Pendiri Summerhill School, Alexander
Sutherland Neill berpandangan bahwa anak-anak yang dididik dengan kebebasan
akan menjadi orang yang bahagia. Pembacaan berlanjut ke The Geography of Bliss, yang memang fokus membahas kebahagiaan.
Kali ini ada Eric Weiner, jurnalis dari Amerika Serikat yang mengaku
penggerutu. Ia tidak pernah merasa bahagia. Ia mencari kebahagiaan melalui
buku-buku, tapi tidak ketemu. Maka ia mencoba untuk mencari kebahagiaan dengan
lain cara: Ia datangi langsung tempat-tempat yang konon penduduknya berbahagia
(dan yang tidak). Tidak tanggung-tanggung, konteks tempat-tempat yang dimaksud
adalah negara. Sejak dulu Eric memang ingin melihat dunia, tapi dengan dana
dari pihak lain. Eric pun menjadi jurnalis.
Langsung saja. Siapa tidak senang
“diajak jalan-jalan” hingga ke sepuluh negara? Puluhan halaman untuk setiap
negara. Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania
Raya, India, dan Amerika dalam 460 halaman—total 512 halaman[1]. Hari-hari yang
dilalui Eric dengan menemui orang-orang, menanyakan pandangan mereka tentang
kebahagiaan, lalu memprosesnya dalam pikiran—memberikan
pengalaman-tidak-langsung yang cukup intens. Dan tentu saja, humor.
Jelas, beberapa kata bisa menimbulkan kebahagiaan
instan. Kata-kata seperti “Aku mencintaimu” dan “kamu sudah menjadi pemenang”.
Namun, kata lain—“audit” dan “pemeriksaan prostat”—memiliki efek yang
sebaliknya. –halaman 249
Hanya saja, sesekali saya merasa ada
hasil terjemahan yang kurang enak. Semisal, apakah yang dimaksud dengan buku
“aktivitas mandiri” adalah buku “self-help”?
Istilah ini cukup sering muncul, bagi saya rada janggal. Apa ya kira-kira
padanan yang lebih tepat? Bagaimanapun secara keseluruhan buku ini
mengasyikkan.
Seperti sudah diduga, kebahagiaan tidak
sama bagi setiap orang. Seorang wanita di Qatar mengiyakan bahwa kebahagiaan
adalah uang. Bagi penduduk Swiss kebahagiaan bisa berarti stabilitas. Orang
Thailand bahagia karena tidak berpikir. Di Bhutan kebahagiaan dituai dari
spiritualitas. Kebahagiaan juga bisa diperoleh dari penerimaan atas kegagalan,
menurut warga Islandia. Masyarakat papa di India tetap bahagia karena ikatan
sosial yang kuat—keluarga, teman. Tapi bagaimana jika ada kausalitas terbalik?
…orang sehat lebih bahagia daripada orang tidak sehat;
atau bahwa apakah orang bahagia cenderung lebih sehat? Orang yang menikah
bahagia; atau mungkin orang yang bahagia lebih mungkin untuk menikah? –halaman
36
Mengikuti
Eric yang terus mempertanyakan kebahagiaan, saya pun jadi bertanya-tanya:
apakah saya bahagia?, pandangan yang mana tentang kebahagiaan yang sesuai
dengan saya? Tujuh halaman terakhir buku ini berupa
daftar pertanyaan untuk didiskusikan, saya kira baik untuk memperdalam
pembacaan alih-alih terlewatkan begitu saja. Karena belum ada kesempatan
diskusi, saya coba jawab beberapa pertanyaan dengan perspektif saya sendiri. Barangkali
pengantar di tiap-tiap pertanyaan bisa cukup memberi gambaran mengenai beberapa
hal yang menjadi isi buku ini.
Di
awal buku, Eric mengaku bahwa dia adalah penggerutu, orang yang tidak puas.
Mengapa dia begitu, mengingat kesehatannya yang bagus dan dia cukup sukses?
Sejauh mana sifat suka menggerutu ini merupakan ciri khas Eric?
Saya juga tidak mengerti. Sering saya
menyadari bahwa saya berada dalam kondisi yang cukup nyaman, tapi malah sering
bersedih. Saya tetap memiliki kenangan-kenangan dan pikiran-pikiran buruk.
Barangkali sikap mental terhadap hal-hal buruk tersebut yang menghalangi
kebahagiaan. Menurut saya ini hasil pendidikan. (Lihat lagi kalimat pembuka
ocehan ini.)
Mendefinisikan
kebahagiaan itu sulit. Eric menyukai definisi Noah Webster: “Perasaan
menyenangkan yang berasal dari kenikmatan rasa senang.” Bagaimana Anda mendefinisikan
kebahagiaan?
Menurut saya kebahagiaan bukan tujuan,
bukan untuk dicari. Kalau sekarang kita merasakan kebahagiaan, maka itu adalah
kebahagiaan semu. Kebahagiaan sejati adalah tergantung Allah menentukan
bagaimana kita di akhirat.
Di
akhir buku ini, Eric bertanya-tanya apakah kebahagiaan itu mungkin dinilai
terlalu tinggi. Apakah hal itu benar? Apakah ada sesuatu dalam hidup ini yang
lebih berharga daripada kebahagiaan?
Mungkin memang kebahagiaan tidaklah
sepenting itu. Lagi saya kira, yang
lebih penting bukan kita bahagia atau tidak, dan apa yang bikin kita bahagia,
tapi bagaimana kita sebanyak-banyaknya
kita melakukan kebaikan, dan menghindari keburukan (yang mana susah sekali).
Ilmuwan
sosial mengklaim bahwa mereka dapat mengukur kebahagiaan cukup dengan bertanya
kepada orang seberapa bahagia mereka. Apakah Anda memercayai penemuan ini?
Apakah memang kita ini hakim yang dapat dipercaya untuk menilai kebahagiaan
kita sendiri?
Saya tidak percaya. Bisa saja detik ini
saya bilang saya bahagia, detik berikutnya saya mengalami peristiwa buruk
hingga sedih berhari-hari dan tidak tahu bagaimana bisa senang lagi. Sebagian
manusia berjiwa labil. Kadang hal buruk atau baik bisa datang secara tidak
terduga-duga dan mengubah persepsi kita pada kehidupan selama-lamanya,
tergantung bagaimana ketahanan mental kita.
Eric
menunjukkan bahwa keterkaitan antara demokrasi dan kebahagiaan adalah tidak
jelas. Apakah menurut Anda bahwa orang yang hidup dalam negara demokratis
benar-benar lebih bahagia daripada mereka yang hidup di bawah bentuk
pemerintahan lainnya? Apakah ada sesuatu dalam negara yang terlalu demokratis?
“Masalahnya, dia mungkin pernah…
katakanlah dua, tiga tahun bersekolah. Dia bisa membaca dan menulis, tapi tidak
memahami apa yang dibacanya. Dia setengah matang. Negara kita penuh orang
sepertinya. Sedangkan kita memercayakan demokrasi parlementer kita,”—Mr. Ashok
menunjuk saya—“kepada orang-orang seperti ini. …” –halaman 11
Eric
berargumen bahwa buku aktivitas-mandiri tersebut keliru—bahwa kebahagiaan
terdapat tidak di dalam diri kita, tetapi di luar sana? Apakah yang dia
maksudkan dengan hal ini dan apakah Anda setuju?
Mungkin yang dimaksud dengan
kebahagiaan-di-dalam-diri adalah ketika kira menggali apa yang ada pada diri
kita yang dapat membuat kita bahagia. Mungkin semacam penerimaan-diri.
Kesadaran bahwa kita tidak memiliki banyak hal, tapi toh ada banyak hal lain
yang kita miliki. Mungkin semacam sikap mental untuk terus optimis. Sedang yang
dimaksud dengan kebahagiaan-di-luar adalah bahwa ada hal-hal di luar diri kita
yang dapat membuat kita (lebih) bahagia. Semisal kita tidak bahagia saat di
Kota A, tapi kita merasa sebaliknya di Kota B. Semisal juga berkenalan dengan
orang baru akan membuat kita (lebih) bahagia, sama dengan ketika kita
bisa membantu orang lain akan menimbulkan kesenangan ketimbang memikirkan diri
sendiri melulu. Jadi menurut saya kebahagiaan itu ada di dalam dan di luar, di
mana-mana.[]