Rabu, 04 Juni 2025

Remaja dan Pornografi

Penyusun : Pusat Data dan Analisa Tempo
Penerbit : TEMPO Publishing, 2022
EISBN : 978-623-05-1803-4 (PDF)

Buku ini memuat artikel-artikel dari 2008-2014. Sebetulnya saya cari yang di bawah itu. Pastinya bukan tidak ada kasus sampai waktu itu, cuma sepertinya fenomena ini makin mengkhawatirkan sejak meluasnya penggunaan internet dan HP berkamera, yaitu mulai 2005 ke atas. Seiring dengan itu, melonjak kasus pornografi remaja. Jadi yang disorot dalam kumpulan artikel ini sebatas dalam periode awal populernya teknologi tersebut.

Dalam periode itu, saya sendiri masih remaja. Maka angka-angka yang disebut dalam buku ini terasa mencengangkan buat saya.

Angkanya bervariasi, kurang lebih sejak 2005-2009 16-69% remaja usia 13-18 tahun sudah melakukan hubungan badan, 21% siswi SMA pernah aborsi, dan hampir 95% anak yang masih duduk di bangku SD terpapar pornografi--kebanyakan dari internet (2013)

Tempat melakukan hubungan: rumah (40%--tidak adakah orang tua atau sesiapa di rumah?), kamar kos (26%--tidak adakah larangan memasukkan lawan jenis?), hotel (26%--?!?!?!?!?).

Sampai 2010 diperkirakan ada 750-900 video porno yang dibuat dan diedarkan di Indonesia, kebanyakan amatir atau direkam hanya dengan ponsel, dan 90% pelakunya adalah pelajar SMP sampai mahasiswa.

Ada 4 juta situs web porno, 90% di antaranya mengandung pornografi anak.

89% chatting remaja berkonotasi seksual..

Pornografi tidak hanya tersebar melalui cerita, gambar, dan film, tetapi juga video permainan PlayStation. 

Akibat terpengaruh oleh gambar dan video porno dari internet serta hasil upload di ponsel, anak SMP usia 14 tahun mencabuli bocah 5 tahun sampai terdapat luka robek di kemaluan korban.

Ternyata, banyak di antara rekan seangkatan saya yang sudah pada meraih pencapaian orang dewasa di masa itu. Waw. Kalau data pada masa saya remaja saja sudah begini, apalagi sekarang setelah HP makin canggih, internet makin mudah diakses, orang makin cuek dengan satu sama lain dan lebih suka memperhatikan TikTok, OnlyFans, dan sebagainya ....

Sebetulnya, pembicaraan tentang seks bukan tidak pernah masuk sama sekali ke kuping saya semenjak ABG. Masa itu saya suka menyetel salah satu radio anak muda, kadang-kadang pada waktu ada segmen yang membicarakan tentang seks remaja dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)--kalau tidak salah. Mendengar pengakuan-pengakuan yang masuk secara sambil lalu, dalam pandangan yang naif, saya pun takjub, Kok bisa ya orang pada begitu? Di Belia Pikiran Rakyat juga sepertinya ada rubrik untuk masalah itu. Selain itu, ada teman yang suka memperhatikan perilaku pacaran teman sekelas. Pernah juga ada gosip mengenai teman SD yang ketika SMP mendapatkan sesuatu perlakuan dari cowoknya.

Terhadap hal-hal tersebut, saya bersikap acuh tak acuh bahkan risi. Ngapain sih ngurus yang gituan. Saya tidak sendirian. Teman-teman lain rata-rata demikian, menganggap hal itu sebagai urusan orang yang sudah menikah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia ingin punya anak tanpa harus melakukan hubungan itu, atau enggan memikirkan bahwa ia lahir karena orang tuanya melakukan hubungan itu. Pastinya kami punya ketertarikan terhadap lawan jenis, tapi daripada bermesra-mesraan, dalam masa itu pelajaran sekolah, buku-buku cerita, tulis-menulis, dan makan nasi timbel mendoan sambal terasi bareng kawan-kawan, masih tidak kalah penting dan menyenangkan. Bergaul dengan teman lawan jenis sewajarnya saja.

Maka menyelisik topik ini membuat saya merasa betapa "aman" lingkungan tempat saya dibesarkan, betapa "alim" teman-teman saya. Padahal, kami tumbuh di kota(-kota--termasuk kota tempat saya berkuliah) yang terkenal akan fenomena-fenomena terkait. Sebut saja kota tempat saya bersekolah sampai SMA, yang dikenal sebagai Kota Kreatif. Kreativitas itu rupanya meliputi kreasi film biru, di antaranya yang dibintangi oleh mahasiswa kampus swasta (2001), ada juga oleh seorang vokalis band (2010). Ada kenyataan liar di luar sana, dan banyak orang tak memiliki perisai diri (bukan yang nama perguruan silat yach). Sementara saya dan teman-teman saya yang study-oriented, sudah gembira hanya dengan bacaan dan makanan, polos dan sederhana, hidup dalam gelembung, terlindung dari carut-marut kehidupan seksual rekan-rekan yang kurang lebih sebaya di sekitar.

Sebelumnya, saya cenderung berpikiran bahwa pendidikan seks itu buat orang yang sudah mau menikah saja. Sekarang, saya merasa paham kenapa orang pada berkoar tentang pendidikan seks, yang saya bayangkan dilakukan dengan cara yang tidak merangsang (alias bukan melalui pornografi ataupun praktik bersama pacar), yang berarti meliputi segala risikonya. (Bahkan seks halal saja berisiko melahirkan banyak anak yang belum tentu orang tuanya mampu membesarkan dengan baik).

Maka saya mengiyakan perkataan dr. Boyke dalam "Pornografi Remaja di Lampu Merah" (16 Mei 2010), bahwa konten pornografi hanya berpengaruh 10-15% terhadap perilaku seksual seseorang. Pengaruh terbesar justru dari lingkungan dan diri sendiri. Individu harus bisa mengatur libidonya sendiri. Namun, saran yang beliau berikan sama saja dengan yang dipromosikan pemuka agama yaitu: kalau sudah tidak tahan, menikah saja. Wkwkwk. Kalau sudah tidak suka, tinggal cerai--dibenci, tapi halal--dan buat laki-laki, bisa menikah lagi berkali-kali--begitu, bukan?

Ehm, lingkungan lebih menentukan daripada konten. Misalkan, dalam lingkungannya itu, seseorang dapat bertemu dengan yang sama-sama pengin, atau dapat dipengaruhinya, dan ada kesempatan, maka terjadilah. Lain cerita kalau ada yang demen mengonsumsi konten begitu, tapi kurang duit/kurang fisik/kurang gaul/kurang nyali, siapa yang akan melakukannya dengan dia. Barangkali konten hanya katalis yang memperbesar dorongan, tapi tanpa adanya penunjang-penunjang dan kesempatan untuk menindaklanjutinya dengan yang mau-sama-mau atau bisa dipaksa, paling-paling main sendiri sampai frustrasi lalu gabung dengan grup antifap/PMO. Bagaimanapun, merajalelanya konten 18+ bukannya tidak meresahkan, karena memang mengganggu pemandangan dan mengusik perasaan.

Saya sempat sharing tentang isi buku ini kepada teman yang ada pengalaman bergaul bebas (tapi kini sudah hijrah, lagipula berasal dari keluarga taat) dan dia mengonfirmasi bahwa kejadiannya memang sebanyak itu. Karena bergaul dengan mereka pun, maka terbangun kedekatan yang membuat ada perasaan tidak enak untuk menegur, sehingga membiarkan. Selain dari teman yang itu, ada pula cerita dari kenalan-kenalan, baik di internet maupun di dunia nyata, baik pengalaman pribadi maupun orang lain yang sama-sama dikenal ataupun tidak. Memang se-prevalent itu, dan dengan memperhatikan adab pergaulan, saya tidak bisa serta-merta mendakwa dengan sebutan-sebutan tertentu tepat di depan muka mereka. Hanya bisa mengingkari dalam hati, dan terinsafkan betapa lemah iman ini .... Maka agama menyarankan untuk membatasi pergaulan, yang dengan mudahnya saya patuhi sampai taraf kebablasan kadang-kadang.

Sekalipun saya tidak berbuat hal-hal itu, sejujurnya ada perasaan relate dalam membacai topik ini. Umpamanya seperti saya merasa tidak menyukai Chairil Anwar setelah mengetahui riwayat hidupnya, tapi toh beberapa puisinya mengena di jiwa. Seperti ada sebab-sebab berbeda yang bermuara pada suatu pengalaman yang persis. Seperti pengalaman itu berlapis-lapis; lapis luar membuat kita tampak berbeda dari satu sama lain, sedangkan lapis dalam menunjukkan bahwa sebagai manusia kita kurang lebih sama. Maka sekalipun perilaku orang lain terasa menjijikkan, saya tidak bisa merasa lebih baik karena toh memiliki problem-problem tersendiri yang bahasannya ada di topik-topik lain.

and mother always told me, be careful of who you love
and be careful of what you do
'cause the lie becomes the truth
("Billie Jean" - Michael Jackson)

one mistake's all it takes
and your life has come undone
walk away 'cause you're breaking up the girl
("Breaking Up The Girl" - Garbage)

alat kontrasepsi paling aman
yaitu enggak usah berhubungan
("Alat Kontrasepsi" - Blue Savanna)

Selasa, 27 Mei 2025

Budaya Sunda (Perspektif Islam)

Gambar dari Digital Library
UIN Sunan Gunung Djati
.
Penulis : Dr. Enok Risdayah, M.Ag., Dr. H. Asep Iwan Setiawan, M.Ag., Dr. H. Rohmanur Aziz, M.Ag., Dr. H. Enjang AS, M.Si., M.Ag.
ISBN : 978-602-446-594-0, (PDF) 978-602-446-632-9
Cetakan pertama, Desember 2021
Tahun Terbit Digital, 2021
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya, Bandung

Menghabiskan sebagian besar umur di Kota Bandung yang notabene wilayah Sunda, saya tidak tahu banyak tentang budaya Sunda. Pertama, latar keluarga saya bukan suku Sunda dan kami tidak berbicara dalam bahasa Sunda. Kedua, sedari kecil di lingkungan perumahan, sampai SD, SMP, SMA, saya bergaul dengan teman-teman yang sama-sama bukan asli Sunda. Tentunya ada di antara teman-teman yang keturunan Sunda, atau paling tidak, "mengajarkan" kata-kata Sunda sehingga saya tahu sedikit-sedikit dan berbicara pun dalam dialek Sunda. Selain itu, pastinya saya mendapat pelajaran Basa Sunda di sekolah (SD dan SMP), tapi sepertinya tidak begitu berpengaruh. Di luar itu, kami sebagai anak baru gede, daripada mempelajari budaya Sunda, misalkan dengan membacai buku-buku ceritanya atau mendengarkan lagu-lagunya, lebih banyak mengonsumsi budaya luar, seperti komik-komik Jepang, novel-novel Barat, atau lagu apa pun (banyak yang berbahasa Inggris) yang diperdengarkan oleh radio anak muda, belum lagi tontonan impor di televisi. Maka budaya yang asalnya dari tempat-tempat nun jauh di sana justru terasa lebih dekat daripada budaya asli di daerah yang ditinggali.

Baru setelah berkuliah di luar kota, berjarak dari "kampung halaman" tempat kelahiran dan dibesarkan, saya meresapi latar asal saya, yaitu budaya kota besar yang kesunda-sundaan. Waktu merasa homesick, entah kenapa saya mengunduh lagu-lagu Sunda dari internet. Ketika itu sebetulnya mulai ada rasa penasaran untuk mengenal lebih jauh tentang Sunda, tapi tidak kunjung terlaksana. 

Baru tahun-tahun belakangan muncul Ipusnas yang memudahkan akses ke literatur kesundaan, kemudian klub buku yang saya ikuti juga mengangkat buku-buku sastra Sunda, ditambah lagi sekarang ada SundaDigi yang relatif lengkap daripada kamus-kamus yang tersedia di rumah. Selain buku-buku cetak pelajaran Basa Sunda dari kelas 1 SD, serta yang dibahas di klub buku, buku ini yang pertama-tama saya pilih untuk baca. Judulnya menyebut "Perspektif Islam", subjek lain yang saya mau pelajari juga--sekali mendayung, dua pulau terlampaui.

Buku ini meringkaskan serba-serbi kesundaan, mulai dari tata krama, adat istiadat (tradisi dan ritual), bahasa dan sastra, arsitektur, makanan, busana, sejarah, falsafah, hingga sistem pengetahuan masyarakat (meliputi penentuan jodoh, hari baik, dan kematian, serta pamali, pelet, teluh, dan pesugihan). Ada beberapa referensinya yang saya sudah baca, yaitu Munjung (dalam terjemahan Indonesia: Memuja Siluman) dan Rasiah nu Goreng Patut (yang ini belum sampai tamat karena bahasanya susah :'). Setelah penjabaran, di akhir bab dikaitkan dengan Islam. 

Namun, untuk penjelasan dari "perspektif Islam" ini saya rasakan kudu berhati-hati. Hanya karena ada "Islam", bukan berarti terima saja bahwa itu memang "Islam". Apalagi bila terselip paham yang justru mengaburkan hakikat dari agama itu sendiri. Jadi dari buku ini saya hanya ambil wawasan kesundaan serta masukan yang sifatnya umum, seperti soal tata krama dalam berbahasa dan berperilaku, sedangkan untuk keislamannya, saya berniat untuk terus membaca sebanyak-banyaknya buku terkait. Semoga istikamah, insyaallah.

Kamis, 22 Mei 2025

Tentang Pornografi di Film dan Komik

Hikmat Darmawan, 2023
CV. Garuda Mas Sejahtera, Surabaya

Buku Ipusnas setebal 67 halaman ini memuat 5 tulisan. "KETIKA SEKS JADI TEKS: Kama Sutra, dan lain-lain" mengomentari film Kama Sutra Mira Nair. "PORNOGRAFI DI MEDIA: STANDAR YANG KEREPOTAN" mengenai hubungan antara film dan komik yang saling menginspirasi, termasuk dalam pornografi. "SEKS TAK INGIN SERIUS" mempermasalahkan film komedi seks Indonesia. "EROS DAN HENTAI: MEMAHAMI PORNOGRAFI DALAM KOMIK" menyarikan riwayat komik dewasa di Eropa, Amerika, Jepang, dan Indonesia, sekalian menanggapi penentangan terhadap UU Pornografi. "PORNOGRAFI EISNER" membela trilogi novel grafis Kontrak dengan Tuhan Will Eisner, yang dipulangkan dari Toko Buku Gramedia Karawaci karena mengandung adegan seks.  

Mendefinisikan pornografi berikut batas-batasnya itu pelik, karena standar yang relatif dalam kemajemukan masyarakat yang bukan hanya menyangkut budaya melainkan juga masa. Di antara negara-negara yang budayanya bebas saja terdapat aturan yang berbeda-beda mengenai pornografi, sebagaimana yang dibahas dalam buku Erotic Comics in Japan: An Introduction to Eromanga, yang diungkap pula dalam buku ini. 

Kalau pengertiannya sekadar yang "membangkitkan hasrat seksual", ini juga relatif, tergantung pada individu atau budaya masing-masing. Ada yang sudah biasa melihat tubuh telanjang, sehingga tidak mudah terangsang. Ada pula yang tak sengaja lihat betis tersingkap langsung tegang. Di tempat yang isinya orang-orang yang pada menutup aurat pun tetap terjadi kasus-kasus pencabulan. Saya tidak nyaman membaca Haruki Murakami, tapi orang lain fine-fine saja. Ada pula karya-karya yang barangkali termasuk saru, tapi alih-alih merangsang, bagi saya pribadi justru berhasil menyampaikan suatu pesan, contohnya: Onani Master KurosawaDua Bersaudara (Yu Hua), "The Dabba Dabba Tree" (Yasutaka Tsutsui).

Selain itu, bagi yang masih ingat agama, ada suatu dilema, sebagaimana diungkap penulis tatkala menonton Kama Sutra Mira Nair: "Tapi sebagai seorang penonton yang orang Timur juga (wa bil khusus, sebagai orang Islam), saya kembali menghadapi dilema yang mungkin tipikal dalam menyaksikan ketelanjangan di layar itu. .... toh saya tetap percaya pada 'dosa', dan bagaimana pun merasa saru dalam menonton serba ketelanjangan itu." (halaman 9 atau 13/67) Ibarat masyarakat Jepang yang katanya butuh katarsis akibat dari budaya yang "mengidealkan pengekangan diri, sementara modernisasi terasa semakin menekan, melahirkan pelepasan dalam imajinasi yang tertuang dan dinikmati pada manga dan anime" (halaman 47 atau 51/67), barangkali memang sudah sewajarnya ada perasaan berkonflik. 

Bagaimanapun seksualitas merupakan salah satu persoalan yang mesti dialami sesuatu makhluk dalam usia dewasanya. Seks adalah laku esensial dalam penciptaan; dengan seks, sesuatu makhluk mengada dan melakoni tujuan penciptaannya. Barangkali itu sebabnya dalam Islam selibat tidak disukai; hasrat itu memerlukan penyaluran, yang disyariatkan melalui pernikahan. Meskipun, dalam praktiknya, tidak sesimpel itu mengatasi masalah dengan menikah. Ada yang susah menemukan jodoh. Ada pula yang sudah menikah, tetap liar, atau setelah masalah penyaluran hasrat teratasi secara halal, lantas tertimpa masalah-masalah lainnya. 

Maka terciptalah bentuk-bentuk penyaluran lain, misalnya melalui karya seni atau fiksi, meski kemudian timbul soal lain: apakah memang hanya sebagai katarsis atau justru katalis bagi merebaknya kasus-kasus? Ada yang bilang pornografi adalah penyaluran aman, daripada dilampiaskan di kenyataan. Ada pula yang katanya terdorong merudapaksa setelah menonton film dewasa. Ini kayak telur dulu atau ayam dulu. 

Penulis cenderung memandang bahwa pornografi tak lebih dari perpanjangan gaya hidup seksual suatu masyarakat (halaman 33 atau 37/67). Contohnya, permintaan yang makin besar akan pornografi anak memungkinkan makin banyak kasus eksploitasi anak untuk memenuhinya. Hal ini disanggah dalam Erotic Comics in Japan. Katanya di Jepang pornografi anak tidak serta-merta meningkatkan kasus eksploitasi anak. Barangkali di Jepang masyarakatnya memang sudah "dewasa", mampu membatasi antara khayalan dan realita. Di Indonesia, kita ingat belum lama ini muncul kasus ibu membuat video mencabuli anak sendiri karena motif ekonomi.
"... menerima kebebasan pornografis bukan tak menyimpan masalah. Argumen moral seringkali dianggap argumen yang lemah. Toh argumen ini selalu ditengok jika kita menemui ekses negatif dari kebebasan. Dan ekses negatif itu memang ada." (halaman 21 atau 25/67) 
Sex sells, dan orang pada mau saja membelinya tanpa pikir panjang. dan orang lain ikut kena getahnya. Lama-lama memualkan dihadapkan dengan materi sugestif yang out of place saat membuka media apa pun, mulai dari komik, novel, sampai Duolingo, Instagram Shopee, YouTube, tanpa mesti disebabkan oleh seringnya sengaja membuka situs begitu. Malah di dunia nyata sudah berkali-kali ketika saya lagi anteng di ruang publik, ada saja yang menyodorkan pemandangan tak senonoh. 
"Benarkah film mencerminkan penontonnya? Jika film-film sampah dapat penonton berlimpah, ini gejala apa?" (halaman 29 atau 33/67)
Jangan-jangan agama membatasi seks dengan pernikahan karena seks yang berlebih-lebihan tidak pada jalurnya memang hanya akan menghasilkan manusia-manusia sampah?  

Apabila dilakukan lembaga publik, sensor malah menuai konflik. Karena repotnya membatasi syahwat orang lain, ujungnya dikembalikan ke tanggung jawab masing-masing. "Tak ada sensor terbaik selain sensor dalam diri kita sendiri--kita sendiri yang mesti pandai menyaring dan kritis," penulis mengutip Marseli dalam Dasar-dasar Apresiasi Film (halaman 22 atau 26/67). Kita sendiri yang butuh mengembangkan kesadaran sampai taraf mana eksposur materi tersebut dapat merusak jiwa, dan memalingkan pandang secepatnya. Jika dikaruniai kreativitas, "Mungkin perlu ada teks lain, yang alternatif juga, mungkin dari Timur juga, yang menyoal penghadiran seks kepada publik di jaman modern ini. Misalnya, .... sebuah teks yang cerdas tentang kenapa menampilkan seks kepada publik adalah sebuah persoalan, dan betapa kita lebih sering lupa, atau pura-pura lupa, pada persoalan itu." (halaman 9 atau 13/67)

Sabtu, 05 April 2025

Memenuhi Kebutuhan Emosional Anak

Manusia terdiri dari unsur jasmani (fisik) maupun rohani (psikis). Agar dapat tercapai suatu perkembangan yang optimal, maka kedua unsur tersebut harus dipelihara dan dipenuhi segala kebutuhannya.

Untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, maka manusia melakukan tindakan seperti makan, minum, berolahraga, tidur/istirahat dan sebagainya. Kebutuhan fisik ini mudah dikenali, karena tubuh/fisik manusia selalu memberi sinyal-sinyal yang memberi semacam peringatan akan kebutuhan fisik macam apa yang harus segera dipenuhi. Sebagai contoh apabila tubuh kekurangan cairan, maka akan muncul suatu sinyal rasa haus, sehingga manusia terdorong untuk minum, dan dengan demikian kebutuhan fisik akan cairan secara otomatis akan terpenuhi. Gejala yang sama dijumpai pada keadaan fisik yang lelah dan memerlukan istirahat. Dalam keadaan seperti ini akan muncul sinyal rasa kantuk, yang menyebabkan manusia terdorong untuk tidur.

Kebutuhan psikis (emosional) jauh lebih sulit untuk dikenali maupun dipenuhi bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik, karena kebutuhan psikis itu merupakan sesuatu yang abstrak, tidak tampak secara jelas. Meskipun sulit dikenali, maupun dipenuhi, namun untuk mencapai pertumbuhan psikis yang sehat, maka kebutuhan psikis (emosional) ini harus dipenuhi, seperti juga perlunya memenuhi kebutuhan fisik, untuk mencapai kondisi fisik yang sehat.

Pada masa-masa perkembangan fisik yang pesat, yaitu pada masa anak-anak dan remaja, maka kebutuhan fisik ini juga tinggi. Kurang terpenuhinya kebutuhan fisik pada masa-masa pertumbuhan ini, dapat mengakibatkan adanya "cacat" fisik di kemudian hari. Sebagai contoh anak yang kekurangan gizi pada masa pertumbuhannya, dapat menyebabkan pertumbuhan fisiknya menjadi kurang sempurna.

Apabila pertumbuhan fisik yang paling utama terjadi pada masa anak-anak dan remaja, maka pertumbuhan psikis yang paling utama terjadi pada lima tahun pertama dari perkembangan manusia, karena pada masa itulah peletakan dasar-dasar kepribadian manusia. Rasa percaya diri, dorongan untuk berprestasi, kreativitas, dan sebagainya terutama ditentukan dari seberapa jauh kebutuhan-kebutuhan psikis (emosional) pada masa lima tahun pertama perkembangan anak ini terpenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan emosional dari anak yang masih kecil, yang belum mampu mengutarakan bahkan mengenali kebutuhan emosionalnya sendiri adalah tidak mudah. Secara umum memang kita telah dapat mengenali kebutuhan emosional manusia seperti kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, perhatian dan sebagainya. Namun untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan rasa cinta, kasih sayang dan perhatian, bukanlah merupakan hal yang mudah. Suatu bentuk larangan misalnya (contoh: orang tua melarang anaknya untuk bermain di jalan), yang sebetulnya merupakan perwujudan rasa sayang orang tua terhadap anak, apabila tidak dikomunikasikan dengan benar, akan dipersepsikan sebagai suatu hal yang negatif oleh anak. Oleh karena itu pengenalan terhadap kebutuhan emosional anak dan cara pemenuhan kebutuhan yang benar, sangat diperlukan untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian yang sehat pada seorang anak, sekaligus untuk membentuk suatu hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak.

Tujuh Macam Kebutuhan Emosional Anak

Linzer (dalam Goodman, 1959) menyebutkan bahwa ada tujuh macam kebutuhan emosional anak yang paling mendasar, yaitu kebutuhan akan: (1) cinta; (2) penerimaan; (3) rasa aman; (4) perlindungan--kebebasan; (5) tuntunan beragama; (6) bimbingan, dan (7) pengendalian. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai kebutuhan-kebutuhan tersebut:

Cinta

Cinta merupakan dasar dari perkembangan anak. Setiap anak butuh merasakan bahwa orang tuanya mencintai dan menginginkannya. Wujud cinta dalam kehidupan sehari-hari antara lain ditunjukkan dengan ungkapan kata-kata, seperti panggilan "sayang" kepada anak, ungkapan perilaku seperti memeluk, menggendong, atau ungkapan berupa perhatian terhadap anak.

Penerimaan

Setiap anak membutuhkan keyakinan bahwa orang tua mereka menerimanya seperti apa adanya, menerima tidak hanya bila dia bertindak sesuai dengan keinginan orang tua mereka, tetapi setiap saat. Anak akan merasa diterima bila orang tua dapat menghargai jerih payahnya dan tidak menuntut yang berlebihan kepada anak.

Rasa aman

Setiap anak ingin merasakan bahwa rumah mereka merupakan tempat yang aman, bahwa orang tua mereka mampu menciptakan suasana hati yang tenang dan tenteram, bahwa orang tua mereka siap menjaga, khususnya di saat mereka menghadapi masalah atau menghadapi situasi yang baru.

Perlindungan -- kebebasan

Setiap anak menginginkan agar orang tuanya menjaga dan memberikan perlindungan dari segala macam bahaya, membantunya pada saat anak menghadapi sesuatu yang baru atau sesuatu yang menakutkan. Tetapi di samping itu anak juga menginginkan agar orang tua memberikan kebebasan kepada mereka dalam menemukan hal-hal baru, dan dalam melakukan segala sesuatu bagi dirinya sendiri, sehingga tumbuh rasa percaya dirinya. Kedua unsur ini harus diberikan secukupnya saja dan harus seimbang.

Tuntunan beragama

Setiap anak membutuhkan tuntunan dalam hidup beragama, agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang benar, karena dalam agama sudah ada hukum-hukum moral yang mengatur semua yang ada. Adalah tugas orang tua untuk "menghadirkan" Tuhan dalam kehidupan anak-anaknya dan dalam memberikan


Lihat halaman VIII kol. 4


Sumber: Suara Karya, 11 November 1994


Selasa, 25 Februari 2025

Menguak Kehidupan Klub Malam Jakarta Era Ali Sadikin

Gambar screenshot dari Ipusnas.
oleh Pusat Data dan Analisa Tempo
Penerbit TEMPO Publishing
ISBN 978-623-262-599-0 (PDF)

Sedikit yang saya ketahui tentang Ali Sadikin (CMIIW): ialah gubernur DKI Jakarta era 1970-an yang banyak jasanya dalam pembangunan ibu kota negara ini. Biaya pembangunan antara lain diambil dari pajak industri kehidupan malam yang kontroversial. Lebih banyak tentang Gubernur Ali, ditinjau melalui sudut pandang pribadi, ada dalam autobiografi Ajip Rosidi, Hidup tanpa Ijazah. Namun, dalam buku tersebut lebih banyak diuraikan jasa Gubernur Ali terhadap Dewan Kesenian Jakarta. Tokoh pembangunan lain yang dekat dengan Ajip Rosidi adalah Sjaruddin Prawiranegara, yang pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Baik Ali Sadikin maupun Sjafrudin Prawiranegara beragama Islam, sebagaimana tampak dari namanya. Dalam pandangan Ajip Rosidi, keduanya menjalankan agama sewajarnya: dengan Ali Sadikin salat Jumat bersama, dengan Sjafrudin Prawiranegara menerbitkan buku kumpulan pemikiran tentang Islam. Namun, yang pertama mendukung industri kehidupan malam, yang kedua mendukung riba--dua hal yang bukankah tidak semestinya didukung dalam Islam? Ini menarik. Apa jadinya bila kedua tokoh muslim tersebut, selaku penentu kebijakan di pusat negara, bersikap fundamental menurut agama yang baik mereka maupun mayoritas masyarakat anut sekalipun hanya di KTP? "Dengan adanja night club yang menghidupi 5.000 orang, belum termasuk keluarganja, saja kira saja mendapat pahala. Pahala itu saja kira lebih tinggi dari maksiat ...." begitu penjelasan Ali Sadikin di depan para gubernur dan bupati se-Indonesia, membuka artikel pertama di buku ini. Entah apakah beliau pernah mendengar konsep "dosa jariah", bagaimana suatu perbuatan maksiat dapat mengakibatkan maksiat-maksiat lainnya. Bagaimanapun, kita mesti memaklumi posisi beliau-beliau sekalian situasi negara ini untuk dapat mengamalkan agama secara kafah. Lagi pula, berkat kebijakan beliau-beliau, sepatutnya kita bersyukur Indonesia jadi agak "maju", tidak terbelakang amat, dalam sistem perekonomian hawa nafsu yang menguasai dunia dewasa ini. Alhamdulillah .... 

Dengan pernyataannya itu, tampak Gubernur Ali memaklumi pandangan umum terhadap klub malam. Kontroversi bukan hanya karena bertentangan dengan kitab suci, melainkan juga kekhawatiran pribadi nyonya-nyonya bila tempat itu jadi sarana tuan-tuan pada madon. Namun Gubernur Ali bersikeras bahwa night club bukan untuk maksiat--ada tempat lain untuk itu--melainkan sekadar hiburan, di samping cara pemerintah untuk membangun metropolitan dan mengeruk pendapatan. Klub malam merupakan atribut yang dianggap harus ada di sebuah kota metropolitan (halaman 5). Usaha ini masuk dalam bidang kepariwisataan. Jadi orang-orang berduit tak perlu jauh-jauh ke Singapura atau Hongkong untuk cari hiburan, di Jakarta pun bisa (halaman 17). Lagi pula, tujuan orang ke klub malam berbeda-beda, bukan cuma untuk ditemani hostes, melainkan ada yang hanya ingin relaks atau urusan bisnis. Tiap klub juga beda-beda fasilitasnya, tidak mesti menyajikan seni copot pakaian.

Sebagaimana tampak di judul, buku ini memuat artikel-artikel menyangkut kehidupan klub malam Jakarta era Ali Sadikin, tepatnya dari 1971 sampai 1973. Klub malam sebagaimana yang digambarkan dalam artikel-artikel ini tidaklah sebagaimana klub malam yang saya bayangkan. Sebagai generasi yang yang baru lahir beberapa dekade setelah masa pemerintahan Ali Sadikin, klub malam yang saya ketahui adalah tempat berkumpulnya muda-mudi trendi buat ajep-ajep sampai dini hari. Istilah lainnya: dugem atau clubbing. Namun, klub malam yang saya tangkap dari artikel-artikel dalam buku ini sasarannya tampak masih sebatas bapak-bapak berduit, khususnya lagi yang berkulit kuning (halaman 52), sebelum berangsur-angsur menjangkau kalangan yang lebih muda. 

Sambutan masyarakat terhadap "kebebasan" ini pun tampak masih sungkan. Disorot betapa dari banyaknya nama klub malam yang lahir, dengan segera pada almarhum karena berbagai alasan. 

Pemerintah banyak campur tangan, mulai dari mensyaratkan lisensi (istilahnya sekarang mungkin: sertifikasi) bagi hostes sampai membatasi penampil agar tidak membuka semuanya dan bukan pula wanita dari bangsa sendiri, sehingga perlu mengimpor dari luar negeri antara lain Australia dan Filipina.

Untuk menarik perhatian pengunjung, pengelola klub malam melakukan berbagai "inovasi", seperti meniadakan cover charge, mengganti striptis dengan gulat dan Emilia Contessa, sampai mengadakan acara untuk anak-anak dan remaja. Pengelola pun berkeluh kesah. Bila ditiadakan cover charge, memang banyak pengunjung, tetapi cuma meminum Coca Cola terus menonton pertunjukan sampai habis. Sebetulnya cover charge utama dalam bisnis klub malam untuk menyeleksi yang masuk, tapi karena kompetisi yang berlebih-lebihan, maka ditiadakan (mungkinkah juga karena tidak begitu banyak orang yang berduit ketika itu?). Memang industri ini menyediakan banyak lapangan kerja, tetapi sempat pula ada manajer yang mengeluh soal mempekerjakan wanita sekalipun hanya sebagai hostes, karena tidak bisa dikerasi tidak bisa juga dibiarkan semaunya. 

Bisnis klub malam sementara ini pun megap-megap karena ketiadaan bakat maupun ketiadaan pasaran. Asosiasi Klub Malam Indonesia tidak menjalankan fungsinya secara memuaskan. Bermunculan bisnis kehidupan malam jenis lainnya seperti rumah mandi uap, panti pijat, dan bar, yang menjadi saingan. Ini baru pada awal 1970-an, setelah direstui Gubernur Ali Sadikin. Sekitar sedekade kemudian, terbit Menyusuri Remang-remang Jakarta, menelusuri tempat yang barangkali yang dimaksudkan Gubernur Ali sebagai tempat khusus maksiat kalau bukan klub malam itu. Jakarta Undercover yang mengover kehidupan malam era 2000-an mungkin boleh dibilang sebagai kelanjutan dari topik ini. Selama masih ada orang-orang punya duit dan butuh duit, yang tidak hendak menghabiskan malam dengan tidur nyenyak saja di rumah, sepertinya bisnis ini dapat terus bertahan sampai kiamat.

Minggu, 02 Februari 2025

Korban Dua Keganasan

Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis: Darmaningtyas
Penerbit: Yogyakarta, Salwa Press, 2002

SEAKAN meniru jejak antropolog Prancis, Emile Durkheim, yang meneliti fenomena bunuh diri, Darmaningtyas meneliti hal serupa. Durkheim mengerjakan dalam konteks di Prancis, Darmaningtyas menulisnya dalam konteks di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan sang penulis memang menggunakan paradigma Durkheimian dalam karyanya ini. 

Emile Durkheim menulis buku Le Suicide (1897) dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1951 (Suicide: A Study in Sociology). Durkheim mengungkapkan fenomena bunuh diri sebagai gejala kejiwaan individual, psikososial, struktural, dan alam semesta. Ia menggolongkan gejala universal bunuh diri menjadi empat bentuk: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.

Tingginya frekuensi bunuh diri di Gunung Kidul, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an, membuat orang setempat percaya bahwa pulung gantung terjadi karena sejumlah anggota masyarakat melakukan perilaku yang dipantangkan. Menurut mitos setempat, pulung gantung akan didahului sebuah tanda di langit pada malam hari. Bentuknya adalah cahaya bulat berekor, berwarna kemerahan agak kekuningan dengan semburat biru yang meluncur cepat menuju rumah calon korban.

Berdasarkan data yang dia kumpulkan pada tahun 1980-2001, Darmaningtyas menunjukkan bahwa para pelaku bunuh diri didominasi kaum lelaki berusia 35-50 tahun, miskin, buta huruf, dan terisolasi secara geografis, mobilitas sosialnya rendah dan kabur kanginan (asal-usul dan tujuan tidak jelas). Hampir semua pelaku bunuh diri yang ditelusuri lebih jauh latar belakangnya berasal dari kelompok rentan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Peletup bunuh diri ini adalah depresi panjang karena utang, malu tak tertanggungkan, dan sakit kronis.

Lalu apa yang dilakukan para pejabat setempat? Para pejabat justru bagian dari masalah, karena banyak dari mereka yang tidak bisa memikirkan dengan sungguh-sungguh kehidupan masyarakatnya. Koperasi Unit Desa (KUD) berubah maknanya menjadi "Kuperasi Uang Desa". Para birokrat lebih senang menangguk keuntungan di antara terpuruknya masyarakat. Kajian Darmaningtyas ini menunjukkan potret ketidakberdayaan paling telak dari masyarakat pedesaan di Jawa akibat marginalisasi, involusi, dan korban dari keganasan alam serta keganasan birokrat lokal.

Suryasmoro Ispandrihari
Alumni Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



Sumber: Tempo No. 25/XXXI/19-25 Agustus 2002



Klik gambar agar terlihat lebih jelas.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain