Daffa menghentikan laju sepeda. Pintu itu terbuka. Tajuk
pohon yang menaungi teras melambai-lambai. Angin menderu. Desir pelan dalam
dadanya. Hatinya bertanya-tanya siapa yang ada di dalam sana.
Dulu. Sebelum ia bercokol di mess pelatihan atlet. Sebelum
kehidupan akademisnya pindah ke Jatinangor. Sebelum kesibukan kian menderanya.
Sejak rumah itu dibangun. Sejak keluarganya bertegur sapa dengan keluarga itu
dalam suatu kenangan petang. Sejak kedua ibu bersahabat. Sejak mereka
mempertemukan anak mereka satu sama lain. Sejak ibunya kerap membawanya serta
kala bermain ke rumah itu. Sejak ia mengenal gadis itu. Sejak ibu mereka selalu
memasukkan mereka ke sekolah yang sama. Sejak ia berani datang ke rumah itu
sendirian maupun bersama teman-temannya. Selalu, setiap pintu itu terbuka,
adalah isyarat yang mengizinkannya untuk bertandang.
Ia memarkir sepeda di samping pintu pagar yang mengarahkannya
ke jalan setapak yang langsung membawanya menuju pintu itu. Ia berjengit. Pintu
pagar itu berderit saat didorong. Ia akan menawarkan diri untuk memberinya pelumas
nanti kalau ingat.
Bagai tercelup dalam ribuan kenangan beresensi sama, Daffa
menapaki jalan itu dan mencopot sandalnya sebelum melangkah di atas lantai
keramik yang dingin. Di ambang pintu, kepalanya melongok ke dalam, membiarkan
bahunya tertahan kusen. Wajah itu menoleh kepadanya. Wajah yang sama sekali tak
diduganya. Yang akhir-akhir ini semakin jarang saja dilihatnya.
“Huff, bikin kaget aja.” Gadis itu membelakanginya lagi
dengan meninggalkan pendar-pendar kekesalan. Tanpa kehilangan keanggunannya
sama sekali.
Celemek membalut tubuh ramping gadis itu. Sepasang tangannya
entah sibuk membuat apa, Daffa tak dapat melihatnya. Ia penasaran gadis itu
hendak membuat apa. Kudapan buatannya selalu enak diicip.
Di belakang gadis itu adalah sebuah meja besar dengan
beberapa kursi mengitarinya. Daffa menarik salah satu kursi yang letaknya
terdekat dengan pintu untuk didudukinya. Kenyamanan seketika merengkuh.
Daffa mengamat-amati dapur tersebut. Tidak banyak yang
berubah. Interior klasik. Aroma yang menguar ke udara. Pintu-pintu yang
mengizinkannya mengintip ke lain ruangan. Hanya ada satu hal yang tidak
biasanya.
“Rumah sepi? Dre? Pada ke mana?”
Gadis itu menoleh sekilas. “Iya. Ayah lagi ke Osaka. Alfian outbond. Bunda sama si Mbok ikut.”
Kembali tak mengacuhkannya.
Daffa mengambangkan huruf O ke udara. “Kapan balik?”
“Sore mungkin.”
“Emang kamu kapan balik kuliah, Dre? Emang belum selesai
liburnya?”
“Lusa udah masuk sih.”
“Balik pake apa?”
“Pake mobil sendirilah...”
“Loh, siapa yang nganter?”
“Nyetir sendiri.”
“Nyetir? Sendiri? Dari Bandung ampe Salemba?” Kalau orang
lain yang bicara—ibunya Dre atau ibunya misalnya—entah mengapa ia percaya, tapi
kalau orangnya sendiri yang bilang entah mengapa ia tak mau percaya. Naik
sepeda saja gadis itu harus diajarinya berpuluh-puluh kali baru bisa!
Tapi rasanya tidak enak kalau hendak mengajak gadis itu
berkonfrontasi. Mereka sudah bukan anak kecil seperti dulu lagi. Yang bisa
bertengkar kapan pun di mana pun namun keesokan harinya dapat bermain bersama
lagi tanpa perlu bersusah payah mengucapkan “maaf”, seolah pertengkaran itu tak
pernah ada.
Lagipula kalau tidak ada orang lain yang menyaksikan mereka
bertengkar rasanya tidak seru. Daffa lebih suka meledek Dre meskipun sedang ada
ibunya (yang akan langsung menegurnya) atau ibunya Dre (yang malah akan semakin
menggarami) atau ayahnya Dre sekaligus. Siapapunlah.
“Hati-hati entar di jalan.” Hanya kata-kata itu akhirnya yang
menurutnya pantas untuk diucapkan.
Sepinya rumah itu tampaknya sudah meresapi kepalanya. Daffa
jadi kehilangan kata-kata. Sesuatu yang jarang.
“Tante Leida juga sekarang katanya udah jarang ke sini.”
“Iya. Lagi ada proyek ceunah.
Kemarin juga saya disuruh main ke Rumah Singgah kalau sempat, tapi da belum mungkin.” Dre selalu
menyembunyikan pertanyaan di balik pernyataan. Dan akan membuat gadis itu sebal
kalau Daffa tak mampu menangkapnya.
“Oh. Lagi sibuk apa?”
“Siapa?”
“Tante.”
“Itu... Ada mahasiswa yang ngadain program apa gitu buat anak
jalanan...”
Terdengar bunyi ketokan-ketokan di meja. Daffa jadi penasaran
lagi apa yang sedang dibuat gadis itu. Biarlah menjadi kejutan. Toh ia pasti
akan diberi juga nanti kalau sudah jadi. Daffa memalingkan kepalanya lagi ke
arah lukisan pemandangan di hadapannya. Yang sepertinya sudah berjuta-juta kali
dilihatnya sejak lukisan itu dipasang.
“Karina? Om?”
“Si Nana lagi sibuk latihan juga buat PON. Si Papah mah, nggak tau…”
“Kemarin katanya ke sini.”
“Ngapain?”
“Nggak tahu.”
Dalam hati Daffa menyelinap kegusaran. Mengingat ayahnya
membuatnya teringat akan kemarjinalan dirinya. Ayahnya yang bekerja serabutan.
Rumah mungil yang dihuni keluarganya, yang nyempil dalam gang yang sebetulnya
bukan bagian dari kompleks perumahan itu, pun bukan atas hasil jerih payah
ayahnya melainkan pemberian dari saudara. Kepala Daffa menoleh ke sana ke mari.
Berusaha mencari topik lain.
“Berarti kamu juga mestinya lagi sibuk latihan dong?”
“Iya. Tapi lagi libur dulu bentar. Eh iya, gimana kabar si
Krisna?”
“Hah? Krisna?” Gadis itu tampak sedang memindah-mindahkan
sesuatu. Tercium harum tubuhnya. “Kok nanya ke saya? Kamu kan yang temen
deketnya.”
“Ya kan, sama-sama di Kedokteran, kali aja ngerti...”
Sepertinya gadis itu mulai sadar kalau ia tidak punya topik.
“Dia di mana, saya di mana...”
“Hehe, iya.”
Krisna sekarang meneruskan pendidikannya di Semarang. Sudah
tidak patut disebut Fantastic Four komplek
lagi mereka. Yang lainnya adalah duo bersaudara Bondan dan Robi yang
selanjutnya gadis itu ingat untuk menanyakan.
“...biasanya kamu sama-sama mereka.”
“Iya, lagi pada sibuk ngurusin acara di kampus semua. Nggak
tahu nih, sepi amat nih kompleks mentang-mentang siang gini.”
Bondan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta bergengsi
di Bandung sedangkan Robi, adiknya, sebenarnya sama-sama kuliah di
Jatinangor—seperti Daffa—tapi mereka berdua jarang bertemu dikarenakan
kesibukan masing-masing.
“Si Robi, masih aja eksis dari dulu.”
“Heueuh.”
“Lagian lapangannya juga udah digusur ya...” Daffa merasa ada
senyum dalam suara gadis itu. “Kasian anak-anak sekarang udah nggak punya
tempat bermain lagi.”
Daffa mengenang zaman di mana hampir setiap petang ia
habiskan untuk bermain di lapangan itu bersama anak-anak satu komplek. Dre
kadang melintas di jalan samping lapangan dengan sepeda pinknya. Dengan seorang
anak berlari-lari mengekor di belakangnya. Mereka kadang mengajak gadis itu
turun ke lapangan untuk bermain bersama. Gadis itu biasanya hanya melengos lalu
pergi. Malah anak yang mengekor di belakangnya itu yang akhirnya masuk ke dalam
permainan. Anak itu juga yang biasa menemani mereka berdua mengerjakan PR bersama
di ruangan ini. Anak itu, sepupu Dre
yang tinggal di sebelah rumah, kini sudah tiada. Sejak dibawa ayah kandungnya
ke suatu negara entah di mana, anak itu tak pernah ada lagi kabarnya.
Menimbulkan kegusaran dalam satu keluarga besar. Anak itu sekarang mestinya
sudah menginjak bangku SMA.
Keheningan menyentakkannya. Tidak ada suara lain selain
dentingan perabotan dapur yang digunakan Dre untuk mengolah bahan-bahannya.
Selama lebih kurang lima belas tahun mereka saling mengenal, untuk pertama
kalinya Daffa menyadari bahwa hanya ada ia dan Dre. Dalam suatu tempat luas
yang sepi.
Tidak ada ibunya yang sering main ke tempat ini, mengunjungi
ibunya Dre yang senang bereksperimen dengan masakan. Tidak ada ayahnya Dre yang
sesekali mampir sebentar untuk meracik kopi. Tidak ada Alfian, adik Dre, yang
berseliweran menerbangkan mainannya hingga ke seluruh penjuru rumah. Tidak ada
si Mbok yang sedang menyiapkan nasi untuk jam makan berikutnya. Tidak ada Robi,
Krisna, bahkan Bondan sekali pun yang kadang ikut masuk ke dalam bersamanya
saat melihat pintu rumah ini terbuka. Sudah hampir enam tahun pula Azka, nama
sepupu Dre itu, tak pernah lagi menyelinap di antara mereka berdua.
“Kalau kamu kapan balik kuliah lagi?” tanya gadis itu lagi.
“Cuti dulu...”
“Kalau cuti terus kapan lulusnya?” potong gadis itu. Sedari
dulu Dre memang kurang senang kalau Daffa harus meninggalkan kegiatan
akademisnya demi latihan, kejuaraan, atau apa. Dari SD sampai SMA, mereka
sering belajar bersama. Dre seolah sudah jadi mentornya saja, memantau
perkembangan akademisnya. Kalau nilai Daffa jeblok—dan seringnya begitu—gadis
itu akan marah-marah. Gadis itu memang perfeksionis.
Justru kalau bukan karena prestasi atletnya, Daffa tidak akan
bisa masuk ke SMA favorit yang sama dengan gadis itu. Namun Dre tidak mau
peduli. Ia hanya ingin Daffa mendapatkan yang terbaik. Dre marah-marah kalau
Daffa mengabaikan—menurut istilah Dre—sekolah setiap kali hendak bertanding.
Tapi ia juga marah-marah kalau Daffa tidak kembali dengan menggenggam medali
emas.
Padahal ibunya saja tidak seperhatian itu padanya. Ibunya
mengizinkannya menjadi atlet tapi juga menekankan pentingnya pendidikan formal.
“Kalau kamu mau terus jadi atlet, kamu harus cari istri kaya raya yang bisa
menyokong kehidupan kamu kalau sudah tidak jadi atlet lagi. Kalau tidak begitu,
maka kamu harus terus sekolah. Kita kan tidak akan pernah tahu masa depan
jadinya akan seperti apa,” begitu yang sering dititahkan ibunya kepadanya dalam
bahasa Sunda.
“Ah, masih bisa tujuh tahun ini...” Sejak dulu Daffa memang
tidak begitu merisaukan akademisnya. Sudah ada Dre yang melakukan untuknya. Dan
sudah dua tahun ini pula Daffa tidak merasakan kerisauan Dre karena mereka
sudah tidak satu sekolah lagi. Waktu masih SMA, meski Dre di IPA dan Daffa di
IPS, apa yang mereka pelajari masih sedikit nyambung. Namun kini Dre di
Kedokteran sedangkan Daffa di Antropologi. Tidak ada nyambungnya sama sekali.
Daffa sudah tidak mungkin berguru lagi pada gadis itu. Selain karena tempat
mereka kuliah juga beda kawasan.
“Iya, kalau bisa tujuh tahun... ” Selain pesimis pada masa
depan atlet, gadis itu juga sepertinya pesimis pada masa depan lulusan
Antropologi. Apalagi kalau lulusannya seperti Daffa, yang pasti tidak punya
gambaran juga setelah lulus mau kerja jadi apa. “Masak mau jadi atlet terus?”
“Kalo nggak, gua ntar nyari istri yang dokter aja, biar ada
yang ngurusin...” Daffa mendengus. Teringat pesan ibunya untuk mencari istri
mapan.
“Hah, sok aja.
Emang ada yang mau sama lu?”
Daffa mengangkat sebelah kakinya dan menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Tidak ada bayangan sama sekali. “Kamu emangnya
nggak mau?”
Gadis itu tidak menjawab. Ia sepertinya sedang sibuk
mengaduk-aduk sesuatu. Melihat punggung yang bergerak-gerak itu, mendadak hati
Daffa menjadi tidak tentram. Ia memalingkan kepalanya lagi.
“Daffa,” tiba-tiba gadis itu berucap lagi. “Besok saya ke
Brno.”
“Di mana tuh?”
“Ceko.”
“Loh, katanya lusa udah mau kuliah?”
“Tuh kan, gitu kalau otaknya nggak pernah dipake. Kuliah tuh
yang bener!”
“Iya, iya...” Daffa geli. Gadis itu memang susah diajak
bercanda. “Ngapain?”
“Exchange gitulah. Doain yah…”
“Oh. Berapa lama? Titip kastil yah, kalo gitu.”
“Kastil?” Gadis itu memasukkan sesuatu ke dalam oven.
“Lu mau nrusin kuliah ke luar negeri juga, Dre?”
“Aamiin...! Doain ya, Daf.”
“Nggak buka praktik aja entar di Jakarta atau di Bandung
gitu?” Kecemasan mulai merambati hati Daffa. Terbayang kemungkinan akan ribuan
hari ke depan tanpa melihat Dre. Sejak Dre tidak di Bandung lagi memang Daffa
sudah hampir terbiasa untuk tidak mendapati gadis itu ada di rumah ini. Namun
ia tahu, kalau libur barang sehari dua hari—bahkan lebih—gadis itu pasti
kembali dan ia akan melihatnya lagi. Tapi kalau sampai kuliah keluar negeri? Ia
tidak tega rasanya membiarkan Dre hidup seorang diri di negeri orang.
“Cita-cita saya kan bukan untuk jadi dokter yang seperti itu,
Daf. Saya kan ingin jadi dokter peneliti.”
“Kirain dokter kerjanya cuman ngobatin orang doang.”
“Ya ngobatin juga, cuman nggak di tataran praktis.”
“Nggak ngerti ah. Trus lu mau berapa lama di luar negeri?”
Dre tidak mengacuhkannya. Ia yang mulai membilasi
perabotannya bersenandung pelan. Semua perabotan yang masih basah itu ia tata
rapi di samping bak cuci. Ia mengelap kedua belah tangannya dengan lap kering
sebelum duduk berseberangan dengan Daffa. Tidak berapa lama gadis itu seperti
baru menyadari betapa sepinya dunia karena hanya ada mereka berdua.
Tidak ada sedikit pun suara keluar dari mulut mereka. Mereka
saling mengalihkan pandang ketika menyadari bahwa selama beberapa menit tadi
mereka saling menatap wajah satu sama lainnya.
“Maaf...” ujar Daffa pelan sembari heran mengapa kata itu
harus ia lontarkan dari mulutnya. Gadis itu terbatuk lirih.
“Tunggu dulu sampai kuenya jadi, baru balik ke rumah. Bentar
lagi paling.” Dre seolah dapat membaca pikirannya. Gadis itu hendak beranjak
dari tempat duduknya namun pertanyaan Daffa menahannya.
“Kamu mau nerusin sekolah ke luar negeri?”
“Ya.”
“Sampai kapan?”
Daffa ingin terus bertanya. Selagi tidak ada orang lain yang
akan ikut memberi komentar-komentar tidak perlu. Selagi ada kesempatan untuk
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang jauh terpendam di lubuk hati. Selagi
hanya ada mereka berdua.
Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia mendengus.
“Setinggi-tingginyalah.”
“Kenapa nggak di Indonesia aja?”
“Nggaklah. Kalau bisa cari yang terbaik kenapa nggak?”
“Terus kalau sekolahnya udahan, ngapain?”
“Pulang. Mengembangkan riset kedokteran di Indonesia,
terutama di bidang dermatologi. Kalo kamu?” Dre balik bertanya.
“Menjalani apa yang ada?”
Dre terpana. “Kamu nggak kepikiran masa depan yang lebih baik
lagi?”
Dari nadanya Daffa sudah bisa menduga bahwa Dre hendak
mengkhotbahinya. Seperti biasa.
“Sebenarnya iya.”
Ketika hasrat yang pendiam ini menemukan saat yang tepat
untuk bicara. Tak ada seorang pun yang boleh tahu, selain dia, yang suatu
saat—cepat atau lambat—harus mengetahuinya juga.
“Makanya itu harus kita pikirin bersama.”
Dre tertegun. Namun Daffa tak merasa telah salah ucap.
“Daffa, aku cuman pingin kamu jadi pria yang bisa menjalani
karier kamu—apapun itu nanti—dengan baik tanpa harus mengesampingkan keluarga
kamu, istri dan anak-anak kamu nanti.”
“Kamu ingin yang seperti itu?” Daffa berharap ia dapat
mewujudkan itu.
Hanya
ada kita berdua. Tidak ada yang perlu disembunyikan, Dre.
Daffa menanti jawaban Dre lebih dari sekedar bahasa mata,
tapi hal itu tak kunjung terjadi. Ia merasa kursinya tenggelam, lantai yang
dipijakinya mencair dan berubah menjadi kolam. Air bening. Namun wajah Dre yang
mengamatinya dari atas sana tak teraih. Kalimat itu menggantung sampai di situ
saja. Ketegangan Daffa terputus. Oven berbunyi. Dre bangkit untuk mengeluarkan
benda di dalamnya.
Daffa bergeming di atas kursinya. Ia menyesali mengapa Dre
tidak mendapatkan masalah dengan penganan-baru-jadi-nya itu, sehingga ia
berkesempatan untuk memberikan bantuan atau apa.
Sebuah piring mungil berisi beberapa potong bolu tersaji di
hadapannya. Bolu ketan hitam kesukaannya. Ia ingin bertanya apakah gadis itu
sedang memikirkannya saat memutuskan untuk membuat makanan tersebut. Sebuah
pertanyaan yang pasti tidak akan dijawab.
“Dre...”
“Ya?”
“Saya harap kita bisa kayak gini lagi.”
Gadis itu diam saja. Seperti menunggunya menyelesaikan
ucapannya. Tapi tidak. Kalimat itu sengaja ia gantung.
“Seperti apa?”
Seperti
saat ini, di mana hanya ada saya dan kamu, Daffa tidak berani bersuara, tanpa kecanggungan apa pun. Di mana kamu
menyiapkan teh hangat untuk saya, seperti yang ibumu lakukan untuk ayahmu, di
pagi dan sore hari.
Gamang.
“Masa depan itu nggak pasti, Daffa.”
Secangkir teh kini tersaji di hadapannya. Dan sekotak bolu
potong yang masih mengepul. Siap ditutup lalu dibawa pulang. Di kursi seberang,
Dre tengah menghirup tehnya sambil menengok ke jendela. “Udah jam segini belum
pada pulang...” desahnya.
“Ya. Moga-moga aja nggak keburu ujan.” Daffa ikut-ikutan
melihat keluar jendela. Perlahan ia habiskan tehnya.
“Bolunya jangan lupa dibawa,” kata Dre begitu Daffa menaruh
cangkir di tatakannya. Daffa berdiri sambil menutup kotak bolunya lalu
memasukkannya ke dalam tas kecil yang sudah terlipat rapi di samping kotak itu.
Kalau tidak sempat mengembalikan benda itu sendiri, ia akan menitipkannya pada
ibunya atau Karina, adiknya.
“Makasih, Dre.” Daffa berjalan ke luar. “Balik dulu ya.”
Merasakan Dre mengekor di belakangnya, Daffa jadi ingin
berbalik lantas memeluk gadis itu erat-erat. Melampiaskan segala rasanya yang
terpendam lama. Berprasangka takkan ada penolakan apapun. Mereka berdua
menginginkannya.
Tapi tidak. Gadis itu tidak pernah mau disentuh.
Pintu pagar berderit ketika ia dorong. Pegangan tas kecil itu
ia gantungkan di setang sepeda.
“Daffa.”
Daffa menoleh.
“Jangan datang ke sini lagi sendirian.”
Rasa bersalah perlahan merambat.
“Kalau di rumah cuman ada saya.”
Lain kali kalau pintu itu terbuka dan ia tahu hanya ada Dre
yang di rumah, ia hanya akan datang untuk berbasa-basi lantas pulang. Ia juga
akan menghapus pikiran macam-macam tentang gadis itu. Termasuk masa depan yang
seharusnya jadi milik mereka bersama. Seperti yang gadis itu bilang, masa depan
itu tidak pasti.
Yang pasti adalah, bahwa apa yang ia dan gadis itu rasakan
adalah sama.
Mungkin nanti akan datang saat yang lebih tepat untuk
menyatakan segalanya. Mungkin saat gadis itu sudah kembali dari luar negeri.
Atau mungkin saat ia sudah berhasil memperebutkan kaos dengan warna-wana
prestisius dalam dunia balap sepeda. Kini hingga saat itu tiba adalah waktu
untuk mempersiapkan saat yang tepat itu. Kalau tidak bersabar, ia tidak akan
mendapatkan apa-apa. Sekarang pun ia merasa belum punya apa-apa.
Daffa merasa hatinya membawa ia dan sepedanya ikut melayang
ke angkasa.
220210.
akhirnya tertulis juga cerita tentang mereka.