“Kalau bisa ia jadi wartawan.”…“Lho kerjaan itu memperluas wawasan, tidak sempit di bidangnya sendiri terus.”………“Pokoknya harus jadi manusia, bukan mesin.”………“Wartawan, kalau perlu jadi seniman sekalian, biar kreatif.” (hal. 13-14)
Ruang
Selasa, 30 November 2010
Luasnya Dunia Remaja
Senin, 29 November 2010
tujuh
Majalah LEMPERs edar setiap satu
semester sekali, yaitu saat pembagian rapot. Tampilan penuh warna, paduan font
dan warna yang eye-catchy, kualitas kertas yang baik, serta berseliwerannya
potret siswa-siswi rupawan di sana-sini menjadikan media tersebut pilihan utama
untuk memanjakan mata. Kendati dikomersilkan, majalah semesteran justru menjadi
yang paling dihargai ketimbang media LEMPERs lain. Selain memberi pemasukan
untuk kas, menopang hidup mading, dan menambah kesejahteraan anggota, ada saja
orangtua murid yang ikut mengonsumsi media ini.
Suatu kebanggaan bagi Zia, tulisannya
dimuat di sana pada semester pertamanya di SMANSON. Terima kasih banyak untuk
Mas Imin saat itu, karena tulisannya merupakan sari dari suatu obrolan
bernasnya dengan Mas Imin.
“Potensi yang terpendam itu ibarat
wahana terselubung,” begitu Zia berkata dalam tulisannya. “Seperti wahana di
Dufan. Saat kamu bermain di dalamnya, kamu merasa senang, nyaman, dan tenggelam
dalam keasyikkan. Kamu bakal merasa ingin untuk melakukannya berulang dan
berulang kali.
Zia ingat cerita Mas Imin yang telah
mencoba macam-macam hal—mulai dari PATIN, MLM, LEMPERs, ekskul sinematografi,
dan lain-lain—untuk menemukan potensi dirinya. Alih-alih demikian, Mas Imin
malah menemukan potensi pada diri orang lain. Jadilah Zia menulis, “Semua
orang ingin jadi sukses. Orang harus mencari terlebih dulu apa minat, bakat,
dan potensi yang bisa dikembangkan dari dirinya untuk mengarahkannya pada
kesuksesan.”
Dalam tulisannya itu, ia juga
menyebutkan, “…pengembangan minat, bakat, dan potensi adalah yang utama. Itu
semua adalah karunia Tuhan yang tidak boleh disia-siakan!”,
dan, “Peranan bakat seringkali
dinafikan. Kerja keras jauh lebih utama ketimbang mengandalkan bakat semata.
Itu benar, tapi kalau memang punya bakat, kenapa malah disia-siakan? Bukannya
kerja keras akan lebih berhasil kalau didukung oleh bakat? Mengasah bakat pun
perlu kerja keras.”,
serta, “Tes bakat itu bisa jadi menipu.
Cara yang paling tepat untuk mengetahui apa bakat kita adalah dengan metode empiris.
Ingat-ingatlah hal yang paling senang kamu lakukan dan apakah hal itu bisa
berguna buat kamu? Kalau tidak ada, jangan segan-segan, cobalah segala hal yang
bermanfaat!”
Selain kebanggaan, hal lain yang Zia
dapat dari pemuatan tulisannya itu adalah keyakinan bahwa ia memiliki potensi
untuk melakukan banyak hal bermanfaat—kalau tidak dikatakan multitalenta. Masa
depannya tentu tidak hanya terbatas di dunia tulis-menulis saja.
Seiring dengan pergantian pengurus, pada
semester berikutnya Zia dimasukkan ke dalam tim mading. Pemimpin redaksinya
waktu itu bilang kalau kreativitas Zia dibutuhkan untuk menyemarakkan mading
LEMPERs. Sebaliknya, Zia merasa potensinya akan lebih terasah jika ia berada di
tim majalah semesteran. Setelah negosiasi panjang dan berbelit-belit, Zia
mengalah. Tapi ia tidak bisa menutupi rasa angin-anginan kala harus mengerjakan
sesuatu yang ia tidak suka. Kreativitasnya yang diharapkan pemimpin redaksi pun
enggan timbul. Ia yakin benar, dimasukkannya ia ke tim mading adalah lebih
karena tim majalah semesteran hendak dijadikan hegemoni kaum cewek centil sok
eksis. Sejak itu dan sampai sekarang Zia tidak mau ambil pusing bagaimana
kelanjutan mading LEMPERs.
Mading LEMPERs terpajang di dinding
salah satu koridor tersuram di SMANSON—tidak ada koridor yang tidak suram di
SMANSON sebetulnya—kendati koridor tersebutlah yang paling banyak dilintasi
siswa. Zia tahu, sejak berlalunya era Madam SMANSON dan naik pamornya majalah
semesteran, tidak ada seorang siswa pun yang benar-benar mengacuhkan keberadaan
mading LEMPERs. Kecuali mungkin seorang kakak kelas kurang kerjaan yang
dikenalnya sebagai Kang Detol. Zia berusaha tidak sakit hati saat mendengar
Kang Detol berkata padanya, “Tampilan mading LEMPERs kok makin ngerusak mata
aja ya?”
Zia merutuki angin yang menerbangkannya
kembali ke hadapan pemimpin redaksi umum LEMPERs—yang kini seangkatan
dengannya. Yang pandangannya menyimpan pertanyaan, “Ke mana aja kamu selama
ini, Zia?” Zia menahan-nahan desakan egonya untuk balik kanan dan tidak kembali
ke ruangan penuh keberantakan ini lagi. Zia mendesis ngeri kala melihat
mading-mading edisi lampau terkulai di pojok ruangan. Tempelannya lepas-lepas.
Seekor laba-laba merayap masuk ke balik lipatan karton. Apalagi ketika sang
pemred mengabarkan bahwa mading LEMPERs kini hanya akan diterbitkan sebulan
sekali setelah sempat vakum sementara. Suatu masa jaya yang memudar—Zia merasa
jadi lebih dapat memahami Kakek.
“Jadi, ada yang bisa aku bantu?” Zia
berusaha menyembunyikan keprihatinannya akan tampang Bang Ali—begitu ia memanggil
sang pemred yang masuk SD-nya telat itu. Pikir Zia, hebat sekali Bang Ali masih
bertahan jadi pemred. Mungkin selama itu sari-sari kehidupannya sudah disedot
para cewek centil sok eksis kebanyakan energi itu. Jam istirahat begini mereka
pasti lagi pada mejeng di kantin. Kasihan, pasti Bang Ali sudah menanti-nanti
tibanya pergantian kepengurusan. Ialah Ali Baba di sarang perawan—mungkin
seperti itu juga tampang Harry Potter tanpa surat panggilan dari Hogwarts.
Tambah lagi asumsi Zia, pantas saja Mas Imin tidak bertahan lama di LEMPERs
yang secara turun temurun memang didominasi kaum hawa.
Bang Ali mengamatinya dengan ekspresi
tak yakin. Zia berharap Bang Ali masih mau memberinya kesempatan untuk unjuk
potensi. Angan-angan Zia, orang-orang LEMPERs akan melakukan penilaian ulang
terhadapnya. Penilaian tersebut lantas berujung pada suatu fakta yang tak bisa
dipungkiri bahwa ia memang layak diperhitungkan di tim majalah semesteran.
“Kang, ini sisa kartonnya saya taruh di
sini yah.” Kepala Zia berputar sedikit ke belakang untuk mengetahui siapa yang
datang. Heh, masak yang begitu anak
mading? Tampilan fisik cewek tersebut lebih cocok untuk digolongkan ke
dalam kaum cewek centil sok eksis.
“Mading yang baru udah dipasang, Rieka?”
tegur Bang Ali.
“Baru aja tadi.” Setelah basa-basi yang
sekian lama mengacangkan Zia, akhirnya cewek itu melambaikan tangan diiringi
senyum. “Duluan yah, Kang.”
“Anak mading?” tanya Zia setelah cewek
yang mestinya anak kelas X itu berlalu. Bang Ali mengangguk. O, jadi sekarang
kaum cewek centil sok eksis sudah merambah mading juga rupanya… Zia
menyimpulkan.
“Jadi, Bang…?”
“Mmh…” Bang Ali mengucek-ngucek mata.
Kacamatanya timpang ke atas. Matanya terlihat suntuk saat berkata, “Entar lagi
kan KOMBAS mo ngadain gig.”
KOMBAS adalah Komunitas Band SMANSON,
suatu komunitas yang sejak dulu ingin Zia masuki. Namun tak kunjung Zia punya
kemahiran dalam alat musik tertentu, atau vokal, yang jadi salah satu
kualifikasi anggota.
“Kapan?”
“Besok.”
“Engh…”
“Kamu liput ya, Zia.”
Sesaat Zia merasa ada harapan liputannya
akan dimuat di majalah semesteran. Liputan sepertinya tidak termasuk rubrik
pengisi mading. “Entar buat majalah semesteran yah?”
“Buat madinglah…”
“Hah, bukannya liputan masuk majalah
semesteran yah?”
“Sekarang format mading kita udah beda,
Zia. Lagian buat majalah semesteran juga udah disediain space buat gig KOMBAS
yang lebih gede menjelang akhir tahun entar.”
Zia melebarkan bibir. Matanya memicing.
Selalu saja ia diberi pekerjaan rendahan. Keadaan mungkin akan sedikit lebih
baik sekiranya ia dulu tidak pakai mangkir segala. Sekarang ia harus mulai lagi
dari awal. Pelajaran yang sama sudah didapatkannya di SMP. Zia mengambil ekskul
jurnalistik juga, dan keaktifannya bisa dianalogikan dengan sepasang orang yang
berpacaran tanpa komitmen jelas.
Sekeluarnya dari markas LEMPERs, Zia
menuju koridor tersuram di mana mading LEMPERs terpajang. Ia tercengang,
koridor itu kini tak terasa sesuram dalam pikirannya, berkat aura ceria yang
terpancar dari kotak mading. Ternyata benar kata Bang Ali, anak kelas X
sekarang rajin-rajin dan lebih mengerti prinsip disain. Mereka tahu bagaimana
memadukan warna tulisan dengan latarnya sehingga tidak menjadi sesuatu yang
merusak mata. Penempatan gambarnya juga tidak asal-asalan. Dan mereka sangat
mumpuni menggambar dengan aneka rupa pewarna. Apa yang dipikirkan tim mading
seangkatannya waktu itu sehingga tidak kepikiran untuk berusaha membuat mading
macam demikian? Apa yang dipikirkannya
waktu itu?
Kiranya anak-anak kelas X itu memang
belum terpengaruh dengan kejomplangan gengsi di antara tim majalah semesteran
dengan tim mading. Semangat mereka masih murni. Tunggu saja sampai mereka merasakan… Zia tertawa dalam hati.
Zia menyimpulkan, tampilan baru mading
LEMPERs ini secara keseluruhan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Ia ingin
tahu apa pendapat Kang Detol mengenainya. Jiwa Zia tersuntik sedikit semangat.
Kalau tampilan madingnya macam begini sih, rasa-rasanya ia akan bisa
menuntaskan tantangan kali ini.
Minggu, 28 November 2010
enam
(kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkanmu/ sesali wajahmu merenta, kisahmu terlupa/ kau sadari semua yang berjalan tlah tinggalkanmu/ dan tak dapat merangkai semua dekat di khayalmu/ kau harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu/ kau biarkan mimpi tetap mimpi yang melengkapi khayalmu/ kau terhenyak dan terbangunkan/ dan harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kini waktu meninggalkanmu/ peter pan - tertinggalkan waktu)
.
Kepala Zia terangkat sejenak dari layar
laptop Kang Detol. Hembusan angin mengisi pandangan yang redup karena mentari
mulai turun panggung. Lari, ya, lari,
nggak usah pake jerit-jerit… Zia menggeleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum… Dasar Lutung... Lagi-lagi
gelak tawa Mas Imin dan Kang Detol merambati rongga telinganya. Kata Mas Imin,
stres itu harus dilampiaskan dengan cara positif. Ini adalah kali kedua Zia
mampir ke SORGA dalam sebulan dan Zia belum berminat melampiaskan stres dengan
cara Mas Imin. Hanya menemani Mas Imin beraksi saja sudah cukup menjauhkan
stresnya untuk sementara waktu.
Kepala Zia turun kembali. Ia menggerutu.
Lemot nian modem Kang Detol ini. Sedari tadi layar hitam di hadapannya masih
ditimpa oleh potongan gambar yang tak kunjung lengkap. Membuka situs lain
sembari menunggu hanya akan semakin memperlambat akses saja. Zia
mengetuk-ngetukkan bantalan jemari pada kibor. Pandang dilemparkannya lagi pada
sirkuit merah SORGA. Namun yang mengisi kepalanya adalah memori beberapa hari
lalu. Saat ia baru sampai rumah dari persinggahannya di rumah Regi. Beruntung
sekali didapatkannya Zaha tengah tidur-tiduran di hadapan TV, jadi ia tidak
usah mendobrak paksa kamar adiknya itu. Bertubi-tubi gertak langsung ia
kerahkan.
Dimulai dari, “Jelek banget sih gambar
kamu di situ! Temen-temenku tadi pada ngeliatin tau, kalo mo di-publish
cuma-cuma tuh yang bagusan sekalian kek!”, yang dijawab dengan, “Ya gimana
lagi, aku kan gambarnya cuman pas lagi emosi…”, yang segera dipotong dengan,
“…diedit dulu kek…”, dan disambut dengan, “…males banget, cuman cerita tentang
kamu doang ini… Masih untung ada yang mo baca!”
Dan diakhiri dengan, “…aku tuh nggak
pernah ngejadiin foto kecenganku screensaver di ponsel ya, jangan dusta kamu!”,
yang ditukas dengan, “Seniman tuh menunjukkan kebenaran dengan kebohongan. Kamu
aja yang nggak bisa ngapresiasi!”, lalu, “Trus apa-apaan itu, TV di kamar mandi?”,
lalu, “Hah, selera humor aku aja yang kamu nggak ngerti!”, lalu, “Humor? Humor
apaan? Nggak lucu tau! Belajarlah menerima kenyataan, Fazaha!”, dan
pemungkasnya adalah, “Diem kamu!”
Kala itu Zia memang diam sebentar. Bukan
karena Zaha menyuruh, melainkan agar Zaha tahu bahwa apa yang akan dikatakan
Zia kemudian adalah sungguh-sungguh, bukan sekedar peramai adu mulut, “Yang
judulnya ‘KDRT’ dihapuslah. Ngingetin sama yang nggak enak. Denger kamu, Zaha?”
Zaha diam saja. Zia berharap anggapannya
selama ini benar; Zaha pasti selalu mendengarkan kata-katanya agar bisa
membalas dengan kepedasan yang lebih maknyus.
“Eh, besok aku pinjem ankle shoes kamu,
yah!” Zia menutup percakapan hangat malam itu sembari menaiki tangga menuju
kamarnya. Ia sudah berencana memamerkan barang tersebut di sekolah esok hari.
Didengarnya balasan Zaha, “Dasar miskin, pinjem-pinjem barang mulu!”
Adapun strip dengan judul yang Zia
singgung malam itu adalah strip di mana tampil inisiatif karikatur Zaha untuk
tanggap pada KDRT. Zaha tahu ada tetangganya yang demikian. Ia berniat
melaporkannya pada KOMNASHAM. Tapi lalu disadarinya bahwa KDRT di keluarga
sendiri saja tidak berani ia laporkan. Pada panel berikutnya Zaha menampilkan
Zia dan mendiang Mama.
Setelah Mas Imin menempuh tiga putaran
lagi, barulah Zia mendapat kepastian bahwa strip tersebut sudah tidak ada. Zia
menghela nafas lega. Jarinya mendorong-dorong scroll mouse. Diam-diam ia
mengagumi karya Zaha yang sewaktu dibuat dalam emosi saja sudah oke.
Terasa Mas Imin menghempaskan tubuh di
sampingnya. “Zia, handuk dong…” Zia melemparkan barang yang Mas Imin minta.
“Minum…” Lagi. Kang Detol menyusul kemudian dengan lidah terjulur dan nafas
ngos-ngosan. Ia duduk bersandar pada bangku dengan berselonjor kaki. “Eh,
Lutung, jangan langsung duduk kayak gitu…”
Mas Imin menurut apa kata sobat
lengketnya itu. Tubuhnya merosot dari bangku. “Berapa, Det?”
“Dua puluh…” Kang Detol menerima botol
yang diserahkan Mas Imin.
“Aargh… Penghinaan!” Mas Imin berlagak
membanting handuk.
“Mana ada stopwatch baru saya berdusta,
Min… Eh, Lutung… Beuh, saya bingung nama panggilan kamu banyak pisan…” Kang
Detol menaruh botol di sampingnya seraya mendongakkan kepala. Megap-megap
mencari udara.
“Ya udah, panggil yang biasa ajalah…”
“Yang biasa yang mana?”
“Dulu manggilnya apa?”
“Emang kalian nggak pernah saling
manggil pake ‘sayang-sayang’-an ya?” timpal Zia. Kang Detol memberinya tatapan
aneh.
“Eh, nggak bener tuh, cuman dua puluh.
Ulang lagi ah!”
Kali ini tatapan aneh Kang Detol
melayang pada Mas Imin. Mas Imin menangkapnya. Sesaat mereka tak bersuara
sebelum kemudian bertukar tawa kecil. Mengamati hal tersebut, Zia
menggeleng-gelengkan kepala sembari mengarahkan mata kembali pada layar laptop.
Hendak membaca strip komik Zaha lainnya.
“Serius, Danang!”
“Edan, capek ah, Luthfi!”
“Tapi nggak mungkin itu dua puluh, Dito.
Harusnya dua puluh dualah!”
“Ah, kamu mah maksa aja, Muhai!”
“Eh, Zia, lagi buka apaan?”
Zia refleks menarik diri dari Mas Imin.
Lekas ditutupnya blog Zaha meski sepertinya Mas Imin tidak akan sampai seniat
itu ingin tahu apa yang tengah dilihatnya. Kang Detol mengamatinya dengan
tampang tanpa ekspresi. “Lagi ngecek Twitter aja…” Zia menukas segera. Dua
cowok tersebut mengangguk-angguk seraya mengalihkan mata mereka ke arah lain.
Menutupi kebohongannya tadi, Zia memunculkan tab baru untuk mengakses akun
Twitter-nya.
“Eh, Zia, tulisan kamu nggak muncul di
majalah LEMPERs lagi?”
Zia baru menyadari bahwa Kang Detol yang
kini tengah meneguk minum kembali adalah seorang pemantau media LEMPERs.
Bukannya Zia tidak tahu sebelumnya, Kang Detol kerap mengomentari media apapun
yang dihasilkan LEMPERs. Mulai dari font tulisan, lay out, judul, sampai model
foto. Kang Detol juga yang menguak identitas Mas Imin sebagai Madam SMANSON.
Pada tahun pertamanya di SMANSON, Mas
Imin bertahan beberapa bulan di LEMPERs sebagai pengasuh rubrik “Dear Madam
SMANSON”, sebuah rubrik curhat di mading mingguan LEMPERs. Mengasuh rubrik ini
memberikan kepekaan awal baginya untuk lebih memerhatikan keadaan orang-orang
di sekitarnya. “Saya jadi tahu masalah anak-anak di sekolah. Beberapa kadang
terlalu parah buat dimuat di mading, jadi saya simpan aja. Kalau saya bisa
ngasih solusi, saya bakal ngasih tau yang bersangkutan diam-diam,
kalau-tau-orangnya,” kenang Mas Imin pada suatu ketika.
Berdasar kesepakatan yang dibuat saat
rapat AD/ART LEMPERs, hanya pengasuh rubrik tersebut yang boleh membuka surat
curhat yang ditujukan untuknya. Hanya ia juga yang berhak menentukan apakah
surat itu akan dimuat di mading atau tidak. Madam SMANSON menjamin kerahasiaan
identitas pengirim, yang memang biasanya mengirim surat tanpa identitas.
Mas Imin memutuskan hengkang dari
LEMPERs sejak Kang Detol tahu-tahu mendatanginya dan bilang, “Kamu, ya, si
Madam SMANSON itu?” Lagi-lagi berdasar AD/ART LEMPERs, rubrik itu pun tidak
lagi diadakan karena identitas pengasuhnya ketahuan siswa non anggota LEMPERs.
“Sebenarnya rubrik itu saya yang ngusulin pas rapat redaksi. Karena nggak ada
yang mau megang, akhirnya sama saya deh. Nggak nyangka, ternyata yang minat
lumayan juga. Pas saya keluar dari LEMPERs, nggak ada yang sanggup nerusin
sebaik saya, hehe…” begitu pengakuan Mas Imin. “Lagian capek ah jadi
madam-madam. Ngelawan kodrat.”
Kang Detol juga yang bilang pada Zia
bahwa Mas Imin masuk LEMPERs karena mengejar cewek berinisial LTR yang
dikecenginya sejak SMP. Mereka bertemu di suatu lomba yang pernah diadakan
SMAN Ujunggerung. Cewek itu juga yang menjadi alasan Mas Imin masuk SMANSON.
Seiring berjalannya waktu, Mas Imin sudah tidak lagi mengecengi cewek tersebut.
Sampai sini Zia kecewa. Mas Imin menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja
omongan Kang Detol karena Kang Detol memang suka mengarang cerita. Cerita
tentang Mas Imin hanyalah satu yang tidak absurd dari koleksi karangan absurd
Kang Detol.
“Nantangin kamu tuh, si Detol,” teguran
Mas Imin mengunggah kesadaran Zia kembali. “Kapan nulis lagi, Zia?”
“Iya, nantang, nih, nantang.” Kang Detol
berlagak menyingsingkan kedua lengan jumper-nya bergantian. Zia mengernyit.
Sabtu, 27 November 2010
lima
(it must have been love, but it’s over now/ it must have been good, but i lost it somehow/ it must have been love, but it’s over now/ from the moment we touched till the time had run out/ roxette – it must have been love)
.
Sebelum semakin mengutara Kota Bandung,
turunlah Zia dan Tata dari angkot. Sampai memasuki bagian dalam rumah makan,
Tata belum lepas dari kaitan lengan Zia. Tata menyimpan kekecewaan karena Ardi
menolak diajak ikut reuni SMP-nya. Zia menyimpan kesenangan karena Tata menjadi
miliknya lagi. Di sini tidak akan ada pendar-pendar obsesi Tata pada Ardi.
Hawa lembab menerpa kala mereka memasuki
ruangan besar yang disekat papan-papan kayu berwarna muda dari pemandangan di
luarnya. Angin sejuk dan cahaya matahari menembus dari celah-celah di antara
kedua bilah papan. Rumbai-rumbai kain krep menjuntai dari langit-langit.
Lampu-lampu dengan tali panjang menggantung. Perhatian Zia terarah ke sana
sebelum kemudian mengalih pada wajah-wajah yang mengenal dan dikenalnya.
Menyapa dan disapa sembari berjalan di antara bangku-bangku panjang berwarna
senada dengan dinding. Tata memilih duduk di seberang Akbar. “Si Ega mana,
Bar?” Ia menyela percakapan Akbar dengan orang di sampingnya.
“Wah, iya. Gimana ya kabar si Ega?”
Akbar mengusap-usap belakang kepalanya.
“Lieur budak teh. Bukannya kamu teh dulu
sobat kentalnya si Ega?”
“Loh, bukannya kamu yang sekarang satu
SMA sama dia?”
“Oh iya, ya!” Tata tertawa. Zia
berdecak-decak. Ganti Akbar yang menegurnya. “Eh, Zia! Saya baru kepikiran,
kamu harus jadi orang Garut dulu kalau entar punya mobil! Supaya entar kamu
platnya bisa Z 14 atau Z 1 A.”
“Berarti kalau si Tata harus jadi orang
Purwakarta dulu atuh?”
“Kenapa gitu?” tanya Tata bingung.
“Iya. Kan biar entar platnya jadi T 4
TA!” Akbar menandaskan. Sebelah alis Tata terangkat—gestur yang dipelajarinya
dari Ardi. Ia bangkit untuk menyerbu orang-orang yang ingin diusiknya. Ganti
Epay yang mengisi tempat Tata. Ucapnya sumringah, “Aduh, ya ampun. Kangen deh,
kangen… Udah lama deh nggak ketemu! Zia! Apa kabarnya?”
“Ah, Epay. Besok juga ketemu di
sekolah…” Zia menggeser pantatnya agar bertambah jarak lagi di antara ia dan
Epay.
“Ih, Zia. Ini kan reunian, Zia, reunian!
Kita harus menyesuaikan!”
“Ya, harusnya kamu bilangnya ke Akbar
yang beda sekolah. Jangan ke aku…”
“Iya, ini juga baru mau gitu sama Akbar.
Aduh, Akbar, udah lama nggak ketemu! Kangen! Kangen! Kangen!” Akbar
menyambutnya dengan tawa renyah. Kata Epay lagi, “Kalau saya plat mobilnya apa,
Bar?”
“Mmm… E yah? Berarti kamu harus ke
Cirebon dulu, Pay. Tapi huruf P kalau diangkain jadi apa ya?” Akbar menggaruk
dagunya. “Tapi kalau pakai nama asli kamu bisa sih, Pay. Jadi V 14 atau V 1 A.”
“Tapi emangnya daerah mana yang platnya
V?” tukas Zia nyinyir.
“Haa… Berarti kamu nggak bisa punya
mobil, Via!” Akbar menunjuk Epay. Kembali pada tawa renyahnya. Tawa ngakak Zia
mengiringi. Epay menggerutu. Setelah bertukar kabar— terutama tentang
terpilihnya Ega sebagai ketua OSIS dan ketidakbisahadiran dirinya serta Regi
karena ada rapat OSIS, beberapa kalimat, dan tawa lagi, Akbar kembali beralih
pada orang di sebelahnya. Epay menepuk punggung Zia. Senyumnya penuh maksud.
Setengah berbisik, ia berkata, “Tadi saya ketemu si Ezra di depan!”
Kegamangan melintas dalam hati Zia.
Pernah ada masa di mana ia langsung memekik ketika nama itu disebut. Namun
setelah itu datang masa di mana malah keresahan yang melandanya. Jadi dengan
intonasi datar Zia hanya berucap, “Terus?”
Arah pandang Epay berjalan ke atas. Epay
memberi tekanan pada pundak Zia agar membalikkan tubuh sehingga ia bisa melihat
Ezra dan Oman menyongsongnya. “Wah, ini nih… Duo maut yang menyabotase konser
urang akhirnya dipertemukan lagi,” kata Oman begitu melihat Zia. Oman—Zia
menjulukinya Sang Dewa Gitar—adalah guru gitar pertama Zia. Seorang kawan
segeng yang memberi sedikit kontribusi bagi upaya sabotase yang disinggungnya.
Mendengar kata “sabotase”, Zia meringis.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, pada
suatu malam ia dan Ezra berdiri di balik panggung yang berdiri di lapangan SMP
mereka. Cowok berponi itu terlihat menyembunyikan kegugupannya. Sebelah
lengannya mencengkeram erat fret gitarnya. “Siap, Zia?” Zia mengangguk saja. Ia
heran mengapa ia tidak sampai segugup Ezra. Mungkin karena ini adalah
pertunjukan Ezra, kendati ia yang bagian berteriak-teriak dengan pita suaranya
sendiri, sementara Ezra meraung dengan gitar listriknya. Selama
berminggu-minggu mereka sudah menyiapkan ini. Ketika Oman telah sampai pada
suatu bagian dalam permainan gitar-nya, Ezra dan Zia mulai berderap menaiki
panggung. Dan kejutan untuk semua hadirin—namun terutama adalah untuk Sugeng,
Andri, dan Hauzan. Epay sudah mengomando kawanan gengnya agar bersorak sekeras
mungkin saat kejutan itu terjadi.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, jauh
sebelum itu ia selalu memaksa Epay agar menceritakan kembali apa yang telah
Ezra curhatkan padanya. Hanya Epay yang tahu pasti bahwa Zia mendamba Ezra
semenjak lama—sementara kawanan gengnya hanya tahu bahwa kecengan Zia adalah
seorang adik kelas bernama Bagas. Berkat Epay, Zia dapat memahami Ezra lebih
jauh, dekat dengan cowok itu, menjadi teman curhat dan berbagi minatnya yang
lain, dan setuju untuk bantu menyabotase konser para kawan yang telah
mencampakkannya.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia,
bulan-bulan setelah malam perpisahan SMP yang penuh sensasi itu menjadi
masa-masa di mana hangat mengisi dadanya, sebelum kemudian diganti resah tak
berujung. Masa-masa di mana Ezra tahu-tahu meneleponnya, mengajaknya jalan, dan
menciptakan kedekatan personal di antara mereka berdua. Zia sudah menduga-duga
akan ke mana akhir dari hubungan itu. Ia tidak bisa berhenti bahagia pada saat
itu, meski masih menyayangkan mengapa ia dan Ezra tidak masuk ke SMA yang sama
saja. Namun selalu ada saatnya bagi pikiran untuk tercerahkan dan membangkitkan
kesadaran. Kesadaran yang memberitahunya akan betapa labilnya Ezra. Dengan
segala cerita Ezra tentang permasalahannya dengan ayahnya, kesengajaannya untuk
tidak pergi ke sekolah, konflik batin tentang mantan pacarnya yang ia ciptakan
sendiri, lama-lama Zia merasa tidak nyaman. Pantas saja dulu Ezra selalu
bermasalah dengan pacarnya dan tidak pernah bisa sesuai dengan para kawan
band-nya hingga ia didepak. Oman pun dicomot untuk menggantikan. Zia pikir, ia
dan Ezra bagai dua kutub negatif yang seharusnya saling tolak-menolak. Yang
harusnya ia cari adalah kutub positif. Maka pelan-pelan Zia menjauh sembari tak
putus melontar harap agar Ezra dapat mengatasi masalahnya sendiri. Epay sungguh
heran saat itu karena ia kira sesama orang labil seharusnya dapat saling
memahami dan cocok. Namun lama-lama harap Zia terwujud juga. Ezra semakin
jarang menghubunginya lagi. Selain usahanya untuk tidak menggubris Ezra
seintens semula, Zia tidak tahu apa faktor lain yang menyebabkan Ezra begitu.
Kini ia berada di reuni SMP untuk
mengetahuinya tanpa ia rencanakan. Setelah Oman berlalu, Ezra duduk di hadapan
Zia. Zia merasakan gelenyar aneh menjalar di dalam dadanya saat melihat wajah
cowok berkacamata itu lagi. Sesuatu yang memikat dirinya pertama kali. Setelah
bertukar sapa ala kadarnya dan pesan jus jeruk satu, Zia tidak mengharapkan
Ezra masih ingat masa-masa di mana mereka pernah dekat dan menyinggung hal
tersebut. Ia merasa malu. Satu pertanyaan Epay waktu Zia bilang bahwa ia sudah
tidak mau dekat Ezra lagi selalu mengusik, “Trus kenapa kamu nggak berubah jadi
kutub positif aja, Zia?”
“Udah nge-band lagi?” tegur Ezra. Zia
diingatkan lagi akan betapa memesonakannya senyum cowok itu. Betapa lemas
tubuhnya setiap kali senyum itu melayang padanya. Betapa ia selalu lapor pada
Epay setiap kali habis berinteraksi dengan Ezra. Ah, itu semua hanya riak-riak kecil dalam kehidupan remaja labil! Zia
berusaha menutup kembali kotak memorinya. Ia juga berusaha menepis rasa
terpuruk akibat diingatkan akan satu usaha gagalnya.
“Udah… nggak,” ucap Zia setelah gagal
juga dalam mengarang jawaban yang mengandung peningkatan harga diri. “Sekarang
aku lagi suka ngarang lagu aja.” Setelah pulang dari reunian ini, kalau Tata
tidak mengajak mampir ke rumahnya, Zia akan mengurung diri dalam kamar untuk
mencipta sebuah lirik lagu berjudul “Simfoni Patah Hati Terakhir.” Mungkin Ezra
akan berminat dengan kesukaan Zia mengarang lagu? Oh, tidak, ia melambai pada
rombongan Sugeng, Andri, dan Hauzan. Sudah berdamai mereka rupanya. Zia masih
ingat akan suatu gosip kala ia SMP bahwa Ezra pernah hampir menghajar Andri
karena ketahuan jalan bersama Ocha—pacar Ezra saat itu. Namun Sugeng dan Hauzan
malah membela Andri. Zia menghela nafas. Pikirannya susah diajak kompromi
dengan indra pendengaran agar memerhatikan cerita Ezra kemudian. Yang ia
tangkap hanya Ezra sekarang pegang bass dan ia tidak rebutan cewek dengan salah
satu personil band barunya.
Muka Ezra jadi semakin cerah. “Eh, eh,
Zia… Liat nih, pacar baru Ezra…” ucapnya sembari mengambil dompet dari saku
belakang celananya. Zia tercenung. Rupanya Ezra masih menganggap Zia sebagai
seseorang yang dekat dengannya, sampai berinisiatif hendak menunjukkan pacar
terbaru segala. Kalau ia tidak pernah menjauhkan diri dari Ezra, mungkin
potretnya yang bakal mengisi dompet tersebut.
Mata Zia menumbuk potret yang Ezra
sodorkan padanya. Ia merasa mengenal cewek tersebut. “Penyiar Ringo, yah?”
“Eh, kok tahu?”
“Namanya siapa sih?”
“Joan. Anak SMAN Bilatung. Imut banget
yah? Ezra suka.”
“Alphita Joannisa Handoko?”
“Eh, kok tahu?” Zia tak heran Ezra tampak kaget. Akhirnya Zia ingat juga siapa nama asli Handoce. Ternyata benar apa kata orang, dunia tidak selebar celana kolor. Terima kasih, Ezra.
Jumat, 26 November 2010
SELAI PISANG COKLAT!
Kamu hanya membutuhkan
- sebungkus biskuit remuk
- 2 sachet susu kental manis rasa coklat
- sebuah pisang ambon yang amat matang
- air secukupnya
untuk dipadukan di atas sebidang piring sehingga menjadi sesuatu yang Nyonya Teladan namakan SELAI PISANG COKLAT.
Mau tahu bagaimana cara Nyonya Teladan membuatnya? Pertama, Nyonya Teladan remukkan keseluruhan biskuit dalam plastik untuk kemudian dituangkan di atas piring. Tuangkan susunya satu sachet dulu, aduk-aduk... Kurang, Nyonya... Oke. Tambahkan satu sachet lagi. Aduk-aduk lagi. Tambahkan air secukupnya agar semua bahan dapat tercampur dengan merata. Sudah? Oke. Mari kita masukkan sensasi pamungkas kita, sang primadona ambon manise matenge... the banana in the tropical jungle... Dilumat hingga bersatu dengan adonan sebelumnya ya, Anakku, Sayangku...
Nah, sudah jadi adonan selai kita. Agar lebih menggugah selera, pindahkanlah ia ke wadah yang cukup aman untuk dimasukkan ke dalam kulkas bersama. Sembari menunggu semalaman, kamu dapat membeli sebungkus roti sandwich susu spesial merek BE LIVING BREAD di toko terdekat. Maka, kamu akan mendapati cerahnya esok pagi dengan beberapa lembar roti lapis selai buatan sendiri cap nyonya teladan! Salam manis!
Kamis, 25 November 2010
Sekelumit Wajah Jepang Pra Restorasi Meiji
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1994-1995 (cetakan pertama)
Adalah sebuah seri komik lawas yang saya temukan di rak kontrakan teman, dibeli saat harga komik Elex masih 3300 rupiah. Saya terkekeh saat di nomor pertama membaca sebuah judul di halaman awal: "Roman Yokohama". Kalau bicara soal roman umumnya di kepala ini yang terbayang adalah sebuah buku penuh teks, macam "Siti Nurbaya" itu. Jadi kalau dipikir-pikir lagi seri komik "Candy-candy" pun mungkin bisa disebut roman juga?
Cerita dalam komik ini berlatar di Yokohama, sebuah kota yang menjadi gerbang barang-barang impor maupun ekspor di Jepang, tahun 1870-1880-an. Tepatnya, pada musim gugur tahun 1875, seorang gadis yatim piatu dari gunung bernama Uno dibawa oleh seorang pengusaha kaya raya, yang adalah majikan orangtuanya, ke Yokohama. Pria bernama Tuan Kanou ini bermaksud menjadikan Uno sebagai pembantu anak bungsu perempuannya yang bernama Mariko. Meski dididik sebagai perempuan rumahan yang bertata krama, Mariko badung luar biasa. Tak disangka Uno ternyata dapat berteman akrab dengan Mariko. Inilah awal dari persahabatan mereka, yang saling mengasihi, berkorban, dan mendukung cita-cita satu sama lain, dan tak akan lekang oleh waktu hingga cerita berakhir saat pelabuhan Yokohama menjelang dibangun dan Restorasi Meiji akan segera dimulai.
Sebagai kota pelabuhan, Yokohama banyak mendatangkan orang asing. Dari ilustrasi-ilustrasi yang dibuat sang komikus, Yokohama seperti tak ada duanya dengan kota-kota di Eropa. Dengan budaya Jepang yang masih kental tentunya. Tidak hanya berdagang, ada pula orang asing yang memberi pendidikan bagi masyarakat lokal.
Sebagai anak-anak perempuan yang berpikiran maju dan terbuka pada perubahan, Mariko dan Uno memohon kepada Tuan Kanou agar diizinkan bersekolah. Dengan bantuan dari nenek tetangga sebelah bernama Amano Reika, juga setelah membungkuk-bungkuk penuh harap, dua gadis ini pun diizinkan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan keluarga Simmons, yang kelak akan menjadi bekal yang amat berguna dalam memperoleh cita-cita mereka, di antaranya berkelana sampai ke negeri orang.
Tidak mudah jalan yang harus mereka tempuh untuk mencapainya. Apalagi mereka hidup pada jaman di mana masyarakat masih punya pandangan bahwa wanita tidak pantas untuk pergi jauh-jauh dan lebih patut tinggal di rumah saja mengurus suami dan anak. Uno sempat ditipu seorang asing yang hendak menjualnya ke Hawaii, ayah Mariko meninggal dan usahanya diwariskan ke anak sulungnya, Shuiciro, yang lebih berminat melukis daripada berbisnis, hingga akhirnya sepasang sahabat yang sudah bagai saudara ini harus berpisah. Uno menggantikan Mariko pergi ke Amerika sedangkan Mariko sendiri harus tetap tinggal di Yokohama. Karena perusahaan ayahnya di ambang kebangkrutan, Mariko terpaksa menikah dengan seorang pengusaha kaya yang dulu pernah menolongnya.
Akan jadi amat panjang nantinya kalau detail cerita ini dijabarkan. Sebagaimana roman pada umumnya, banyak tokoh lainnya berseliweran dalam cerita ini, di antaranya para pemuda ganteng yang membuat kehidupan cinta dua gadis muda ini jadi pelik, sebut saja Amano Shintaro--teman sepermainan Mariko sejak kecil yang diam-diam dengan Mariko saling menyukai, Ryusuke Kai--anak samurai yang penuh perjuangan keras agar bisa hidup, Kicho Isahaya--penerus bisnis keluarga yang wajahnya cantik dan mirip Shintaro, Toby Simmons--anak pengelola kursus Simmons yang jatuh cinta pada Uno, juga ada tokoh-tokoh lainnya seperti Rinko, anak samurai yang seorang geisha, dan Jim Roid, seorang koboi yang menolong Uno saat mencari Shintaro di Amerika.
Salah satu yang menarik dari cerita ini adalah latarnya. Saat baru ngeh akan latarnya, saya menerka-nerka, akankah ada isu kristenisasi menyelip dalam cerita ini? Misalnya karena banyak mengecap pengaruh dari Barat akhirnya Uno dan kawan-kawan menjadi kristen atau bagaimana, lalu dikejar-kejar untuk dibunuh, seperti yang pernah saya tonton sekilas dalam kartun "Samurai X". Atau apakah mereka akan terkena dampak dari pemboman dua kota industri di Jepang pada masa Perang Dunia II? Tidak ada yang seperti itu sih. Sacramento, San Fransisco, dan daerah-daerah Barat Liar di Amerika sana sempat menjadi latar atau sekedar disebut-sebut dalam cerita ini.
Alkisah, Amano Shintaro, yang tinggal membuat skripsi saja untuk lulus dari Kedokteran Harvard, hijrah ke San Fransisco untuk mengobati para imigran Jepang miskin yang mengadu nasib di sana. Saat itu di Amerika isu rasial masih gencar dan tidak ada seorang dokter kulit putih pun yang mau mengobati orang Jepang, yang sering disangka orang Cina atau orang Indian, apabila mereka sakit. Saking susahnya menjadi orang Jepang di Amerika saat itu, terutama kaum penggarap tanah, untuk membayar biaya menonton pertunjukkan teater seharga 50 sen per orang saja mereka belum tentu mampu (meski saya tidak tahu semahal apa sih 50 sen pada masa itu). Meski demikian, ada juga orang Jepang yang mapan. Tapi profesinya insinyur tambang. Kondisi demikian mengingatkan saya akan novelnya John Steinbeck, 'The Grapes of Wrath"--yang edisi Bahasa Indonesianya berjudul "Amarah"--yang juga mengisahkan tentang kaum kulit putih penggarap tanah.
Entah mengapa, cerita ini menimbulkan kesan yang cukup kuat buat saya. Meski para tokohnya mungkin agak tipikal, romansanya agak klise, dan saya membayangkan jika cerita ini dibuat versi live action-nya, mesti akan menjadi serial drama seperti "Jang Geum", "Putri Huan Zhu", atau drama Taiwan serupa yang soundtrack-nya "hou syang hou syang". Kalau kamu suka kisah roman dengan tema cinta, persahabatan, dan cita-cita berlatar belakang sejarah, bacalah seri komik ini.
Rabu, 24 November 2010
Penerbit : Era Novfis, Solo, 2003
Tokoh utama serial ini, Akta, adalah seorang siswi SMA yang begitu memegang teguh prinsip ideal seorang muslimah. Ya, biarpun masih duduk di bangku SMA, tapi pembawaannya serius sekali, baik soal keislaman maupun studi. Sekilas si Akta ini tampak sempurna dan ideal. Akidah, otak, finansial, fisik, sepertinya tidak ada masalah berarti jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, yang pada bermasalah dan si Akta inilah yang jadi pemecah masalahnya. Saya membayangkannya bagai teman-teman saya, mbak-mbak yang aktif di lembaga dakwah tapi aktif juga di kelas, ber-IP tinggi, dan belum prestasi lainnya.
Kalau anda adalah anak muda yang masih haus mencari kesenangan dunia dan belum siap jadi alim (meski ilmu akhirat mesti ditimba sedini mungkin), saya tidak menyarankan anda membaca novel ini. Mengapa? Karena setelah menyelesaikannya, anda mungkin akan jadi merasa amat berdosa. Atau anda akan jadi sebal sama Akta yang kok-sebegitunya-sih-bersikap. Atau bisa jadi malah muncul rasa antipati, "ah, beragama nggak meski segitunya kali..." Tapi anda bilang seperti itu apakah karena pondasi ilmu akhirat anda memang sudah kuat atau hanya asal bunyi saja karena tidak ingin dipojokkan sebagai seorang pendosa? Jika tidak ingin merasa dihakimi oleh fiksi islami yang tidak begitu anda doyani, sebaiknya anda jejali dulu otak anda dengan ilmu akhirat sebanyak-banyaknya.
Selasa, 23 November 2010
Tobias Wolff – Say Yes
Senin, 22 November 2010
Cowok Idaman Bibe
Sebelum bertemu fisiknya, orang kerap salah mengenalinya
sebagai perempuan. Tapi Manda maklum saja sebab cowok yang bernama Prima, Indi,
atau Elda, juga bisa mengalami hal yang sama. Sebagaimana orang bernama Sugeng
dan Bambang punya komunitas[1],
Manda pernah kepikiran untuk membuat komunitas bagi mereka yang punya nama
uniseks.
Belum sebulan Manda menghuni XI A2. Beberapa belas menit lalu
ia menolak halus ajakan teman sebangkunya untuk menghabiskan jam istirahat di
kantin. Ia memasang headset dan
memutar karya dari musisi kesukaannya. Ia menunggu kelas cukup sepi untuknya
mengeluarkan buku pelajaran Matematika kelas 5 SD. Ia lalu mematikan pemutar
mp3-nya agar bisa berkonsentrasi dalam menekuni buku tersebut.
Perhatian Manda teralih sebentar. Segerombolan siswi memasuki
kelas. Berdasar kesepakatan kelas mengenai pembagian bangku pada minggu silam,
adalah satu dari mereka yang mendapat bangku di belakangnya. Ialah Bibe, yang
beserta kawanannya mengusir kekosongan di belakang punggung Manda.
Sewaktu kelas X, kelas Manda bersebelahan dengan kelas Bibe. Itulah
yang membuat mereka kebagian meja yang bersebelahan saat lomba kreasi nasi
goreng dalam rangka peringatan HUT RI. Manda sadar Bibe terus mengamatinya
mengiris mentimun. Bibe bilang pergerakan jari Manda mengagumkan. Itu hanya
satu dari sedikit interaksi dengan Bibe yang Manda ingat.
Selebihnya, Manda mengenal Bibe tanpa sedikit pun usaha. Bibe
sudah terkenal dengan sendirinya. Setiap upacara bendera, selalu disebut nama
“Bibe Alizia Pohan” sebagai pemenang bermacam lomba. Bibe pernah menang lomba
pidato, lomba debat, lomba cerdas cermat, lomba menulis, hingga lomba
baris-berbaris. Namun sekali Bibe menang suatu lomba, tak pernah terdengar lagi
kiprahnya dalam lomba yang sama. Belum bisa mengatakannya sebagai yang
terunggul dalam suatu bidang, tapi Bibe telah terbukti dapat unggul dalam
segala bidang. Bibe juga aktif di banyak ekskul. Kawanannya tak hanya yang
itu-itu saja—Bibe pernah terlihat bersama berbagai macam orang. Bibe melukis
sendiri sepatunya, juga menjahit sendiri ikat rambut dan tas cangklongnya. Bibe
tak berusaha kelihatan modis, seadanya, namun nyaman dipandang meski Bibe bukan
cewek tercantik yang pernah Manda lihat.
Bibe sedang ditodong kawanannya. Kini giliran Bibe untuk
mengungkap apa saja kriteria cowok idamannya.
“Iya… Iya… Nih aku sebutin, nih… Perhatiin baik-baik ya,
semuanya!” Bibe berusaha menenangkan rasa penasaran yang mengerumuninya. “Satu…
Seiman dan beriman. Solatnya nggak boleh bolong-bolong… Oke.. Dua… Bisa main
piano. Dan ngefans berat juga sama Om Hayyra…”
“Om Hayyra terus, Om Hayyra terus, nikah aja sekalian sama
dia!” keluh seseorang ditimpali yang lain. Terasa bahwa nama itu sudah sering
mereka dengar namun mereka sendiri sebenarnya tak familier dengan siapa yang
dimaksud.
Bibe tergelak. “Haha, ih, masak aku nikah sama yang
sepantaran mama aku?” Tak mengindahkan tanggapan ramai kawanannya, Bibe
melanjutkan, “Tiga, harus punya banyak saudara kandung. Pokoknya berasal dari
keluarga besarlah! Empat, pekerjaannya entar nggak mengharuskan dia buat banyak
berpergian. Pokoknya kalau pagi sama malem seringnya harus ada di rumah. Akhir
minggu juga nggak malah keluyuran ke mana-mana.”
“Yah, Bibe, dipenjara aja sekalian…”
“Ya nggak mesti gitu juga kali… Lima, intelejensianya kurang
lebih setara, lebih tinggi dikit juga nggak apa-apa deh. Enam, nggak protes
sama selera makan yang aneh-aneh—“
Terdengar gelak beberapa orang. Berdasar kenangan akan lomba
kreasi nasi goreng yang lampau, Manda pernah melihat sekilas Bibe menuang sirup
ke piring nasi gorengnya. Baru kemarin juga ia melihat Bibe menjilati es
tong-tong yang dibubuhi lada.
Bibe tak menghiraukan ledekan kawanannya. “Tujuh, nggak
songong. Delapan, nggak suka berantakin rumah. Sembilan, punya ladang jamur.
Sepuluh, rajin nabung. Sebelas, suka main layangan. Dua belas, suka bakar roti.
Tiga belas, nggak norak apalagi suka ngumbar kata-kata yang bikin diabetes,
hiiii… Empat belas, nggak suram. Lima belas—“
“Eh… nggak bisa, nggak bisa… kriterianya cuman sepuluh…”
“Wah, Bibe maruk nih…”
Kawanan tersebut menuntut Bibe untuk mengeliminasi
kriterianya. Bibe mendesah. “Oke! Oke! Nomor tujuh sampai sembilan disatuin di
nomor tujuh. Nomor sepuluh sampai dua belas jadi nomor sepuluh aja… Trus…”
“Ye… Ya nggak bisa juga dong! Harus satu-satu!”
“Iya nih, Bibe banyak banget kriterianya…”
“Cuman lima belas aja kok! Pasin ajalah…” sela Bibe.
“Belum kriteria fisiknya…”
“Aduh… aku sih masing bingung ya sama definisi ganteng…”
suara Bibe lagi. Ia membungkam sisa luapan komentar kawanannya dengan,
“Pokoknya, nomor terakhir nih, nomor terakhir… Biar aku sama dia bisa saling
melengkapi, dia mesti BEDA dari aku!”
“Beda kayak gimana, Beb?”
“Aah… Aku tahu, pasti cowoknya Bibe entar yang pendiem
banget, sampai-sampai jarang ngomong…”
“Yang jelas selera makanannya normal, hahaha…”
Kembali Bibe ramai diledeki kawanannya. Bibe rusuh mendiamkan
mereka.
“Aaah… Beb, kalau kriterianya kayak gitu mah, kapan kamu bisa
dapet cowoknya?”
“Iya, ih, aku nggak kebayang loh, Bibe entar cowoknya kayak
gimana…”
“Iiih… Apa sih kalian? Aku kan pingin punya cowoknya masih lama.
Buat calon suami mah nggak boleh sembarangan dong kriterianya… Jadi tenang aja,
masih banyak waktu buat nyari… Dari sekian miliar jumlah cowok di muka bumi
ini, masak nggak ada satu pun yang menuhin kriteria kayak gitu sih?” balas
Bibe.
“Ya, mungkin ada kali, Beb, di Zimbabwe!”
Terdengar lagi gelak tawa.
“Bukan terong digulain lagi itu mah, tapi kadal dikecapin!”
“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek,
atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu.
Titik!”
***
Hari sebelumnya
Manda biasa langsung pulang ke rumah sepulangnya dari
sekolah. Gaya jalannya yang terseok-seok menimbulkan bunyi gesekan antara sol
sepatu dengan jalan gang yang disemen. Begitu mendekat ke ambang pintu rumah,
Azi berlari menyongsongnya dari dalam rumah. “Kakak, gendong! Gendong!”
Manda merengkuh tubuh gempal si mungil dan membawanya masuk
kembali ke dalam rumah. Mengayun-ayunkannya hingga anak itu tergelak. “Udah
makan belum, Dek Azi?” Jari Manda mengambili butir-butir nasi yang menempel di
pipi gembil itu. Sebelah tangannya membetulkan letak vas yang tak tepat di
tengah meja. Mungkin gara-gara disenggol Azi tadi.
“Lagi makan…” Mata Azi sudah fokus kembali pada mainan di
tangan. Manda menurunkan Azi di sebelah Aza. Kembaran Azi tersebut menoleh.
Dengan tak acuh kembali memalingkan perhatian pada layar TV. Sebelah tangannya
memegang sendok. Lebih banyak butir nasi berceceran di sekitarnya.
“Tuh, liat, kayak Dek Aza, makan sendiri. Dek Azi makan
sendiri apa disuapin?”
“Disuapin Aza…”
Sembari bangkit, Manda mendengus. Layar TV diisi iklan. Masih
membawa sendoknya, Aza mengekori Manda ke kamar. Manda terkejut mendapatinya
ketika hendak menutup pintu. “Kenapa Dek Aza?”
“Mau disuapin Kak Manda…”
“Iya bentar, Kakak ganti baju dulu ya. Jangan ikut masuk.
Kakak malu...” Manda menghembuskan nafas lega karena Aza mau saja menunggu di
balik pintu. Lekas ia mengganti bajunya. Sebelum melepas atasan, ia
merogoh-rogoh saku. Uang di dalamnya masih tersisa lumayan. Celengannya
bertambah berat saja dari hari ke hari. Manda lebih suka mengulik soal
matematika SD ketimbang mengeluarkan uang saat jam istirahat.
Ketika ia membuka pintu kembali, Aza sudah tak ada. Azi
menunjuk-nunjuk layar TV. “Kakak, liat, Kakak, Sponge Bob!”
“…iya… Kakak solat dulu ya…” Manda lekas melintas sepasang
bocah usia tiga tahun itu. Di dapur ia menegur Melia sambil lalu. “Bikin apa,
Dek? Hati-hati loh, pake toaster-nya…”
Sekembalinya dari kamar mandi dengan titik-titik air membasahi beberapa bagian
tubuh, Manda mendapatkan jawaban, “Bikin roti bakar, Kak.”
“Oh…” Manda hendak berlalu lagi, namun Melia memanggilnya.
“Kak, Kakak bisa tungguin ini bentar nggak? Kayaknya bentar
lagi mateng nih… Aku mau ke atas dulu bentar…”
“Ya…” Manda menggantikan posisi anak kelas 2 SD itu di depan toaster. Dari jauh dilihatnya Aza yang
terpekur karena tayangan TV dan Azi yang membolak-balik mainannya dengan penuh
minat. “Azi, Aza, mau roti bakar juga nggak?” Malah toaster yang menggubris. Manda memindahkan roti dari dalamnya ke
atas piring yang telah terisi roti bakar sebelumnya. Melia telah kembali.
“Mau diisi apa, Mel, rotinya?”
“Mmm… Atasnya nasi, bawahnya Anak Mas…”
Manda memasukkan dua lembar roti yang sudah dibubuhi margarin
lagi ke dalam toaster. “Gantian
tungguin ya, Dek. Kakak mau solat dulu…” Manda menyibak poninya yang basah. Ia
tunaikan solatnya segera, kembali ke dapur, dan mendapati sepasang roti
bakarnya sudah menumpuk di atas piring.
“Kakak isinya mau kayak yang punyaku juga, nggak?”
“Nggak, ah…” Manda membawa piringnya masuk ke dalam kamar. Ia
kunci pintunya. Manda membuka salah satu laci meja belajarnya. Tangannya
merogoh hingga ke pojok laci untuk mendapatkan sebungkus Pedigree. Sepuluh
tahun lalu ia pernah ikut bermain ke rumah tetangga—teman kakaknya—yang
memelihara anjing. Dengan sengaja, kedua bocah yang bisa dikatakan hampir
menginjak remaja itu memberinya beberapa butir biskuit kecil berbentuk tulang
anjing. Snack keluaran terbaru, kata
mereka. Tidak sekali mereka begitu. Manda sudah terlanjur ketagihan ketika
sadar bahwa yang diberikan padanya adalah makanan anjing. Perutnya tak pernah
mengalami masalah berarti karena itu. Kak Mita bahkan tidak tahu bahwa ia masih
mengonsumsi. Selama ini ia membeli cemilan favoritnya itu secara
sembunyi-sembunyi dari tabungannya.
Permukaan roti kini sudah penuh terisi tulang anjing-tulang
anjing mini. Lembar roti lain ia taruh di atasnya. Sembari mengunyah serta
menikmati “krauk krauk” plus sensasi dari sari daging yang dikeringkan, Manda
mengamati bayangannya di cermin. Tak sedikit yang mengatakan betapa ia memiliki
rambut yang halus dan bersinar—secerah kulitnya, secemerlang matanya. Apa yang
dikatakan produsen cemilan favoritnya pada kemasan kiranya bukan bohong belaka.[2]
“Kak…” Sepertinya itu Aza yang menggedor pintu. Manda lekas menghabiskan
makan siangnya.
“Iya, Aza…” Manda membuka pintu. Aza hendak menyanyi dan ia
minta Manda mengiringinya dengan piano.
Manda memindah mainan-mainan adiknya yang berserakan di atas
kap piano ke rak lain sekaligus merapikannya. Aza merengek agar Manda lekas.
Hanya Manda yang bisa memainkan piano dengan benar di rumah ini. Para
saudaranya sesekali memainkannya juga namun hanya untuk main-main. Tak ada yang
seberminat itu mempelajarinya selain Manda.
Waktu masih kecil, Manda iseng mendentingkan sebuah piano di
area alat musik suatu toko buku. Seorang karyawan mendekat dan dengan
sungguh-sungguh mengatakan bahwa bakat Manda harus dikembangkan. Sewaktu lapak
ibunya belum habis dilalap api, Manda masih bisa les privat sekali seminggu.
Piano tersebut pun orangtuanya beli dengan harga amat murah dari gurunya. Manda
jadi merasa semakin sayang pada orangtuanya setiap mengingat hal tersebut.
Manda mendudukkan Aza di pangkuan. “Aza mau nyanyi apa?” Ia
mencium ubun-ubun adiknya itu dengan gemas. Aza menelengkan kepala.
Azi lari mendekat. “Azi mau nyanyi juga!”
“Kemarin lagu yang Kakak ajarin masih hapal, nggak?”
“Bintang kecil…”
Azi berdendang. Manda menjejakkan jari-jari tangannya di atas tuts kendati tubuh
Aza agak menghalangi geraknya. Aza menyusul bernyanyi. Manda juga. Mereka
bernyanyi bersama. Manda tersenyum membayangkan masa-masa ini akan ia alami dua
kali lagi; saat ia punya anak dan saat ia punya cucu. Mungkin ia bisa lebih
sering mengalaminya lagi jika ia menjadi guru Seni Musik bagi anak-anak playgroup. Namun ia pendam saja bayangan
itu.
Derum motor terdengar dekat. Aza loncat dari pangkuan,
menyusul Azi yang sudah lebih dulu ke halaman. Bapak muncul dengan Azi di
pundak dan Aza menggelayuti paha. Manda bangkit untuk memberi salam. Manda
selalu bersyukur ayahnya seorang guru. Ayahnya pulang kerja tak lama setelah
anak-anaknya pulang sekolah. Ayahnya juga libur ketika anak-anaknya libur.
Ayahnya selalu memiliki banyak waktu untuk banyak anaknya. Meski akibat
profesinya tersebut, mereka sekeluarga pernah mengalami masa sulit ketika honor
seminggu hanya sampai Rabu.
Bapak setuju jika Manda juga ingin jadi guru. Namun Manda
kerap tak sanggup jika membayangkan dirinya sampai harus memberi les-les dan
jual buku untuk menambah uang saku. Ia juga tak setuju jika harus jadi
diktator—jual diktat beli motor. Belum jika ada penyunatan gaji dan murid
badung melulu.[3] Bagaimanapun
itulah masa lalu. Hidup mereka sudah lebih sejahtera kini.
Di belakang Bapak, tampak seorang perempuan dengan helm
menumpuk jilbab. Manda memberitahu perempuan tersebut untuk menunggu sebentar.
Ia menuju belakang rumah. Ketika pintu dibuka, tampak sepetak ladang jamur
tiram. Manda mengambil sebuntal plastik dari rak dekat pintu.
“Sori tadi pagi aku lupa dateng,” kata perempuan tersebut
ketika Manda menyerahkan buntalan berisi jamur tiram padanya. Perempuan itu
ganti menyodorkan lipatan sepuluh ribuan ke tangan Manda.
“Iya, jamurnya jadi kurang fresh tuh.”
“Nggak papa, mereka mintanya emang buat malem juga sih.”
Kepergian perempuan itu dengan motor bebeknya digantikan azan
ashar. Lipatan uang di saku celana Manda berpindah lagi ke dalam celengan.
Adalah perempuan tadi, teman SMP-nya, yang mengajaknya usaha jamur tiram
bersama karena tahu Manda punya sepetak lahan tak terpakai di belakang rumah.
Dengan rekayasa lingkungan sedemikian rupa, usaha kecil-kecilan ini lumayan
untuk memperberat celengan atau variasi lauk di meja makan rumah.
Sebetulnya jadwalnya memberi les di rumah Zulfan jam empat.
Namun bocah itu memintanya datang lebih awal. Bocah itu bilang ia ada urusan
jam lima. Manda lekas mandi dan solat ashar. Ia mengambil hem dan jins baru
dari lemari. Tak lupa rambut ia sisir rapi. Ibunya mendidiknya agar selalu
berpenampilan baik jika hendak bertamu ke rumah orang. Tapi akhirnya pakaian
licinnya itu tertutup jua oleh jaket yang sudah terpakai kemarin.
Manda kira ia akan menjumpai Momon di rumah Zulfan. Adik
kelas 5 SD-nya itu begitu betah main di sana. Manda jadi penasaran game apa saja yang Zulfan punya dan
apakah akan pantas jika ia ingin ikutan main.
“Loh, Mas Manda kok udah dateng?” Mama Zulfan tergopoh-gopoh
menyambut Manda di ruang tamu.
“Iya, Tante. Kata Zulfan, abis ashar aja langsung ke sini…”
“Walah… Aduh, itu anak, pasti biar bisa cepetan main di luar
lagi. Bentar ya, saya panggilkan. Duduk aja dulu, Mas…”
Manda menurut. Sembari menunggu datangnya Zulfan, ia
mengamat-amati interior yang sedap dipandang. Zulfan muncul tak lama kemudian.
“Eh, Zulfan. Kakak udah bikinin soal nih.” Manda hendak
mengeluarkan kertas berisi soal-soal hasil ulikannya saat jam istirahat di
sekolah tadi. Zulfan duduk dengan lesu di sebelahnya setelah menghempaskan
tumpukan buku pelajarannya ke atas meja.
“Ah, ngerjain PR aja, yah, Kak. Bisnis nggak bisa ditunda
nih…”
“Ya dikerjain dulu PR-nya.”
“Jam empat udahan ya, Kak?”
Karena dibayar untuk tiga jam seminggu, Manda menjawab, “Jam
lima deh. Tapi besok Jumat sampai maghrib yah?”
“Aaah!” rajuk Zulfan.
“Eh, Momon tadi main ke sini nggak?”
“Nggak tau.”
“Ngambek nih…”
Kendati Zulfan menunjukkan air muka yang tak enak dilihat, ia
tekun mengerjakan PR-nya. Sedikit saja ia bertanya pada Manda yang
memperhatikan pengerjaannya dari belakang. Pembantu di rumah itu sempat muncul
untuk menyuguhkan minum dan penganan kecil.
“Ini, Kak!” Zulfan menyodorkan hasil pekerjaannya, namun
segera ia tarik lagi begitu tangan Manda hendak mengambilnya. “Istirahat dulu
yuk, Kak!”
“Eh, diperiksa dulu kerjaannya…”
Tangan Zulfan kuat mencengkeramnya. Kendati tenaganya mungkin
lebih kuat, Manda tak enak jika hendak melawan. Ia ikut saja ke mana Zulfan
menyeretnya. Untung saja ia tak menemui Mama Zulfan sepanjang jalan menuju
taman di atap rumah tersebut. Manda terpana dengan kehadiran tanaman-tanaman
hias yang selama ini hanya bisa ia lihat dari bawah. Zulfan muncul dengan
membawa sebuah layang-layang besar.
“Pegang, Kak,” titah Zulfan. Manda menurut. Sementara Zulfan
mengulur kenur, Manda dipandu untuk terus jalan mundur, terus dan terus.
Sesekali Manda menengok ke belakang untuk memastikan langkah selanjutnya masih
berpijak di permukaan keras. Titah Zulfan lagi, “Lepas, Kak!”
Zulfan menyentak kenurnya dan si layang-layang
melanglangbuana. Manda jadi ingat suatu masa di mana hidupnya belum dihiasi
kehadiran adik-adiknya—paling baru Momon yang masih amat mungilnya. Petang
begini, Manda pasti berada di luar rumah. Waktu itu masih ada beberapa tanah
kosong yang membuat anak-anak sepantarannya leluasa menerbangkan layang-layang.
Manda ingat ia sering menamai layang-layangnya. Si Bule dan Si Bontot tertancap
di tiang listrik—Kak Mita melarangnya untuk mengambilnya karena takut ia
kesetrum. Si Bandrek hanyut di sungai. Si Bandar ia berikan pada seorang anak kecil
yang menangis karena kehilangan bolanya. Hanya si Bayu yang ia tak tahu di mana
keberadaannya kini.
Lalu ibunya sakit keras yang menyebabkannya harus bedrest dalam waktu lama. Manda, Kak
Mita, dan Bapak jadi harus bergantian mengasuh Momon. Itulah awal mula Manda
menyadari betapa asiknya mengasuh adik. Orangtuanya pun memberinya lagi, lagi,
lagi, dan lagi.
“Ah… dikit lagi…” Manda mengerjapkan mata. Padahal jarak
antara layang-layang besar Zulfan mungkin hanya sejengkal dengan si bintang
merah. Manda duduk dekat tempat Zulfan berdiri. Besarnya layang-layang Zulfan
membuat Manda mengandai-ngandaikan layang-layang dengan ukuran yang lebih besar
lagi. Cukup besar hingga kata semacam “I Love You” dapat terbaca oleh orang
yang menjejak tanah. Manda tersengal. Kepada siapa akan ia persembahkan yang
macam itu? Ia jadi merinding sendiri ketika membayangkan dirinya memanggil
“Sayang,” “Cinta”, “dan kata-katas manis lainnya pada seorang gadis.
“Fan, udah yuk. Kita lanjutin lagi PR-nya,” ajak Manda
sebelum pikirannya lebih tinggi mengangkasa. Zulfan berdecak kesal. Manda
menawarkan dirinya untuk mengambil alih kendali layang-layang. Zulfan
menjauhkan tangannya. Manda mencoba beberapa kali seraya meyakinkan Zulfan
bahwa di tangannya kemenangan akan lebih cepat teraih. Zulfan mengalah. Si
bintang merah terbang tak tentu arah dalam beberapa menit.
Sembari mengekori kegirangan Zulfan di tangga menuju lantai
bawah, Manda termenung memikirkan apakah tepat tindakannya menolong Zulfan
tadi. Bisa dikatakan bahwa Manda telah menganggu pembelajaran Zulfan akan arti
kerja keras. Ia saja baru bisa menumbangkan sebuah layang-layang setelah
berusaha selama kurang lebih dua tahun. Tapi mungkin tak semua kerja keras itu
berarti. Kerja keras dalam menyelesaikan PR lebih berarti daripada kerja keras
dalam menghilangkan kepunyaan orang, Manda meyakinkan dirinya sendiri.
Setidaknya Zulfan jadi lebih terbuka padanya kini. Ia dengan jenaka menanggapi
penjelasan Manda akan cara yang benar dalam mengerjakan PR-nya—kendati ia
menolak soal-soal buatan Manda.
Maghrib Manda pulang, ia mendapati Mama sudah di rumah. Zova
minum susu dalam gendongannya. Keadaan Mama semakin membaik setelah mendapat
pinjaman modal untuk membangun usaha baru di suatu ruko. Ia bisa ringan
tersenyum kembali untuk menyambut anak-anaknya saat pulang ke rumah.
Sepanjang jalan menuju kamar mandi, Manda membereskan
barang-barang berserakan yang ia temui. Meski ia tahu, dalam waktu dekat Melia,
Aza, dan Azi akan mengacaknya lagi.
“Kak Manda itu loh, tiga besar terus dari SD. Ayo, Momon juga
bisa. Jangan mau kalah.” Ucapan Bapak membuat Manda ngeh akan kehadiran Bapak
dan Momon tak jauh dari sampingnya. Momon tampak bingung dengan PR-nya.
Manda mendekat. “Ada yang susah, Mon?”
Keruh muka Momon. Bapak menjelaskan bahwa benang layang-layang
Momon tadi petang diputus oleh Zulfan. Manda terdiam. “Lagi marahan sama
Zulfan?” Momon tak jawab. Manda terus ke kamar mandi untuk berwudu. Sehabis
solat maghrib, Manda berniat mendekam saja di kamarnya sampai Isya. Ia akan
merebahkan diri di kasur, memasang headset,
memutar album Hayyra, dan memejamkan mata.
Hayyra, nama itu tepat benar bagi Manda. Hayy adalah bahasa
Arab yang berarti “hidup” sedang Ra adalah dewa matahari bangsa Mesir. Manda
selalu merasa hangat hati dan hidup jiwa lagi kala mendengarkan permainan piano
Hayyra.
Tak banyak yang tahu Hayyra. Pria tersebut adalah satu dari
sekian orang Indonesia yang sukses di mancanegara namun dilupakan di negerinya
sendiri. Padahal ia sering mengiringi musisi jazz terkenal dan punya album sendiri
yang penjualannya laris manis di pasaran Amerika. Tampaknya di Indonesia hanya
penggemar jazz sejati yang mengetahui keeksisan Hayyra.[4]
Banyak dari mereka mencintainya. Manda masih mempertimbangkan untuk membongkar
celengannya karena Hayyra direncanakan tampil di Java Jazz tahun depan.
Belum lama Manda dihanyutkan dalam hamparan bunga matahari,
pintunya diketuk. Manda bangkit namun pintunya sudah keburu dibuka. Tampak
wajah ceria Kak Mita. “Hai, honey…”
Manda menyungging senyum lalu merebahkan dirinya lagi karena Kak Mita kembali
menutup pintu. Lantunan nada Hayyra jadi tak terdengar senikmat tadi. Manda
memutuskan untuk bergabung saja bersama keluarganya di ruang tengah.
Kak Mita memang tak terlalu suka—apalagi lihai—dalam memomong
adik. Tapi ia adalah pencari uang yang cepat. Sementara Manda menimang Melia di
rumah, Kak Mita sedang iseng mengamen bersama teman-temannya di perempatan.
Sementara Manda memperhatikan Mama mengganti popok Azi, Kak Mita sedang
menodong teman-teman sekolahnya untuk membeli perhiasan ronce buatannya.
Sementara Manda memandikan Aza, Kak Mita sedang bertransaksi pulsa dengan
seorang kenalannya. Gajinya kini sebagai asisten dosen membuatnya kerap
membelikan penganan yang berbeda-beda sepulangnya ke rumah. Manda mencomot
sepotong martabak telur di meja makan. Ia duduk di tepi sofa, tapi pindah lagi
begitu melihat Melia tampak kepedasan karena iseng menggigit cabe.
Masih menanti gelas penuh oleh kucuran air dari dispenser,
Bapak dan Kak Mita memanggilnya untuk lekas kembali ke ruang tengah.
Tergopoh-gopoh Manda ke sana.
“Manda, itu anak sekolah kamu!”
“Itu temenmu bukan, Man?”
Manda menyipitkan mata. Tampaknya benar kalau matanya semakin
rabun saja dari hari ke hari, tapi belum terasa mendesak baginya untuk pergi ke
optik. Semakin dekat jarak matanya dengan layar TV. “Oh, si… Bibe Alizia,” ucap
Manda. Ia kembali menjauh. Melia semakin tak tahan dengan rasa pedas di
mulutnya. Setelah memberi Melia air, Manda mendekat kembali ke layar TV. Heran
ia, ada hal apa hingga seorang anak sekolahnya bisa masuk TV. TV lokal. Manda
jadi mafhum. Ada-ada saja reporter cari berita. Memang TV lokal tersebut sedang
menayangkan program untuk anak muda. Salah satu isu yang diangkat adalah
persiapan SMA-SMA dalam menyambut HUT RI. Manda jadi ingat nasi goreng berkuah
sirup milik Bibe.
“Kenal nggak, Man?” tanya Bapak lagi.
“Temen sekelas.” Manda jongkok kini. Ia sendiri baru ngeh
kalau Bibe yang menjadi ketua panitia dalam perayaan HUT RI di sekolahnya.
“Eksis juga dong, Man, di sekolah… Kayak si… siapa itu
namanya?” Kak Mita menyuapkan potongan martabak ke sekian dalam mulutnya.
Bibe tampak amat percaya diri ketika mikrofon mengarah
padanya. Manda kira dirinya tak kan sanggup bicara apa-apa jika berada di
situasi yang sama—kendati bersinar penampakannya karena asupan tulang anjing
bergizi tinggi. Manda bahkan tak memiliki kepercayaan diri untuk memainkan
ulang komposisi Hayyra di piano. Manda jadi diliputi perasaan beruntung karena
mengenal Bibe. Pernah berinteraksi dengannya pula, meski hanya beberapa
kalimat. Manda membayangkan suatu saat mungkin Bibe akan jadi menteri, ah, atau
mungkin presiden wanita kedua di Indonesia. Atau jika Indonesia terlalu picik
untuk menghargai multibakatnya, mungkin ia akan hijrah ke Amerika seperti
Hayyra.
Gambar berganti. Tak ada lagi Bibe di TV. Manda sadar bahwa
ia terlalu tinggi mengangan-angankan masa depan Bibe. Padahal Bibe hanya ketua
panitia sebuah acara setingkat SMA—tak ada ubahnya dengan mereka dari SMA lain
yang juga diwawancara. Yang meliput hanya TV lokal pula.
“Ah, biarin ajalah, Kak. Aku emang beda kok dari si Bibe…”
Manda bangkit. Ia ingin kembali dipukau Hayyra di kamar.
***
“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek,
atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu.
Titik!”
“Yee… maksa! Maksa!”
Manda tersenyum. Membayangkan apa yang akan terjadi jika ia
dan Bibe bisa lebih saling mengenal.
21
November 2010 menjelang jam tidur
[1] Ada artikelnya dimuat di KOMPAS Minggu. Lupa
kapan persisnya tanggal terbit, kemungkinan November 2010 atau dekat-dekat
sebelum itu.
[2] Terinspirasi dari salah
satu episode dalam serial Disney “Wizard of Waverly Place”. Biasanya di kemasan
makanan hewan peliharaan, macam anjing dan kucing begitu, dikatakan bahwa
produk tersebut dapat membuat mata dan rambut hewan peliharaan jadi makin
bersinar cemerlang.
[3] Diadaptasi dari lirik
lagu P Project – Ku Mau Jadi Guru (I’ll Make Love To You)
[4] Nggak usah klarifikasi
ke Mbah Google, dia fiktif kok…
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu