Senin, 22 Februari 2010

Ketika Hanya Ada Saya dan Kamu

Daffa menghentikan laju sepeda. Pintu itu terbuka. Tajuk pohon yang menaungi teras melambai-lambai. Angin menderu. Desir pelan dalam dadanya. Hatinya bertanya-tanya siapa yang ada di dalam sana.

Dulu. Sebelum ia bercokol di mess pelatihan atlet. Sebelum kehidupan akademisnya pindah ke Jatinangor. Sebelum kesibukan kian menderanya. Sejak rumah itu dibangun. Sejak keluarganya bertegur sapa dengan keluarga itu dalam suatu kenangan petang. Sejak kedua ibu bersahabat. Sejak mereka mempertemukan anak mereka satu sama lain. Sejak ibunya kerap membawanya serta kala bermain ke rumah itu. Sejak ia mengenal gadis itu. Sejak ibu mereka selalu memasukkan mereka ke sekolah yang sama. Sejak ia berani datang ke rumah itu sendirian maupun bersama teman-temannya. Selalu, setiap pintu itu terbuka, adalah isyarat yang mengizinkannya untuk bertandang.

Ia memarkir sepeda di samping pintu pagar yang mengarahkannya ke jalan setapak yang langsung membawanya menuju pintu itu. Ia berjengit. Pintu pagar itu berderit saat didorong. Ia akan menawarkan diri untuk memberinya pelumas nanti kalau ingat.

Bagai tercelup dalam ribuan kenangan beresensi sama, Daffa menapaki jalan itu dan mencopot sandalnya sebelum melangkah di atas lantai keramik yang dingin. Di ambang pintu, kepalanya melongok ke dalam, membiarkan bahunya tertahan kusen. Wajah itu menoleh kepadanya. Wajah yang sama sekali tak diduganya. Yang akhir-akhir ini semakin jarang saja dilihatnya.

“Huff, bikin kaget aja.” Gadis itu membelakanginya lagi dengan meninggalkan pendar-pendar kekesalan. Tanpa kehilangan keanggunannya sama sekali.

Celemek membalut tubuh ramping gadis itu. Sepasang tangannya entah sibuk membuat apa, Daffa tak dapat melihatnya. Ia penasaran gadis itu hendak membuat apa. Kudapan buatannya selalu enak diicip.

Di belakang gadis itu adalah sebuah meja besar dengan beberapa kursi mengitarinya. Daffa menarik salah satu kursi yang letaknya terdekat dengan pintu untuk didudukinya. Kenyamanan seketika merengkuh.

Daffa mengamat-amati dapur tersebut. Tidak banyak yang berubah. Interior klasik. Aroma yang menguar ke udara. Pintu-pintu yang mengizinkannya mengintip ke lain ruangan. Hanya ada satu hal yang tidak biasanya.

“Rumah sepi? Dre? Pada ke mana?”

Gadis itu menoleh sekilas. “Iya. Ayah lagi ke Osaka. Alfian outbond. Bunda sama si Mbok ikut.” Kembali tak mengacuhkannya.

Daffa mengambangkan huruf O ke udara. “Kapan balik?”

“Sore mungkin.”

“Emang kamu kapan balik kuliah, Dre? Emang belum selesai liburnya?”

“Lusa udah masuk sih.”

“Balik pake apa?”

“Pake mobil sendirilah...”

“Loh, siapa yang nganter?”

“Nyetir sendiri.”

“Nyetir? Sendiri? Dari Bandung ampe Salemba?” Kalau orang lain yang bicara—ibunya Dre atau ibunya misalnya—entah mengapa ia percaya, tapi kalau orangnya sendiri yang bilang entah mengapa ia tak mau percaya. Naik sepeda saja gadis itu harus diajarinya berpuluh-puluh kali baru bisa!

Tapi rasanya tidak enak kalau hendak mengajak gadis itu berkonfrontasi. Mereka sudah bukan anak kecil seperti dulu lagi. Yang bisa bertengkar kapan pun di mana pun namun keesokan harinya dapat bermain bersama lagi tanpa perlu bersusah payah mengucapkan “maaf”, seolah pertengkaran itu tak pernah ada.

Lagipula kalau tidak ada orang lain yang menyaksikan mereka bertengkar rasanya tidak seru. Daffa lebih suka meledek Dre meskipun sedang ada ibunya (yang akan langsung menegurnya) atau ibunya Dre (yang malah akan semakin menggarami) atau ayahnya Dre sekaligus. Siapapunlah.

“Hati-hati entar di jalan.” Hanya kata-kata itu akhirnya yang menurutnya pantas untuk diucapkan.

Sepinya rumah itu tampaknya sudah meresapi kepalanya. Daffa jadi kehilangan kata-kata. Sesuatu yang jarang.

“Tante Leida juga sekarang katanya udah jarang ke sini.”

“Iya. Lagi ada proyek ceunah. Kemarin juga saya disuruh main ke Rumah Singgah kalau sempat, tapi da belum mungkin.” Dre selalu menyembunyikan pertanyaan di balik pernyataan. Dan akan membuat gadis itu sebal kalau Daffa tak mampu menangkapnya.

“Oh. Lagi sibuk apa?”

“Siapa?”

“Tante.”

“Itu... Ada mahasiswa yang ngadain program apa gitu buat anak jalanan...”

Terdengar bunyi ketokan-ketokan di meja. Daffa jadi penasaran lagi apa yang sedang dibuat gadis itu. Biarlah menjadi kejutan. Toh ia pasti akan diberi juga nanti kalau sudah jadi. Daffa memalingkan kepalanya lagi ke arah lukisan pemandangan di hadapannya. Yang sepertinya sudah berjuta-juta kali dilihatnya sejak lukisan itu dipasang.

“Karina? Om?”

“Si Nana lagi sibuk latihan juga buat PON. Si Papah mah, nggak tau…”

“Kemarin katanya ke sini.”

“Ngapain?”

“Nggak tahu.”

Dalam hati Daffa menyelinap kegusaran. Mengingat ayahnya membuatnya teringat akan kemarjinalan dirinya. Ayahnya yang bekerja serabutan. Rumah mungil yang dihuni keluarganya, yang nyempil dalam gang yang sebetulnya bukan bagian dari kompleks perumahan itu, pun bukan atas hasil jerih payah ayahnya melainkan pemberian dari saudara. Kepala Daffa menoleh ke sana ke mari. Berusaha mencari topik lain.

“Berarti kamu juga mestinya lagi sibuk latihan dong?”

“Iya. Tapi lagi libur dulu bentar. Eh iya, gimana kabar si Krisna?”

“Hah? Krisna?” Gadis itu tampak sedang memindah-mindahkan sesuatu. Tercium harum tubuhnya. “Kok nanya ke saya? Kamu kan yang temen deketnya.”

“Ya kan, sama-sama di Kedokteran, kali aja ngerti...” Sepertinya gadis itu mulai sadar kalau ia tidak punya topik.

“Dia di mana, saya di mana...”

“Hehe, iya.”

Krisna sekarang meneruskan pendidikannya di Semarang. Sudah tidak patut disebut Fantastic Four komplek lagi mereka. Yang lainnya adalah duo bersaudara Bondan dan Robi yang selanjutnya gadis itu ingat untuk menanyakan.

“...biasanya kamu sama-sama mereka.”

“Iya, lagi pada sibuk ngurusin acara di kampus semua. Nggak tahu nih, sepi amat nih kompleks mentang-mentang siang gini.”

Bondan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta bergengsi di Bandung sedangkan Robi, adiknya, sebenarnya sama-sama kuliah di Jatinangor—seperti Daffa—tapi mereka berdua jarang bertemu dikarenakan kesibukan masing-masing.

“Si Robi, masih aja eksis dari dulu.”

Heueuh.”

“Lagian lapangannya juga udah digusur ya...” Daffa merasa ada senyum dalam suara gadis itu. “Kasian anak-anak sekarang udah nggak punya tempat bermain lagi.”

Daffa mengenang zaman di mana hampir setiap petang ia habiskan untuk bermain di lapangan itu bersama anak-anak satu komplek. Dre kadang melintas di jalan samping lapangan dengan sepeda pinknya. Dengan seorang anak berlari-lari mengekor di belakangnya. Mereka kadang mengajak gadis itu turun ke lapangan untuk bermain bersama. Gadis itu biasanya hanya melengos lalu pergi. Malah anak yang mengekor di belakangnya itu yang akhirnya masuk ke dalam permainan. Anak itu juga yang biasa menemani mereka berdua mengerjakan PR bersama di ruangan ini. Anak itu, sepupu  Dre yang tinggal di sebelah rumah, kini sudah tiada. Sejak dibawa ayah kandungnya ke suatu negara entah di mana, anak itu tak pernah ada lagi kabarnya. Menimbulkan kegusaran dalam satu keluarga besar. Anak itu sekarang mestinya sudah menginjak bangku SMA.

Keheningan menyentakkannya. Tidak ada suara lain selain dentingan perabotan dapur yang digunakan Dre untuk mengolah bahan-bahannya. Selama lebih kurang lima belas tahun mereka saling mengenal, untuk pertama kalinya Daffa menyadari bahwa hanya ada ia dan Dre. Dalam suatu tempat luas yang sepi.

Tidak ada ibunya yang sering main ke tempat ini, mengunjungi ibunya Dre yang senang bereksperimen dengan masakan. Tidak ada ayahnya Dre yang sesekali mampir sebentar untuk meracik kopi. Tidak ada Alfian, adik Dre, yang berseliweran menerbangkan mainannya hingga ke seluruh penjuru rumah. Tidak ada si Mbok yang sedang menyiapkan nasi untuk jam makan berikutnya. Tidak ada Robi, Krisna, bahkan Bondan sekali pun yang kadang ikut masuk ke dalam bersamanya saat melihat pintu rumah ini terbuka. Sudah hampir enam tahun pula Azka, nama sepupu Dre itu, tak pernah lagi menyelinap di antara mereka berdua.

“Kalau kamu kapan balik kuliah lagi?” tanya gadis itu lagi.

“Cuti dulu...”

“Kalau cuti terus kapan lulusnya?” potong gadis itu. Sedari dulu Dre memang kurang senang kalau Daffa harus meninggalkan kegiatan akademisnya demi latihan, kejuaraan, atau apa. Dari SD sampai SMA, mereka sering belajar bersama. Dre seolah sudah jadi mentornya saja, memantau perkembangan akademisnya. Kalau nilai Daffa jeblok—dan seringnya begitu—gadis itu akan marah-marah. Gadis itu memang perfeksionis.

Justru kalau bukan karena prestasi atletnya, Daffa tidak akan bisa masuk ke SMA favorit yang sama dengan gadis itu. Namun Dre tidak mau peduli. Ia hanya ingin Daffa mendapatkan yang terbaik. Dre marah-marah kalau Daffa mengabaikan—menurut istilah Dre—sekolah setiap kali hendak bertanding. Tapi ia juga marah-marah kalau Daffa tidak kembali dengan menggenggam medali emas.

Padahal ibunya saja tidak seperhatian itu padanya. Ibunya mengizinkannya menjadi atlet tapi juga menekankan pentingnya pendidikan formal. “Kalau kamu mau terus jadi atlet, kamu harus cari istri kaya raya yang bisa menyokong kehidupan kamu kalau sudah tidak jadi atlet lagi. Kalau tidak begitu, maka kamu harus terus sekolah. Kita kan tidak akan pernah tahu masa depan jadinya akan seperti apa,” begitu yang sering dititahkan ibunya kepadanya dalam bahasa Sunda.

“Ah, masih bisa tujuh tahun ini...” Sejak dulu Daffa memang tidak begitu merisaukan akademisnya. Sudah ada Dre yang melakukan untuknya. Dan sudah dua tahun ini pula Daffa tidak merasakan kerisauan Dre karena mereka sudah tidak satu sekolah lagi. Waktu masih SMA, meski Dre di IPA dan Daffa di IPS, apa yang mereka pelajari masih sedikit nyambung. Namun kini Dre di Kedokteran sedangkan Daffa di Antropologi. Tidak ada nyambungnya sama sekali. Daffa sudah tidak mungkin berguru lagi pada gadis itu. Selain karena tempat mereka kuliah juga beda kawasan. 

“Iya, kalau bisa tujuh tahun... ” Selain pesimis pada masa depan atlet, gadis itu juga sepertinya pesimis pada masa depan lulusan Antropologi. Apalagi kalau lulusannya seperti Daffa, yang pasti tidak punya gambaran juga setelah lulus mau kerja jadi apa. “Masak mau jadi atlet terus?”

“Kalo nggak, gua ntar nyari istri yang dokter aja, biar ada yang ngurusin...” Daffa mendengus. Teringat pesan ibunya untuk mencari istri mapan.

“Hah, sok aja. Emang ada yang mau sama lu?”

Daffa mengangkat sebelah kakinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tidak ada bayangan sama sekali. “Kamu emangnya nggak mau?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia sepertinya sedang sibuk mengaduk-aduk sesuatu. Melihat punggung yang bergerak-gerak itu, mendadak hati Daffa menjadi tidak tentram. Ia memalingkan kepalanya lagi.

“Daffa,” tiba-tiba gadis itu berucap lagi. “Besok saya ke Brno.”

“Di mana tuh?”

“Ceko.”

“Loh, katanya lusa udah mau kuliah?”

“Tuh kan, gitu kalau otaknya nggak pernah dipake. Kuliah tuh yang bener!”

“Iya, iya...” Daffa geli. Gadis itu memang susah diajak bercanda. “Ngapain?”

Exchange gitulah. Doain yah…”

“Oh. Berapa lama? Titip kastil yah, kalo gitu.”

“Kastil?” Gadis itu memasukkan sesuatu ke dalam oven.

“Lu mau nrusin kuliah ke luar negeri juga, Dre?”

“Aamiin...! Doain ya, Daf.”

“Nggak buka praktik aja entar di Jakarta atau di Bandung gitu?” Kecemasan mulai merambati hati Daffa. Terbayang kemungkinan akan ribuan hari ke depan tanpa melihat Dre. Sejak Dre tidak di Bandung lagi memang Daffa sudah hampir terbiasa untuk tidak mendapati gadis itu ada di rumah ini. Namun ia tahu, kalau libur barang sehari dua hari—bahkan lebih—gadis itu pasti kembali dan ia akan melihatnya lagi. Tapi kalau sampai kuliah keluar negeri? Ia tidak tega rasanya membiarkan Dre hidup seorang diri di negeri orang.

“Cita-cita saya kan bukan untuk jadi dokter yang seperti itu, Daf. Saya kan ingin jadi dokter peneliti.”

“Kirain dokter kerjanya cuman ngobatin orang doang.”

“Ya ngobatin juga, cuman nggak di tataran praktis.”

“Nggak ngerti ah. Trus lu mau berapa lama di luar negeri?”

Dre tidak mengacuhkannya. Ia yang mulai membilasi perabotannya bersenandung pelan. Semua perabotan yang masih basah itu ia tata rapi di samping bak cuci. Ia mengelap kedua belah tangannya dengan lap kering sebelum duduk berseberangan dengan Daffa. Tidak berapa lama gadis itu seperti baru menyadari betapa sepinya dunia karena hanya ada mereka berdua.

Tidak ada sedikit pun suara keluar dari mulut mereka. Mereka saling mengalihkan pandang ketika menyadari bahwa selama beberapa menit tadi mereka saling menatap wajah satu sama lainnya.

“Maaf...” ujar Daffa pelan sembari heran mengapa kata itu harus ia lontarkan dari mulutnya. Gadis itu terbatuk lirih.

“Tunggu dulu sampai kuenya jadi, baru balik ke rumah. Bentar lagi paling.” Dre seolah dapat membaca pikirannya. Gadis itu hendak beranjak dari tempat duduknya namun pertanyaan Daffa menahannya.

“Kamu mau nerusin sekolah ke luar negeri?”

“Ya.”

“Sampai kapan?”

Daffa ingin terus bertanya. Selagi tidak ada orang lain yang akan ikut memberi komentar-komentar tidak perlu. Selagi ada kesempatan untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang jauh terpendam di lubuk hati. Selagi hanya ada mereka berdua.

Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia mendengus. “Setinggi-tingginyalah.”

“Kenapa nggak di Indonesia aja?”

“Nggaklah. Kalau bisa cari yang terbaik kenapa nggak?”

“Terus kalau sekolahnya udahan, ngapain?”

“Pulang. Mengembangkan riset kedokteran di Indonesia, terutama di bidang dermatologi. Kalo kamu?” Dre balik bertanya.

“Menjalani apa yang ada?”

Dre terpana. “Kamu nggak kepikiran masa depan yang lebih baik lagi?”

Dari nadanya Daffa sudah bisa menduga bahwa Dre hendak mengkhotbahinya. Seperti biasa.

“Sebenarnya iya.”

Ketika hasrat yang pendiam ini menemukan saat yang tepat untuk bicara. Tak ada seorang pun yang boleh tahu, selain dia, yang suatu saat—cepat atau lambat—harus mengetahuinya juga.

“Makanya itu harus kita pikirin bersama.”

Dre tertegun. Namun Daffa tak merasa telah salah ucap.

“Daffa, aku cuman pingin kamu jadi pria yang bisa menjalani karier kamu—apapun itu nanti—dengan baik tanpa harus mengesampingkan keluarga kamu, istri dan anak-anak kamu nanti.”

“Kamu ingin yang seperti itu?” Daffa berharap ia dapat mewujudkan itu.

Hanya ada kita berdua. Tidak ada yang perlu disembunyikan, Dre.

Daffa menanti jawaban Dre lebih dari sekedar bahasa mata, tapi hal itu tak kunjung terjadi. Ia merasa kursinya tenggelam, lantai yang dipijakinya mencair dan berubah menjadi kolam. Air bening. Namun wajah Dre yang mengamatinya dari atas sana tak teraih. Kalimat itu menggantung sampai di situ saja. Ketegangan Daffa terputus. Oven berbunyi. Dre bangkit untuk mengeluarkan benda di dalamnya.

Daffa bergeming di atas kursinya. Ia menyesali mengapa Dre tidak mendapatkan masalah dengan penganan-baru-jadi-nya itu, sehingga ia berkesempatan untuk memberikan bantuan atau apa.

Sebuah piring mungil berisi beberapa potong bolu tersaji di hadapannya. Bolu ketan hitam kesukaannya. Ia ingin bertanya apakah gadis itu sedang memikirkannya saat memutuskan untuk membuat makanan tersebut. Sebuah pertanyaan yang pasti tidak akan dijawab.

“Dre...”

“Ya?”

“Saya harap kita bisa kayak gini lagi.”

Gadis itu diam saja. Seperti menunggunya menyelesaikan ucapannya. Tapi tidak. Kalimat itu sengaja ia gantung.

“Seperti apa?”

Seperti saat ini, di mana hanya ada saya dan kamu, Daffa tidak berani bersuara, tanpa kecanggungan apa pun. Di mana kamu menyiapkan teh hangat untuk saya, seperti yang ibumu lakukan untuk ayahmu, di pagi dan sore hari.

Gamang.

“Masa depan itu nggak pasti, Daffa.”

Secangkir teh kini tersaji di hadapannya. Dan sekotak bolu potong yang masih mengepul. Siap ditutup lalu dibawa pulang. Di kursi seberang, Dre tengah menghirup tehnya sambil menengok ke jendela. “Udah jam segini belum pada pulang...” desahnya.

“Ya. Moga-moga aja nggak keburu ujan.” Daffa ikut-ikutan melihat keluar jendela. Perlahan ia habiskan tehnya.

“Bolunya jangan lupa dibawa,” kata Dre begitu Daffa menaruh cangkir di tatakannya. Daffa berdiri sambil menutup kotak bolunya lalu memasukkannya ke dalam tas kecil yang sudah terlipat rapi di samping kotak itu. Kalau tidak sempat mengembalikan benda itu sendiri, ia akan menitipkannya pada ibunya atau Karina, adiknya.

“Makasih, Dre.” Daffa berjalan ke luar. “Balik dulu ya.”

Merasakan Dre mengekor di belakangnya, Daffa jadi ingin berbalik lantas memeluk gadis itu erat-erat. Melampiaskan segala rasanya yang terpendam lama. Berprasangka takkan ada penolakan apapun. Mereka berdua menginginkannya.

Tapi tidak. Gadis itu tidak pernah mau disentuh.

Pintu pagar berderit ketika ia dorong. Pegangan tas kecil itu ia gantungkan di setang sepeda.

“Daffa.”

Daffa menoleh.

“Jangan datang ke sini lagi sendirian.”

Rasa bersalah perlahan merambat.

“Kalau di rumah cuman ada saya.”

Lain kali kalau pintu itu terbuka dan ia tahu hanya ada Dre yang di rumah, ia hanya akan datang untuk berbasa-basi lantas pulang. Ia juga akan menghapus pikiran macam-macam tentang gadis itu. Termasuk masa depan yang seharusnya jadi milik mereka bersama. Seperti yang gadis itu bilang, masa depan itu tidak pasti.

Yang pasti adalah, bahwa apa yang ia dan gadis itu rasakan adalah sama.

Mungkin nanti akan datang saat yang lebih tepat untuk menyatakan segalanya. Mungkin saat gadis itu sudah kembali dari luar negeri. Atau mungkin saat ia sudah berhasil memperebutkan kaos dengan warna-wana prestisius dalam dunia balap sepeda. Kini hingga saat itu tiba adalah waktu untuk mempersiapkan saat yang tepat itu. Kalau tidak bersabar, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Sekarang pun ia merasa belum punya apa-apa.

Daffa merasa hatinya membawa ia dan sepedanya ikut melayang ke angkasa.

 

220210. akhirnya tertulis juga cerita tentang mereka.

Jumat, 19 Februari 2010

Bertemu Pak Kemadiono, Pemusik Difabel di Malioboro


Kalau Anda pernah berjalan-jalan di Malioboro, khususnya di trotoar sebelah timur—tidak jauh dari selatan Mal Malioboro, dekat Hotel Mutiara—Anda mungkin ingat dengan sosok seorang pemusik buta yang memainkan angklung dan kecrekan. Bukankah menarik, seorang difabel yang dapat memainkan alat musik? Di pinggir jalan? Atraktif. Usahanya amat membuat salut. Yang normal saja bisanya hanya minta-minta.

Dalam rangka mengikuti Diklat Jurnalistik 2010 yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UGM bekerja sama dengan Tim Diklat KOMPAS Jakarta tanggal 3 – 6 Februari 2010, saya berniat untuk mengangkat profil pemusik tersebut. Maka pada tanggal 4 Februari 2010, menjelang siang buta, dengan menaiki Trans Jogja saya menuju Maliboro.

Saya mendekati pria itu, yang sedang menjalankan profesinya. Saya menaruh dua lembar ribuan di wadah yang terletak di depannya. Saya lalu jongkok di sampingnya. Di tengah riuh lalu lalang orang-orang, saya mencoba menarik perhatiannya. Saya menegurnya dengan suara agak dikeraskan. Bapak tersebut akhirnya sadar dengan keberadaan saya. Saya ungkapkan maksud saya. Dia mendekatkan kepalanya. Menariknya lagi. Dari sakunya, dia keluarkan semacam earphone. Dia tempelkan di telinganya. Lalu kepalanya mendekat ke arah saya lagi.

Sepanjang percakapan kami yang amat tidak efektif itu, telinganya harus dekat dengan mulut saya dalam jarak kurang dari 10 cm.

Sebelumnya dia mengambil uang yang saya masukkan ke dalam wadahnya. Dia meraba-rabanya lalu memasukkannya ke kantongnya. Mungkinkah dia bisa memperkirakan berapa nominalnya? Apakah dia tahu bahwa uang itu berasal dari saya?

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum mewawancarai orang tentu adalah menanyakan identitas orang tersebut. Ketika dia mengucapkan namanya, saya agak kurang jelas mendengarnya. Selain karena situasi di sana memang berisik, bapak ini juga agak kurang jelas bicaranya. Setelah beberapa kali mengulang ucapannya karena saya selalu salah tangkap, tanpa tedeng aling-aling dia merogoh saku celananya. Dia sodorkan KTP itu tepat di depan muka saya. KTP asli dengan foto dan tanda tangan yang berwenang.

Kemadiono. Bantul, 1 Maret 1956. KAWIN. Hanya itu yang saya catat dari kartu identitas yang diberikannya.

Siap untuk menanyakan hal-hal lainnya.

Pertama-tama yang saya tanyakan adalah, “Bapak sejak kapan di sini?” Dia menjawab dengan suara tidak jelas. Awalnya saya menulis di buku tulis saya “81 tahun”. Jelas saya bingung. Apakah dia setua itu? Saya bertanya lagi dan mendapatkan angka baru. 22.

Pak Kemadiono bisa Anda temui di tempat ini pada jam kerjanya yaitu dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Dia datang dan pergi dari tempat kerjanya itu dengan menggunakan becak sendirian. Maksudnya tentu saja bukan dia sendiri yang mengemudikan becaknya.

Dia mempunyai seorang istri, yang nampaknya tidak bekerja, dan belum memberinya anak. Mereka tinggal di kontrakan mereka di Minggiran, Kecamatan Mantrirejon, RT 59 RW 16.

Pak Kemadiono sudah cacat sejak lahir. Bagaimana dia bisa memainkan musik, menurut pengakuannya dia belajar sendiri. Dia bisa memainkan alat musik apa saja. Gitar. Kibor. Kemampuannya bermusik berkembang setelah dia memasuki SLB Manding di Jalan Parangtritis sejak berumur 25 tahun.

Lalu dengan suaranya yang tidak jelas, dia memberikan isyarat kepada saya bahwa pengunjungnya sepi. Ada pengunjung lewat. Dia mesti kembali bekerja. Tanpa mengacuhkan saya lagi, dia memainkan musiknya kembali. Jelas dia merasa terganggu dengan saya. Saya telah membuatnya kehilangan “pengunjung”nya. Mana hanya kasih 2000 perak lagi (itu pun kalau dia menyangka uang tersebut asalnya dari saya :p).

Baiklah, itu tandanya saya disuruh pergi. Jangan mengganggu dia lagi.

Padahal belum sempat saya menanyakan kepadanya poin-poin seperti berapa penghasilannya, bagaimana apresiasi pengunjung terhadapnya, bagaimana harapannya akan masa depannya, dan sebagainya.

Selamat bekerja kembali, Pak Kemadiono! Semoga perolehan Anda hari ini memuaskan!

Saya memasuki shelter Trans Jogja dengan mood buruk. Haha.

Selepas tengah hari, saya ke ruang diklat untuk mengumpulkan tulisan. Jadi hari itu agendanya adalah praktik lapangan. Setiap peserta ditugaskan meliput dan mengumpulkan tulisannya hari itu itu sebelum jam tiga sore. Pada akhirnya sih saya mengumpulkan tulisan tentang Jogja Bird Walk 2010, liputan basi.

Dalam serangkaian acara itu, ada seorang mas-mas yang pekerjaannya merekam keberlangsungan acara. Dia sepertinya bekerja untuk sebuah TV lokal. Saya juga sempat diwawancarainya di hari pertama. Pertanyaan yang dia ajukan waktu itu kepada saya antara lain adalah apakah saya sudah kepikiran hendak meliput apa untuk tugas nanti. Awalnya saya bilang saya ingin mengangkat eksistensi pedagang kecil. Maka, di hari kedua ini, mas-mas tersebut sempat mendekati saya lagi. Dia menegur saya (dan masih ingat nama saya sementara dia tidak memberitahukan namanya sendiri pada saya!), menanyakan apakah saya jadi mengangkat tentang pedagang kecil. Saya bilang tidak jadi. Saya ceritakan bahwa saya jadinya hendak mengangkat profil pemusik difabel di Malioboro tapi gagal. Lalu dia menyebut nama “Pak Kemad”. Saya langsung ngeh. Ya, Pak Kemadiono?! Dia bercerita, dulu dia juga pernah coba mewawancarainya. Lalu apakah berhasil? Saya bertanya. Sepertinya yang dia alami sama dengan saya. Waktu itu, Pak Kemad langsung menyodorkan KTP-nya. Masih KTP buatan yang terbuat dari HVS.

Rabu, 17 Februari 2010

Sang Legenda yang Mencoba untuk Tetap Eksis


Judul : Lupus Returns: Cewek Junkies
Pengarang : Hilman
Penerbit : Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Tebal dan panjang halaman : 176 hlm; 11 cm

Lupus kembali! Ia mendobrak portal yang membatasi era 80 – 90’an dengan era 2000-an. Dengan susah payah ia berusaha untuk beradaptasi. Lulu kenal friendster, Lupus berhadapan dengan mobil matic, sementara Boim dan Gusur nonton DVD Kuntilanak. Mereka terasa seperti tante dan om-om ringkih yang memaksa jadi anak muda jaman sekarang. Mengusung gaya New Order padahal sudah jamannya Goodnite Electric. Saya bisa mendengar Lupus cs berdiri di portal sambil menyanyikan Forever Young-nya Alphaville.

Bagaikan nasi kemarin lusa yang dibubuhi bayam yang matang baru saja. Bayamnya sih segar, sesegar tebak-tebakkan, adegan, dan dialog aneh dalam buku ini yang bikin ngakak. Tapi nasinya, basi mah ya basi aja... Mungkin karena sang penulis sudah sedemikian profesionalnya di bidang penulisan sinetron, ceritanya juga jadi ikut-ikutan begitu. Tak dikejar, maka tak tayang.

Beginilah ceritanya...

Lupus putus sama ceweknya yang seksi abis, Vera. Vera yang cheerleader soalnya lagi kepincut sama atlet basket, Restu. Beruntung Lupus segera menemukan cewek pengganti Vera yang tak kalah cantiknya... Nessa namanya. Cewek yang rada-rada ajaib ini berhasil mengembalikan Lupus menjadi cowok periang. Ternyata, Nessa punya masa lalu kelam. Dia mantan junkies! Mengetahui kenyataan itu, Lupus jadi gamang. Hubungannya dengan Nessa merenggang. Vera yang mengetahui itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meraih Lupus kembali karena Restu ternyata selingkuh! Sementara itu, mantan cowok Nessa, Dito, yang mengaku sudah tobat, datang untuk membawa Nessa kembali. Ternyata Dito bohong. Dia masih jadi bandar narkoba. Nessa berusaha melarikan diri darinya. Lupus sampai jauh-jauh datang dari Jakarta ke Bali untuk memperbaiki hubungannya dengan Nessa. Eh, Lupus malah dihajar Dito cs. Trio Lulu, Boim, dan Gusur pun menyusul Lupus saat itu juga untuk menyelamatkannya. Dito cs berhasil diringkus polisi. Lupus dan Nessa jadian lagi deh! Tamat begitu saja.

Sinetron banget gak seh lo...

Memang sudah lama saya tidak baca Lupus. Perasaan, Lupus jaman dulu ceritanya tidak begini amat. Lagipula sekarang sudah bukan jamannya dia lagi. Biarlah dia menjadi legenda. Penciri muda-mudi era 80 – 90-an. Sekarang mah jamannya teenlit, atuh, euy... Mengapa dia harus memaksa muncul padahal sudah bukan jamannya? Seharusnya dia sudah punya istri dan beranak pinak, setidaknya dua!

Untunglah gaya penulisan ngocol dan tebak-tebakkan yang bikin ngakak cukup jadi penyegar. Amat menghibur. Salah satu tebak-tebakkan yang bikin saya ngakak adalah salah satu tebak-tebakkannya Lulu ke Lupus (saya lupa halamannya yang mana, jadi tidak saya kutip tapi saya tuliskan lagi seingatnya),

Lulu : “Burung apa yang bisa nempel di dinding?”
Lupus : “Burungnya cicak!”

Belum lagi tingkah Lupus cs yang aneh-aneh. Misalnya, dalam salah satu cerita, Lulu sedang berulang tahun dan Lupus cs berniat memberinya kado istimewa. Sebuah kado seukuran kardus TV. Isinya orang.

Ini saya kutip saja salah satu dialog yang menurut saya aneh (aneh yang menggelikan, bukan aneh yang bikin dahi berkernyit),

“Cekak nih, lagi cekak. Wakakakak...!”
“Cekak tapi kok bisa cekakakan gitu?”
“Ih, siapa yang cekakakan? Gue kan cekikikan?”
(hal. 13)

Namun tidak selalu gaya penulisan menyegarkan cerita. Beberapa deskripsi sekiranya bisa lebih disederhanakan bahasanya. Misalnya deskripsi tentang tubuh Vera, keintiman hubungan antara Vera dengan Restu, atau malah antara Lupus dengan Nessa. Kalau saya sih risih bacanya. Apa cowok memang begitu ya bahasanya?

Kalau kamu hanya ingin terhibur dengan bacaan super ringan, buku ini bisa jadi alternatif. Dibandingkan dengan teenlit-teenlit yang sudah ceritanya tidak mutu, gaya penulisannya garing pula, saya menyarankan untuk membaca buku ini saja. Terbukti ampuh mengundang tawa, setidaknya pada saya.


sumber gambar

Jumat, 12 Februari 2010

Jelajah Kawasan Konservasi (bagian 1)

27-29 Desember 2009. Di penghujung tahun, 52 orang mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH) Fakultas Kehutanan UGM, yang terdiri dari angkatan 2007 dan angkatan 2008, terlibat dalam rangkaian acara Jelajah Kawasan Konservasi. Selama 2 hari 3 malam kami menyambangi beberapa titik di wilayah Jawa Timur: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Kebun Raya Purwodadi, dan Taman Safari II Prigen. Dengan dukungan dari jurusan, acara yang diselenggarakan oleh Forestation (himpunan mahasiswa jurusan KSDH) ini menyerupai Kuliah Lapangan Jurusan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan, yeah, ada laporan kelompok yang harus kami kumpulkan nantinya. Untuk semua kunjungan itu beserta fasilitias, hanya 300.000 rupiah yang harus kami bayar. Meski demikian, acara ini tetap menjadi tamasya selepas KBM semester ganjil bagi kami. Juga, refreshing menjelang ujian akhir semester.

Saat itu pukul 16.06 WIB. Kawasan Fakultas Kehutanan UGM tampak kelabu. Rinai hujan mengiringi kepergian kami semenjak dari sana, lalu melintasi Klaten, Solo, Sragen, hingga Ngawi. Bukan lagi hujan lokal (misalnya Fakultas Pertanian hujan, Fakultas Kehutanan tidak, padahal bersebelahan).

Di dalam bis KARYA JASA, kaki kami terjepit bangku di depan kami (kecuali yang duduk di bangku paling depan tentu saja). Dingin menggerogoti. Apalagi pakaian kami masih agak basah karena berhujan-hujan dari lapangan parkir utara—tempat kami kumpul di kampus—sampai gerbang tempat bis parkir. Kami menafikan segala ketidaknyamanan itu dengan bercengkerama bersama teman-teman yang duduk di bangku sekitar kami. Melewati Solo lalu Sragen, mereka yang berasal dari sana, seketika antusias menunjukkan tempat-tempat yang familiar bagi mereka. Mulai dari jalan masuk menuju rumah hingga tempat nongkrong kalau mau wifi-an gratis malam-malam.

Bis yang kami tumpangi sebetulnya baik fasilitasnya. AC. Bangkunya 2-2. TV-nya juga ada 2. Sejak dari Jogja kami dihibur oleh tayangan film Kungfu Panda. Mata saya sampai sakit dibuatnya. Bagaimana tidak, 1,5 jam lebih mata saya mendongak terus ke atas. Film selanjutnya yang diputar tidak terlalu seru. Saya bahkan sudah lupa judulnya. Tapi salah satu pemainnya adalah pengisi suara di Kungfu Panda. Sebuah film yang dimaksudkan sebagai komedi tapi kurang mak crot. Karena tidak ada lagi film yang seru, akhirnya beragam video musik diputar. Kalau lagunya mantap kami serentak menyanyi, kalau tidak si operator harus menerima deraan caci maki.

Sudah beranjak larut malam saat kami sampai di Ngawi. Kami berhenti di Rumah Makan DUTA untuk makan malam dan solat bagi yang melaksanakan. Menilik daftar harga di menunya, makanan di sini naudzubillah mahalnya. Padahal kenyang yang didapat mungkin tidak sampai setengah harganya. Semua makanan harganya berkisar di antara 10.000 rupiah. Ada beberapa pilihan menu untuk rombongan kami, yaitu ayam bakar, rawon, gulai kambing, dan satu lagi saya tidak ingat. Sejak di bis entah mengapa saya sudah berhasrat makan ayam bakar. Tapi setelah memesannya saya menyesal. Pertama, cuaca saat itu lebih mendukung untuk makan sesuatu yang berkuah ketimbang keringan. Kedua, ternyata harga rawon lebih mahal dari ayam bakar. Lepas makan, menuntaskan keperluan masing-masing, dan bercengkerama, perjalanan kembali dilanjutkan. Hampir sepanjang perjalanan saya tidur.

Kala itu sudah dini hari ketika panitia membangunkan kami. Sudah hampir sampai katanya. Tapi tidak jadi. Terminalnya ternyata sudah pindah (?). Tiada mengapalah. Bis membelah jalanan sunyi di suatu pedesaan. Pukul 3 pagi, sampailah kami di Terminal Sukapura. Kami disambut oleh para penjaja sarung tangan, kupluk, syal, dan semacamnya. Katanya dingin sekali di atas sana. Ya, memang sudah mulai terasa. Sementara kami menurunkan muatan dari bagasi, (kalau saya tidak salah ingat) 4 elf berbondong-bondong datang. Kami bahu membahu menaikkan kembali muatan kami di atap elf-elf itu. Muatan sudah di atap, masuklah kami ke dalam elf. Elf sudah penuh terisi, dibawalah kami melalui jalanan gelap yang berkelak-kelok naik ke atas. Kalau jendela dibuka, angin dingin akan menderu masuk. Meski kami duduk berdempet-dempetan, hawa dingin tetap membayangi. Elf memasuki halaman Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Lagi-lagi beberapa penjaja barang-barang penghangat tubuh menyambut kami.

Di samping gedung utama, ada sebuah bangunan yang telah disediakan untuk tempat rombongan kami beristirahat. Bangunan tersebut memiliki ruangan utama dengan luas sekitar 8 m x 12 m. Tiga buah spring bed kotak besar digeletakkan begitu saja di lantai. Dua di antaranya tidak berplastik. Bagian tengah ruangan disangga 4 tiang kayu. Tujuh buah lampu neon berpencar di langit-langit. Ada 3 pintu. Satu pintu adalah pintu keluar masuk kami, 1 pintu berada di sisi seberang namun selalu tertutup, sementara 1 pintu lainnya adalah pintu menuju sebuah ruangan yang lebih kecil. Ruangan kecil tersebut seperti gudang dengan sebuah sofa dan tumpukan barang-barang tidak jelas. Ada pintu menuju kamar mandi pula di situ. Kamar mandi yang kerannya tidak menghasilkan air.

Sebagian dari kami langsung merebahkan diri dan barang bawaan ke kasur. Saya tidak kebagian tempat. Lagipula tidak ada pembatas antara putra dengan putri. Keduanya bisa tidur dalam kasur yang sama. Alih-alih menidurkan diri lagi, saya memanfaatkan waktu untuk bersih diri meski mendapat giliran paling akhir. Tidak mandi, tentu saja.

Gelap perlahan pudar. Sebagian teman ada yang berjalan-jalan ke luar. Seorang teman mengajak saya untuk ke luar juga. Dia mau foto-foto. Saya disuruh jadi juru fotonya, maksudnya. Tidak saya sangka, begitu saya ke luar ruangan, mengikuti teman saya itu berjalan tidak terlalu jauh menuju tepi jurang di belakang bangunan, subhanallah... Di sanalah lautan pasir membentang luas. Gunung Batok dan Kawah Bromo yang fenomenal itu (halah) duduk tenang namun kokoh di peraduan mereka. Menunggu dipandang. Mereka menikmati itu sebagaimana kami menikmati memandang mereka. Di belakang mereka, pengunungan entah-apa-namanya memanjang hingga tak terlihat. Memang kelabu masih belum sirna benar namun loreng-loreng yang dipamerkan Gunung Batok sudah memukau kami. Kawah Bromo anteng saja mengepulkan asap di sebelahnya. Mereka selalu siap sedia untuk berfoto bersama kami. Kiranya hampir semua anggota rombongan kami punya foto dengan pasangan Gunung Batok-Kawah Bromo di belakang punggung mereka. Entah sendiri atau pun bersama-sama. Seharusnya sepulang dari sini kami kompak mengganti foto profil kami di facebook dengan foto tersebut. Satu hal yang kami tidak sadari adalah, seharusnya kami berfoto di saat hari telah cerah benar. Mestilah foto yang kami dapatkan hasilnya akan lebih cemerlang ketimbang hasil foto saat subuh-subuh.

Puas berfoto-foto, kardus sarapan dan teh menyambut kami.


Di dalam Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TN BTS)

Tempat ini adalah sebuah ruangan berbentuk segi 8 nyaris. Di seberang ruangan agak ke kanan, ada pintu yang tak terlihat menuju kamar mandi dan pintu di seberangnya adalah pintu menuju dunia lain. Oh, tidak. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan bersegi 8 lagi dengan deretan bangku plastik merah (seperti bangku halte bis) dalam 3 banjar menurun ke bawah. Ada viewer di sana. Juga meja kayu panjang dan kursi-kursi di baliknya yang menghadap ke arah berlawanan. Jelaslah ini ruangan apa.

Kita kembali ke luar ruangan-untuk-presentasi-apapun-itu. Ruangan depan sekilas seperti museum. Sebuah meja yang sepertinya adalah pos kerja petugas informasi menyambut kami. Setiap sisi dinding dipasang oleh papan ber-background merah dengan lampu neon di atasnya. Ada juga meja-meja kaca. Keduanya menampilkan informasi dan benda-benda yang ada hubungannya dengan taman nasional ini.

Sebuah papan menampilkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di TN BTS, yaitu penataan batas, pengamanan kawasan, pembinaan masyarakat dan generasi muda, inventarisasi flora dan fauna, serta monitoring kebersihan kawasan dan pengembangan wisata alam yang meliputi monitoring batas kawasan, patroli hutan, operasi gabungan, budidaya tanaman dan obat-obatan, bantuan ternak kambing kepada masyarakat, dan penyuluhan/bina cinta alam.

Sebuah papan yang lain menampilkan berbagai gangguan yang terjadi di TN BTS. Sebut saja pencurian kayu, kebakaran hutan, perambahan kawasan, pengambilan batu dari kawasan, pencurian bambu, dan pengarangan, semua ini dapat menurunkan potensi sumber daya alam.

Papan lainnya ada yang menampilkan prosesi upacara Kasada, juga tempat-tempat di sekitar kawasan seperti Ranu Kumbolo dan Ranu Pane—yang mengingatkan saya pada novel “5 cm”, dan penjelasan mengenai taman nasional itu sendiri. Mau tahu? Taman nasional ialah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, rekreasi dan wisata alam, pendidikan dan interpretasi, penunjang budidaya, dan pelestarian plasma nutfah.

Sementara itu pada meja display, ada yang menampilkan batu-batu vulkano yang ditemukan di kawasan, ada juga yang sekedar tempat untuk memajang buah-buahan palsu serta sepasang tanduk kerbau, yang dijadikan properti foto oleh kami. Sebuah meja display besar berbentuk kotak yang berada di tengah ruangan menampilkan peta timbul kawasan TN BTS.

Pagi itu acara kami adalah materi ruangan. Kami telah duduk manis di bangku-bangku merah dengan plastik cemilan di pangkuan kami. Video karaoke Didi Kempot menyambut. Namun pembicara yang seharusnya mengisi materi tidak kunjung datang. Beberapa dari kami pergi ke ruang operator. Di sana kami menemukan beberapa film tentang TN BTS, di samping DVD-DVD bajakan dan VCD-VCD karaokean. Kami pun berinisiatif untuk memutarkan salah satu film tentang TN BTS, yatu tentang pendakian Gunung Semeru. Teman-teman tampak tertarik dan menonton film tersebut sampai akhir. Film-film lain dengan judul yang berbeda tentang TN BTS pun kami putar lagi. Antara lain tentang perlindungan dan pengamanan hutan hingga wisata pendidikan. Beberapa masalah muncul. Teman-teman tampaknya sudah bosan dengan film semacam itu dan lebih memilih untuk tidur, berfoto-foto di luar, atau mengerjakan kegiatan-kegiatan tidak produktif lainnya. Film “4bia” berhasil memikat kembali teman-teman tapi tidak lama. Pembicara yang ditunggu-tunggu akhirnya datang jua. Saat itu sudah pukul 9 pagi. Entah sudah berapa jam kami menunggu sebelum itu.

Pembicara yang kami tunggu adalah Ir. Eni Endah Suwarni, M. Sc., Kepala Bidang Teknis Konservasi TN BTS. Wanita berkerudung asal Nganjuk ini sudah lebih dari 2 tahun bekerja di Seksi Pengelolaan TN I Organisasi Balai Besar TN BTS. Sebelumnya beliau bekerja di Manggala (Departemen Kehutanan pusat di Jakarta). Beliau telat karena mobilnya mogok. Justru setelah pembicara datang, saya malah tak kuasa menahan kantuk. Hampir di sepanjang acara saya ketiduran. Saya hanya mencatat sedikit-sedikit saja sewaktu saya sadar. Pada intinya, ini adalah materi tentang pengelolaan kawasan di TN BTS. Setelah pemberian materi selama kurang lebih setengah jam, kami berfoto-foto di depan bangunan. Penjaja cindera mata mendekat. Udara masih dingin. Kiranya saya bisa memahami mengapa Belle & Sebastian membuat lagu-lagu semacam “Another Sunny Day”, “Here Come The Sun”, atau “A Sleep On A Sunbeam”. Di negara mereka mesti sinar matahari hanya datang sesekali seperti yang saat itu saya alami.

(bersambung)

Rabu, 10 Februari 2010

Melangkahi Senja bersama Manusia-manusia Banyusoco

November, 2009
Bayang-bayang gelap mulai merengkuh langit. Masih ada dua manusia Banyusoso lainnya yang harus kami temui. Setelah itu, barulah kami dapat kembali ke penginapan kami yang merupakan rumah seorang mandor hutan yang bekerja untuk RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Playen. Sebelumnya sudah dua orang yang kami sambangi rumahnya. Tugas ini mengharuskan masing-masing dari kami mewawancarai dua orang masyarakat desa hutan—dalam rangka praktikum mata kuliah Perencanaan Sumber Daya Hutan. Kami sepakat untuk melakukannya bersama-sama.

Banyusoco adalah sebuah dusun di Desa Kepek, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Kehadirannya bisa ditandai dari sebuah papan bercat putih, yang berdiri di balik gerbang batako sebuah bangunan SD, bertuliskan: SDN BANYUSOCO. Pada sebuah jalan di balik SD tersebutlah kami berbelok.

Menyusuri jalan berbatu, melewati rumah demi rumah, meneliti kalau-kalau ada manusia melintas. Pada sebuah rumah, kami melihatnya. Keraguan menguar namun akhirnya kami melangkah juga ke jalan menuju rumah itu.

Maka bertemulah kami dengan Bu Sartini, 45 tahun, penduduk asli Kepek II yang sudah sejak lahir tinggal di sini. Aktivitas memasaknya jadi terganggu akibat kedatangan kami yang tiba-tiba. Dengan keramahan khas orang desa, ia tetap menerima kami. Kursi yang berdiam di sisi teras rumah berlapis semennya hanya mampu menampung kami berdua. Agak rikuh juga kami karena sementara kami duduk di sana, ia—yang senja itu secara bersahaja memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek—duduk hanya beralaskan lantai semen. Namun kehangatan yang senantiasa terpancar dari wajahnya saat berbicara dengan kami membuat perasaan kami lebih nyaman.

Lahan seluas 10-100 m2, dari luas seluruhnya yang 15 hektar, menjadi jatahnya sebagai seorang petani untuk ditanami. Pembagian lahan ini berdasarkan kemampuan menggarap dari petani itu sendiri. Lahan tersebut ditanaminya jagung dan kedelai. Dalam waktu 3 bulan, jagung sudah dapat dipanen meski sekarang susah tumbuh karena kurang air. Hasilnya ia manfaatkan untuk diri sendiri dan ala kadanya untuk Pak Mantri, sekedar untuk ‘memberi rasa’. Namun demikian, ia tidak bergabung dengan kelompok tani mana pun, termasuk Kelompok Tani Kertaharja yang basecamp-nya di rumah Pak Sudar. “Repot,” katanya. Ia juga kurang mengetahui adanya perkumpulan masyarakat lainnya selain kumpul RT sebulan sekali.

Selain bertani, ia tidak mempunyai pekerjaan lain meski dulu ia sempat membuat emping. Ternak pun hanya pinjaman. Sebagai sumber air, ia memiliki sumur yang meski pada pasca gempa Jogja kemarin sempat kering. Kalau sudah begitu air harus dibeli dari Playen.

Meski kayu bisa didapatkannya dari ladang sendiri, ia mengaku mengambil kayu juga dari hutan pemerintah untuk kayu bakar. Namun hal itu dilakukannya juga untuk membersihkan cabang dari pohon agar pohon tersebut dapat tumbuh lebih cepat. Dalam kehutanan, pembersihan cabang ini dikenal dengan istilah prunning. Kadang-kadang ia mencari rumput juga di sana.

Di sekitar kami, beberapa anak berseliweran mengejar seekor kucing betina. Ia bercerita pada kami betapa seringnya kucing itu hamil dan setiap kali dibuang pasti kembali lagi. Dua dari anak-anak yang ikut menemani kami mengobrol di teras adalah anaknya. Suaminya, yang dapat bekerja di mana-mana sebagai tukang bangunan, tidak tampak.

Habis sudah pertanyaan di kepala kami. Kami memandangi langit di kejauhan yang mengisyaratkan agar kami bergegas karena gelap tak lama lagi akan datang. Masih ada seorang lagi yang harus kami temui. Kami pun pamit pergi.

Kembali kami susuri jalan berbatu itu, melewati rumah demi rumah, mencari-cari manusia yang bisa kami wawancarai dan ia mestilah seorang petani hutan. Semoga dalam kesempatan berikutnya kami beruntung.

Di sisi jalan sebelah kiri, kami melihat seorang pria sedang jongkok mengamati sapi-sapinya yang berada dalam kandang. Mendekatlah kami padanya sambil mengenalkan diri dan menyampaikan maksud kami. Ia segera memahami. “Tapi yang petani bapak saya, bukan saya,” ujarnya. Diantarkannya kami ke belakang rumah untuk menemui seorang pria tua. Istrinya menemani sambil menggendong cucu kecilnya. Kami harus menaiki beberapa undakan untuk dapat menginjak lantai teras belakang rumah itu. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat kandang sapi di sebelah kiri depan dan kamar mandi serta sumur di sebelah kanan depan. Jika kami menoleh lebih ke kanan lagi maka akan terlihat rumah lainnya. Jika kami kembali menoleh ke kiri, di sanalah Pak Wasilan, 58 tahun, duduk tegak dengan kedua siku bertelekan lengan kursi.

“Mau tanya apa?” tanyanya. Kami segera ingat akan daftar pertanyaan kami.

Pak Wasilan sudah sejak kecil tinggal di sini, sudah turun temurun. Kini ia menempati rumahnya bersama 4 orang anggota keluarganya: istrinya, anak lelakinya, menantunya, dan cucunya. Di hadapan kami istrinya sesekali ikut menimbrungi percakapan sambil asik mengemong cucunya. Sementara itu ayah dan ibu cucunya sempat terlihat bersama di dekat sumur.

Ia baru aktif bekerja sebagai petani selama 2 tahun ini, yaitu sejak ia pensiun sebagai buruh rakyat di pemerintahan alias PNS. Aktivitasnya kini menanami hutan pemerintah dengan jagung, ketela, kacang, dan kedelai secara tumpang sari. Ia memiliki lahan seluas 1 hektar namun letaknya terpisah-pisah dan ia tidak harus membayar untuk itu. Air untuk membasahi tanaman-tanamannya didapatkan hanya dengan mengandalkan hujan saja. “Kalau nggak ada ya sudah. Mau minum aja beli. Ada sumur tapi ada sumbernya dan bayar setiap bulan tergantung pemakaiannya berapa m3,” tambahnya. Ia tidak ikut kelompok tani mana pun karena tidak sempat ikut mendaftar.

Penghasilannya dari bertani tidak seberapa. Dalam setahun ia hanya mendapatkan sekitar 4 juta dari tengkulak. Semuanya hanya untuk keluarga dan tidak dibagi untuk mantri. Namun ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual sapi-sapinya—yang diberinya makan macam-macam dari hutan seperti kolonjono, jagung, dan salam. Juga dari kebun jati yang membentang di belakang kandang.

Ceritanya tentang kebijakan di kawasan hutan sini hampir mendominasi pembicaraan. Sebelum ada Gerakan Nasional, hutan dikerjakan oleh Dinas Kehutanan. Lahan dibuka sekian hektar dan beberapa ratus Kepala Keluarga dipekerjakan untuk menanaminya dengan jangka waktu pemanfaatan lahan paling lama 3 tahun. Menurutnya ini adalah kebijakan yang bagus dan tepat sekali. Pembicaraan terus berlanjut diisi dengan isu-isu menarik yang tak sempat kami torehkan dalam catatan. Kami mungkin tak begitu paham juga.

Azan maghrib mulai mengiang-ngiang. Langit sudah gelap benar. Kami mengundurkan diri hendak pulang meski kebingungan masih mencokoli kepala: hendak lewat jalan yang mana ke penginapan? Kami tidak hapal jalan dan tidak pula membawa penerangan. Biarlah intuisi yang membawa kami.

Kami bangkit dari kursi dan mengitari samping rumah untuk sampai kembali di jalan berbatu.

“Kanan apa kiri nih?

“Kayaknya kiri deh.”

Kami berjalan ke kiri dan menanamkan niat untuk menembus gelap, apapun nanti yang akan kami temui di jalan. Tapi sepertinya lebih baik kembali ke penginapan laki-laki di Menggoran. Jalan menuju ke sana lebih dikenali karena tinggal menyusuri aspal saja. Maka kami pun balik kanan. Tahu-tahu Pak Wasilan sudah berada di depan rumahnya. “Loh, kalian mau ke mana?”

“Ke penginapan, Pak.”

“Di mana?”

“Di rumah Pak....” Kami menyebutkan nama mandor hutan yang rumahnya jadi tempat kami menginap. Rupanya Pak Wasilan tidak begitu mengenalnya. Lalu kami bilang bahwa kami akan menelepon teman kami saja dan minta dijemput di depan. Kali ini, biarlah pulsa yang tersisa di hape yang akan menyelamatkan kami. Pak Wasilan mengatakan kalau ada apa-apa kembali saja ke rumahnya dan minta dijemput di sana. Rasanya terenyuh hati ini dengan kebaikannya namun kami tetap dengan niat kami untuk menunggu teman kami di depan saja, di dekat SDN Banyusoco. Pergilah kami dari halaman rumahnya. Kami tembus gelap yang sudah benar pekat hingga cahaya motor yang menjemput kami di ujung jalan menyilaukan mata. Purna sudah tugas kami melakukan inventarisasi sosial masyarakat desa hutan meskipun tidak semua poin di daftar pertanyaan dapat kami lontarkan.

Jumat, 05 Februari 2010

JOGJA CLOTHING ATTACK 2010: Angkat Eksistensi Merek Lokal


JOGJA, PANDAWA – Jumat (5/2), Jogja Clothing Attack 2010 mulai dihelat EO Indie Pro di GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) hingga Minggu (7/2). Acara yang dimulai dari pukul 10.00–22.00 WIB ini dibuat untuk mengenalkan merek-merek clothing lokal kepada kaum muda.

Acara yang didukung Pemerintah Kota Yogyakarta ini baru pertama kali diadakan. Berbeda dengan Kickfest, yang sudah beberapa kali diadakan, acara ini bertujuan mengangkat merek-merek lokal. Dari 33 stand, hanya 3 yang mengusung merek luar. Salah satunya adalah Trix dari Jakarta. Merek-merek lokal yang ditemui antara lain Blackstar, Whyzein, Huit, Fel & CO, Routing, dan Deth Aparell.

Nandi, salah seorang panitia, mengatakan bahwa yang menjadi parameter keberhasilan acara ini bukanlah banyak atau tidaknya pengunjung. Ia berharap acara ini bisa memfasilitasi para pemilik merek lokal untuk membentuk asosiasi.

Awalnya ia pesimis. Sementara acara clothing lain umumnya mengusung merek-merek besar, acara ini malah memainkan kekuatan merek lokal yang belum banyak dikenal. Ia khawatir kaum muda Jogja sudah ter-mindset untuk lebih membeli merek-merek luar.

Hingga sekitar pukul 7 malam, saat PANDAWA berkunjung, sudah 4000-an tiket masuk yang terjual. Satu lembar tiket dihargai 5000 rupiah. Menurutnya, ini sudah relatif bagus. Kendalanya adalah cuaca yang tidak menentu. Sejak Jumatan hingga sekitar Maghrib, hujan turun sehingga lokasi cukup lengang. Namun sekitar Isya, tampak muda-mudi mulai memadati lokasi.

Isna, pelajar SMK 5 yang magang di Blackstar, mengungkapkan bahwa stand-nya termasuk yang ramai dikunjungi sejak acara dimulai. Umumnya pengunjung tertarik dengan kaos berkarakter monster. Dengan kisaran harga 45.000–200.000 rupiah, pengunjung sudah bisa mendapatkan barang yang diinginkan.

Menurut Fe, salah seorang pengunjung yang sering menyambangi acara semacam ini, kualitas merek luar masih lebih bagus daripada merek lokal. Ia mengaku biasa menghabiskan 100.000–200.000 rupiah sekali belanja. “Ada beberapa yang sablonannya kurang bagus. Desainnya monoton. Over all sudah bagus tapi masih harus diperbaiki,” ujarnya yang diamini temannya, Karen. (DSA/RAM)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain