Sabtu, 31 Desember 2016

Bolos


Belakangan ini sosok itu muncul lagi dalam kepalaku. Ada laki-laki yang jauh lebih besar daripadaku berdiri di balik pagar TK, tersenyum memandangi kami, anak-anak yang sedang memegang pundak satu sama lain beriring-iringan. Sosok itu nantinya lebih daripada sekadar pengamat kami. Ia memainkan lagu dengan kibor mini di kelas dan kami berjoget-joget asal mengikuti iramanya yang riang. Kami berebut naik ayunan yang dengan senang hati ia ayun-ayunkan supaya kami merasakan sensasi terbang tinggi. Ia menangkap kami, menggendong kami, mendekap dengan gemas. Hingga ibu guru mendekatinya, mengatakan sesuatu, dan dengan sedih kami melambaikan tangan padanya. Di belakang, ibu guru bilang, “Kakaknya mau sekolah dulu.”

Kini, setelah aku besar, mengenakan rok abu-abu, dan terkurung oleh tembok kelas serta suara guru menerangkan pelajaran yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa kumengerti, aku mulai mencerna keadaan yang sebenarnya waktu itu. Kakak itu mengenakan celana panjang abu-abu, kemeja putih, dan ransel, persis benar dengan cowok-cowok SMA mana pun di Indonesia. Selain itu, dulu aku masuk TK dari Senin sampai Jumat, pukul delapan sampai sebelas, sedang sekarang, di SMA, aku masuk dari Senin sampai Jumat, pukul tujuh sampai tiga. Baru kusadari, kakak itu sedang membolos.

Kupikir-pikir lagi, aneh juga, ada anak SMA suka mengamati anak-anak TK berkeliaran, dan pada akhirnya berhasil mendekati kami pula. Jangan-jangan dia punya ketertarikan khusus. Jangan-jangan dia sebangsa pedobear! Aku senang, lagi, sama dia waktu itu dan rasa-rasanya dia pernah mengesun pipiku. Hiii ...!

Tetapi, entahkah dia memang mesum atau bukan, aku bisa mengerti sebabnya dia membolos, jika ternyata sama seperti yang kurasakan kini. Lebih asyik kembali ke TK, atau setidaknya bermain bersama anak TK, ketimbang membiarkan diri dirundung soal-soal yang memusingkan. Sayang sekali ibu guru harus memisahkan dia dari kami waktu itu.

Semakin hari, semakin jauh pikiranku tentang kakak itu. Seperti apa dia sekarang? Di mana dia sekarang? Bagaimanakah wajahnya sebetulnya, karena aku lupa, ganteng atau tidak, yang kuingat cuma dia itu kurus dan putih, senyumnya selebar bibir Joker, dan tawanya serenyah kerupuk puli. Kok berani, ya, dia membolos? Berani membolos dan berbuat yang dia suka. Jika dia suka bermain bersama anak TK, apa yang mau kuperbuat jika aku yang membolos? Aku belum tahu. Tetapi, suatu hari kuputuskan untuk membolos sekolah.

Untung sehari-hari aku tidak diantar orang tuaku ke sekolah. Pagi itu aku sengaja naik angkot yang lain, berhenti di masjid pinggir jalan yang sepi, masuk ke kamar mandinya, dan mengganti baju seragamku dengan baju lain yang kubawa dari rumah. Masih belum tahu mau ke mana, begitu keluar dari pelataran masjid aku asal saja mengambil jalan, yang penting tidak mendekati daerah sekolahku. Aku menyusuri jalan raya, masuk ke gang-gang dengan perasaan waswas takut tersesat sekaligus berdebar penasaran, tertantang memecahkan arah untuk kembali ke jalan raya. Sesekali kuhirup udara yang masih sejuk dalam-dalam, hawa kebebasan. Kuamati ibu-ibu di pinggir jalan sedang berbelanja, mengobrol, sambil mengawasi anak-anak berkeliaran.

Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, matahari mulai tinggi, udara semakin hangat, dan aku berkeringat. Aku membeli minuman dingin di pinggir jalan, lalu duduk di tembok yang menjorok dari bawah pagar sebuah perkantoran. Setelah beberapa teguk, aku kembali memikirkan si kakak dari masa TK-ku. Apa dia juga awalnya tidak tahu mau ke mana, berkeluyuran tanpa arah, hingga melewati TK-ku, dan tertarik? Apa setelah ibu guru “mengusir”nya, dia benar-benar kembali ke sekolahnya, atau malah mencari tempat tujuan yang lain? Apa yang dia lakukan sekarang?

Lamunanku pecah ketika ada yang duduk tidak jauh dari tempatku. Ia mas-mas berbaju safari, beremblem pemerintah kota, dan merokok. Lelaki itu mungkin seusia dengan si kakak sekarang. Tetapi sepertinya potongan tubuhnya lain. Ia tidak kurus, tidak putih. Bukan, bukan dia orangnya.

Saat itu masih bisa dibilang pagi, tetapi kukira sudah termasuk jam kantor. Mengapa orang ini malah duduk-duduk santai merokok?

Karena tidak nyaman dengan asap rokok, aku pun beranjak sambil memasukkan botol minuman ke ransel. Tetapi, tiba-tiba aku terjerembap tepat di depan orang itu. Isi ranselku berhamburan, termasuk baju seragam yang tadi kumasukkan asal saja. Orang itu lekas membuang rokoknya, dan membantuku bangkit serta memasukkan isi ranselku sekenanya.

Ketika memegang rok abu-abuku, tahu-tahu ia tertawa. “Masih SMA udah suka bolos. Belajar yang rajin, biar jadi PNS. Jadi PNS tuh susah masuknya, tahu! Hahaha ....”

Aku tidak begitu mengerti yang ia maksudkan, tetapi sontak aku membalas, “Kakak enggak kerja?”

Ia menyahut, “Istirahat sebentar,” sambil mengarahkan kepala pada sekumpulan lelaki berseragam persis dengan dirinya, namun mereka jauh lebih tua. Para bapak-bapak itu juga sedang duduk-duduk santai merokok, tidak jauh dari kami. Beberapa masih memandangi kami, dan sebagian lagi sudah kembali asyik mengobrol.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku berlalu sambil terpincang-pincang. Lututku panas, sedang ujung kakiku yang bertubrukan dengan batu terasa nyeri nyut-nyutan. Begitu ada angkot lewat, aku segera menyetopnya. Untung penumpangnya cuma satu, jadi aku bisa menyelonjorkan kaki dan memeriksanya. Celanaku robek di lutut, dan ujung kakiku memerah.

Aku memutuskan untuk berhenti di mal. Terlebih dulu aku mencari plester warna-warni di toko pernak-pernik untuk menutup luka di lututku. Pada akhirnya, aku cuma bermain ponsel dengan memanfaatkan wi fi foodcourt sambil mengudap camilan. Sedikit-sedikit kulihat jam, hingga hari sudah siang namun belum waktunya pulang sekolah. Tampaknya kakiku sudah agak baikan. Jadi aku berjalan-jalan mencuci mata, melihat-lihat barang bagus yang dipajang. Beberapa kali aku berpapasan dengan ibu-ibu berseragam persis dengan mas-mas tadi, berdua-dua atau lebih banyak, sedang memilah baju atau berjalan menggandeng tas belanja. Begitu tiba jam pulang sekolah, aku mencari kamar kecil dan pulang dari mal dengan berbaju seragam.

Setelah hari itu, sementara waktu aku belum tertarik untuk membolos lagi. Memang sekolah terasa menyiksa dengan banyaknya pelajaran yang sulit, jam yang panjang, dan guru-guru yang tidak memahami pikiran serta perasaanku, tetapi sedikitnya kini aku sudah punya tujuan. Apalagi setelah aku meng-googling ‘cara menjadi PNS’. (Mas-mas waktu itu rupanya PNS. Perkataannya masih membekas di kepalaku.) Toh nanti kalau aku sudah menjadi PNS, aku bisa membolos lagi sesekali.[]

Kamis, 16 Juni 2016

Balasan

Katanya Ali lagi pedekate sama aku. Aku senang-senang saja sama dia. Wajahnya ma­nis. Pakai ka­camata. Rambutnya lurus lebat kayak cowok di iklan sampo. Yang paling penting, ku­litnya lebih gelap daripada aku, hihihi. Terus, dia suka banget ngomongin buku. Aku sering enggak mengerti sama obrolan dia, tapi aku mendengarkan saja. Kan keren cowok suka buku. Ta­pi dia pemalu banget. Kalau dia bicara, pasti sam­bil menunduk-nunduk, jarang melihat mataku. Teman-teman bilang aku mesti lebih aktif sama dia. Jadi aku mengajaknya main ke rumahku.

Belum jam tujuh malam, Ali sudah datang. Ada Reza, teman se­ke­las­ku juga. Enggak tahu kenapa, Ali tampak lebih grogi daripada biasanya. Reza sih gayanya cuek. Setelah beberapa lama ka­mi bertiga diam-diaman, akhirnya Reza yang bicara. Ternyata dia asyik dan rada gila. Kalau mengobrol sa­ma Ali, enggak pernah aku tertawa sesering ini. Kadang Reza menegur Ali supaya ikut bicara. Ali cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum. Kami lanjut lagi deh meng­o­brol­nya berdua. Tahu-tahu sudah jam sembilan malam. Mereka pun pamit pulang.

Besok-besoknya di sekolah aku pengin banget ada kesempatan buat mengobrol sama Reza lagi. Tapi dia berkumpul sama teman-teman cowoknya melulu. Aku merasa enggak enak kalau ti­ba-tiba mendekati dia. Apalagi kalau teman-teman cewekku melihat lalu bikin gosip yang eng­gak-enggak kayak sewaktu aku dengan Ali. Jadi aku cuma bisa mencuri pandang ke Reza dari ja­uh. Aku senang sekali kalau enggak sengaja bisa berdekatan dengan Reza, misalnya sewaktu lagi ker­ja kelompok di kelas, dan dia tersenyum padaku. Ternyata dia enak juga dilihat.

Sudah berminggu-minggu sejak Reza main ke rumahku, tapi belum ada kesempatan buat meng­obrol asyik sama dia. Paling-paling kami cuma saling tegur kalau berpapasan. Apa aku meng­ajaknya ke rumahku saja, ya? Tapi aku enggak mau dia bawa teman, kalau akhirnya cuma ja­di obat nyamuk. Lagian di rumahku kan enggak ada nyamuknya! Tapi masak sih aku melarang dia bawa teman? Kesannya ngebet banget pengin berduaan. Gengsi!

Suatu malam, ketika lagi mengerjakan PR, aku mendengar suara di depan pagar rumahku. Aku melongok ke jendela dan hampir enggak percaya penglihatanku. Cowok itu sedang memasukkan sesuatu ke kotak surat. “Reza!” Dia terkesiap dan men­dongak. Aku buru-buru keluar dari kamar. “Kamu ngapain di sini?” te­gur­ku setelah membuka pagar.

“Ah, kebetulan lewat aja kok.” Dia mengusap-usap belakang kepalanya dengan kikuk.

“Tadi kamu masukin apa?” tanyaku sambil membuka kotak surat.

“Ah, bukan apa-apa, cuma—“

Selembar surat! Aku membuka amplopnya dan membaca isinya. Pipiku memanas. Aku mem­baca surat itu berkali-kali dengan cepat tapi cermat. “Ini … beneran enggak sih?”

“Beneran sih.”

“Reza …!” Panas di pipiku sudah me­rem­bet ke mata.

“Seb—sebenarnya itu ….” Dia makin salah tingkah, tapi menurutku itu cute banget.

“Aku mau!” kataku. “Aku mau jadi pacar kamu!”

Dia malah terperangah. Beberapa lama dia cuma diam.

“Kenapa?” tanyaku. Debaran di dadaku sudah mereda. Entah kenapa ada yang aneh.

Dia menggaruk-garuk kepala, tampak kebingungan. “Suratnya enggak dikasih nama, ya?”

Ganti aku yang terperangah. “Ini bukan surat dari kamu?” kataku pelan.

Ketika dia menjawab, “Bukan,” aku ingin menangis. Kuharap dia mengatakan sebetulnya dia juga suka padaku, mau ber­pa­car­an denganku, seperti dalam cerita yang kubaca di majalah.

“Sebenarnya aku juga suka sama kamu ...” ujarnya, setelah beberapa lama tampak kebingung­an mencari kata. “Kamu asyik, cantik, keren …” ya ampun, aku sudah hampir melonjak ke langit lagi, “tapi ….” Aku benar-benar menangis setelah Reza mengungkapkan alasannya. Ketika Reza pamit, aku memintanya untuk memberi tahu siapa yang menulis surat itu.

Setelah pertemuan itu, hubunganku dengan Reza jadi canggung. Dia enggak ma­in-main de­ngan perkataannya waktu itu. Pantas aku lihat dia memang jarang berdekatan dengan ce­wek. Aku pun berusaha buat ber­hen­ti me­mi­kir­kan Reza, berharap tahun ajaran ini cepat selesai dan setelah itu enggak se­ke­las lagi dengannya.

Hingga suatu hari Ali mendekatiku lagi. Aku malah lupa dia pernah pedekate sama aku! Ke­palaku benar-benar penuh oleh Reza belakangan ini. Kayaknya kali ini Ali serius. Sa­at jam istirahat, dia mengajakku ke tempat yang rada sepi di sekolah lalu menyatakan pe­ra­sa­an­nya.

Aku cuma bisa tersenyum seperti Reza waktu itu, dan mengungkapkan alasan yang sama, “… tapi orang tuaku bilang sebaiknya aku fokus dulu sama pelajaran. Maaf, ya ….”***

Minggu, 29 Mei 2016

Hidupku dulu tak begini. Tapi semua berubah sejak air bersih berhenti mengalir. Pompanya rusak dan Ayah belum ada kesempatan—entah waktu, entah uang—untuk memperbaiki. Kalaupun ada air yang lain, yang diperoleh dengan jet pump, tercium bau logam dan warnanya agak kekuningan. Maka untuk keperluan masak, minum, sikat gigi, dan sebagainya, kami harus membeli, baik dari mobil yang lewat maupun dalam kemasan plastik di toko.

Aliran air dari jet pump kadang mandek. Pada saat seperti itu kami mandi hanya dengan segayung air—kadang kurang dari itu—dan waslap. Kalau hendak buang kotoran, tidak cukup air untuk menggelontornya. Akhirnya, ibuku memutuskan untuk menjatah setiap penggunaan air. Botol kemasan berbagai ukuran itu diisinya dengan air penuh-penuh. Tutup botol dilubanginya kecil-kecil. Kata Ibu, supaya irit, keluarkan airnya melalui lubang-lubang kecil itu.

Ibu menyerahkan padaku botol ukuran 2 L, “Ini untuk sekali mandi,” dan botol ukuran 600 ml, “Ini untuk cebok.”

“Ngeguyurnya gimana, Bu?” tanyaku sambil melirik kamar mandi yang kering kerontang sekaligus menguarkan bau.

Ibuku malah menyodorkan sekop dan menoleh ke tanah kosong di belakang rumah. “Cari semak-semak.”

*

Ibu menyuruh kami mandi sambil memijak baskom besar supaya airnya tertampung. Air bekas mandi hendak digunakan lagi untuk mencuci kendaraan.

Saat-saat pertama menggunakan botol berlubang untuk mandi rasanya nelangsa. Sampai kapan harus kujalani derita ini?  Jika ada waktu luang, Ayah berusaha memperbaiki sendiri pompa itu, yang selalu berujung dengan suasana hatinya memburuk. Tidak tentu jawabnya. Bagaikan gerak serpihan hijau atau hitam yang melayang-layang dalam air di botol. Sering kali airnya keburu habis sebelum semua bagian tubuh yang bersabun terbasuh. Kadang aku keluar dari kamar mandi dengan sebelah lengan masih licin, atau rambut berbusa. Kuambil waslap lalu kucelupkan ke air bekas mandi di baskom untuk mengelap bagian-bagian yang belum terbilas.

Setidaknya, mandi dengan cara begitu terasa lebih menyegarkan ketimbang sepenuhnya dengan waslap. Untuk melipur hati, kukhayalkan mandi di bawah shower seperti orang bule. Hanya saja shower yang ini mesti dipegang tangan sendiri dan beratnya lumayan. Lama-lama, aku pun terbiasa. Malah, aku bisa menyisakan air dalam botol.

Adakalanya saat hujan, khususnya jika bukan malam-malam, kami sekeluarga keluar, membawa sampo, sabun, sikat gigi, dan odol.

“Puas-puasin, Nak!” kata orang tuaku.

Shower raksasa!” ujarku.

*

Di belakang rumah kami terdapat tanah kosong. Tanah itu terapit oleh deretan rumah di keempat sisinya. Dulunya tanah itu merupakan semacam jalur di antara dua deretan rumah yang saling membelakangi. Orang dapat keluar-masuk dari ujung satu ke ujung lainnya. Karena populasi makin padat, orang pun membangun rumah di kedua sisi yang tadinya merupakan jalan keluar-masuk. Jalur itu pun tidak bisa dilalui lagi dan terbengkalai. Semak liar bertumbuhan, makin lama makin rimbun. Para pemukim di sekitar situ tidak tertarik memanfaatkannya untuk apa pun, jangankan menginjaknya. Rata-rata pemukim membangun pagar tinggi yang membatasi halaman rumah mereka dengan tanah itu, sehingga keduanya bagaikan dunia yang berlainan. Rumah kami termasuk yang tidak berpagar. Kata Ayah, bikin pagar itu mahal. Pernah, ketika bermain-main di seputar areal itu, aku mendapati rumah besar dengan pagar tinggi dan pekarangan luas. Dari sela-sela pagar, kulihat di pekarangan itu ada patung burung yang tampak menarik. Tapi itu cerita lain.

Di tanah kosong itulah aku belajar menggali dan menimbun tanah. “Gali yang dalam, tutup yang rapat. Jangan sampai baunya kecium,” pesan Ibu selalu. Tak jemu-jemunya pula Ibu mengisikan air di botol-botol untuk kami: Ayah, aku, adikku, dan ia sendiri.

Segala perbekalan yang diperlukan untuk buang hajat dimasukkan dalam keresek. Selain sekop dan botol 600 ml yang terisi penuh oleh air, kami membawa: segenggam sabun, untuk cebok yang lebih bersih; sabit, jikalau semak terlalu tebal untuk ditembus; senter, saat langit sudah gelap; jas hujan, kalau turun air dari langit; dan, sejak Ayah bertemu ular, tabung garam. Kejadian bertemu ular juga pernah kualami. Ular itu tahu-tahu menclok di hadapanku ketika aku sedang berkonsentrasi mengejan. Kotoran yang sudah separuh keluar terpaksa kurelakan masuk kembali, demi mencomot tabung garam di sisi dan menyemburkan isinya pada ular yang lantas lari terbirit-birit.

Suatu kali Ibu menginjak kotoran entah siapa di tanah kosong itu. Selain mewanti-wanti supaya menggali-tutup lubang dengan benar, Ibu mencanangkan ketentuan baru. Kami harus menandai titik tempat habis buang hajat. Ibu membuat bendera kecil-kecil dari tusuk sate dan mika. Tiap kali hendak menembus semak, kami mesti menulis tanggal pada mika dengan spidol lalu membawanya serta. Ibu akan mengomel jika kami lupa.

*

Tidak terasa waktu berlalu. Kami telah begitu terbiasa dengan minimnya air dan buang hajat di balik semak. Persoalan pompa seakan tenggelam dalam-dalam ke alam bawah sadar; tak pernah lagi muncul pada percakapan makan malam, namun sesekali timbul dalam lelapnya angan. Mimpiku kadang berupa limpahan air jernih yang membanjur tubuhku dari segala arah. Tanah kosong di belakang rumah seluruhnya berubah jadi kolam renang. Para tetangga tetap tak tertarik menggunakannya. Hanya aku, adikku, ayahku, dan ibuku yang menikmati bercebar-cebur dalam beningnya air yang terhampar luas.

Entah sejak kapan tahu-tahu muncul tumbuhan pepaya, mangga, pisang, jambu, alpukat, singkong, aren, cabai, mentimun, tomat, dan sebagainya di tanah kosong itu, terutama di sekitar belakang rumah kami. Selain itu, entah dari mana Ayah membawa pulang ayam-ayam dan melepasnya di situ. Kadang, sehabis dari buang hajat, Ayah atau Ibu membawa serta sebongkah pepaya, daun-daun singkong, berbutir-butir cabai …. Siang-siang saat hari libur, aku dan adikku menggelar tikar di teras belakang, Ayah memotong ayam, Ibu menyiapkan sambal, lalap, dan nasi dari padi-padian liar yang ternyata tumbuh juga di tanah kosong itu.

“Nikmatnya makan dari hasil jerih payah sendiri,” desah Ayah sambil mengunyah makanan dengan lahap.

Aku mengangguk-angguk dengan mulut penuh, teringat saat-saat ketika sembelit.

Perjalanan untuk buang hajat pun menjadi sangat kunikmati.

Kamis, 24 Maret 2016

Bibe Natalibera

1

“Bibe Natalibera,” gumam Yan, saat melihat huruf-huruf yang tertera di dada kanan baju seragam Bibe. Bibe menoleh. Yan melebarkan senyumnya, dan Bibe membalas dengan tak mau kalah. “Kayak nama lagu. Kenapa dinamain Natalibera?”

Sebelumnya Bibe sudah pernah menceritakan asal-usul nama depannya, bahwa “Bibe” bisa berarti apa saja, misalnya saja Bisa Berani. Kata Mama, supaya aku jadi anak yang kreatif, enggak pernah putus asa … cari sebanyak-banyaknya kepanjangan dari namanya sendiri, kata Bibe waktu itu, dan Yan terbahak. Namun baru kali ini Yan tergelitik untuk menatap dada gadis itu, yang untung saja sedang mengenakan seragam sekolah.

“Katanya sih, dulu aku dikiranya mau lahir pas tujuh belas Agustus, prediksinya gitu. Kata Mama, ‘natalibera’ itu artinya kira-kira ‘terlahir bebas’, jadi pas aja, gitu, lahir pas hari kemerdekaan, bebas kan artinya merdeka juga …. Enggak tahunya meleset. Aku baru lahir besoknya. Delapan belas Agustus. Eh, tapi banyak yang ngira lo aku lahirnya dua lima Desember, mungkin karena namaku ada ‘natal’-nya. Ada juga yang ngira aku bintangnya Libra, hehehe ….”

Yan ikut mesem, sementara ingatannya berhasil menyambung ke masa dua puluhan tahun lalu. Mula-mula ia menyenandungkannya sambil menggoyangkan kepala perlahan, seakan dengan begitu bisa melancarkan laju ingatannya, lalu ia mengulang melodi itu dengan kata-kata … “sono … nata … libera … e libera … saró ….”

Bibe takjub. Yan memandangnya dengan alis terangkat. “Gitu lagunya,” dan dada Yan pun mulai sesak, yang menjalar ke hidung, pipi, dan mata. Selain bagian reffrain, frasa “con te” pada lagu itu selalu membuatnya ingin menitikkan air mata.

“Om tahu.”

“Pasti karena pernah denger sama mamanya Bibe.”

Bibi membulatkan mulut. Ia tahu, dulu, Mama dan Om Yan sewaktu SMA sesekali menghabiskan waktu bersama di paviliun Kakek Burhan, mendengarkan koleksi piringan hitam milik kakeknya Mama. Bibe tahu karena perkenalannya dengan Om Yan diawali dengan kedatangan pria itu ke rumah Kakek Burhan saat libur Lebaran, atas undangan Mama, untuk menjemput koleksi piringan hitam tersebut. Kakeknya Mama—yang ayahnya Kakek Burhan—berwasiat supaya cucunya itu membagi koleksi tersebut dengan Om Yan. Namun Om Yan baru mengambilnya pada Lebaran waktu itu, karena baru belakangan ini ia kembali menetap di Bandung, Indonesia, setelah lama tinggal di luar negeri sejak lulus SMA, yang kalaupun sementara itu sesekali pulang ke tanah air namun tak pernah sempat mampir.

“Tapi sebel, Om. Mama sendiri suka ledekin aku Bibe Natadecoco,” Bibe cemberut.

“Hahahaha ….”

Dari dulu Mama Bibe memang suka membuat Yan terhibur. Kala itu, sepulang sekolah sewaktu SMA, di paviliun, Zia asal mencomot album koleksi Kakek, dan memutarnya di gramofon. Musik yang terdengar awalnya tidak begitu menarik, seperti lagu-lagu instrumental yang biasa diperdengarkan di supermarket. Yan dan Zia tidak mengacuhkannya, asyik menggosipkan anak-anak di sekolah sambil bersandar pada sofa. Lalu tahu-tahu terdengar lagu itu, satu-satunya yang ada penyanyinya. Mereka terdiam. Seusai lagu itu, Zia bangkit dan menyetelnya lagi, lagi, dan lagi. Setelah beberapa putaran, Yan bisa menangkap setiap suku kata dalam lirik lagu itu, menyanyikannya dengan gaya Pavarotti dengan suara dibikin semembahana mungkin yang berujung batuk-batuk. Zia, yang tak pernah mau tahu nada, menandingi Yan dengan suara terlalu nyaring, gaya rocker, hingga mencekik tenggorokannya sendiri. Pada akhirnya mereka cuma menggerak-gerakkan mulut tanpa suara, dengan lagak seolah tengah berduet dalam konser membawakan lagu itu. “Kamu Pavarotti, aku Cindy Lauper,” kata Zia waktu itu.

Bibe berhasil menemukan lagu itu di internet. “Yang ini?”

Yan mengiyakan. Ia menurunkan lagi volume musik yang sedari sebelumnya pun disetel pelan saja, kini sama sekali tak terdengar.

Mereka pun terdiam menyimak lagu yang keluar dari gawai Bibe. Lagu itu usai, dan tidak lama kemudian mobil berbelok ke pelataran bistro di kawasan Ciumbuleuit.

2

Sepeninggal Kakek, barang-barang di paviliunnya disewakan karena tempat itu hendak disewakan. Zia pun mengungsikan barang-barang kesayangan Kakek: gitar, kibor, buku-buku musik, koleksi piringan hitam, gramofon. Ia mengumpulkan semuanya berdekatan di gudang rumah utama.

Sebelum meninggal, dalam kelumpuhan nyaris seluruh anggota badannya, Kakek sempat menunjuk ke arah barang-barangnya itu, dan berucap, “Yan … Yan …” lalu menunjuk Zia, berusaha melafalkan nama cucunya itu juga, berganti-ganti dengan Yan.

“Iya, Kek, nanti aku kasih tahu Dean,” Zia menenangkan kakeknya, berucap sepelan dan sejelas mungkin hingga terulas senyum di wajah itu, yang tampak menua berabad-abad dalam rentang beberapa tahun saja.

Hampir semua cucu Kakek bersekolah di SMA yang sama, dan dari situ mereka mengenal Yan—Dean. Awalnya Dean datang ke rumah hanya untuk belajar bareng, supaya nilai-nilainya membaik, lalu ibunya senang dan tidak lagi menahan pianonya dalam kamar yang terkunci. Lalu entah bagaimana anak itu malah tersasar ke paviliun, dan menjadi partner Kakek yang hendak mengisi masa pensiun dengan belajar memainkan gitar. Lama-lama Kakek menganggap Dean seperti cucu sendiri, bahkan hubungannya dengan anak itu lebih akrab ketimbang dengan yang kandung. Ketika Dean belajar menyeriusi musik di Amerika dan tidak main-main lagi ke paviliun, mulailah Kakek kena stroke.

Ketika mendapat kabar bahwa Dean sedang pulang dan berencana mengunjunginya, Zia mampir ke gudang tempat menaruh barang-barang Kakek. Zia membuka kardus berisikan kumpulan album, melihat-lihat gambar sampulnya. Sebagian gambar itu mempertunjukkan wanita telanjang dan dulunya disembunyikan Kakek di kamar, tetapi Zia menemukannya juga dan memberi tahu Dean. Selain gambar seronok pada sampul depan, dipindainya juga daftar komposisi pada sampul belakang. Zia menyisihkan sebagian yang dikenalnya, menimbang-nimbang apakah hendak menyimpannya sendiri atau memberikan semuanya saja sekalian pada Dean.

Saat itulah, mata Zia terantuk pada “Nata Libera” dalam album Piero Piccioni. Mendadak surut keinginannya untuk terus melihat-melihat. Beberapa album terpilih ia taruh di bagian atas tumpukan dalam kardus.

Nata libera, nata libera, diingat-ingatnya terus, nata libera …. Ia mencari tahu artinya di Google Translate. Mestilah itu bahasa Italia.

Malam itu juga, saat berkumpul bersama suami dan ibu mertuanya di ruang tengah, Zia mencetuskan, “Gimana kalau Natalibera?”

Suaminya mengangkat mata dari buku yang tengah dibaca. Mertuanya berhenti menisik.

“Bibe Natalibera?” Mata Zia berbinar.

Suaminya terbahak dan memperbaiki posisi duduk, membatasi halaman yang tadi dibaca dengan sebatang jari. “Beneran?”

Zia melirik mertuanya.

“Bibe itu apa?” kata Ali lagi.

“Tapi enak kan kedengarannya?” Zia kukuh. “Kayak panggilan sayang, gitu. Kayak orang bule bilang Baby, kita bilang Bibe.”

Ali meringis. Tidak mendapat tanggapan dari Zia, ia ikut berpaling pada ibunya, yang tersenyum saja sambil terus menisik. Percakapan itu pun reda dengan sendirinya. Ali kembali mengangkat kaki, menyandarkan punggung, dan membaca. Zia kembali menelusuri nama-nama di internet.

Dalam hening yang dilatari bebunyian serangga dan amfibi, serta pijar oranye bohlam di langit-langit, tiba-tiba Ibu bersuara, “Mierelle Mathieu.”

Zia dan Ali menoleh.

“Siapa, Bu?”

“Iya, kan, Mierelle Mathieu, nama penyanyinya, ‘Nata Libera’?”

Ali mengulang nama yang disebut ibunya dalam gumaman tak jelas, lalu menyeletuk pada Zia, “Itu baru nama.”

Zia hanya mendelik, lalu berpaling pada mertuanya lagi.

“Lagu lama kan itu?”

Zia mengangguk. “Iya, Kakek saya punya albumnya.”

“Oh,” sahut Ibu Ali, tampak takjub. “Bagus lagunya.”

Zia mengangguk lagi sambil tersenyum. Matanya berbinar lagi.

Mata Ibu juga, walau sorotnya tetap teduh. Ibu menoleh pada Ali. “Itu lagu sama bapakmu.”

“Wah,” ganti Zia yang takjub, bagi Ali tampak dibuat-buat.

Ali menatap ibunya dengan rikuh.

“Dulu aku hafal liriknya.” Ibu melirik sekilas potret Bapak pada dinding di belakang Ali. Ia menoleh lagi pada Zia. “Tahu?”

Zia menggeleng. “Belum sempat cari liriknya.”

“Ah,” sahut Ibu, dan mengangkat lagi jahitannya.

Ketika percakapan terasa akan padam lagi, tahu-tahu Ibu berucap, “Itu tentang kebebasan. Tutto il mondo ē casa mia. Seluruh dunia adalah rumahku.” Ibu menatap kedua anak yang memandangnya. “Cerita di lagu itu. Kesadaran bahwa sejatinya dia manusia bebas, dan dengan kebebasan itu dia pilih ikut kekasihnya. Sedih senang, sama-sama. Kekasihnya mau ke mana pun, dia turut. Semua tempat sama saja, asalkan sama-sama kekasihnya. Kalau orang Jawa bilang, surga nunut, neraka katut.”

3

Senyum Ibu pada malam itu, yang bukan saja di bibir melainkan mencakup sorot matanya, sinar mukanya, masih lekat di memori. Itu salah satu peristiwa luar biasa dalam hidup Ali, sebab Ibu tidak sering menampakkan emosi—apalagi jika menyangkut Bapak. Apalagi, bertahun-tahun kemudian, setelah Ibu meninggal, ia menemukan surat-surat dari Bapak dalam kotak di bawah lemari, yang tampaknya tidak pernah dibalas (menurut isi kiriman terakhir), yang tadinya ingin dibakarnya saja tetapi dikandaskan pikiran bahwa mungkin saja suatu saat ia akan berburu bajingan kunyuk itu ke alamat yang tertera, walau entah untuk apa.

Agaknya sewaktu ia sudah SMP ketika, untuk kesekian kali, menanyakan Bapak pada Ibu—“Bapak …” begitu saja ucapnya, tertahan, sebab tanpa dilanjutkan pun Ibu sudah tahu—dan Ibu cuma menjawab, “Bapak sudah bebas. Biarkan saja.” Sesaat Ali mengira bapaknya memang tewas, dihajar “oknum-oknum”. Tetapi, beberapa waktu kemudian disadarinya bahwa jawaban itu masih samar.

Baru ketika faktanya menjadi terang, ia pun memahami yang dimaksud ibunya dengan “bebas”.

Kadang terpikir olehnya bahwa ia memiliki saudara lainnya nun jauh di sana. Pernah ia ditugaskan meliput ke suatu tempat di negara itu, dan tanpa dikehendakinya, timbul tenggelam harapan bertemu secara tidak sengaja orang yang serupa dirinya, barangkali memiliki matanya, rambutnya, hidungnya, bibirnya, dagunya—apa pun yang menurut orang-orang diwarisinya dari Bapak— yang sama-sama memiliki wajah itu, bahkan, jika mungkin, wajah itu sendiri yang tahu-tahu hadir di hadapannya. Apa yang bakal ia perbuat? Memeluknya? Menonjoknya? Mengabaikannya? Tetapi, selalu, pada akhirnya, itu menjadi sekadar angan yang dipendamnya lagi dalam-dalam.

Suara cangkir beradu meja membuyarkan lamunan Ali. Dilihatnya Zia sudah membuatkan minuman baru.

“Tadi kubilang kopi,” geramnya.

“Inget jantung,” sahut Zia, kalem.

Ia pun kembali memandang jendela.

“Duduklah …” tegur Zia.

Ali beranjak, dan, baru beberapa langkah, terhenti.

“Kau enggak cemas?”

“Kenapa?”

“Si Bibe masih keluyuran malam-malam gini sama lelaki seumuran kau, bujang karatan itu.”

Zia termenung sesaat, dan kembali berlagak cuek. Diucapkannya dengan sepelan dan setenang mungkin, “Yan tuh udah kayak keluarga sendiri. Ke Bibe juga nganggep anak sendiri. Papa sendiri yang enggak pernah mau kalau diajak.”

“Tahu apa dia soal ngurus anak?” hantam Ali. “Kau enggak bisa sering-sering kasih anak kesenangan kayak gitu. Bawa dia jalan ke mana pun mau. Enggak ada habis-habisnya kalau dituruti, anak itu.”

Zia memalingkan muka.

Terus saja suaminya mencecar,“Kapan kita bisa sepaham, ha? Kau kasih dia kebebasan, tapi siapa yang jamin supaya jadinya enggak keterlaluan?”[]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain