Minggu, 05 Desember 2010

sepuluh

(she’s got a smile that it seems to me/ reminds me of childhood memories/ where everything was a fresh as a bright blue sky/ now and then when i see her face/ she takes me away to that special place/ and if i stared too long/ i’d probably break down and cry/ whoa oh, sweet child o’ mine/ whoa, oh, oh, oh, sweet child o’ mine/ guns ‘n roses – sweet child o’ mine)

.

Bermula dari rebutan remot TV dengan Zaha. Lagi-lagi Zia harus mengalah. Ia harus puas dengan saluran TV nasional di kamar Papa. Untung saja ia sudah terbiasa dengan itu di tempat tinggal Mas Imin, Kakek, mau pun teman-temannya. Sudah begitu, Papa sedang main gitar di sana pula. Papa tidak lantas melarangnya menonton di ruangan yang sama, namun Zia tahu diri untuk mengecilkan volume TV. Jadi alih-alih mendengar dengung yang hanya sesekali dapat diterjemahkan jadi kata-kata, telinga Zia lebih memilih untuk menangkap dentingan gitar Papa. Starry, starry night. Zia teringat akan sejarah di balik pembuatan lagu tersebut yang ia pernah baca wikipedia. “Vincent” atau “Starry, starry night” adalah sebuah kisah tentang seorang Vincent van Gogh. Ia tidak dikenali sebagai seniman sampai kematiannya. Selama itu, keluarganya yang kaya tidak pernah dapat menerima dan memahaminya. Dan Van Gogh pun bunuh diri. Zia merasa sedih setiap kali mendengar lagu tersebut. Ia jadi teringat nasibnya. Meski tidak ada yang dapat benar-benar mengakomodir wahana terselubungnya, setidaknya ia masih mengingat Penciptanya lima kali sehari.

Tertidur dalam sendu, terbangun dengan suara memekakkan telinga. Beginilah jadinya kalau tidur di kamar Papa pada akhir minggu. Sendu yang sempat lenyap dikubur mimpi, direnggut kembali ke permukaan. Vokalis Rolling Stones berteriak padanya melalui speaker tape, “YOU CAN’T ALWAYS GET WHAT YOU WANT.” Zia menukas dengan sebal, “iya, tahu,” sebelum kemudian membenamkan lagi kepalanya ke dalam bantal. Papa menarik kesadarannya kembali dengan tepukan pelan di betis. “Us, bangun, Us. Jalan pagi.”

Zia membenamkan erangan penolakannya makin dalam.

“Jangan males kamu. Ayo, biar nggak gampang sakit.”

“Aku emang males kok. Nggak berguna. Nggak bisa apa-apa.” Tidak ada salahnya sesekali membenarkan perkataan orangtua.

“Heh, jangan ngomong gitu…” Papa menepuk betis Zia sekali lagi, lalu terdengar langkahnya di atas ubin. Menjauh. Berteriak, “As, ayo, As!”

Zia mengangkat mukanya dengan suntuk. Ternyata benar apa yang sekilas dirasanya tadi. Matahari sudah muncul. Ia belum solat subuh. Apa boleh buat. Mau tak mau ia harus bangun. Dan kalau sudah begitu, susah lagi mencari alasan untuk menghindarkan diri dari jalan pagi.

Jalan pagi hanyalah satu perubahan terbaru dalam hidup Papa sepeninggalan Mama. Lainnya adalah mengonsumsi semakin banyak tembakau, pindah ke perumahan baru dengan ruang terbuka hijau yang lebih luas, dan mengganti Kijang kotak biru dongkernya dengan Ceria. Zia tidak tahu apakah mengganti merk mobil memang dapat mempengaruhi suasana hati secara signifikan. Kijang Papa kini sudah berubah warna jadi setengah biru langit dan setengah masih dalam pengamplasan dengan kepemilikan beralih pada Mas Imin. Mas Imin tahunya Kijang tersebut adalah kado ulang tahun ketujuhbelas dari Kakek untuknya.

Dengan mata setengah terkatup, Zia mengekor ke manapun Papa dan Zaha menuju. Papa boleh berhasil membuatnya jalan pagi, tapi ia tidak bisa memaksa Zia mengganti piama belelnya dengan training. Papa menyerah dan kembali pada ketidakpeduliannya. Zaha pun menjaga jarak dari Zia selama perjalanan. Begitu sampai di taman komplek, Zaha langsung mencari spot di mana ia bisa duduk dan mengisi waktu dengan membuat sketsa. Zia terhenyak karena ia tidak terpikir sama sekali untuk juga membawa sesuatu. Hanya ada selembar goceng dalam saku piama. Bergabung meregangkan diri di tengah taman bersama Papa pun, mendadak Zia merasa pakaiannya tidak pantas untuk itu. Percaya bahwa dirinya tidak kalah kreatif dari Zaha, Zia terilhami untuk mengakses internet di warung game online 24 jam terdekat.

“Entar kalau dicariin Papa, kasih tau ya! Awas kalau nggak! Aku mau ke Oasis!” pesan Zia pada adiknya.

“Emangnya kenapa kalau nggak?”

“Pokoknya awas kalau nggak!”

Zia malas berdebat pagi-pagi dengan Zaha. Ia langsung melesat pergi dengan mengenyahkan pikiran akan risiko keputusannya ini jauh-jauh. Untung benar, operator warung game online yang ia masuki mau diajak kompromi.

Begitu duduk di atas bantal, Zia tahu laman pertama yang harus ia buka. Setelah mengecek Pemberitahuan serta membalas wall dan komentar-komentar di status terakhirnya, Zia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan di Facebook. Jadilah ia menyoroti Beranda. Matanya membesar kala membaca sekilas kabar terbaru dari Kamal. Sebetulnya sudah lama ia ingin me-remove nama tersebut dari daftar temannya. Kamal—aksara Jepang—sekarang berpacaran… dengan…? Zia meng-klik kanan nama berbau Jepang yang membuatnya penasaran. Bukan karena ia percaya bahwa Kamal berpacaran dengan orang Jepang betulan. Kalau bukan dengan sesama freak, pasti fiktif. Membaca sekilas Info yang terpajang, Zia yakin pada opsi kedua. Foto profil si pacar fiktif yang berupa karakter anime membuat Zia merinding. Boleh jadi memang gambar tersebut asli buatan Kamal dengan bantuan software—Zia akui kemampuan cowok kucel itu sudah lebih meningkat—tapi, kacamata berbingkai tebal itu, rambut cepol itu, kaos berkapucong itu, celana selutut itu, mimik cuek itu, semuanya mengingatkan Zia pada karakter Zaha dalam komik stripnya. Zia sadar giginya mulai kering kena udara.

Menurut kriteria Mas Imin cs, tipe orang semacam Kamal termasuk ke dalam target yang harus didorong memasuki komunitas tertentu. Tidak lain tidak bukan, tujuannya antara lain adalah untuk memberi sedikit sentuhan normal pada pembawaan si target. Makanya itu Zia tidak mau masuk ekskul Jejepangan. Urusan budaya sendiri saja masih terbengkalai, malah main kabur saja ke budaya orang lain—ini alasan Zia lainnya.

Akhirnya Tata online juga. Zia sudah tidak sabar untuk melampiaskan amarah.

“Tata jelek!” ketiknya cepat. “Suruh siapa koar-koar tentang mysisterzia, heeeeh?!” Zia menambah lebih banyak tanda tanya dan tanda seru sementara Tata tampak sedang mengetik juga.

Kini bukan hanya Kamal sebetulnya, Zia bersyukur teman-teman lain yang mengetahui hal blog tersebut tidak seheboh persangkaannya semula. Mereka tidak sampai meledekinya macam-macam, namun tetap saja Zia harus berkali-kali menerangkan bahwa TV di rumahnya tidak ditaruh di kamar mandi. Yang paling mengganggu tentu saja respon dari Kamal. Zia langsung bersembunyi di balik punggung Epay begitu sosok Kamal muncul di ambang pintu kelasnya. Zia tidak heran kala Kamal mengaku bahwa ia sudah mengakses blog tersebut sejak lama—siapa lagi biangnya kalau bukan Ardi. Namun Zia tidak bisa terima saat Kamal minta dikenalkan pada Zaha. “Nggak—nggak! Dia sibuk!” sergah Zia langsung.

Diceritakan Tata, awalnya Kamal minta informasi terlebih dulu padanya dan Ardi. Namun meski telah dekat selama bertahun-tahun, Tata hanya mengetahui hal keluarga Zia dari mulut Zia sendiri. Dan ia bisa paham apabila Zia tidak menceritakan semuanya. Sedangkan Ardi, ia tidak dekat dengan sepupunya selain Zia. Ia pun menyuruh Kamal agar langsung tanya pada Zia. Ketik Tata, “Zaha kayaknya tipe Mr. K banget deh. Pinter gambar. Kacamataan…”

Belum puas Zia menghantam balasan Tata dengan kata-kata beringas, wajah sentimen obyek yang sedang Tata bicarakan muncul di atas kepalanya. “Udah dicari Papa tuh,” katanya.

Sabtu, 04 Desember 2010

sembilan

Mau dibaca ulang berapa kali pun, Zia tidak bisa puas terhadap hasil liputannya tentang gig KOMBAS. Bahkan ketika artikel tersebut sudah terpajang di mading. Artikel yang membuatnya begadang karena baru digarap setelah meminta perpanjangan deadline, membangunkan Salman dini hari buta untuk kelengkapan narasumber, lalu mengemis foto paginya pada panitia gig. Zia tidak terpikir sama sekali untuk membawa kamera digital pada saat hendak meliput. Ia tidak ingin mempertanyakan lagi niatnya menjadi wartawan, mungkin potensinya tidak di situ. Mungkin ia tidak akan pernah bisa menjadi seperti Tintin.

Dengan muram, Zia menggeser pandang pada artikel-artikel lain yang terhampar di sebelah artikelnya—potongan mungil karton yang letaknya terhimpit di paling kiri. Dalam pandangannya, artikel-artikel lain terlihat amat bersinar seolah habis dikenai deterjen pemutih pakaian. Pipinya menggembung saat membaca ucapan selamat untuk sederet nama yang telah mengharumkan SMANSON dalam suatu perlombaan di lain SMA—dikelilingi oleh wajah-wajah bahagia yang digurat krayon. Selanjutnya mereka akan melaju ke luar kota. Nama lengkap Arderaz tercantum di sana. Mengingat cerita Dean tentang kecemerlangan saudara kembarnya itu membuat Zia tidak habis pikir. Mengapa ada orang yang dapat mengoptimalkan berbagai potensinya sehingga dapat meraih bermacam prestasi, tapi ada juga orang yang tidak jelas sama sekali apa potensinya—seperti dirinya? Setidaknya ia tidak sepasrah Dean, Zia membatin.

Kembali dengan langkah lunglai dan pundak layu ke dalam kelas, Zia lantas mengeluarkan gitar Papa dari wadah pembungkusnya. Hari ini ia hendak meluruskan niatnya belajar gitar pada Kakek. “Katanya mau belajar gitar sama Kakek?” begitu kerap ucap Mas Imin, yang selalu ditangkis Zia dengan, “Iya, entar ah, kalau mood.”  Lalu Mas Imin mengingatkannya lagi akan kerugian-kerugian yang akan didapatkannya kalau ia terus memperturutkan mood. Kalau sudah begitu, Zia merasa Mas Imin bawel sekali dan ia berhenti mendekati Mas Imin untuk sementara waktu.

Zia pikir lebih baik ia membawa gitar sendiri ketimbang meminjam salah satu gitar Kakek. Hanya untuk melihat-lihat koleksinya saja, Kakek sudah mewanti-wanti Zia agar hati-hati, apalagi memainkannya. Tahulah Zia dari mana ia mewarisi sikap pelit.

Zia mendudukkan gitar Papa di atas pangkuan. Lekukan gitar tersebut pas benar di bagian atas tungkai pahanya. Pertama kali Zia minat untuk benar-benar belajar gitar adalah saat melihat Oman memainkannya di pojok kelas. Kawanannya yang lain minat belajar juga waktu itu, meski tidak sungguh-sungguh. Ketimbang terus-menerus bergantian pinjam saat hendak coba memainkan, Zia jadi ingin gitar sendiri. Zia lalu meminjam gitar milik Papa yang meski jadul tapi masih layak pakai. Ketimbang dibelikan yang baru, Zia lebih suka mendapat uang mentahnya saja.

Beberapa utas senar digenjrengnya. Ke luar paduan suara ganjil. Pasti karena terlalu keras ia mainkan semalam. Menyelusup rasa malas. Nanti ia akan meminta Kakek untuk menyetem gitar tersebut. Ia tidak berani melakukannya sendiri, sekali nekat, putuslah itu senar.

Semalam, setelah mengarang lirik untuk “Simfoni Patah Hati Terakhir”, Zia hendak coba-coba mengarang nadanya pula. Tidak ketemu. Yang ia temukan hanya secarik kertas menguning di balik kantong bagian dalam tas gitar. Rentetan huruf yang kiranya petunjuk akan suatu alunan musik tertoreh di atasnya. Dijuduli “Erusas”. Zia tahu pasti, ini adalah cerita tentang tiga perempuan dalam hidup Papa. Demikian rendahnya kemampuan verbal Papa, sampai-sampai lirik saja tidak diberikannya. Zia coba mengarang-ngarangnya sendiri, tapi ia sama sekali tidak terbayang apa yang mungkin dikatakan Papa tentang perasaannya pada orang lain.

Sejak pertama kali menemukan rentetan huruf tersebut, dan itu sudah bertahun-tahun lalu, Zia selalu penasaran bagaimana memainkannya. Kata Oman, lebih baik Zia menanyakannya langsung pada Papa. Namun Zia sungkan. Bisa-bisa ia tidak akan bisa menyentuh kertas itu lagi. Lalu tadi pagi, Zia terbangun dengan Bono berkata padanya, “Sometimes you can’t make it on your own.” Zia jadi terpikir untuk minta bantuan orang lain lagi.

Oman mungkin sama sungkan dengannya untuk menebak perasaan Papa—tidak pernah pula Oman melihat langsung orangnya seperti apa. Tapi Kakek? Siapa tahu.

Zia mengingat-ingat sebuah lagu yang dipelajarinya saat masih les gitar. Romance d’Amor. Ia coba memainkannya lagi. Tapi kedengarannya sama sekali tidak mirip dengan lagu aslinya. Dicobanya lagi lagu lain, sesuatu yang artinya “Air Mata”. Zia tidak mengerti mengapa gurunya waktu itu doyan memilih lagu-lagu sentimentil untuk diajarkan.

Sadar bahwa jarang-jarang dirinya mengansos begini di kelas sepulang sekolah, Zia lekas mengemas barang-barangnya. Lebih baik ia langsung ke rumah Kakek saja. Zia melempar pamit pada anak-anak yang masih tinggal di kelas, juga terima kasih karena telah menjaga barang-barangnya selama ia pergi sebentar tadi. Seperti tadi pagi, ia agak kerepotan menyandang ransel dan gitar sekaligus. Melihat Ega dengan pembawaan hendak pulang menuju tempat parkir, Zia lekas mengayunkan langkah ke dekat gerbang sekolah.

Ega buru-buru memperlambat laju motor saat Zia tahu-tahu menghadangnya di sana. “Heh, kamu teh mau ditabrak atau gimana?!” hantam Ega sembari mengangkat helmnya.

Tak kalah sok sewot, Zia membalas, “Kamu curang, Ega! Regi sama Tata udah pernah naik motor kamu, aku belum!”

“Bilang aja mau dianter pulang!”

“He he.” Zia cengar-cengir.

“Cari pinjeman helm dulu gih!” Ega hendak menyambungnya lagi dengan, “cepetan, urang kudu balik ka sakola deui yeuh!” namun Zia lebih cepat memberitahunya bahwa ia hanya minta diantar sampai rumah kakeknya saja. Ega terperangah. “Itu mah sepuluh menit jalan juga nyampe!”

Zia mengerang, “Aaah… Males! Panas!”

“Ya udah, cepetan ah, naik!” Ega menurunkan kembali helmnya.

Zia menuruti titah Ega sambil senyam-senyum sumringah. Ia menggendong ransel di punggung dan menjadikan gitar Papa sebagai sekat di antara ia dan Ega. Baru saja mereka melewati gerbang, Zia melihat Dean melambaikan tangan padanya. Zia tak kalah semangat membalas lambaian. Ega menoleh sebentar ke belakang setelah mereka berlalu. Suara Ega teredam helm. “Itu kembarannya si Deraz lain?”

“Heueuh!”

“Eh, dasar, ngincernya berondong aja.”

“Apa sih, Ega?!” Zia memukul punggung Ega.

=====

Ega mengintip spion kanan motor. Land Rover yang ia kenal berada di dalamnya. Atas sesuatu yang tidak diperbuatnya, Ega menyesali mengapa Land Rover itu tidak muncul lebih cepat di tempat dan waktu yang tepat; jalanan depan SMANSON saat Zia menodongnya untuk mengantar pulang. Sudah terlambat untuk menyuruh Zia turun dan menaiki Land Rover itu saja. Motor Ega melambat lalu berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah. Di samping rumah tersebut, terbuka lebar pagar lain menuju sebuah persewaan studio musik. Land Rover yang sedari tadi ia awasi kemudian berdiam di atas pelataran merah di balik pagar tersebut. Seorang pria gaek berkepala botak turun dari Land Rover. Zia memanggilnya “Kakek”.

Sembari turun dari motor, Zia menepuk punggung Ega. “Makasih, Ga,” ucapnya. Ega menjawab dengan kerlingan mata, anggukan ketika muka Kakek menghadap padanya, dan, “hayu ah, urang duluan” pada Zia. Asap motornya membumbung kemudian.

“Halo, Kakek!” sapa Zia kala Kakek mengunci mobilnya.

“Halo, Cucu!” balas Kakek.

Paviliun Kakek tersempil di antara persewaan studio musik dan bangunan utama. Sebelum Nenek meninggal, Kakek tinggal di bangunan utama. Paviliunnya hanya berfungsi sebagai ruang kerja dan tempat kongkow apabila kawan-kawannya singgah. Sepeninggal Nenek, Kakek merasa bangunan utama terlalu besar untuk ia tinggali sendiri. Kakek tidak tahu bagaimana mengelola pembantu. Ia biarkan mereka semua pulang kampung. Paviliunnya kemudian ia rombak sehingga dapat memenuhi fungsi rumah seutuhnya. Bangunan utama ia biarkan terlantar. Untung saja kini keluarga sulungnya mau menempati sehingga ada yang mengurus bangunan itu kembali. Kini Kakek menopang hidupnya dari persewaan studio musik, royalti, warisan Nenek, kemurahan hati anak-anak, dan usaha sana-sini.

“Kakek, aku mau solat zuhur dulu ya, di sebelah. Jangan ke mana-mana lagi loh!” ucap Zia sementara Kakek tengah membuka kunci pintu depan paviliunnya.

“Oke! Oke!”

“Eh, tapi titip ini, Kek!” Zia menyodorkan gitar Papa pada Kakek yang sudah berhasil membuka pintu. Zia tidak bisa melihat mata Kakek yang tertutup kacamata hitam. Dari mulut Kakek yang menganga sedikit, Zia dapat membaca ekspresi Kakek. “Mulai sekarang aku mau belajar gitar sama Kakek!”

“Walah… Walah…” Kakek memegang gagang gitar tersebut sembari berbalik hendak memasuki paviliunnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk menuju pintu depan bangunan utama, menapaki bagian dalamnya, menyimpan ransel di sofa, memasuki kamar mandi terdekat untuk berwudu, dan menunaikan kewajiban di musola kecil di samping ruang tengah. Siang begini, bangunan utama biasanya sepi. Pakde hanya di Bandung saat akhir minggu, Bude pulang sore, Mas Imin suka ada macam-macam kegiatan, Ardi dengan kegiatan individualnya yang sunyi—di mana pun ia berada, Zahra paling-paling mendekam di kamar—kalau tidak sedang bersih-bersih, sementara Mayong—adik bungsu Mas Imin—masih keluyuran sepulang sekolah. Kalau pun ada suara-suara, paling berasal dari ruang tengah lantai dua, yang merupakan pusat aktivitas sosial. Siapapun yang membawa kawanan ke rumah, entah itu Zia, Mas Imin, Ardi, Zahra, atau Mayong—adik bungsu Mas Imin, pasti akan menggiring kawanan mereka itu ke sana.

Saat dalam keadaan terawat, bangunan utama ia anggap sebagai rumahnya sendiri. Dulu yang menerimanya adalah Kakek dan Nenek—meski kebawelan Nenek kerap menyertanya. Sekarang ada keluarga Mas Imin. Mereka membiarkan saja Zia berseliweran ke mana pun dan Zia cukup tahu diri untuk tidak melanggar privasi apalagi membuat keberantakan.

Merasa segar setelah solat, Zia siap untuk menuntut ilmu gitar!

Bagian dalam paviliun Kakek sama tertatanya dengan bagian dalam bangunan utama. Zia masih belum bisa percaya bahwa Kakek membereskan tempat tinggalnya sendirian. Karena kalau mengintip bagian dalam ruang tidur Kakek, terungkaplah kepribadian Kakek yang sesungguhnya. Kini Zia menyadari bahwa seharusnya ia jangan dibiarkan banyak berinteraksi dengan Kakek sejak kecil.

Meskipun dengan demikian, ia sudah beberapa kali bertemu beberapa kawan Kakek—yang setelah bertemu langsung, bertemu juga ia dengan wajah beberapa dari mereka di tayangan infotainment. Zia girang sekali pada masa-masa itu. Teman-temannya mau tak mau percaya. Ia sampai berangan-angan suatu saat ia bakal kena sorotan juga—padahal Kakek saja hampir tidak pernah. Kakek adalah personil paling tak menonjol di band-nya. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Zia merasa bertemu orang-orang yang pernah diliput media ternyata biasa-biasa saja. Lalu ia jadi tidak antusias lagi kala diajak Kakek naik mobilnya untuk menuju entah ke mana. Zia jemu kala harus terjebak dengan majalah-majalah lama selagi menunggu Kakek usai bercengkerama. Mereka tidak terlalu mengacuhkannya pula.

Ketika Zia memasuki bagian dalam paviliun, Kakek masih menuang segelas jus jambu di pantry. Kakek menawarkannya sambil lalu. Zia tidak mau. Kakek suka seenak hati menambah komposisi dalam apa-apa yang disantapnya. Kakek mungkin cocok dengan itu, namun Zia ingin selera kulinernya tetap senormal kebanyakan orang. Zia pernah kecele meminum jus campur buatan Kakek yang ternyata memuat rasa bawang di dalamnya. Belum lagi sup nanas, jengkol madu, dadar laron, gulali undur-undur, dan lain-lainnya yang membuat Zia kerap menganjurkan Kakek untuk berpartisipasi di Fear Factor.

Zia menghempaskan tubuh di samping gitar Papa yang berdiri anteng di sofa seberang pantry. Kakek menyeret sebuah bangku mendekat. Ia duduk di atasnya sambil menyeruput jus jambu dengan tambahan apa—Zia lebih baik tidak tahu. “Mana, katanya yang les gitar teh?” tegur Kakek.

Zia memberi Kakek cengiran. “Udah berenti, Kek,” jawabnya, yang sudah ia duga akan mengundang tanya “kenapa?” dari Kakek, yang ia kontan mengajukan alasan-alasan yang sudah dikemukakannya pada Papa dan Mas Imin tempo hari, sampai perkara uang mentah yang tidak sesuai tujuan. Kakek tersenyum. “Wah, pinter kamu.”

“Nanti bagi-bagi ya, Kek.”

Kakek tertawa. Zia tahu Kakek tidak selalu mau menuruti perkataannya. Kakek menaruh gelas jusnya di atas buffet. “Sok, udah bisa main apa aja kamu?”

Zia merasa malu hendak menyebutkan judul lagu-lagu sentimentil yang guru lesnya dulu ajarkan. Bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi Kakek untuk memiliki jiwa demikian, tapi Zia ingin urusannya dengan Kakek meliputi tembang-tembang gahar dan semacamnya saja. Pokoknya rock—sebagaimana yang Kakek mainkan dulu. Tapi yang paling penting baginya sekarang adalah pemecahan misteri Erusas.

Terlebih dulu Kakek ingin mengetes kemampuan Zia. Maka Zia membuka resleting wadah gitar Papa, memangku gitar tersebut, dan memosisikan tangannya sedemikian rupa. Siap diuji. “Kunci C? Kunci A? Kalau D minor? B? A minor? Nah, itu sudah hapal semua… Nanti pas Kakek balik, kamu harus udah bisa mainin lagu Kakek yang ‘Nuansa Gelora Raya’ sampai tuntas ya? Kuncinya cuman itu doang kok.”

“Heeeeeeeeh…” Respon Zia membatalkan usaha Kakek menuju TV. Sepertinya ia harus langsung menuju ke tujuan utama untuk mempertahankan Kakek di tempat duduknya lebih lama. Ia keluarkan secarik kertas yang jadi perkara. Ia sodorkan pada Kakek. Sebelum Kakek mengira isi kertas tersebut adalah hasil pekerjaan rumah anak kelas 1 SD, Zia langsung menyebutkan jati diri kertas tersebut dalam satu kalimat.

“Loh, bisa bikin lagu juga Papa kamu?”

Zia kecewa, kagetnya Kakek kurang dramatis. “Abis Kakek nih, bisa main gitar cuman buat diri sendiri aja. Ngajarin nggak bisa.”

“Kalau mau jadi murid Kakek ya harus sabaran.”

“Ya kebaliklah. Di mana-mana, kalau jadi guru itu, ngajarnya harus sabaran…”

“Kakek padahal dulu belajar gitar itu sendiri loh.”

Zia mencibir. Ia bosan mendengar kisah perjuangan Kakek dalam mengakses alat musik hingga dapat bergabung dengan grup yang tahu-tahu tenar. Sekali lagi, Kakek menyuruh untuk menunjukkan kemampuannya bermain gitar. Apa boleh buat. Setelah Kakek menyetemkan gitar Papa, Zia mempraktikkan apa yang ia ingat dari les gitarnya dulu. Kendati ia lebih suka memainkan lagu dengan perpindahan kunci yang mudah dari band-band kesukaannya, ia kira ia bakal lebih apik memainkan lagu yang berulang kali dilatihnya sewaktu les. Namun jemarinya sudah lama tidak memencet senar gitar. Samar pula gambaran chord dalam kepalanya. Hingga Kakek bilang, “Padahal Mama kamu dulu main gitarnya pinter lo…”

“Ha, iya, banding-bandingin aja terus…” Zia cemberut. Seperti Mama saja Kakek ini, yang dulu sering berkata, “Dulu Mama tuh... (begini, begini, begini), nggak kayak kamu sekarang... (begitu, begitu, begitu)...”

“…dandan jago, masak jago…” Sinar mata Kakek meredup. Akhirnya Zia dengarkan juga sambungan suara parau Kakek yang mengandung sebuah kisah nyata. Terjadi sekitar dua puluhan tahun lalu. Tentang dua anak muda yang suka pacaran malam-malam di taman samping rumah sambil genjreng-genjreng gitar. “Pas Kakek intip, ternyata yang lagi genjreng gitar tuh Mama kamu. Mama kamu lagi ngajarin Papa kamu.”

Zia penasaran apakah Mama sudah suka main kasar juga sejak dulu. Dan lagi, ia jadi ingin menyalahkan ketidakpiawaian Kakek dalam berbagi ilmu. Masak anak gitaris band tidak tahu cara menggenjreng gitar? Memang keterlaluan Kakek ini, pikirnya. Lanjut Kakek, “…terus setelah berenti main band, akhirnya Papa kamu lulus kuliah juga. Mama kamu juga berenti ngerokok. Trus mereka nikah. Eh, tahu-tahu, kamu muncul!”

Zia juga sudah bosan mengingatkan Kakek kalau dirinya bukan lagi anak-anak, jadi tidak usahlah Kakek mempertahankan gaya mendongengkan kanak-kanak seperti itu. Beginilah orang tua. Sekali terpancing untuk bernostalgia, susah untuk berhenti. Padahal Zia merasa ia tadi tidak memberi umpan sama sekali.

“…Pakde kamu itu dulu diurusnya kebanyakan sama Nenek kamu. Waktu itu kan Kakek masih banyak tur. Pas Papa kamu lahir, baru Kakek mulai banyak di rumah.”

Zia menepukkan kedua belah tangannya. “Hah, pantes aja Pakde rada-rada bener sementara Papa kayak gitu. Ceritanya selesai deh…” Dan pupus sudah minatnya untuk menguak misteri Erusas. Biarlah selamanya itu menjadi misteri. Kalau ia tidak bisa melakukannya sendiri, minta tolong pada Kakek bukanlah solusi cerdas. Toh walau ia sudah tahu bagaimana jelmaan rangkaian huruf tersebut menjadi nada pun, itu tidak akan memperbaiki kualitas hubungannya dengan Papa. Paling-paling hanya sikap risih yang ditunjukkan Papa. Sekarang minat Zia beralih pada ruang tengah lantai dua bangunan utama. Tempat di mana ia bisa tidur-tiduran di atas karpet sambil berkhayal sepuasnya—bakatnya yang paling berkembang.

=====

Sebelum Zahra bersama kawanan kelompok tugasnya mengerjakan tugas di sana, Mayong bermain PS 2 di sana, Ardi dan Tata menciptakan dunia mereka sendiri di sana, dan Zia mengajak kawanan SMP dan SMA-nya main di sana juga, adalah ruang tengah lantai dua dikuasai oleh Mas Imin beserta pasukan khususnya saja.

Sepengetahuan Zia, Mas Imin tidak pernah membahas sesuatu seintens itu selain hanya kepada mereka. Memang apa yang mereka lakukan tidak pernah diklaim sebagai suatu perkumpulan rahasia. Namun ada semacam kode etik pula untuk tidak menyebarluaskannya pada khalayak SMANSON. Dengan status penyusup-tak-dihiraukan, sejak kelas X Zia sudah beberapa kali mengikuti diskusi mereka tanpa menyengajakan diri. Mana tahu Zia, saat ia sedang ingin makan bersama Mas Imin di Kabita, tahu-tahu mereka ikut menimbrung saja? Mana tahu Zia, saat ia sedang ingin menghabiskan waktu di ruang tengah lantai dua, mereka juga sudah ada di sana?

Seperti pada kesempatan kali itu. Mereka sudah membicarakan dua orang sebelumnya. Kini yang ketiga. Kang CP memulainya dengan, “Si ini katanya udah nggak pernah keliatan di ekskul debat lagi ya?”

“Si ini teh siapa?” suara Kang Detol. Kang CP menyebut sebuah nama dengan suara pelan. Zia mengenalnya sebagai seorang penduduk di kelas sebelahnya.

“…ya, perlu didorong lagi tuh…” Kang Hilman menanggapi.

“Katanya sih…” Kang CP menyajikan serentetan informasi lagi.

“…ngansos kok terus-terusan…” komentar Mas Imin.

Berlanjut ke orang-orang lainnya.

“Eh, kalau si Anu kemarin ikut lomba Itu yang di Ini.”

“Ceuk si Eta mah, anaknya cepet belajar kok. Cuman kadang masih kurang PD aja.”

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Zia tidak urusan. Apa yang mereka bicarakan, meskipun terkait orang-orang yang mungkin dikenalnya, bukanlah sesuatu yang jika digosok bakal makin sip. Ini adalah sesuatu yang membuat Zia kerap menyaksikan mereka dekat dengan para orang yang tak dikira-kira. Bukan sesama anak kelas XII, bukan semata anak kelas XI dan kelas X yang wajar jika dikenal dekat. Jika ingin mengenal banyak orang, bergabunglah dengan pasukan ini. Mereka suka mendekati orang tanpa mengenal kelas pergaulan. Dan apa yang mereka bicarakan, bukanlah kabar burung. Ini adalah sesuatu yang mereka sebut sebagai sesuatu yang terpendam, wahana terselubung.

Dalam hal ini, kalau bukan tentang dirinya sendiri, Zia tidak begitu tertarik. Ia mendengarkannya sepotong-sepotong sambil menyeruput yoghurt dari kulkas Kakek yang sudah ia pastikan aman. Ia menemukannya masih dalam keadaan tersegel. Tangannya yang lain mencorat-coret halaman buku catatan Biologi dengan spidol warna-warni. Dari tadi ia coba mengilustrasikan organisme-organisme dalam catatannya tersebut, tapi yang tercipta malah pikiran untuk menyalin ulang sang catatan ke atas kertas putih bersih.

“Trus adik kamu tuh. Gimana, Luthfi?” lanjut Kang CP dengan suara yang lebih pelan. Kali ini Zia menajamkan pendengaran.

“Hm. Yah. Begitulah,” jawab Mas Imin.

“Udah masuk ekskul?” suara Kang Hilman, tak kalah pelan.

Tak kalah pelan lagi balasan Mas Imin. “Nggak tau tuh sukanya apaan. Di kamar aja sih.”

Ha. Zia tahu siapa yang mereka bicarakan. Zia yakin yang bersangkutan tengah ada di kamarnya—di lantai bawah. Zia suka menumpang tidur di sana.

“Perlu kita intervensi juga?” tanya Kang Hilman.

“Yah, entarlah. Saya coba dulu sendiri.” Volume suara Mas Imin kembali normal.

“Perlu bantuan aku juga?” Zia mendongak. Mas Imin tidak menjawab, hanya tersenyum sekilas. Mata Zia kembali tertuju pada hasil kreativitasnya, tapi tidak pikirannya. Muncul suatu ingatan di sana. Baru pada akhir tahun ajaran lalu Mas Imin menganjurkannya untuk coba tinggal terpisah dari keluarga. Mas Imin tidak tahu kalau itu adalah suatu yang sangat Zia idamkan dari dulu. Tapi ia tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya. Mas Imin memberitahunya. “Ketemuan juga belum tentu sekali seminggu. Itu juga kan nggak lama. Paling semalem atau berapa jam. Nggak tahu, jadi asa lebih asik aja main di luar. Jadi males balik ke rumah.”

Zia mengangguk paham. Namun ia mengingkari kata-kata Mas Imin selanjutnya. Mas Imin mungkin begitu, namun Zia ragu. Ia tidak yakin ia bakal kangen dengan keluarganya. Ia tidak yakin ia bakal kepikiran keluarganya. Ia tidak yakin pikirannya itu bakal sampai pada rasa bersalah akan caranya menyikapi masing-masing anggota keluarganya selama ini, terutama pada anak yang paling bermasalah di rumah. Memikirkannya sampai pelik, meski berlagak seakan itu bukan urusan yang amat penting. Zia saja tidak pernah benar-benar memikirkan Zaha. Toh meski homeschooling, pergaulan Zaha sepertinya tetap senormal sedia kala. Malah jauh lebih sering Zaha yang pulang larut ketimbang dirinya.

Ganti sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran Zia. Apakah ia akan seperti Zahra juga seandainya ia adik kandung Mas Imin? Padahal ia pernah mengira kehidupannya akan lebih baik kalau ia saudara kembarnya Ardi, misal. Setidaknya Pakde dan Bude tidak ringan tangan. Kekerasan verbal itu biasa. Melintas rasa bersalah kala Zia ingat bahwa setiap kali ia ingin menangis sehabis digampar Mama atau Papa, ia selalu menguat-nguatkan dirinya dengan sugesti bahwa ia tidak secengeng Zahra.

Terima kasih, Zahra.

Jumat, 03 Desember 2010

delapan

Pelataran kantin Kabita dipijaki pelbagai rupa manusia. Zia tidak bisa berhenti mengipaskan notes ke samping leher. Sesekali sebelah tangannya dipakai untuk menghalangi silau cahaya mentari sampai ke area penglihatan. Lagi-lagi ia menghembuskan nafas. Kemalasan menahannya sedari tadi untuk tidak menyeruak kebisingan di hadapan mata. Kalau sedang niat, sebetulnya Zia tidak keberatan apabila harus berdesak-desakkan dalam keramaian. Namun sekuat apapun Zia mengais, niat itu terlalu lemah untuk dikeluarkan.

Untuk sebuah acara yang dimaksudkan sebagai ajang perkenalan, daya tarik gig KOMBAS boleh juga. Siapapun yang merasa bisa bermusik dan hendak mengembangkan kemampuannya— entah itu anak kelas X, kelas XI, maupun kelas XII, sudah terdaftar sebagai KOMBAS-er apa belum—boleh unjuk gigi asal mau mengantri. Pada kesempatan ini pula para punggawa KOMBAS hendak mencari bibit-bibit baru untuk disemai. Ditingkatkan derajatnya.

Di sisi lain, beredar desas-desus di kalangan anak kelas X kalau Kabita adalah wilayah khusus anak kelas XII. Anak kelas X hanya boleh menjamah Karunia—kantin lama dekat area penjaga sekolah yang lebih pantas disebut warung. Tidak juga anak kelas X patut memasuki kantin Klenger, yang konon dikhususkan untuk anak kelas XI. Begitu yang ia dengar dari Salman. Dalam perjalanannya menuju Kabita, ia berpapasan dengan bocah itu dan mengajaknya menghadiri gig KOMBAS. Zia menertawakan kepolosan anak-anak kelas X. Adanya juga Karunia dan Klenger yang bakal digusur karena sudah berdiri kantin yang lebih besar, sehat, bersih, dan lengkap. Namun biarlah anak-anak kelas X tetap dalam kepolosan mereka. Lagipula Salman lebih berminat menghadiri briefing persiapan olimpiade.

Ketika sampai di area Kabita, kebenaran akan desas-desus tersebut menjadi kabur. Zia menemukan anak kelas X, kelas XI, dan kelas XII bercampur baur di pelataran kantin. Lebih banyak anak kelas X dan kelas XI-nya bahkan. Apalah artinya desas-desus tak bermutu itu? Ketika telah sampai ajakan untuk mengapresiasi kebutuhan berekspresi remaja, harus dihapuskan segala sekat yang memisahkan perbedaan kelas. Secara otomatis semua jadi lebur karena kuatnya daya pikat salah satu unsur dalam kehidupan: musik!

Aha. Akhirnya Zia menemukan sesuatu untuk dipasangnya sebagai lead liputan.

Sebelumnya, Zia berhasil mendapat beberapa kalimat ketua panitia. Kalau sedang tidak sok dirundung kesibukan mengusung peralatan begitu, ketua panitia mungkin akan dapat memberinya lebih banyak kalimat. Panitia lain yang sempat Zia tanyai malah lebih parah lagi jual mahalnya. Zia berharap selepas keramaian ini kekuatan niatnya telah bulat hingga ia tergerak untuk menghampiri mereka lagi. Hanya demi mendapatkan lebih banyak kalimat!

Pada notes, Zia mengintip poin lain yang harus ia incar untuk melengkapi materi liputannya. Tanya komentar anak kelas X. Seketika Zia teringat pesanan Regi dan Epay beberapa waktu lampau. Mengetahui Zia hendak berpartisipas di LEMPERs lagi dan memulainya dengan meliput gig “kecil-kecilan” KOMBAS, Regi dan Epay langsung menyerbunya dengan seruan, “Liput Deraz, ya! Liput Deraz, ya!”

“Emangnya dia ikutan KOMBAS?”

“Pasti ikut, Zia!” tandas Epay semangat.

“Kemarin pas lewat sekrenya KOMBAS, kita liat main gitarnya jago banget, yah, Pay…” tambah Regi sambil melihat Epay. Epay menyambutnya. “Iya, Regi, iya!”

Zia masih sepakat dengan mereka bahwa cowok dengan postur jangkung dan tegap, kulit terang terbakar matahari, serta sedikit unsur bule adalah santapan yang baik bagi mata. Tapi tipenya adalah cowok dengan kegantengan khas Indonesia yang kalau bisa berkacamata dan berponi, ya seperti Ezra itu. Arderaz tidak begitu. Namun demi dua kawan SMP terbaiknya itu, Zia memasukkan Arderaz dalam pikirannya. Baiklah, sekarang di mana Arderaz-Arderaz itu? Apakah ia, yang barusan mengganti raungan kacau balau gitar listrik dengan denting ciamik gitar akustik? Yang menyemprotkan spray pereda kebisingan?

Dengan gontai, Zia menembus barikade putih abu dan mendapatkan poin 100 atas kebenaran persangkaannya. Meski tak mengakrabi musik klasik, Zia merasa lantunan melodi yang tengah mengusir keriuhan dalam kepalanya itu adalah bagian dari klasik. Sepengetahuan Zia, KOMBAS tidak pernah menyentuh genre klasik. Ada ekskul lain yang mengurus ranah tersebut di SMANSON. Kalau benar Arderaz akan menjadi bagian dari KOMBAS, suatu revolusi dalam musikalitas KOMBAS tengah menanti.

Aha. Zia mendapat kata-kata lagi untuk dituang dalam hasil liputannya. Ia lekas mencatatnya di notes keburu lupa. Setelahnya, ia siap untuk ikut melarut kembali dalam keterpukauan.

Tak lama. Zia menyadari di samping kanannya ada sosok yang hampir serupa dengan obyek pengamatannya. “Heh, Dean!”

“Heh, Teteh!” Dean tampak terkejut. “Ngapain, Teh?”

“Kamu sendiri ngapain?!” cecar Zia. Pertanyaan basa-basi yang tak mutu!

Dean tak menggubris. Ia yang bersorak paling keras kala Arderaz mengakhiri permainannya. Malah Zia dapati Salman tengah manggut-manggut di samping kanan Dean. “Salman, bukannya kamu ada brifing olimpiade tea?” teguran Zia tertelan seruan dari berbagai penjuru agar Arderaz kembali memetik senar.

“Udah selesai, Teh!”

Zia hampir terjerembab kala Dean menepuk punggungnya keras-keras. “Broder gua itu, Teh!”

“Iyaa… Tau!” Zia mengusap-usap dada, seakan dengan itu debar jantungnya akan memelan. “Salman, kamu nggak maju juga? Nyanyi sono!”

“Ah, yakin Teh?”

“Yang harus yakin tuh kamu! Maju gih!”

Salman terpana. Dean mengangguk-angguk padanya meski tak ngeh benar akan apa yang Zia dan Salman cakapkan barusan.

“Beneran, Teh?”

“Aduh… Buruan itu daftar sama panitianya… Tuh, yang lagi pada keketawaan deket tiang situ tuh…” Zia mendorong punggung Salman. Terasa empuk benar di tangannya.

“Eh, Teh, udah makan belum?” tanya Dean, sepeninggalan Salman.

“…udah sih...” Zia sudah mengisi lambungnya dengan sepiring nasi kuning, semangkok yamin, dan segelas jus belimbing jam istirahat tadi. Ia mengarahkan kepalanya kembali pada pusat perhatian. Sang bintang sedang meninggalkan panggung diiringi desah kecewa dari para penonton. Zia menimbang-nimbang apakah ia akan mengejar Arderaz. Melihat Arderaz malah mampir ke kerumunan panitia, Zia jadi malas. Malas juga ia menyenangkan hati dua kawan SMP yang setelah dipikir-pikir lebih banyak meresahkan hidupnya itu. Ia akan mewawancarai Salman saja nanti. Semoga bocah tambun itu jadi tampil.

“Temenin gua makan, yuk, Teh…” Dean mengusap perutnya yang cekung.

Menemani Dean makan lebih menarik hati Zia ketimbang berkubang dalam kesumpekan mengejar-ngejar narasumber. Belum lagi kalau narasumbernya sok kecakepan seperti si ketua panitia gig sialan ini. Ia juga ingin terlihat santai dan tertawa-tawa seperti orang itu dan para kroninya! Zia berusaha tidak mempertanyakan lagi kesungguhan niatnya untuk dianggap di LEMPERs.

“Ayuk. Tapi jangan di sini yah!”

Salman telah kembali dari mendaftar. Ia akan tampil sebagai pemungkas, selayaknya bintang utama pada konser besar. Namun sudah tidak didapatinya lagi dua kawannya di tempat semula.

=====

Mungkin semenyenangkan inilah arena bermain BSM di mata kanak-kanak yang belum mengenal kedurjanaan dunia. Mereka menjerit sekencang mungkin di bangku belakang jet coaster—kendati penumpangnya hanya mereka. Mereka terkesima dengan kepadatan kota Bandung dari atas bianglala. Mereka berkejaran di antara mesin-mesin permainan. Mereka kumpulkan banyak kupon untuk kemudian ditukarkan dengan pensil mekanik murahan. Dean iseng memukuli kepala Zia dengan pentungan untuk menghantam moncong buaya. Zia memandang iri pada keriaan Dean di atas ontang-anting—seandainya saja Zia membawa celana jins untuk mengganti rok kelabunya.

Setelah puas mencicipi kembali semaraknya masa muda, berlabuhlah mereka di salah satu bangku foodcourt. Letih tak terasa, karena mereka gembira. Namun Dean tak bisa mendiamkan gemuruh badai di lambungnya. Padahal sebelum terjun ke Kota Fantasi, Zia sudah membantu Dean menghabiskan sepiring daging berbalur tepung tebal dengan saus yang enegnya masih dapat Zia rasakan. Nafsu makan Dean sungguh tak dapat ditebak.

Kepala Dean berputar ke sana ke mari, mencari makanan yang memenuhi selera lambungnya. “Sebentar ya, Teh…” ucapnya kemudian sembari beranjak menuju salah satu gerai. Tak lama kemudian, Dean kembali. Nomor ia letakkan di atas meja. Ia memasukkan uang kembalian dalam dompet begitu pantat tipisnya menyentuh permukaan bangku. Dompetnya jadi tebal sekali. Ia keluarkan semua rupiah. Sementara Dean merapikan uangnya, Zia menyeret dompet Dean yang tergeletak di meja. Biasanya Tata atau Ardi akan langsung merebut dompet mereka begitu mulai Zia preteli.

“Iiih…” Zia girang saat menemukan foto seorang cewek. “Ini cewek kamu?”

Dean melirik lembaran yang ditunjukkan Zia. “Bukan. Itu mah adik saya. Emang dia mah mukanya boros.”

Zia tidak mengira wajah Dean dengan garis-garis yang lebih halus bisa jadi secantik itu. O, pantas saja di foto itu tidak hanya berdua cewek itu dengan Dean, tapi ada juga Arderaz. “Kirain kamu yang doyan sama anak kecil.”

Dean tersenyum seraya mengambil kembali dompetnya. Padahal Zia belum sempat mengintip foto-foto lainnya.

“Isinya aja banyak. Bungkusnya meni buluk gitu ih,” komentar Zia.

“Ini mah dompet hari Selasa, Teteh… Kalau mau liat yang bagus, yang hari Jumat, Teh. Tapi yang baru mah yang hari Senin.”

Zia bingung hendak berkomentar apa. Dean menyentuh jumper-nya. “Ini jumper hari Selasa,” katanya. Cowok itu memasukkan dompet ke dalam kantong depan ranselnya. Sekilas, Zia melihat bungkus rokok di antara tabung inhaler dan beragam alat tulis. “Ini tas hari Selasa.” Lalu ia mengangkat tungkai kakinya. “Ini sepatu hari Selasa.”

Zia mengerjap-ngerjapkan mata. Jangan-jangan merk rokok Dean pada masing-masing hari juga berbeda? “Hah, kamu nggak bingung apa?”

“Bingung sih, Teh, hehe. Tapi kalo tas ganti-ganti justru supaya nggak ngebingungin, Teh. Jadi kan nggak usah repot-repot beberes buku pelajaran tiap hari. Yang pelajaran hari Senin udah dimasukkin ke tas hari Senin, yang Selasa dimasukkin ke yang Selasa, dan seterusnya.”

“Trus kalo misalnya kelupaan gimana?”

“Yah… Wayahna… Seringnya ada orang rumah yang ngingetin sih.”

Zia tidak bisa menahan geli. Andai saja ia juga punya perlengkapan sekolah untuk masing-masing hari, ia hanya tinggal mengandalkan ingatan saja. “Nama adik kamu siapa, Dean? Dari A juga depannya?” Zia tahu nama Dean sebenarnya adalah Ardian. Lalu saudara kembarnya adalah Arderaz. Lalu nama adiknya…

“Iya, Teh. Azarina. Dipanggilnya Zara.”

“Eh, mirip sama adik aku. Adik aku dipanggilnya Zaha. Tapi dari Fazaha.”

“Mirip sama nama adiknya Kang Lutung juga, ya, Teh? Itu, si Zahra. Makanya kalo manggil si Zahra teh asa jadi manggil adik sendiri. Apalagi mukanya sama-sama suka baeut gitu pas ngeliat saya…”

“Hahaha… Kenapa baeut? Emang kamu musuhan sama mereka?”

“Yah, gitulah, Teh, biasa… Anak baru beger, mah…”

“He, iya, aku juga suka da musuhan sama adik aku mah.”

“Apalagi kalo kamarnya si Zara saya masukin, Teh, ah, udahlah saya dihantem terus. Gelut we…”

“Hahaha…” Zia tidak akan bilang pada Dean kalau ia dengan Zaha juga pernah sampai saling cakar dan jambak.

“…biasanya dia baru berenti pas saya emut kupingnya…”

Senyum Zia tertahan. Matanya mengerjap. Kalau ada kesempatan bertemu adiknya Dean, ia akan katakan pada cewek itu untuk melindungi kepalanya dengan kupluk atau helm saat berhadapan dengan Dean.

Pesanan Dean tersaji di atas meja. Nomor diambil. Bertambah pekat asap yang mengepul dari hidangan tersebut saat Dean mengaduk-aduknya dengan sumpit. “Makan, Teh Zia?”

“Panggil Zia ajalah. Ngerasa tua nih.” Zia ingat betapa jemunya ia acap kali menyuruh anak-anak yang lebih muda darinya untuk memanggil namanya tanpa embel-embel. “Da sungkan atuh, Teh, eh, Zia, he…” begitu alasan Dean selalu. Dan berlanjutlah penguakan mereka atas dunia satu sama lain.

Mulai dari cewek,

Melihat Dean sedari tadi berusaha memalingkan kepala ke sebelah kanan, sementara di seberang kirinya duduk seorang cewek dengan tungkai kaki putih mulus menjuntai, iseng Zia bertanya, “Tau nggak apa bedanya ‘hot’ dengan ‘panas’?”

“Kalau ‘hot’ itu bahasa Inggris, kalau ‘panas’ itu bahasa Indonesia, kalau ‘hot panas’ itu sebutan buat celana, Teh—eh, Zia…” ucap Dean dengan pipi gembung. Ia mengangkat kepala sejenak dari mangkok ukuran jumbonya. Butiran keringat menitiki sisi-sisi wajahnya.

“Itu mah ‘hot pants’ kali…” Dean tertawa tanpa membuka mulut. Zia menyambung kalimatnya, “Trus kalau bedanya cewek hot dengan cewek panas?”

Usaha ke sekian Dean untuk mempertahankan arah pandangannya ke sebelah kanan. “Yang hot tuh yang kayak Miyabi. Yang panas tuh yang marah-marah kalau ulangannya ditoong.”

“Heee… Ketahuan… Doyan Miyabi sama nyontek yaaah?”

Dean mengangkat kepalanya lagi. “Oh, itu teh pertanyaan jebakan?”

…musik,

“…deuh… Nggak tau atuh, Zia. Gua mah kalo ngedengerin lagu nggak pernah ngapalin siapa penyanyinya!”

“Trus sukanya ngedengerin apa dong?”

“Segala jenis lagu mah ya gua dengerin aja da, asal enakeun.”

“Termasuk dangdut?”

“Hm… Apa atuh yah?” Dean tampak mengingat-ingat. “Bungsu Bandung ngeunah, Teh!”

“Hah, apaan tuh?”

“Itu… Yang nyanyi ‘Talak Tilu’ sama ‘Intimi’. Nggak tau ya Teh?”

Zia terpana. “Kalau lagu Barat?”

“Hm… Apa yah? Gershwin?”

“Weh, apaan tuh?”

“Summertime… Rhapsody in Blue… Someone to Watch Over Me…”

Zia menggeleng.

“Amadeus? Serenade? Rondo Alla… eh, lupa… Eh, itu mah, Mozart deng…”

“Hah, bilang aja sukanya klasik!”

…rambut,

Dean mengaku kalau ia sering ikut ibu dan adiknya ke salon. Ia membiarkan tangan-tangan gemulai bereksperimen dengan rambutnya sementara ia menyeruput soda sambil Twitter-an. Lalu tahu-tahu saja rambutnya jadi lebih hitam dan halus, padahal aslinya kecoklatan dan sekeras ijuk. Sejak itu Dean berhenti dikatai alay oleh teman-temannya, padahal Arderaz saja tidak pernah dikatai demikian. “Ooohh…” tanggap Zia takjub. Akhirnya terkuak juga misteri perbedaan warna dan tekstur antara rambut Arderaz dengan saudara kembarnya yang selama ini kerap Epay dan Regi perkarakan.

…teenlit,

Zia mengaku, betapa ia sangat terpengaruh oleh genre fiksi yang satu ini waktu ia SMP. Hari-harinya terisi oleh berbagai khayalan tentang cinta segitiga, kencan dengan cowok idaman, digoda teman-teman, dan la la la lainnya. Lambat laun ia menjadi realistis dengan menyadari keadaan di sekitarnya. Hal-hal yang terjadi di dunianya adalah serba kebalikan dari unsur-unsur yang menjadi pakem teenlit. Tidak ada dua cowok memperebutkan satu cewek, melainkan satu cewek meributkan dua cowok yang sama-sama ia suka. Kecengannya tidak bisa main basket dan ditolak band-nya sendiri. Cewek populer yang seharusnya jadi tokoh antagonis malah berteman baik dengannya. Inner beauty-nya tidak pernah bisa kentara, mau disokong penampilan yang menarik atau tidak. Keluarganya jauh dari normal dan bahagia. Dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan Zia, yang diulas kebanyakan teenlit hanyalah remaja dari kalangan tertentu saja. Padahal remaja ada banyak jenisnya. Maka Zia memutuskan untuk membuat teenlit-nya sendiri, yang jadinya tetap saja alay.

Sambil menyeruput mi, Dean mengaku kalau dirinya justru menggemari teenlit. Ibunya kerap melarangnya menonton sinetron yang ia suka. Jadilah pelariannya pada teenlit koleksi adiknya. Ibunya mungkin tidak tahu kalau di balik buku pelajaran yang anaknya pegang adalah sebuah teenlit terbentang lebar. Dean mungkin saja meminati teenlit buatan Zia namun Zia bilang sampai kapan pun ia tidak akan menyelesaikannya. Membacanya ulang saja sudah membuatnya ingin muntah.

…coklat, Barca versus MU, kemalasan belajar, MotoGP, kecengan yang tak kunjung tergapai, sampai keluarga…

“...jadi si Deraz juga pernah ikutan yang konferensi anak itu?”

Dean mengangguk. Sepasang sumpitnya kini sudah bertengger rapi di atas mangkok. Tangannya ganti memegang segelas frappuchino. Zia berdecak-decak. Ia membayangkan rumah Dean dijejali beragam piala, plakat, tropi, medali, piagam penghargaan, dan semacamnya. Betapa malu-malunya Dean saat mengakui bahwa ayahnya mantan atlet yang masih berlaga di kejuaraan sebagai pelatih dan ibunya muncul seminggu sekali di TV sebagai narasumber ahli. Dan tidak hanya Arderaz yang gemar malang melintang di jagat perlombaan rupanya, tapi juga adik mereka. Dean bercerita bagaimana ia mengobral kata-kata penyemangat saat adiknya hendak mengikuti lomba pidato, melukis, atau resital biola. “Kalau nggak digituin, entar nggak jinak-jinak, Teh Zia…”

“Kalau kamu sendiri udah pernah menang juara apa?”

Dean menggeleng dengan senyum malu mengiringi. “Nggak pernah, Teh.”

Zia bercerita bahwa dirinya saja pernah jadi juara bertahan lomba balap kerupuk dalam rangka peringatan HUT RI selama tiga tahun berturut-turut di SMP. Dean tetap menggeleng. Ia juga tidak pernah mendapat ranking tinggi di kelas, sebagaimana para saudara kandungnya. Ia tidak mampu berolahraga berat. Pun tak ada keterampilan khususnya yang layak ditonjolkan. “Kerjaan gua mah, kalau nggak main, sakit. Kalau lagi nggak sakit, ya main.”

“Makanya, kamu teh rajin olahraga atuh…” ucap Zia, seakan-akan ia sendiri rajin olahraga.

Tersirat keengganan di wajah Dean yang mengerut. “Ah… Males, ah, Teh…” Sejenak kemudian ia tersengal lagi.

Zia meletakkan kepala pada lipatan lengannya di atas meja. Deretan gerai penjual makanan ditangkap indra penglihatannya. Suara Dean di atasnya. Mendengar gerutuan malas Dean yang menggelikan, ia mendengus. “Haaah… Iya yah… Jadi males ngapa-ngapain nih…” desahnya. Benar kata Papa, ia memang pemalas. Ya, ya, ya, kata-kata orangtua selalu benar… pikirnya. Tawa kecil Zia diselingi cerita balasan bahwa ia juga tidak seberprestasi saudara kandungnya. Namun ia tidak mengaku bahwa ia terlalu gengsi untuk memuji setiap kali adiknya mendapat penghargaan.

Berkebalikan dengannya, suara Dean seperti tanpa beban sama sekali. Dean bilang ia tidak pernah memikirkan betapa unggulnya orang lain, sementara ia tidak. Kebersamaan dengan orang-orang di sekitarnya sudah cukup membuatnya merasa berharga. “Dibawa nyantai ajalah, Teh…” tandasnya. Sebagaimana gerobak yang tidak akan bisa dibawa jalan kalau bebannya terlalu berat, begitu juga pikiran—Dean menganalogikan. Makanya Dean membiarkan orang lain yang berpikir untuknya.

Zia tersenyum simpul. Dean memberinya tawa. Zia membalasnya dengan tawa lagi. Begitu seterusnya. Zia tidak tahu untuk apa ia tertawa. Mungkin Dean juga. Mungkin ia dan Dean hanya ingin saling menghibur satu sama lain. Atau justru ketakberdayaan diri itulah yang patut ditertawai.

Kamis, 02 Desember 2010

Frontal dalam Marjinal

Judul: Kali Mati
Pengarang: Joni Ariadinata
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999

Saya pernah bertemu Pak Joni beberapa kali dengan saya sebagai peserta dan beliau sebagai pemateri. Waktu itu saya belum tahu seperti apa karyanya. Pertama kali bertemu malah belum tahu juga kalau beliau memang sastrawan. Saya baru tahu ketika membaca-baca Antologi Sastrawan Angkatan 2000. Ada tentang beliau dan karyanya. Saya lupa apa judul karyanya yang termuat di situ. Saya baca dan tak mengerti. Biasanya orang mengatakan sesuatu yang tak ia mengerti itu sebagai tingkat tinggi.

Kini saya mendapat kesempatan lagi untuk membaca karya(-karyanya malah). Kali Mati adalah judul antologi cerpennya, yang juga merupakan judul salah satu cerpen yang ada di dalam. Tanpa sinopsis belakang sampul. Tanpa kata-kata yang mengantarkan lima belas cerpen di dalamnya.

Menilik pengetahuan saya tentang penulis dari hasil membaca, mendengar, dan bertemu, Pak Joni adalah spesialis tema kaum marjinal dengan bahasa frontal. Banyak membaca dan memikirkan apa yang dibaca adalah rahasia tulisan yang kaya. Hindari keraguan dalam mencurahkan—biarkan saja pembaca sampai berkerut keningnya. Itulah yang namanya totalitas dalam berekspresi.

Sembari membaca cerpen demi cerpennya, terimaji dalam kepala saya ilustrasi-ilustrasi dengan tarikan garis yang gahar. Seperti dalam video klip Breaking The Habit-nya Linkin Park barangkali. Mencari yang indah? Banyak fiksi lain yang menawarkan. Karena yang tersaji di sini adalah kisah mereka yang hidup dalam pemukiman kumuh. Mereka yang disebut sebagai orang-orang kecil. Mereka yang mungkin sampai kapan pun kita tak ingin mengharap jadi mereka. Karena akan ada lebih pedih derita yang bakal kita rasa. Rangkaian plot, yang kadang bisa ditangkap dan kadang tidak, meluap dalam ledakan-ledakan yang kurang bisa dinikmati.

sumber gambar

Rabu, 01 Desember 2010

Ajakan tanpa Daya untuk Terus Hidup


Judul : Aki
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 2003

Bertemu lagi dengan pengarang Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Kali ini prosanya adalah sebuah buku kecil setebal enam puluh dua halaman. Kalau dalam ukuran kuarto, prosa ini mungkin berupa cerpen panjang.

Terkisahkan seorang Aki, yang saya kira adalah seorang aki-aki (sunda: kakek), namun ternyata memang begitulah namanya. Tidak disebut apakah ia orang Jepang atau orang mana sehingga namanya unik begitu.

Pada mulanya Aki adalah seorang berumur 29 tahun yang terlihat sudah berumur 42 tahun. Ia sakit-sakitan dan kondisi fisiknya menyedihkan—punggungnya bungkuk 165o dan sepasang tungkai kakinya membentuk nol besar, namun itu bukan karena ia kena kutuk. Entah mengapa, yang jelas diceritakan betapa baik budi Aki hingga ia kerap disanjung orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari Aki berkata bahwa ia akan mati setahun lagi, tanggal 16 Agustus pukul 3. Orang-orang di tempat kerja Aki susah menerima kenyataan bahwa Aki akan mati. Bahkan sepnya pun tak mau dengar—entah apa sep itu artinya. Hanya istrinya yang tawakal. Bersama istrinya itu, ia persiapkan kematiannya.

Semakin mendekati hari kematian, kondisi Aki bukannya semakin buruk, malah sebaliknya. Lama-lama ia tidak bungkuk lagi. Tungkai kakinya pun dapat terlihat normal. Hari yang dinanti pun tiba. Orang-orang sudah pada sibuk mempersiapkan perkabungan untuk Aki. Lewat jam 3, betapa terkejutnya mereka karena Aki ternyata masih hidup! Aki bilang bahwa ia akan mati tiga puluh tahun lagi. Sejak itu, semakin bertambah daya hidup Aki. Pada umurnya yang ke-42 tahun, ia terlihat masih berumur 29 tahun. Ia sekolah lagi. Dan bilang, ia akan hidup sampai umur keseratus.

Kondisi fisik Aki baru membaik setelah ia merasa dekat dengan kematian. Ia berjuang mati-matian dulu itu dalam batinnya untuk mempertahankan diri terhadap maut. Ia berjuang supaya sehat, supaya sakit paru-parunya hilang sama sekali (hal. 60-61). Sayang, konflik batin Aki tak dieksplorasi sehingga sebagai pembaca saya hanya sekedar tahu namun tak meresapi semangat mempertahankan hidup yang Aki juangkan. Toh sebelum dan sesudah didatangi ancaman maut pun sepertinya tak ada perbedaan berarti dalam diri Aki, selain perbaikan kondisi fisiknya saja. Kiranya akan lebih baik jika jalan cerita dibuat lebih dramatis sehingga maksud yang hendak disampaikan dari cerita ini bisa lebih mengena ke sanubari pembaca.

Lewat tokoh Aki, pengarang seakan ingin menyindir mereka yang berlaku “agamis” tapi tak kontributif pada sesama.

Tidak ada orang yang tahu, apakah Aki pernah ingat kepada Tuhan. Sembahyang ia tidak pernah, puasa pun tidak. Tapi ia dari dulu baik hati kepada siapa pun dan banyak orang sangsi, mana yang lebih disukai Tuhan: sembahyang tunggang-balik lima kali sehari dan puasa setiap bulan Ramadhan, tapi berbuat banyak kejahatan atau tidak sembahyang dan puasa, tapi berbaik hati yang tiada tandingan seperti Aki itu. (hal. 2)

Entah bagaimana pandangan pengarang dan apakah ia termasuk yang terus mencari kebenaran Islam—dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma pun ia terasa agak sinis pada agama, kalau menurut saya sih Tuhan lebih menyukai mereka yang sembahyang dan puasa, tapi juga baik hati pada siapa pun.

Dan lagi-lagi seniman kata kena sindir pula. Ada seorang pemuda yang membuat syair ketika datang berita bahwa Aki hendak mati. Setelah ternyata Aki tak jadi mati, pemuda ini jadi malas bekerja serta suka mengobrol dan memuji diri sendiri—padahal dulunya pendiam. Ia kerap membual tentang kepenyairannya. Saya jadi miris. Ini adalah peringatan yang ke sekian bagi para seniman kata wanna be dari yang sudah mapan jadi seniman kata itu sendiri.

Cerita absurd ini juga dibubuhi ilustrasi pada hampir setiap bab. Bukan sembarang ilustrasi karena yang dijumpai ialah sebuah kerangka tubuh manusia. Ia duduk di atas tubuh Aki. Ia bermain biola.  Ia menggenjreng gitar di bawah rembulan. Ia (mungkin) menyanyikan lagu Aki. Seakan mengingatkan bahwa kematian selalu membayang-bayangi.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain