar-benar tidak percaya ketika cewek sekreditabel Soraya saja dia tolak.
Tanpa penjelasan yang memuaskan—belum. Dia tidak mengaku homo—belum. Mungkin
juga dia ini diam-diam kelewat religius atau apa. Padahal kusangka selama ini
dia fleksibel saja. Tidak sok jaga jarak dengan cewek. Tidak pelihara janggut.
Tidak yang begitulah.
“Ja, kamu pernah suka sama seseorang enggak sih?” tanyaku kemudian. Dia
hanya menanggapi dengan ekspresi “apa-sih”. “Kalaupun anak rohis juga kan,
pasti adalah rasa-rasa suka sama cewek mah. Tapi ya ditahan-tahan aja. Kamu
juga ada kayak gitu enggak? Hm?” Kenapa gitu, dia tanya. “Ya pingin tahu aja.
Aku kan selalu cerita sama kamu soal cowok yang aku suka. Gantian dong kamu
yang cerita.”
Dia cuman berdecak sambil geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan bacaan.
Kutarik majalah yang dipegangnya. “Kenapa ngotot amat sih?” sahutnya.
“Cerita dong. Jangan disimpen sendiri rahasianya.”
“Rahasia apaan?”
“Oke. Truth or Dare?”
“Alaah…”
“Ayo! Truth or Dare?”
“Ogah!”
Aku terus memaksanya, bagaimanapun juga. Tapi dia sama keukeuh. Akupun memutuskan untuk
mendiamkannya. Aku tahu sikapku ini kekanak-kanakkan. Mengetahui siapa orang
yang pernah Eja suka juga mungkin bukan hal yang begitu penting. Tapi ketika
Eja menegur-negurku, dan tidak mendapat tanggapan sama sekali, entah kenapa aku
merasa geli dan ingin meneruskan permainan ini. Usil sedikit sesekali tidak apa
kan. Toh sudah lama kami tidak bermain, apalagi sejak dia mulai sibuk apalah di
sekolah, apalagi sejak dia kuliah di antah-berantah.
Permainan itu berlangsung tidak sampai sehari. Malamnya, Eja mengadu, “Ma,
si teteh rese, dipanggil enggak nyaut-nyaut,” tepat ketika kami sekeluarga
berada dalam satu ruangan. Refleks aku membantah, “Apaan emangnya?” Dan kupikir
sudah berakhir.
Tapi Eja seperti masih memendam masalah. Ganti dia yang memandangku dengan
linu. Matanya terus mengikutiku. Bahkan ketika hari berlalu. Dia memeluk
sandaran sofa sambil mengerang. Seperti yang resah. “Daripada galau mending bantu
bersih-bersih!” kataku yang memang sepanjang hari mondar-mandir di seantero
rumah untuk membereskan ini-itu. Maklum fresh
graduate—anggap saja magang jadi ibu rumah tangga! Tapi dia tidak
menghiraukan. Dia lalu mengurung diri ke kamar.
Entah ya. Aku merasa agak tidak enak karena kejadian kapan itu.
Jangan-jangan aku sudah mengingatkannya pada kisah-cintanya yang pelik. Kalau dia punya. Aku putuskan untuk
mengantar camilan ke kamarnya. Ya beli dong. Malas nian aku bikin sendiri.
Begitu aku masuk, dia sedang menyelubungi diri dengan selimut. Aku duduk
di pinggir kasurnya. “Ja. Yang kemarin itu… sori ya. Enggak masalah kok kalau
kamu emang belum pernah jatuh cinta sama sekali… Atau diam-diam kamu gay…” Dia tidak menjawab. Uh. Ya sudah.
Buat apa aku lama-lama di kamar tengik ini.
Tapi begitu aku hendak melewati pintu, terdengar suaranya, “Teh.” Separuh
badannya sudah nongol di atas selimut. Kepalanya disangga sandaran kasur.
Matanya mengarah tajam padaku. Tapi tiba-tiba dia membenamkan lagi wajahnya ke
bantal dan mengerang.
Membingungkan. Aku mendekatinya lagi, berbaring di sampingnya dengan
menghadapnya. “Kenapa sih kamu? Dibilang juga kalau ada masalah ya cerita aja.
Jadi cowok jaim amat.”
Separuh wajahnya terbenam di bantal sedang separuh lagi, mata kanannya,
menatapku lekat-lekat. “Ada sih…” katanya. Sebelah lengannya meraup sebuah
bingkai foto di rak di belakangnya. Dia berikan padaku. Fotoku dan dia waktu
balita menaiki kuda di—lupa. Paman kami berdiri paling depan.
Aku menatap wajah berkumis itu. Aku mendengus. Prihatin sebenarnya. Aku
bisa maklum kalau cowok seperti adikku ini jadi korban pedofil… “Kamu seleranya
sama kuda ya?” Aku coba bercanda.
Dia mengernyit. “Enggak. Cewek.”
“Kudanya cewek?”
“Bukan, manusia.”
“Ya… Kuda emang bukan manusia.”
Dia berdecak. Berpaling dariku.
Senyumku pudar perlahan. Mulai merasa ganjil. Dan melirik-lirik ke
seantero ruangan. Tiap hari aku membersihkan kamar ini—walau pasti berantakan
lagi kalau dia sedang di rumah. Dengan banyaknya foto kami berdua dipajang di
sana-sini, kupikir dia tipe cowok penyayang keluarga. Tapi, bisa jadi, “Dari
kapan?”
“Aku pernah lihat kamu ganti baju.”
“Oh,” kataku kaku. “Lihat apa?”
“Terus malamnya aku mimpi.”
Jeda beberapa lama, hingga aku cukup kuat untuk melanjutkan, “…mimpi apa?”
“Mimpinya cowok.”
Suara angin menggoyang-goyangkan tajuk pepohonan terdengar jelas sekali
hingga kemari.
“Ja. Teteh tuh jelek. Enggak cakep… kayak temen-temen Eja…”
“Udah biasa.”
Aku bangkit, supaya bisa menilik mukanya secara langsung. “Ja, kamu
bercanda kan?” Lalu aku mengguncang-guncangkan tubuhnya, memukulinya. Dia pasti
cuman bercanda, pasti. Dan candaannya itu kurang ajaar…! Dia tertawa-tawa saja
sampai aku kesal. Lalu aku turun ke lantai bawah untuk melanjutkan pekerjaanku.
Belum berapa lama aku mengepel, dia menyusul turun. Kami sempat
bertatapan. Tapi aku segera memalingkan kepala. Dia duduk di sofa, menyalakan
TV. Seperti biasa. Sembari menyibak-nyibak koran dengan berpangku kaki. “Pel
yang bersih ya, Neng,” tegurnya sambil tersenyum. Makanya bantuin, gumamku. Berusaha
mengenyahkan pikiran akan arti tatapannya itu.
Aku berhenti menggoyangkan tongkat, menatapnya.
Dia sedang tunduk, menekuni koran di pangkuannya.
Ini hanya sore yang biasa di rumah—kalau ada dia.
Hauf.
Malam itu, begitu memasuki kamar, hendak tidur, mendadak aku berhenti
melangkah. Biasanya aku tidur dengan pintu tidak tertutup sepenuhnya, tapi kali
itu aku kunci.
Dan aku mulai menghitung hari kapan Eja akan kembali ke Jogja.
2-9-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar