Jumat, 08 Januari 2010

Jejak Awal Para Calon Pengamat Burung

Jogja belum cerah pada jam setengah enam pagi lebih di suatu hari bertanggal 24 Desember 2009. Di gerbang Fakultas Pertanian UGM, beberapa mahasiswa dengan motornya masing-masing masih menunggu kedatangan teman-teman mereka. Mereka adalah anggota dari Kelompok Pengamat, Peneliti, dan Pemerhati (KP3) Burung, sebuah divisi dari KP3 Wildlife yang dipayungi Forestation, yang merupakan lembaga himpunan mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH) Fakultas Kehutanan UGM. Hari ini mereka berencana melakukan pengamatan burung di kaki Gunung Merapi, tepatnya di Kinahrejo. Saya bukan bagian dari mereka namun sejak dulu saya penasaran ingin mengikuti kegiatan pengamatan burung. Maka begitu tahu ada kegiatan ini, saya tidak menolak untuk ikut. Di angkasa, rombongan kuntul kerbau membentuk formasi yang mengagumkan kami, seakan mengajak kami untuk memulai saja pengamatan kami dari sekarang.

Pukul 6.45 WIB akhirnya kami bertolak dari tempat pertemuan kami dan menyusuri Jalan Kaliurang terus ke utara. Pukul 7.30 WIB sampailah kami di bawah halaman rumah Mbah Maridjan, tepatnya di halaman rumah Mbah Udi. Tak tampak seorang pun di sana. Halaman yang disediakan untuk parkir pun kosong melompong. Khawatir tak ada yang menjaga motor-motor dan helm-helm, kami kembali melalui jalan naik turun berkelok-kelok yang dialasi batu dan kembali ke jalan aspal. Setelah menanjak sedikit, kami masuk ke pelataran rumah Pak Darto.

Pak Darto juga adalah seorang warga Kinahrejo yang menyediakan tempat untuk parkir pengunjung Merapi. Di samping rumahnya terdapat bangunan seluas 7,5 m x 6 m yang difungsikan sebagai tempat persinggahan bagi siapa pun yang hendak berjalan-jalan di sekitar Merapi, baik sekedar untuk parkir motor maupun beristirahat. Di salah satu sisi ruangan terdapat dipan yang cukup luas bagi beberapa orang untuk menyelonjorkan kaki maupun berbaring.

Ke luar dari ruangan tersebut, di seberang agak kiri, terdapat dua bilik berpintu merah yang masing-masing berfungsi sebagai kamar mandi dan toilet. Brr.. Dingin sekali airnya... Sambil menunggu giliran untuk masuk ke dalamnya, istri Pak Darto sempat mengajak kami berkenalan dan mengobrol. Berdasarkan keterangannya, sudah lama tempat ini difungsikan sebagai tempat singgah pengunjung Merapi—bahkan sudah sejak ia masih kecil. Tempat ini bisa ramai sekali disinggahi, terutama di hari-hari libur, katakanlah libur tahun baru yang akan datang beberapa hari lagi. Di dinding rumahnya terpasang spanduk yang memberitahu kami bahwa tempat ini juga merupakan basecamp dari ‘Merbabu Mountaineer Club’.

Sementara itu, dua ekor anjing terlihat bermain-main di halaman. Sebenarnya sudah sejak awal mereka berkeliaran di sekitar kami. Tubuh mereka pendek dan berwarna coklat muda dengan moncong menghitam. Yang satu bertubuh lebih besar daripada yang lainnya. “Yang besar namanya Semut, itu ibunya yang kecil. Namanya Weli,” ujar Pak Darto. Agak heran saya mengapa seekor anjing dinamai Semut. Apakah sewaktu lahir ia dikerubungi semut?

Setelah merapikan motor-motor dan helm-helm serta mengobrol sejenak bersama Pak Darto, kami pamit naik. Pak Darto, dengan Weli yang bermain-main di kakinya dengan ceria, melepas kepergian kami dengan senyum ramah. Weli bahkan sempat mengejar kami sampai beberapa meter jauhnya namun kami sudah terlanjur naik lebih ke atas. Sambil menapaki jalan yang terus menanjak, kepala kami mendongak ke sana ke mari, mencari-cari burung yang bisa diamati untuk kemudian diidentifikasi jenisnya. Sebagian dari kami menggantung binokuler di leher sementara Mac Kinnon, sebutan untuk buku pengenalan jenis burung-burung di Jawa dan Bali yang merupakan kitab suci bagi para pengamat burung, dipegang erat di tangan

Rombongan kami terdiri dari 6 orang angkatan 2009, yang merupakan anggota baru KP3 Burung, dan 4 orang angkatan 2007. Dari 4 orang ini, salah seorang di antaranya adalah ‘tamu’ dari Kelompok Studi Satwa Liar (KSSL) Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Salah seorang angkatan 2007 dari KP3 Burung memberi petunjuk kepada para angkatan 2009 agar membuat sketsa dari setiap burung yang dijumpai. Sebuah titah yang disambut dengan ‘uh’ dan ‘ah’. Namun itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan pengamatan.

Sampai di pertigaan yang salah satunya mengarah ke Bebeng, rombongan kami berhenti. Semua tubuh menghadap ke sebelah kiri. Jauh di seberang terdapat rumpun bambu yang di puncaknya terlihat siluet burung meloncat. Binokuler-binokuler segera diangkat. Tercantumlah nama tekukur di daftar burung-burung yang ditemukan. Tak lupa jumlahnya dihitung juga. 3 ekor.

Kami melanjutkan perjalanan menanjak setelah ditelpon seorang teman kami yang sudah lebih dulu berada di atas. Di tengah jalan kami sempat berhenti karena mendapati burung kacamata kecil melintas di hamparan vegetasi di sebelah kanan kami. Setelah burung itu lewat, kami melanjutkan perjalanan dan berbelok ke sebelah kanan menuju ke halaman rumah Mbah Adi. Tiga orang tua menyambut kedatangan kami dengan ramah. Di sana pula rupanya teman-teman kami yang sudah duluan berada. Rombongan kami bertambah 2 orang, seorang anggota KP3 Burung angkatan 2007 dan seorang anggota KP3 Herpetofauna—yang dalam pengamatan kali ini hanya ikut main, seperti saya—angkatan 2007.

Setelah pamit dengan keluarga Mbah Adi, kami berbalik ke jalan tadi. Di sana kami bertemu dengan burung cekakak, yang konon masih famili dengan burung raja udang berdasarkan bentuk paruh dan makanannya. Kami memasuki jalan setapak di samping sebuah bangunan yang membawa kami ke kawasan hutan Gunung Merapi. Sepanjang jalan terdengar ramai suara burung berkicau, salah satunya adalah kutilang.

Jalan setapak yang lurus habis ditandai oleh papan hijau milik Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang menginformasikan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) tahun 2007. Kawasan yang merupakan petak 8 RPH Kaliurang, BPK Yogyakarta, itu memiliki luas 30 ha dan vegetasi yang ditanam adalah salam, duwet, dan puspa dengan jarak tanam 4 m x 5 m. Di sekitar situ rombongan kami diam dan mengamati dengan seksama kalau-kalau terlihat atau terdengar suara burung. Metode ini dinamakan orientasi medan. “Satu menit diam untuk penyesuaian. Terus didengarkan ada suara burung apa aja dalam radius 50 m,” terang Adhit, anggota KP3 Herpetofauna yang juga mampu mengenali burung. “Kita memang tidak bisa memastikan radius 50 m itu sejauh apa, jadi diokuler aja, dikira-kira.”

Sebentar di sana, kami turun ke bawah beberapa langkah lalu berhenti di jalan yang agak menanjak untuk mendengarkan kicauan burung lagi. Sembari berjalan, kami memerhatikan setiap suara yang terdengar.

“Eyang... eyang... “—yang sempat saya sangka jangan-jangan ada seorang cucu yang tersesat di hutan ini.

Suara serangga di sepanjang jalan.

“Nyetnyetnyetnyetnyet.”—tak ada seorang pun yang tahu suara apa ini.

Tiba-tiba terdengar, “cik cik cik!” dan “ciciciiikit.”

Kepala-kepala mendongak ke atas. Semua mata menelusuri setiap tekstur tajuk, mencari-cari dengan bantuan binokuler (“Dicari dulu burungnya di mana, baru pakai bino,” tambah Adhit lagi), seakan-akan burung itu berkata, “ayo, cari aku!”. Beberapa akhirnya dapat menangkap bayang si biru burung ciung. Ada lingkaran bersisi hitam di pipinya. Hanya terdengar gemerisik rumput yang diinjak dan tepukan-tepukan di tubuh untuk memberi petunjuk pada teman di mana si burung biru berada. Terdengar desahan “aduh” yang hampir serempak karena burung yang sedang diamati mendadak terbang.

Hal ini tidak terjadi sekali. Kami turun lagi menyerong ke kanan. Begitu merasakan kehadiran burung, kami berhenti untuk mencari-cari. Sering seekor burung terlihat tapi langsung hilang begitu ditunjuk.

Kiranya penting bagi seorang pengamat burung untuk mengenali jenis-jenis pohon. Hal ini dapat memudahkan sesama mereka dalam menginformasikan keberadaan burung yang hendak diamati. Misalnya teman kita memberitahukan kalau burungnya sedang menclok di tajuk akasia. Jika kita telah mengenali tajuk akasia bentuknya seperti apa, begitu pun morfologi daunnya, maka kita akan jadi lebih mudah menemukan tajuk yang dimaksud, di antara beragam tajuk jenis pohon lainnya, dan kita tinggal mencari-cari si burung di tajuk yang itu saja. Lebih mempersingkat waktu pencarian.

Begini kira-kira kalau tidak mengenali jenis pohon,

“Itu burungnya ada di tajuk yang itu...!”

“Yang mana?”

“Itu, yang daunnya kecil-kecil!”

“Yang kecilnya segimana?”

Dan sang burung pun terbang.

Atau begini pula kalau yang mengenali jenis pohon hanya seorang,

“Itu burungnya ada di tajuk pohon akasia!”

“Akasia tuh yang mana?”

Atau,

“Itu burungnya ada di tajuk pohon yang itu!”

“Tajuk yang mana? Akasia? Puspa? Pinus?”

“Bedanya apa?”

Tapi meskipun keduanya sama-sama mengetahui jenis pohon, tetap saja bisa terjadi kesulitan-kesulitan. Misalnya seperti ini,

“Itu burungnya ada di tajuk pohon pinus!”

“Pinus yang mana? Kita kan lagi di tegakan hutan homogen!”

Dan sang burung pun terbang.

Selain ciung, jenis lain yang kami temukan adalah kepodang sungu gunung dan betet. Suara burung-burung tersebut saling bertimpalan sekali-sekali. Jika yang satu berisik, yang lain juga. Begitupun jika yang satu berhenti, yang lain juga.

Setelah tidak lagi menemukan burung yang dapat diamati, kami melanjutkan perjalanan. Yang berjalan sambil bersuara cukup keras ditegur karena khawatir dapat mengusik kehadiran burung. Rintik hujan menyapa sebentar saat kami menyusuri tanjakan setapak berkelok-kelok yang bersisian dengan jurang yang makin lama makin dalam.

Kabut mulai turun dan saya menyadari ternyata baju lapangan KSDH yang bolong di bagian punggung ini memiliki fungsi lain, selain sebagai AC—kalau udara panas—dan kantong sampah, yaitu untuk menyimpan buku catatan, hape, dan pulpen supaya tidak kehujanan.

Jika sewaktu berjalan terdengar atau terlihat ada burung, maka rombongan akan berhenti. Jika ternyata tidak ada apa-apa, perjalanan akan berlanjut lagi.

Sampailah kami di puncak suatu bukit yang didominasi oleh rumput kolonjono yang menimbulkan pertanyaan apakah tumbuhan tersebut sengaja ditanam warga? Sekali-sekali kami memang berpapasan dengan warga yang memanggul tumpukan rumput di punggungnya.

Di tengah dera kabut, dingin, dan titik demi titik rintik hujan, kami berhenti lagi untuk melakukan pengamatan. Terlihat seekor betet melesat cepat. “Wet! Wet! Wet! Wet!”

“Dia buru-buru supaya nggak kebasahan. Nggak bawa mantel soalnya,” seseorang nyeletuk.

Tidak mendapatkan hasil, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Seseorang mengeluarkan roti sobek yang segera raib di tangan teman-temannya.

Setelah beristirahat sebentar, kami naik lagi dan bertemu seorang bapak yang memikul tumpukan rumput di kepalanya. Setelah beberapa lama berjalan, terlihat lagi betet sekilas yang mengeluarkan suara seperti bebek. Tupai-tupai juga terlihat berkeliaran di salah satu tajuk, begitu kesaksian Adhit.

Di pinggir sebuah jurang kami berhenti lagi, menyaksikan kabut mencelup perbukitan di kejauhan. Kesempatan ini dimanfaatkan Adhit, yang juga co ass praktikum Dendrologi (ilmu pengenalan morfologi pohon), untuk pengenalan pohon-pohon yang ada di sekitar kami, seperti, apa perbedaan antara puspa dan rasamala yang sama-sama vegetasi gunung. Dan ini hanya menarik bagi angkatan 2009 yang memang baru mengambil mata kuliah tersebut.

Pemberhentian ini kami manfaatkan pula untuk makan-makan lagi. Maka, di tepi jurang kami jongkok makan kacang sambil memandangi kabut yang menebal.

“Ini cuman jalan-jalan kok, untuk pengenalan aja buat anggota baru. Jadi setiap dengar atau lihat ada burung ya berhenti. Kalau di pengamatan sesungguhnya, pengamatan dilakukan di plot-plot yang jaraknya masing-masing bisa 100 sampai 200 meter,” kata Nurdin, anggota KP3 Burung angkatan 2007 yang merupakan salah satu inisiator acara ini.

Rintik hujan sudah tidak mood-mood-an lagi. Kini ia konsisten menghunjami bumi. Mungkin karena cuaca hingga dalam perjalanan berikutnya kami tidak lagi menemukan burung untuk diamati. Pun tak terasa waktu sudah beranjak siang, sudah waktunya untuk pulang. Kami terus berjalan, naik turun jalan setapak yang membelah bukit lantas bersisian dengan jurang, hingga ke luar dari kawasan hutan dan kembali menapaki jalan berbatu. Berharap menemukan warung mi ramen di bawah sana. Pakaian kami sudah hampir basah semua.

Lepas dari jalanan berbatu, kami mampir di sebuah warung di pinggir jalan. Semua persediaan makanan dikeluarkan. Ada pula yang membeli kuaci bunga matahari. Semua kami habiskan bersama-sama tanpa peduli itu punya siapa.

Seorang angkatan 2009 menyadari jari kakinya berdarah. Ia korban pacet rupanya namun ia tidak sendiri. Randy, anggota KSSL, malahan mendapatkan sejumput mungil pacet masih menetap di kakinya. Ia segera mengenyahkannya dengan tembakau dari puntung rokok.

Seorang penjaja baso tusuk mendekat, tahu bahwa kami menginginkan dagangannya untuk menghangatkan diri. Siang itu ia menjemput rezekinya lewat kami.

Sepasang manusia berlainan jenis menghilang di tengah rinai hujan di jalanan seberang. “Wisata minat khusus,” gumam seseorang.

Hujan masih rintik. Kami berfoto bersama. Baru setelah itu Adhit dan Nurdin pamit duluan menjemput motor mereka yang dititipkan di tempat Mbah Adi. Selepas kepergian mereka, kami turun ke bawah hendak menjemput motor kami juga di tempat Pak Darto. Lantas turun kembali ke kota untuk mengurus urusan kami masing-masing. Disertai dingin yang mengantar sampai ke macetnya Jalan Kaliurang.

Acara jalan-jalan ini memang sudah usai, namun ini bukanlah pengamatan burung yang terakhir. Dibutuhkan jam terbang yang tinggi agar bisa menjadi seorang pengamat burung yang handal. Yang bermata jeli dan bertelinga tajam, sehingga dengan cepat mampu menemukan burung hinggap di mana. Yang dapat mengidentifikasi jenis burung tanpa harus sering-sering membolak-balik halaman-halaman Mac Kinnon. Yang memahami pentingnya peranan burung sebagai indikator kualitas lingkungan hidup.

Acara pengamatan burung berikutnya menanti kami. Di kawasan yang sama, di tahun yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...