Jumat, 28 Juni 2013

Mari Bicara tentang Kebahagiaan


Pendiri Summerhill School, Alexander Sutherland Neill berpandangan bahwa anak-anak yang dididik dengan kebebasan akan menjadi orang yang bahagia. Pembacaan berlanjut ke The Geography of Bliss, yang memang fokus membahas kebahagiaan. Kali ini ada Eric Weiner, jurnalis dari Amerika Serikat yang mengaku penggerutu. Ia tidak pernah merasa bahagia. Ia mencari kebahagiaan melalui buku-buku, tapi tidak ketemu. Maka ia mencoba untuk mencari kebahagiaan dengan lain cara: Ia datangi langsung tempat-tempat yang konon penduduknya berbahagia (dan yang tidak). Tidak tanggung-tanggung, konteks tempat-tempat yang dimaksud adalah negara. Sejak dulu Eric memang ingin melihat dunia, tapi dengan dana dari pihak lain. Eric pun menjadi jurnalis.

Langsung saja. Siapa tidak senang “diajak jalan-jalan” hingga ke sepuluh negara? Puluhan halaman untuk setiap negara. Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan Amerika dalam 460 halaman—total 512 halaman[1]. Hari-hari yang dilalui Eric dengan menemui orang-orang, menanyakan pandangan mereka tentang kebahagiaan, lalu memprosesnya dalam pikiran—memberikan pengalaman-tidak-langsung yang cukup intens. Dan tentu saja, humor.

Jelas, beberapa kata bisa menimbulkan kebahagiaan instan. Kata-kata seperti “Aku mencintaimu” dan “kamu sudah menjadi pemenang”. Namun, kata lain—“audit” dan “pemeriksaan prostat”—memiliki efek yang sebaliknya. –halaman 249

Hanya saja, sesekali saya merasa ada hasil terjemahan yang kurang enak. Semisal, apakah yang dimaksud dengan buku “aktivitas mandiri” adalah buku “self-help”? Istilah ini cukup sering muncul, bagi saya rada janggal. Apa ya kira-kira padanan yang lebih tepat? Bagaimanapun secara keseluruhan buku ini mengasyikkan.

Seperti sudah diduga, kebahagiaan tidak sama bagi setiap orang. Seorang wanita di Qatar mengiyakan bahwa kebahagiaan adalah uang. Bagi penduduk Swiss kebahagiaan bisa berarti stabilitas. Orang Thailand bahagia karena tidak berpikir. Di Bhutan kebahagiaan dituai dari spiritualitas. Kebahagiaan juga bisa diperoleh dari penerimaan atas kegagalan, menurut warga Islandia. Masyarakat papa di India tetap bahagia karena ikatan sosial yang kuat—keluarga, teman. Tapi bagaimana jika ada kausalitas terbalik?

…orang sehat lebih bahagia daripada orang tidak sehat; atau bahwa apakah orang bahagia cenderung lebih sehat? Orang yang menikah bahagia; atau mungkin orang yang bahagia lebih mungkin untuk menikah? –halaman 36

Mengikuti Eric yang terus mempertanyakan kebahagiaan, saya pun jadi bertanya-tanya: apakah saya bahagia?, pandangan yang mana tentang kebahagiaan yang sesuai dengan saya? Tujuh halaman terakhir buku ini berupa daftar pertanyaan untuk didiskusikan, saya kira baik untuk memperdalam pembacaan alih-alih terlewatkan begitu saja. Karena belum ada kesempatan diskusi, saya coba jawab beberapa pertanyaan dengan perspektif saya sendiri. Barangkali pengantar di tiap-tiap pertanyaan bisa cukup memberi gambaran mengenai beberapa hal yang menjadi isi buku ini.

Di awal buku, Eric mengaku bahwa dia adalah penggerutu, orang yang tidak puas. Mengapa dia begitu, mengingat kesehatannya yang bagus dan dia cukup sukses? Sejauh mana sifat suka menggerutu ini merupakan ciri khas Eric?

Saya juga tidak mengerti. Sering saya menyadari bahwa saya berada dalam kondisi yang cukup nyaman, tapi malah sering bersedih. Saya tetap memiliki kenangan-kenangan dan pikiran-pikiran buruk. Barangkali sikap mental terhadap hal-hal buruk tersebut yang menghalangi kebahagiaan. Menurut saya ini hasil pendidikan. (Lihat lagi kalimat pembuka ocehan ini.)

Mendefinisikan kebahagiaan itu sulit. Eric menyukai definisi Noah Webster: “Perasaan menyenangkan yang berasal dari kenikmatan rasa senang.” Bagaimana Anda mendefinisikan kebahagiaan?

Menurut saya kebahagiaan bukan tujuan, bukan untuk dicari. Kalau sekarang kita merasakan kebahagiaan, maka itu adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan sejati adalah tergantung Allah menentukan bagaimana kita di akhirat.

Di akhir buku ini, Eric bertanya-tanya apakah kebahagiaan itu mungkin dinilai terlalu tinggi. Apakah hal itu benar? Apakah ada sesuatu dalam hidup ini yang lebih berharga daripada kebahagiaan?

Mungkin memang kebahagiaan tidaklah sepenting itu. Lagi saya kira, yang lebih penting bukan kita bahagia atau tidak, dan apa yang bikin kita bahagia, tapi bagaimana kita sebanyak-banyaknya kita melakukan kebaikan, dan menghindari keburukan (yang mana susah sekali).

Ilmuwan sosial mengklaim bahwa mereka dapat mengukur kebahagiaan cukup dengan bertanya kepada orang seberapa bahagia mereka. Apakah Anda memercayai penemuan ini? Apakah memang kita ini hakim yang dapat dipercaya untuk menilai kebahagiaan kita sendiri?

Saya tidak percaya. Bisa saja detik ini saya bilang saya bahagia, detik berikutnya saya mengalami peristiwa buruk hingga sedih berhari-hari dan tidak tahu bagaimana bisa senang lagi. Sebagian manusia berjiwa labil. Kadang hal buruk atau baik bisa datang secara tidak terduga-duga dan mengubah persepsi kita pada kehidupan selama-lamanya, tergantung bagaimana ketahanan mental kita.

Eric menunjukkan bahwa keterkaitan antara demokrasi dan kebahagiaan adalah tidak jelas. Apakah menurut Anda bahwa orang yang hidup dalam negara demokratis benar-benar lebih bahagia daripada mereka yang hidup di bawah bentuk pemerintahan lainnya? Apakah ada sesuatu dalam negara yang terlalu demokratis?

Ada kutipan bagus dari novel The White Tiger[2]

“Masalahnya, dia mungkin pernah… katakanlah dua, tiga tahun bersekolah. Dia bisa membaca dan menulis, tapi tidak memahami apa yang dibacanya. Dia setengah matang. Negara kita penuh orang sepertinya. Sedangkan kita memercayakan demokrasi parlementer kita,”—Mr. Ashok menunjuk saya—“kepada orang-orang seperti ini. …” –halaman 11
  
Eric berargumen bahwa buku aktivitas-mandiri tersebut keliru—bahwa kebahagiaan terdapat tidak di dalam diri kita, tetapi di luar sana? Apakah yang dia maksudkan dengan hal ini dan apakah Anda setuju?

Mungkin yang dimaksud dengan kebahagiaan-di-dalam-diri adalah ketika kira menggali apa yang ada pada diri kita yang dapat membuat kita bahagia. Mungkin semacam penerimaan-diri. Kesadaran bahwa kita tidak memiliki banyak hal, tapi toh ada banyak hal lain yang kita miliki. Mungkin semacam sikap mental untuk terus optimis. Sedang yang dimaksud dengan kebahagiaan-di-luar adalah bahwa ada hal-hal di luar diri kita yang dapat membuat kita (lebih) bahagia. Semisal kita tidak bahagia saat di Kota A, tapi kita merasa sebaliknya di Kota B. Semisal juga berkenalan dengan orang baru akan membuat kita (lebih) bahagia, sama dengan ketika kita bisa membantu orang lain akan menimbulkan kesenangan ketimbang memikirkan diri sendiri melulu. Jadi menurut saya kebahagiaan itu ada di dalam dan di luar, di mana-mana.[]




[1] Edisi Indonesia diterbitkan oleh Qanita, Bandung, cet. 3, 2012
[2] Edisi Indonesia diterbitkan oleh Sheila, imprint Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2010

Kamis, 27 Juni 2013

Pendidikan Alternatif ala Summerhill School

Di Summerhill kamu bebas bermain-main, selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun! Kamu boleh tidak mengikuti pelajaran kalau kamu tidak ingin. Kamu bahkan tidak harus bisa membaca, apalagi menulis. Kamu boleh merokok, mengumpat. Di sini kita tidak bicara soal baik dan buruk. Kami tidak peduli apa agamamu. Kita merumuskan aturan bersama-sama. Kamu boleh menentang usul kepala sekolahmu, dan ia tidak akan merasa terhina sama sekali! Kami hanya ingin memberikanmu kebebasan dan kasih sayang, mengganti kebencian dan ketakutan di dalam dirimu dengan kebahagiaan dan keberanian!

Tidak mengherankan apabila kebijakan Sumerhill menuai banyak kontroversi. Inspektorat Pendidikan Inggris sulit memberikan akreditasi untuk sekolah ini. Harold Hart, editor buku tentang Summerhill edisi Amerika Serikat, melakukan banyak penyesuaian supaya buku tersebut diterima pasar di sana. Bagaimanapun juga Summerhill mampu berdiri hingga puluhan tahun, bahkan menarik banyak murid dari berbagai negara di luar Inggris.

Alexander Sutherland Neill telah berpengalaman sebagai guru maupun kepala sekolah sebelum mendirikan sekolah slengean ini pada tahun 1921. Di sekolah-sekolah umum ia mendapati guru bagaikan dewa kecil yang memperlakukan siswa bak tentara di barak-barak militer. Sistem yang otoriter akan membuat siswa tidak bahagia, sedang ketidakbahagiaan adalah sumber kejahatan, kebencian, dan perang. Anak bermasalah akibat perlakuan salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah, sehingga sepatutnya orangtua dan gurulah yang bertanggung jawab.

Neill percaya bahwa kebebasan akan membawa kebahagiaan. Untuk membersihkan anak dari sifat buruk, kita harus membiarkan mereka menyalurkan hasrat-hasratnya. Mengekang egoisme anak hanya akan membuatnya lebih buruk lagi saat dewasa. Di Summerhill penerapan ide ini menimbulkan kekacauan tentu saja. Banyak barang yang rusak dan hilang. Banyak yang terganggu atas ulah yang lainnya. Untuk itulah setiap malam Minggu diadakan Rapat Umum yang dihadiri seluruh siswa dan staf sekolah. Dengan demikian kebebasan dikendalikan secara demokratis melalui prinsip swakelola.

Aku pribadi sebetulnya ragu dengan yang dinamakan “kebebasan”. Walaupun aku tidak yakin untuk mengklaim diri sebagai moralis, religius, dan responsif, tapi agaknya pendidikan yang kuterima selama ini telah membentukku menjadi orang yang masih mengindahkan baik-buruk, agama, dan respek. Hal-hal seperti itu yang malah disingkirkan Neill demi “kebebasan”.

…kami berupaya menciptakan sekolah yang membiarkan anak-anak bebas jadi diri mereka sendiri. Untuk itu, kami mesti membuang jauh-jauh semua ketertiban, semua arahan, semua anjuran, semua pengajaran moral, semua pengajaran agama. –halaman 43

Sejak awal pembacaan buku ini aku menangkap kebebasan yang diterapkan di Summerhill tetap menuai masalah yang harus diatasi. Setiap orang bertingkah semaunya, membuatku ngeri. Anak-anak merusak bengkel dan kebun Neill. Neill menendang balik anak yang menendangnya.

Pada akhirnya Summerhill memang berhasil mencetak alumni-alumni yang percaya diri, bahagia dengan pekerjaannya, dan disenangi atasannya. Tapi ada pula siswa yang tidak berhasil dididik sehingga dipulangkan, atau lulus namun merasa tidak cukup memperoleh sesuatu bahkan mengatakan Summerhill telah menghancurkan hidupnya. Seolah sama halnya dengan aku yang menderita selama bersekolah di SMAN *, tapi toh banyak alumni sealmamater yang sukses.

Di sisi lain ulasan Neill mengenai psikologi perkembangan anak membuatku lebh memahami keadaanku sekarang. Aku juga suka dengan pendapatnya berikut.

…saya lebih suka sekolah yang mencetak tukang sapu yang bahagia daripada sekolah yang menghasilkan sarjana neurotik. –halaman 44

Jikalau Anda mempunyai filosofi hidup yang bagus, jenis pekerjaan yang Anda tekuni niscaya bukan hal terpenting bagi Anda. –halaman 112

Buku tentang Summerhill edisi Indonesia diterbitkan Serambi dengan judul Summerhill School – Pendidikan Alternatif yang Membebaskan (cetakan I tahun 2007). Terjemahannya enak, walau pembacaanku tersandung banyak kata yang bikin aku heran. Untuk apa teks ini diterjemahkan kalau pembacanya masih perlu buka kamus, walau dalam kasus ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Adakah dikau mafhum kata-kata berikut: arkian, ahmak, kasdu, kalis, lamun, lelawa, makul, alufiru, dan banyak lagi yang akan menambah perbendaharaan kita, namun akan menyusahkan pembaca-praktis.

Keinginan untuk membaca buku ini timbul setelah aku menyadari isu pendidikan alternatif dalam buku yang sebelumnya kutamatkan, Klub Film. Aku juga menyetel ulang film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)[1], yang menyuarakan pendidikan alternatif khususnya bagi para bocah pencopet. Tentunya masih banyak contoh yang menunjukkan bahwa pendidikan (formal) tidak bisa berlaku bagi setiap anak, entah tidak mampu atau tidak cocok.

Bagiku “pendidikan” adalah bidang yang labil. Kita tidak bisa menerapkan metode yang sama pada semua anak. Metode yang tidak tepat malah akan membuat anak membenci kehidupannya[2]. Kalau kita ingin mengoptimalkan potensi seorang anak, maka ia perlu diperlakukan secara khusus. Ada metode untuk setiap anak. Tapi adakah setiap anak mendapat orang dewasa yang peduli dan bisa membimbingnya?[]




[1] Tontonan wajib sarjana menganggur
[2] Ya. Ini kata Neill yang menurutku tepat

Rabu, 26 Juni 2013

Cerita Ayah Shelly tentang Amerika

Dear Diary. Hari ini aku berkenalan dengan Shelly. Dia anak Bandung juga loh… dari tahun ’80-an. Ayah Shelly pernah ke Amerika Serikat. Pengalamannya selama di sana Shelly ceritakan lagi kepadaku. Aku terbengong-bengong menyimaknya. Selama ini aku suka membaca cerita atau menonton film yang berasal dari Amerika Serikat. Tapi rasanya berbeda ketika kehidupan di negara tersebut dilihat langsung oleh mata orang Indonesia yang notabene muslim, pada tahun ’70-an pula.

University of California, Berkeley, 
Ayah Shelly pernah belajar di sini. source

Per­ta­ma ka­li Ayah Shelly ke Ame­ri­ka Se­ri­kat pa­da ta­hun 1971/1972, ya­itu un­tuk be­la­jar di Uni­ver­si­ty of Ca­li­for­nia, Ber­ke­ley. Pa­da saat itu Ber­ke­ley me­ru­pa­kan pu­sat pem­be­ron­tak­an ma­ha­sis­wa, ter­u­ta­ma un­tuk me­nen­tang Pe­rang Viet­nam yang te­lah ber­lang­sung se­la­ma dua pu­luh­an ta­hun. Ba­nyak ju­ga hippies yang ting­gal di sa­na. Ka­­li ke­dua Ayah Shelly ber­kun­jung ke Amerika Serikat pada tahun 1975 untuk mengikuti suatu latihan di Universitas Massachusetts. Kali ketiga Ayah Shelly ke Amerika Serikat pada tahun 1978 untuk mengikuti lokakarya selama sebulan di Michigan State University. Nah, di luar kepentingannya tersebut, Ayah Shelly menyempatkan diri untuk mendatangi berbagai objek menarik di Amerika Serikat seperti Grand Canyon, Washington, Gedung PBB, Patung Liberty, Empire State Building, Air Terjun Niagara, Gereja Mormon, Danau Garam, bahkan Disneyland. Pengalaman ayahnya mencoba berbagai atraksi di Disneyland menginspirasi Shelly untuk mengirim surat berisi masukan ke Taman Mini Indonesia, supaya mereka juga membuat atraksi serupa! Hihihi, lucu ya, Di. Kadang Shelly bisa begitu detail menceritakan apa yang dialami ayahnya, hingga aku merasa seolah-olah sedang berpergian pula ke tempat-tempat tersebut. 

Empire State Building ini yang pernah
disamperin Kingkong! source
Amerika Serikat sudah merdeka selama dua ratusan tahun, dan pada tahun ’70-an sudah merupakan negara yang sangat maju. Banyak bangunan wah di Amerika Serikat seperti jembatan Golden Gate yang panjangnya 2 km, juga Empire State Building yang tingginya 375 meter. Ada sistem transportasi dengan kereta yang serba otomatis seperti BART (Bart Area Rapid Transit), yang menghubungkan Berkeley dengan San Fransisco. Pekerjaan di ladang pun serba mekanis sehingga produktivitasnya tinggi, yang tidak mungkin diterapkan di Indonesia dikarenakan keterbatasan lahan dan akan merebut lahan kerja manusia. Jalanan di kota-kota besar dibuat lurus-lurus bersilangan sehingga membentuk kotak-kotak di mana bangunan didirikan—maka mencari alamat bukan perkara sulit.

Sering Ayah Shelly bertemu dengan orang-orang yang tahu Indonesia. Tuan rumah Ayah Shelly dalam suatu acara Rotary Club di Durnham mengatakan bahwa kopi Jawa sangat terkenal. Petugas Hotel Commodore di Washington doyan rokok kretek, saudara-saudaranya yang mengembara dari Arab Saudi telah tinggal di Indonesia selama belasan tahun sebagai pedagang. Pelayan toko cinderamata di Gedung PBB adalah orang Filipina yang sempat salah dikira Ayah Shelly sebagai orang Indonesia, tapi tentu saja ia tahu Indonesia. Ketika Ayah Shelly diundang suami-istri yang pernah dua tahun tinggal bersama suku Dayak, ia disuguhi pertunjukan wayang dalam bahasa Inggris—dan didalangi bule! Penjaga toko cinderamata di Hawaii berkawan dengan pelatih lumba-lumba dari Taman (Impian Jaya) Ancol—mereka dikirim ke sana untuk mempelajari pertunjukan lumba-lumba dan kembali ke Jakarta dengan membawa hewan tersebut. Tapi menurutku yang paling berkesan adalah ketika Ayah Shelly bertemu orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Pada tahun 1959 Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan nasionalisasi yang membuat mereka angkat kaki. Walaupun begitu mereka tetap merasa sebagai orang Indonesia, dan merasa kehilangan ketika tidak lagi tinggal di sana. Ayah Shelly memiliki pengalaman tidak menyenangkan ketika dulu bersekolah di gedung yang sama dengan anak-anak Belanda. Dulu di Indonesia mereka bersikap sombong mungkin karena merasa sebagai penguasa atau penjajah. Sedang kini di California mereka adalah pengembara, dan bersikap sopan dan ramah.

Waaah… Di. Sebetulnya banyak hal menarik lain di cerita Shelly, tapi aku tidak mungkin menuliskan semua. Yang jelas menurut ayah Shelly ada yang patut dan tidak patut ditiru dari kehidupan orang-orang di Amerika Serikat.

Yang patut ditiru, misalnya: orang sana gemar membaca, sambil menunggu atau makan, di bis, pesawat, atau kereta, pantas mereka pintar dan maju karena kebutuhan membaca sudah seperti kebutuhan makan, begitupun kita yang muslim, toh ayat Al Quran yang pertama turun pun menyuruh kita untuk membaca[1]; orang sana hidup dengan tertib dan disiplin, tidak ada serobot-serobot, baik saat antri di loket maupun berkendara di jalan raya; orang sana sejak kecil sudah dididik untuk mandiri, dan saat remaja mereka sudah mulai bekerja untuk mengumpulkan uang sendiri; orang sana selalu tepat waktu, dan akan masygul kalau ada yang terlambat, lagipula Al Quran telah memperingatkan kita akan pentingnya waktu[2].

Yang tidak patut ditiru juga banyak, seperti: hubungan keluarga di sana terkesan kurang akrab, anak jarang berhubungan dengan orang tuanya lagi setelah tinggal terpisah; minuman keras adalah minuman sehari-hari di sana, walau lumrah tapi sering mengakibatkan kecelakaan; orang sana bekerja keras hanya untuk kehidupan duniawi, padahal harta yang kita kumpulkan bisa menjadi bekal untuk di akhirat kelak, semisal berupa amal jariah dengan membangun sarana berlatih keterampilan bagi para penganggur, mendirikan sekolah bagi anak kurang mampu, dan sebagainya, atau malah untuk menunaikan ibadah haji.

Terakhir, Di, kata Shelly, dengan menarik pelajaran dari perjalanan yang dilakukan seperti ini, kita mengamalkan ajaran Allah dalam Al Quran. Coba kita cek ya ayat apa saja yang Shelly sebut tadi.

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. –Al Hajj 46

Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa. –An Naml 69

Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. –Al Mu’min 82

Sayang sekali, Di, pertemuan dengan Shelly tadi singkat saja L Doraemon buru-buru ingin pulang ke masa kini, sudah waktunya Top Gear tayang di saluran 200. Eh, begitu sampai, mesin waktunya rusak. Huh entah kapan dia akan betulkan. Aku bahkan tidak sempat menanyakan nama dan pekerjaan ayah Shelly. Kapan ya aku bisa bertemu dengan Shelly lagi... Aduh, siapa sih Shelly?[][3]




[1] Al Alaq 1 - 5
[2] Antara lain dalam Al Ashr
[3] Shelly menuliskan kisah perjalanan ayahnya ke Amerika Serikat dalam buku Menjelajah Amerika, diterbitkan oleh Penerbit Alumni, Bandung, tahun 1984. Tidak ada keterangan bahkan sepintas dalam buku itu mengenai Shelly maupun ayahnya, walau ditampilkan foto-foto sang ayah saat berkunjung ke tempat-tempat tertentu. Hasil penelusuran di Google juga tidak membantu. Saya menanyakan soal buku ini pada Mama. Ia bilang ini buku Kakek. Ia baru tahu kalau ada buku ini di lemarinya. 

Selasa, 25 Juni 2013

Menggugah Kebersamaan lewat Film

Ada apa di balik film? Seolah tidak cukup dengan novel, cerpen, dan semacamnya, aku menggedor-gedor lagi minatku terhadap si gambar-hidup. Memoar berjudul Klub Film[1] ini tampaknya bisa menjadi pengantar sebelum aku memulai “klub film”-ku sendiri. Tapi ternyata esensi buku ini lebih dari sekadar cuap-cuap perfilman. Ini adalah buku tentang parenting, bahkan pendidikan altenatif.

Ketika anak laki-kali David Gilmour yang berusia lima belas tahun, Jesse, mulai keteteran dalam semua mata pelajaran di sekolah, ayah yang satu itu menawarkan perjanjian yang tidak lumrah: Jesse boleh berhenti bersekolah … dengan satu syarat. –cover belakang

“Ayah mau kau menonton tiga film bersama Ayah setiap minggu. Ayah yang pilih filmnya. Hanya itu pendidikan yang akan kau terima.” –halaman 10-11

Tiga film seminggu menjadi awal bagi Pak Gilmour untuk memupuk kebersamaan dengan putranya. Ia berusaha memilihkan film yang cocok bagi Jesse, dari film artistik Eropa The 400 Blows (1959) sampai film “bejat” macam Basic Instinct (1992). Dari film yang telah mereka tonton, ia menggali pelajaran sedikit demi sedikit supaya Jesse tidak bosan.

Aku harus menemukan satu celah untuk memulainya; kalau ingin membuat seseorang tertarik pada sastra, jangan memulainya dengan menyuguhi orang itu Ulysses—meski, kalau boleh jujur, sebuah dunia tanpa Ulysses terlihat menarik bagiku. –halaman 50

Ia memberikan Jesse kebebasan, tapi ia juga memantau kehidupan putranya mulai dari perilaku sehari-hari di rumah (tutup mulut saat mengunyah dan tutup pintu saat kencing) sampai kegalauan soal cewek. Jesse tipe cowok yang sedikit-sedikit resah soal cewek. Yang dilakukan ayahnya adalah berusaha untuk menjadi teman curhat yang baik, menghormatinya, dan memperlakukannya selayaknya orang dewasa. Kadang ada saja ketidakcocokkan di antara mereka, semisal tanggapan Jesse terhadap The Beatles tidak seantusias ayahnya.

Kadang Pak Gilmour tidak yakin dengan keputusannya terhadap Jesse. Bayangan suram akan nasib Jesse selanjutnya menghantui. Ia sendiri tidak memiliki pekerjaan yang stabil saat itu.

Kehidupan berangsur-angsur membaik. Ia kembali mendapatkan berbagai pekerjaan. Jesse juga mulai bekerja setelah satu-dua tahun klub berjalan. Pada akhirnya anak itu kembali bersekolah hingga lulus, dan kuliah, dan tidak lagi tinggal bersama ayahnya maupun ibunya. (Kedua orangtua Jesse sudah berpisah.) “Anak-anak menghabiskan masa kecilnya untuk bersiap-siap meninggalkan kita,” kata Pak Gilmour di halaman 258, yang mengingatkanku pada sepenggal narasi Leo Gursky di halaman 223 novel History of Love terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2006, “… Barangkali itulah arti menjadi ayah—mengajari anakmu hidup tanpa dirimu.”

Film memang bisa memberikan banyak hal. Menarik untuk mengetahui bagaimana kisah di dalam maupun di baliknya, hingga relevansinya dengan kehidupan kita sendiri. Pada akhirnya Jesse memang memiliki pengetahuan yang luas soal perfilman, tapi di penghujung cerita kita tidak diberitahu apakah itu membuatnya terjun ke dunia tersebut. Toh memang bukan itu intinya. Kata Pak Gilmour di halaman 118-119, “Bisa saja kami menyelam atau mengumpulkan perangko bersama. Film-film itu sekadar menjadi wahana kami untuk meluangkan waktu bersama, beratus-ratus jam, dan juga sebagai pemecah kebuntuan sehingga kami bisa mengobrol dengan topik apa pun…” Kebetulan ia memang kritikus film. Maka lewat subjek yang dikuasainya itu, ia berusaha menggapai kebersamaan—yang menurut endorsement dari St. Petersburg Times adalah hal terpenting bagi orangtua dan anak.[]



[1] Terjemah P. Herdian Cahya Khrisna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Minggu, 23 Juni 2013

Another Coming-of-Age Story

Frits van Egters ingin menyatakan sesuatu kepada orangtuanya pada malam akhir tahun. Niat itu membuatnya tegang hingga bermimpi buruk. Dalam film De Avonden (Inggris: The Evenings) selama 1 jam 55 menit kita akan menyaksikan bagaimana Frits mengisi hari-harinya (dari tanggal 22 hingga 31) menjelang pelaksanaan niatnya itu.

http://www.veerkamp.nl/webgal/pages/de%20avonden.C1.htm
Frits sudah be­ker­ja di se­bu­ah kan­tor yang su­nyi dan mem­bo­san­kan, se­o­lah pe­ga­wai­nya ha­nya ia dan se­o­rang wa­ni­ta. Sung­guh­pun de­mi­ki­an Frits ma­sih ting­gal ber­sa­ma ayah-ibu­nya. Ke­bia­sa­an jo­rok sang ayah ke­rap bi­kin Frits gu­sar. Pa­da­hal Frits pun do­yan ber­ting­kah ko­nyol semisal me­lu­dahi bah­kan me­ngen­cingi pe­ra­pi­an. Frits bi­lang pa­­da te­man­nya, ha­rus ada yang men­ja­ga ke­dua orang­tua­nya ter­se­but. Ta­pi li­hat ba­gai­ma­na ayah-ibu ter­se­but ba­hu-mem­ba­hu meng­gan­­ti pa­kai­an Frits ke­ti­ka anak itu pu­lang da­lam ke­ada­an ma­buk. Frits ju­ga me­mi­liki ri­tu­al se­be­lum ti­dur, se­per­ti me­nyen­tuh pu­sar­nya de­­ngan te­lun­juk la­lu mem­baui ja­ri­nya itu; ser­ta meng­hi­tung de­tik-de­­tik per­gan­ti­an ha­ri. Ia su­ka ber­ma­in-ma­in de­ngan ke­lin­ci—ke­lin­ci-bo­­ne­ka dan ke­lin­ci-por­se­len. Se­se­ka­li ia me­li­hat so­sok yang se­­be­­nar­nya su­dah ti­dak ada, dan meng­gi­ring ki­ta pa­da kha­yal­an-kha­yal­an­nya yang mengecoh bahkan tak senonoh.     

De Avonden semula berbentuk novel. Saya tertarik menelusurinya berkat informasi berikut dari buku ini.

Dalam tahun 1947, hanya dua tahun sesudah berakhirnya perang dunia, terbit sebuah roman yang sangat menarik perhatian dunia sastra Nederland. Roman itu berjudul ‘De avonden’ dikarang oleh seorang pemuda umur 23 tahun yang bernama Simon van het Reve. Yang menarik perhatian adalah gambaran dari sebuah keluarga Belanda dalam tahun-tahun sesudah perang yang baru saja berlalu. Tokoh utama roman itu, Frits van Egters, tidak cocok dengan gambaran ideal dari seorang anak muda seperti yang dikehendaki oleh para akhli pendidik.

            Frits tidak ingin tahu bagaimana masadepannya, dia tidak membentuk suatu karier yang mantap, ia tidak mengimpikan seorang gadis yang kelak bakal dipinangnya. Dalam roman ini Frits, seorang pemuda yang biasanya mengikuti gerak-gerik ayahnya dengan pandangan dingin, sedang si ayah digambarkan sebagai orang yang berpakaian tak sepatutnya dan makan dengan cara yang tak pantas. Pembicaraan di rumah itu bernada membosankan, segala sesuatu mencerminkan skeptisisme dan pessimisme.


Buku ini menarik ratusan ribu pembaca, karena ia rupanya mengungkapkan apa yang hidup di lubuk hati anak-anak muda termasa. Banyak orang tua marah dan mengecam sikap pengarang yang menurut mereka salah. Reve mengaku bahwa pandangan hidupnya jauh daripada optimis, tapi ia membela filsafat hidupnya sebagai berikut: “Saya kira, bahwa kebenaran baru terungkapkan oleh sesuatu yang runtuh. …” (halaman 35)

Ada yang bilang De Avonden merupakan versi Belanda dari The Catcher in the Rye. Barangkali sebagaimana The Catcher in the Rye tidak penah difilmkan (konon) karena narasinya yang khas[1], De Avonden pun sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berkat alasan senada. Agaknya popularitas De Avonden hanya merebak di kalangan yang paham bahasa Belanda. Penulisnya bahkan termasuk writers no one reads versi tumblr ini. Simon van het Reve sesungguhnya bernama Gerard Reve. Di Google kita akan menemukan nama tersebut dalam artikel-artikel yang membahas isu penistaan agama.

Bagi yang tidak paham bahasa Belanda (seperti saya -_-) dan ingin mengetahui cerita novel tersebut secara (rada) utuh, bukan sekadar garis besarnya, bolehlah tengok dulu versi filmnya di Youtube. Film yang diproduksi pada tahun 1989 ini juga berbahasa Belanda, tapi subtitle bahasa Inggrisnya tersedia kok di Google (walau butuh usaha lebih untuk menemukan yang pas).

Frits van Egters di film tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia seharusnya. Selain itu saya tidak menyarankan film ini untuk ditonton siapapun yang tidak nyaman (dan aman) dengan adegan-adegan yang mengumbar seksualitas. Selebihnya film ini cukup menjawab kepenasaranan saya. Kita bisa terhibur dengan tingkah Frits yang kekanak-kanakkan maupun interaksinya dengan sang ayah. Agaknya tidak bijak untuk memberitahu apakah Frits berhasil mengutarakan maksudnya pada orangtuanya, atau malah dengan lain cara; juga apa sebetulnya yang ingin Frits ungkapkan (karena saya juga tidak yakin :P). Tapi salah satu adegan di penghujung film bagi saya cukup menyentuh, yang menurut saya sih menunjukkan bagaimana perasaan Frits yang sesungguhnya pada orangtuanya.

De Avonden menambah perbendaharaan saya soal bildungsroman bernuansa angst, di samping Welcome to the N. H. K., Norwegian Wood, The Catcher in the Rye, It’s Kind of a Funny Story, The Perks of Being Wallflower, bahkan mungkin… Drop Out? Belum lagi jika cerpen pun disertakan: A & P dan Araby. Dan seluruhnya menggunakan perspektif laki-laki dengan kisaran umur 15 – 23 tahun, eh, karakter sentral dalam Araby sepertinya berusia lebih muda (12 tahun?) sedang khusus Drop Out mah dirahasiakan. Khusus De Avonden, karena seyogianya tulisan ini fokus pada judul tersebut, di mana karakter sentralnya berusia 23 tahun, lagu “What’s My Age Again?” dari Blink 182 amat tepat sebagai pengiring. Nobody likes you when you’re twenty three, begitu penggalan liriknya, yang bikin saya bertanya-tanya seperti apakah usia 23 tahun bagi saya nanti. Isu yang muncul baik dari novel/film maupun lagu tersebut adalah betapa sulitnya kita menghentikan perilaku kekanak-kanakkan di saat kita dituntut untuk mulai bersikap dewasa. Katanya sih: tua itu pasti, dewasa itu pilihan.




[1] Yeah! Coba cari di IMDb…

Jumat, 21 Juni 2013

Ada piano. Seorang gadis kecil suka menaiki piano. Kaki-kakinya melangkah, menginjak tuts demi tuts. Kedua lengannya terentang, membentuk lintasan yang tak imbang. Ayahnya takut pijakan gadis kecil itu goyah, lalu terjatuh. Sayang, ayo turun. Gadis kecil itu tak mendengar. Ia terlalu girang mendapati langkah-langkahnya mampu menghasilkan nada. Nada-nada mengalun, tang teng tong tang. Gadis kecil itu sampai ke tepi, lalu ia kembali. Ayahnya mendekat. Ayo, Sayang. Gadis kecil itu menepis tangan ayahnya. Ayahnya garuk-garuk kepala, jidat. Gadis kecil itu mengulangi lagi gerakan yang sama, berlalu di depan sang ayah dengan rawan. Tapi lihat binar di wajahnya, berpendar-pendar. Lelaki itu pun merengkuh anaknya, yang lantas meronta-ronta begitu kaki-kakinya lepas dari pijakan. Dipukulinya pundak sang ayah. Sebentar bagai pijatan, tapi lalu Ayah kembalikan sang gadis kecil ke tempat semula. Hati-hati, Cantik, dipeganginya tangan sang anak. Berdua mereka melangkah. Kaki anak bersuara nada. Kaki ayah berirama tap, tap, tap. Mereka sampai di tepi. Mereka kembali lagi. Jreng-jreng-jreng. Tap-tap-tap. Di tengah-tengah sang gadis kecil berhenti, menghadap sang ayah sembari tangan-tangannya memegang tangan-tangan yang besar milik Ayah.  Gadis kecil itu mengangkat salah satu tangan ayahnya, lalu berputar melewatinya. Oh ho ho, kau ingin berdansa? Anak itu hampir oleng, namun dengan sigap sang ayah menangkap. Kita berdansa di lantai saja. Sang anak menggeleng kuat-kuat. Sembari memeluk pinggang anaknya, dengan kepala gadis kecil itu bersandar di pundaknya, sang ayah menerawang ke jendela besar di belakang piano. Tirainya terbuka, menampilkan malam berbintang. Langit yang indah, ya? Ia menyesap harum anaknya. Sayangnya kita hanya berdua, katanya tapi dalam hati saja. Tapi lebih merana lagi jika aku sendiri. Kau karunia terindah dalam hidupku. Sang anak menoleh pada ayahnya. Tersenyum. Walaupun kau selalu diam. Ayahnya juga tersenyum. Hei, ayo kita main piano sama-sama. Anak itu berhenti tersenyum, apalagi ketika sang ayah mendorong sofa mendekat. Sofa menghadap piano. Ayah mencopot kaos kaki dan sepatu. Punggung ayah bersandar sofa, seraya mengangkat kedua kakinya yang telanjang hingga jemari-jemarinya menyentuh tuts. Ha ha, ia menertawakan kesulitannya. Ia coba memainkan nada-nada. Sang anak duduk saja di atas tuts mengamati. Mungkin begini rasanya kalau tidak punya tangan, gumam Ayah. Anak itu ikut bersandar sofa. Kakinya tidak sampai. Punggungnya pun melorot. Dipanjang-panjangkannya kaki hingga dapat menggapai tuts, dengan tumit, dengan jari. Ayahnya menonton dengan girang. Ada dua pasang kaki, memainkan melodi terliar yang pernah ada. Jreng-jreng-jreng. Trang-trang-trang. Jreng— Sang Ayah berimprovisasi dengan suara mengaduh, duh, duh, duh. Ia mengangkat sebelah kakinya, berusaha meluruskannya dengan tumit bertumpu kap piano. Sementara kakinya sebelah lagi ganti beradu dengan lantai. Tinggal sang anak bermain tunggal dengan wajah tercenung-cenung, lalu lamat-lamat melodi lenyap. Kaki sang anak menapak udara. Beginilah akhirnya kalau kau main piano dengan kaki, Nak. Sang Ayah mengurut-urut kaki dengan kernyitan tak putus-putus di wajahnya.[444]


gara-gara gambar ini #nulisapaansihkamu

http://anonymouslegacy.blogspot.com/2013/06/visdare-25-precarious.html

Kamis, 20 Juni 2013

"Harga diri saya."

Kantor polisi, malam

            Seorang polisi menghirup rokok dalam-dalam. Pintu dibuka lebar. Angin mendesau. Titik-titik cahaya tampak. Derik jangkrik menyusup. Cahaya bulan merebak. Gumpalan asap terempas dari mulut polisi.
            Dua jari menjepit puntung. Tatapan polisi terbang menembus ambang. Lamat-lamat sosok pemuda sampai.
            "Ada yang bisa dibantu, Dek?" Polisi membubuhkan abu di asbak.
            Diamat-amatinya pemuda itu. Matanya nanar seolah mencari sesuatu, walaupun sadar sia-sia saja mencarinya di ruangan ini. Pundaknya lunglai, hingga sorot lampu bebas menyinari ujung-ujung rambutnya yang cepak. Dagunya terangkat kembali dengan ragu. Kekukuhan yang lemas oleh masalah apapun yang dibawanya. Mulutnya yang terkatup, terbuka, suara agak bergetar, "Saya mau melaporkan kehilangan, Pak..."
            Mata polisi menyipit dengan simpatik. "Apa yang hilang?"
            Punggung pemuda condong perlahan. Matanya membesar. Ceruk mulutnya melebar...
            "Harga diri saya."
            Bibir polisi saling menekan.


***

OPEN or OPENING. Aku sedang mempertimbangkan situasi ini sebagai opening dari sebuah cerita. Ketika mengetiknya, alat di sampingku sampai di "Time to Pretend" dari MGMT. Agak-agaknya konten dalam lagu tersebut terkait dengan salah satu isu dalam kelanjutan cerita ini.


Rabu, 19 Juni 2013

Seperti ada kucing menatap bulan
            ber-"aong-aong" di taman
            meaou meaou menahan birahi
            seekor jantan di dini hari

            namanya jabrik
            memang ia berisik

            azan tiga pagi tingkahi eongan
            dan ia pun terdiam


corat-coret 18-6-13

Selasa, 18 Juni 2013

Menanti Bandung Kota Sepeda

Asana mah ieu teh shelter bikebdg paranti parkir sapeda. Ka marana atuh bray?

foto diambil seminggu sebelum pemilihan walikota Bandung 2013-2018

Senin, 17 Juni 2013

Berkenalan dengan Para Pengarang Belanda

Buku ini aku temukan di lemari berisi koleksi buku Mama, ketika aku hendak mengumpulkan buku-buku petunjuk menulis. Buku ini diterbitkan tahun 1979 oleh Djambatan (Jakarta) atas kerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, namun, menilik coretan di pojok kiri atas halaman belakang, baru dibeli Mama tanggal 8 November 1984. Wow, saat itu usia kami sama. Lembar paling belakang tersebut bertajuk “Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta sayembara:” Halaman kedua berisi beberapa pertanyaan yang personal, yang memberiku gambaran seperti apa Mama saat seusiaku. Lembar itu tidak dikirim karena tenggatnya tanggal 31 Maret 1980. Seandainya saja ia membeli buku ini lima tahun lebih cepat, ia masih memiliki peluang untuk memenangkan satu di antara tiga hadiah menarik dan sepuluh hadiah hiburan. Ya ampun. Jangan-jangan aku cinta delapan puluhan karena suka menelusuri buku-buku koleksi Mama. Harga buku ini hanya Rp 1.000,- korting 15% bahkan—berapa time value of money­-nya kalau dikonversikan ke masa kini?

Buku berjudul Kisah Belanda Se­pan­jang Za­man: Mo­dern ini me­muat se­pu­luh ki­sah da­ri se­pu­luh pe­nga­rang Be­lan­da—A. Kool­haas (“KUM­PUL­AN”), Simon Carmiggelt (“PE­RI KE­HI­DUP­AN”), W.F. Hermans (“LOO-LEE”), Gerard Reve (“MA­LAM NA­TAL SUS­TER MAG­NUS­SEN”), Jan Wolkers (“PE­NYE­NGAT”), Harry Mulisch (“PU­TE­RA MAH­KO­TA”), Bob den Uyl (“BANG­KIT­NYA KE­GU­SAR­AN”), Heere Heeresma (“TUAN FRITS DAN NO­NA LE­NI”), Hans Vervoort (“PE­ME­GANG BU­KU”), dan J. M. A. Biesheuvel (“TUAN MELLEN­BERG”) yang dikumpulkan Piet Calis kemudian diterjemahkan Hanzil Tanzil. Piet Calis adalah se­o­rang dosen Bahasa dan Sastra Belanda, yang pernah bekerja di Uni­versitas Indonesia tahun 1975-1977. Adapun Hanzil Tanzil adalah pimpinan Pusat Kesenian Jakarta dan sekretaris Himpunan Pen­ter­je­mah Indonesia, yang telah berlatih menerjemahkan sejak di sekolah menengah. Karya terjemah Hazil Tanzil yang lain di antaranya Kisah Jerman Sepanjang Zaman (dua jilid: klasik dan modern)—yang-aku-menyesal-kenapa-ibuku-tidak-mem­be­li­nya-ju­ga-pa­da-saat-itu-ma­na-ia-bi­sa-me­ne­ra­wang-anak­nya-suatu-saat-akan-ter­ta­rik-de­ngan-Jer­man? 

Jumlah halaman tiap kisah beragam—ada yang pendek seperti “PEMEGANG BUKU” (Hans Vervoort) dan ada yang panjang semisal “BANGKITNYA KEGUSARAN” (Bob den Uyl). Kisah-kisah tersebut bersumber dari terbitan tahun ‘40-‘70-an awal. Sesekali pembacaan disela potret para pengarang yang seluruhnya pria. Pengarang yang tertua lahir tahun 1912 (A. Koolhas), sedang yang termuda tahun 1939 (J. M. A. Bieshuevel). Setiap kisah diawali dengan keterangan yang menarik (biografi singkat pengarangnya) maupun mengganggu (sinopsis sekaligus komentar terhadap kisah yang akan ditampilkan—spoiler alert!).

Setiap pengarang memiliki keunikannya masing-masing yang sekiranya mewarnai karya yang dihasilkan. A. Koolhaas misal, konon ia pernah mengurung diri di kandang ayam untuk mengamati bagaimana perilaku hewan tersebut. Bob den Uyl dan J. M. A. Bieshuevel pernah mengalami gangguan jiwa. Harry Mulisch memiliki pandangan unik terhadap para penjahat perang yang mengirim korban mereka ke kamp konsentrasi: ...pemusnahan suku-suku bangsa yang mereka lakukan dari meja tulis, lebih banyak didorong oleh perasaan tak acuh daripada oleh rasa benci. … Ia sebetulnya bukan seorang penjahat, ia adalah seorang yang sanggup melaksanakan dengan sempurna apa saja yang diperintahkan padanya. … (halaman 61). Gerard Reve menulis roman yang bikin aku penasaran karena sepertinya menggambarkan apa yang kualami di usiaku sekarang, De Avonden. Karya-karya Jan Wolkers dan J. M. A. Biesheuvel bersifat autobiografis. A. Koolhaas pernah ke Indonesia, bahkan Hans Vervoort lahir di Magelang! Dan sebagainya.

Kisah-kisah yang ditampilkan umumnya realis. Penuturan sepenggal momen dalam kehidupan sehari-hari secara detail. Kecuali kisah dari A.Koolhaas (“KUMPULAN”) yang berupa fabel. Tokoh utamanya adalah seekor burung camar. Juga “PUTERA MAHKOTA” dari Harry Mulisch. Sejujurnya aku tidak begitu menangkap kisah tersebut menceritakan apa.    

Mama suka kisah “TUAN MELLENBERG” dan merasa teridentifikasi dengan pengarangnya, yaitu J. M. A. Bieshuevel. Kisah tersebut merupakan pengalaman pengarangnya saat dirawat di klinik psikiatri. Mama selalu suka kisah tentang orang gila. Favoritnya yang lain adalah kumpulan cerpen Catatan Harian Orang Gila karangan Lu Xun dari penerbit Jalasutra.

Sedang aku sendiri lebih tertarik dengan “PERI KEHIDUPAN”, “LOO-LEE”, “PENYENGAT”, “BANGKITNYA KEGUSARAN”, dan “TUAN FRITS DAN NONA LENI”. “PERI KEHIDUPAN” semacam sketsa mengenai kehidupan suami-istri dalam nuansa jenaka. Ketidakberdayaan suami di rumah ketika istrinya ingin bersantai sesekali di hotel. “LOO-LEE” adalah nama sebuah sungai yang kotor (mengingatkanku pada Sungai Cikapundung yang sewarna susu Milo), di mana seorang anak kecil membiarkan adiknya ditenggelamkan anak lain yang lebih besar. Kukira yang dimaksud dengan “PENYENGAT” adalah lebah. Hubungan antara ayah yang kasar dengan anak yang jahil(?). “BANGKITNYA KEGUSARAN” bikin aku ingin menuturkan pengalamanku sendiri dengan gaya serupa: potongan-potongan peristiwa yang entah apa kaitannya namun terjadi secara kronologis. Hanya kisah ini yang menggerakkanku untuk menandai kalimat-kalimatnya dengan pensil (salah satunya telah kupajang sebagai status di Facebook), sementara Mama menyorot kalimat-kalimat mengena baginya dalam buku ini dengan stabilo warna hijau, yah, maklum, buku ini kan miliknya. Membaca “TUAN FRITS DAN NONA LENI” serasa menonton film komedi romantis yang bikin aku terkekeh-kekeh sendiri seraya menanti adegan ehemnya.

Adapun “TUAN MELLENBERG” yang notabene pamungkas dalam kumpulan ini, mengingatkanku pada film It’s Kind of a Funny Story (2010). Situasi dalam kedua kisah tersebut hampir serupa. Seorang muda di tempat untuk para pengidap sakit-jiwa. Walau tokoh dalam film lebih muda, dan agaknya hanya menderita galau yang wajar bagi anak seusianya. Barangkali itu yang menyebabkan kesan dari “TUAN MELLENBERG” tidak sekuat yang ditimbulkannya pada Mama. Aku sudah pernah mengonsumsi kisah semacam itu sebelumnya. Tapi mungkin juga karena aku tidak begitu terobsesi dengan kisah tentang orang gila. Tapi mungkin juga karena aku ingin memiliki kesukaanku sendiri. Sudahlah.

Kisah lainnya. “MALAM NATAL SUSTER MAGNUSSEN” menceritakan nasib malang seorang wanita yang hidup sendirian saat disambangi Santa Klaus palsu (baca: sepenangkapanku). “PEMEGANG BUKU” sebetulnya menarik, tentang bagaimana pegawai korup menanggung getah dari perbuatannya. Tapi keduanya tidak menimbulkan kesan sekuat kisah-kisah lain yang telah kusinggung.

Hasil terjemah buku ini tidak begitu enak menurutku. Walau aku masih bisa menangkap emosi dari situasi-situasi tertentu dalam kisah-kisah tertentu. Dan menikmatinya. Sepertinya kesan yang ditimbulkan akan lebih mengena apabila aku memahami bahasa Belanda, dan membaca buku ini dalam bahasa aslinya tersebut. Untuk saat ini aku baru bisa berkhayal.

Banyak orang betah melakukan riset supaya bisa menulis sesuatu yang sebelumnya tidak mereka kuasai. Banyak pula orang menulis demi uang. Maka kututup pembacaan ini dengan kalimat dari Bob den Uyl dalam “BANGKITNYA KEGUSARAN” yang menggelitikku.

“…janganlah menulis tentang hal-hal yang engkau tidak kuasai sepenuhnya, maka dapat disimpulkan, bahwa hal itu hanya dilakukan untuk memperoleh uang, dan itu memuakkan sekali.” (halaman 71)

Bakal betul-betul membangkitkan kegusaran kukira. He.[] 

Sabtu, 15 Juni 2013

Pertemuanku dengan Harvey Pekar (2 dari 2)

http://www.johnadouglas.com/wp-content/uploads/2009/08/HarveyPekar1.jpg

Crumb menyukai konsep Harvey, dan mau mengerjakan ilustrasinya—Harvey sebetulnya tidak bisa menggambar. Dan demikianlah kisah lahirnya komik serial American Splendor. Selanjutnya Harvey bekerja sama dengan sejumlah ilustrator lain dalam mengerjakan komik mengenai dirinya itu, bukan hanya dengan Crumb. Orang-orang di sekitarnya senang melihat diri mereka menjadi bagian dari komik tersebut. American Splendor semakin dikenal. Dipentaskan di teater. Dikumpulkan dan diterbitkan oleh penerbit ternama. Penulisnya diundang berkali-kali ke acara Late Show with David Letteman (yang kalau di Indonesia mungkin semacam Bukan Empat Mata atau Hitam Putih).

Namun Harvey tetaplah Harvey, apapun yang telah American Splendor hantarkan untuknya. Ia masih petugas berkas. Ia masih mencemaskan segala sesuatu. Dalam wawancara di film, Joyce mengatakan bahwa sebetulnya ada saja hal-hal membahagiakan dalam hidup mereka, tapi Harvey tidak memasukkan itu. Harvey pikir kebahagiaan tidak akan membuat karyanya laku.

I’m just the gloomy guy. It’s my perspective: gloom and doom.

Tampak bahwa Harvey memang menyukai penderitaan, menerimanya sebagai bagian dari hidupnya, selamanya. Karena penderitaannya, American splendor-nya, sikap negatifnya pada dunia itulah yang mencetuskan kreativitasnya untuk membuat komik yang terbilang “baru” pada zamannya, lalu dari komik itu ia mendapatkan penghasilan tambahan, ketenaran, bahkan Joyce pun pada awalnya mengenal Harvey dari American Splendor. Misery loves company, Harvey bilang.

Bertahun-tahun setelah American Splendor dan The Quitter, tepatnya pada tahun 2010, Joyce menemukan Harvey meninggal. Yang menurutku tragis adalah karena kematian Harvey bukan disebabkan oleh kanker yang pernah diidapnya (fase ini muncul di penghujung film), melainkan akibat obat antidepresan.


Individualisme

Yang aku dapatkan dari kisah Harvey Pekar adalah lebih dari sekadar soal mencari pekerjaan, tetapi mengenai kehidupan secara keseluruhan. Aku bukan jagoan jalanan. Aku tidak memiliki pengalaman kerja, maupun pasangan yang pas seperti Joyce pada Harvey. Aku tidak terhubung dengan orang yang benar-benar dapat melancarkan karier menulisku. Dan sejumlah perbedaan lain… tapi ada pula sejumlah persamaan antara aku dengan Mbah Pekar yang membuatku merasa teridentifikasi: 1) Kami suka mudah. Ketika suatu hal terasa sulit bagi kami, kami akan meninggalkannya. 2) Kami pribadi insecure. Apapun hal baik yang terjadi pada kami, kami akan selalu merasa khawatir, gelisah, cemas, dan sebagainya. 3) Kami hanya tertarik dengan diri sendiri. Kami menginginkan cerita yang serealistis mungkin. Kalau perlu kami bikin sendiri cerita yang benar-benar mewakili diri kami. Simak saja pengantar Harvey dalam film ini.

So if yer lookin’ for romance or escapism or some fantasy figure to save the day, guess what? Ya got the wrong movie.

Ada adegan dalam film di mana Toby merasa teridentifikasi dengan film Revenge of the Nerds, tapi Harvey dengan keras menyanggahnya. Karena nerd dalam film itu tidak mencerminkan Toby dengan sesungguhnya. Kehidupan mereka lebih baik dari kehidupan Toby. Ini persis dengan ketika aku mengomentari teman-temanku (cewek) yang doyan komedi romantis dari negara-negara Asia Timur, padahal mereka tidak pernah punya pacar. Jelas-jelas eskapisme. 4) Harvey mengoleksi piringan hitam, aku suka membeli buku. Rasanya seperti kecanduan. 5) Kadang kami terlalu serius dalam menanggapi suatu hal.

Novel grafisnya maupun filmnya benar-benar menyentilku, man! (ikutan cara bicara Paul Giamatti di film). Terutama saat menonton filmnya, aku ingin ketawa-ketawa sendiri. It makes you feel good to know there’s other people afflicted like you, menurut kutipan dari Harvey Pekar yang aku temukan di Goodreads. Lalu ketakutan sesudahnya. Aku menemukan diriku sendiri, dan apakah aku akan berakhir seperti Harvey? Minus ketenaran. Minus pekerjaan. Minus pasangan. Minus apapun yang ia miliki tapi tidak kumiliki saat ini dan tidak yakin akan memilikinya sampai kapanpun.

Aku juga tidak lantas tertarik untuk mulai menulis kisah tentang diriku sendiri. (Walau sebenarnya aku sudah melakukannya, ngomong-ngomong). Apalagi aku hidup pada zaman di mana semua orang menulis kisah tentang dirinya sendiri, di blog, di Facebook, di Twitter, di novel-novel inspiratif. Tina Fey dengan kehidupannya sebagai kepala penulis acara TV dalam serial 30 Rock. Raditya Dika sebagai representasi anak muda perkotaan dari kalangan menengah (ke atas?) dengan kegalauan berasmara mendominasi hidupnya dalam Kambing Jantan dan sekuel-sekuelnya. Kalau menurut klasifikasi Andrea Ford dan Eric Dodds di TIMES edisi 20 Mei 2013 halaman 32-33, aku (dan siapapun yang lahir antara tahun 1980-2000) adalah The Milennials—The ME ME ME Generation—dengan tingkat kemalasan dan kenarsisan yang menjulang jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Setiap orang ingin menunjukkan keunikannya, dan aku hanya akan tenggelam ditelan keunikan milyaran orang lain.

Kalau aku pernah mengenyam pendidikan filsafat, aku mungkin akan meninjau bacaan dan tontonan mengenai Harvey Pekar ini dari aspek eksistensialisme. Atau realisme, kalau aku mahasiswi Sastra. Tapi aku tidak paham soal itu. Sebagaimana ketika habis membaca novel Ranah Tiga Warna aku jadi terdorong untuk merantau, ketika berhasil menamatkan The Quitter aku malah tersungkur. Menceritakan diri sendiri. Sebagaimana Harvey Pekar. Dengan sejujur-jujurnya. Kami hanya ingin menjadi diri kami sendiri, seburuk apapun itu. Dan kami tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki diri ini! Sementara orang lain mungkin lebih suka melarikan diri pada omong-kosong dan lamunan, dan mimpi. Kukira Harvey Pekar tidak pernah menyinggung soal mimpi baik dalam The Quitter maupun American Splendor—ia malah terkesan menjauhinya. Agaknya ia tidak bisa mempercayai apapun yang tidak pasti, tidak tampak, dan barangkali itu sebabnya ia selalu merasa cemas. Ia bahkan tidak mengerti kenapa Toby mau menghabiskan waktu untuk berdoa—memohon untuk sesuatu yang tidak pasti pada sesuatu yang tidak tampak. Adegan itupun dipungkas Toby dengan,

Well, Harvey, I like the ritual. And I’m very spiritual person. You know, you should try believing in something bigger than yourself. It might cheer you up.

[]


potongan dialog dalam film diambil dari sini

                                          

Jumat, 14 Juni 2013

Pertemuanku dengan Harvey Pekar (1 dari 2)


Sebetulnya dimulai sejak aku SMA. Saat itu aku ingin menjadi semacam movie geek. Aku mulai dengan meminjam DVD teman; mendatangi keranjang berisi VCD obralan di Gramedia… dan mendapatkan VCD itu: American Splendor (2003). Saat menontonnya pertama kali, bagiku itu film yang membosankan. Aneh, karena ada efek animasi—seperti bercampur dengan komik. Aku berhenti di adegan mengantri-di-belakang-wanita-Yahudi-tua. Dan tidak pernah menontonnya lagi…

Bertahun-tahun kemudian, aku di Gramedia Jalan Sudirman, Kodya Yogyakarta, saat itu aku sudah menjadi mahasiswa di suatu PTN di Kabupaten Sleman. Di bagian novel grafis aku menemukan The Quitter (2005)—yang diterjemahkan menjadi GAMPANG MENYERAH, hei, sepertinya sangat aku sekali, lalu melihat-lihat isinya. Di kovernya tertulis: KARYA PENULIS AMERICAN SPLENDOR—aku punya filmnya! Saat itu aku belum tertarik untuk membacanya hingga tuntas, apalagi membelinya.

Lalu entah berapa lama sejak itu, aku menemukan buku yang sama di obralan, yang aku tidak ingat di mana. Harganya cukup murah, mestinya, hingga aku rela mengeluarkan uang untuk itu—uang mamaku sih. Lalu buku itu aku biarkan mendekam di rak untuk sekian lama, bersama banyak buku lainnya.

Sekarang aku sudah tidak menjadi mahasiswa. Aku terdampar di fase baru dalam hidup. Rasanya hidup baru dimulai, atau malah sudah berakhir. Aku mengumpulkan buku dengan judul semacam Buku Petunjuk Cara Melamar Pekerjaan: dan Memperoleh Bermacam-macam Perizinan, Kredit, dll. dan Mencari Kerja: Melamar, Tes dan Awal Kerja, ingin menonton ulang film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)¸dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk menamatkan The Quitter—yang kukira kisahnya soal mencari pekerjaan juga—sekalian American Splendor.

Aku memulai dengan The Quitter, yang dengan demikian memulai pula perkenalanku dengan Harvey Pekar. Ia seorang pria yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1939 di Cleveland, Ohio, di mana ia akan menghabiskan seluruh hidupnya. Kedua orangtuanya Yahudi Polandia, berimigrasi ke Amerika Serikat, lalu membuka toko. Harvey kecil tidak punya teman. Kebanyakan anak di lingkungan itu berkulit hitam, sedang orangtuanya sibuk di toko. Bahkan ketika mereka sekeluarga pindah ke lingkungan Yahudi pun, Harvey tetap tidak memiliki teman akrab. Ia mengatasi kesulitan-kesulitannya dengan berkelahi, hingga ia dikenal sebagai jagoan jalanan.  

Keadaan membaik seiring dengan Harvey bertambah besar. Ia bisa mendapatkan nilai yang bagus di sekolah tanpa usaha keras, menonjol dalam olahraga, mulai mendapatkan teman, dan sudah bekerja di toko orangtuanya. Tapi hubungan Harvey dengan orangtuanya tetap renggang. Pencapaiannya tidak selalu dihargai. Sikap orangtuanya tersebut membentuk Harvey menjadi pribadi yang insecure—tidak percaya diri.

“Perasaan seperti itu sangat buruk. Kau tidak bisa membuat semua orang kagum dan kadang itu bukan salahmu… Kau tidak bisa membuat kagum orang-orang penting yang seharusnya bisa memberi dampak positif dalam hidupmu. Tapi sampai hari ini pun aku tak bisa santai menghadapi hal itu. Dan ada banyak orang yang seperti aku.” (halaman 24)

Saat SMA, Harvey mulai menyukai jazz, mengoleksi piringan hitam, dan berkorespondensi dengan seorang kritikus dari New York—Ira Gitler. Selepas SMA, ia masuk Angkatan Laut, namun keluar setelah beberapa minggu karena tidak cocok dengan pekerjaan tertentu. Ia bergonta-ganti pekerjaan lagi—ia cepat bosan dan suka bermain-main. Hingga ia memutuskan untuk kuliah. Ia sempat bekerja di New York, tapi tidak betah. Di sana ia sempat bertemu dengan Ira Gitler, yang mendorongnya untuk menulis kritik. Ia pun kembali ke Cleveland: bekerja, menulis, dan melanjutkan kuliah. Tapi kegagalannya dalam satu mata kuliah membuatnya ingin berhenti. Kembali gonta-ganti pekerjaan, tapi ia terus menulis. Akhirnya sejak tahun 1965 ia bertahan sebagai petugas arsip untuk pemerintah federal hingga pensiun.

Kisah bagaimana Harvey terkenal melalui karyanya yang berupa komik serial, American Splendor, aku dapatkan dari film bertajuk sama. Kali ini aku betah menontonnya, barangkali karena sudah mendapatkan gambaran mengenai sosok Harvey melalui The Quitter. Film autobiografis ini kukira selain bersifat semi-dokumenter juga semi-komik. Terdapat dua Harvey dalam film ini, yaitu Harvey yang diperankan oleh Paul Giamatti dan Harvey yang diperankan oleh Harvey Pekar sendiri—yang juga bertindak sebagai narator. Pun beberapa tokoh dalam kehidupan Harvey dalam film ini ditampilkan pula kedua versinya, misal istri Harvey, Joyce, yang selain diperankan oleh Hope Davis juga hadir sosok Joyce asli; dan rekan kerja Harvey, Toby, diperankan oleh Judah Friedlander dengan gestur kaku dan cara bicara yang seperti komputer (bandingkan dengan penampilannya di serial 30 Rock), lalu muncul juga sosok Toby sesungguhnya yang memang demikianlah adanya.  

Secara kronologis, kisah Harvey Pekar dalam film American Splendor merupakan kelanjutan dari kisah dalam novel grafisnya, walaupun The Quitter diproduksi belakangan. Dalam film tersebut, Harvey sudah mendapatkan pekerjaan tetap, namun masih bermasalah dengan kehidupannya. Suaranya mendadak hilang. Istri keduanya meninggalkannya. Bosan dengan pekerjaannya. Dan berbagai situasi kecil nan menyebalkan lain yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sampai suatu ketika, kejadian mengantri di belakang seorang wanita Yahudi tua di suatu supermarket membuatnya benar-benar gusar.

Wake up! You’re whole life’s gettin’ eaten away by this kinda crap! What kind of existence is this? Is this all a workin’ stiff like you can expect? Ya gonna suffer in silence fer the rest a’ yer life?! Or ya gonna make a mark. Huh? Huh?

Ia meninggalkan belanjaannya, pulang, dan mulai menggambar komik mengenai kejadian tersebut, dan berbagai kejadian lain dalam kehidupannya. Ia menunjukkan hasilnya kepada seorang komikus underground yang sedang naik daun saat itu, Robert Crumb.

I’ve been thinking I could write comic book stories that were different from anything being done. …the guys who do animal comics and super-hero stuff are really limited ‘cause they gotta try to appeal to kinds. … I mean with pictures and words, it could be more of an art form. … So I tried writin’ some things about real life. Stuff the everyman’s gotta deal with. … But no idealized shit. No phony bullshit. The real thing, y’know? Ordinary life is pretty complex stuff.”


potongan dialog dalam film diambil dari sini

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain