Selasa, 30 November 2010

Luasnya Dunia Remaja


Judul : Kematian Donny Osmond, Kumpulan Cerita
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Saya mengimpikan bisa membuat cerita remaja dengan gaya sastrawi namun sarat makna. Suatu literatur alternatif yang tak merendahkan kapasitas intelektual remaja. Apalah, asal bukan melulu asmara. Sampai saya menemukan sebuah buku yang dijamin lain. Ini buku sastra tentang remaja. Yang nulis Seno Gumira Ajidarma. Ada komiknya, banyak gambar, plus resep otak-otak. Nah, bingung kan? Ups, saya sudah mengutip kalimat di sampul belakang nih.

Kiranya saya butuh waktu kurang dari dua jam untuk menamatkan kumpulan cerita ini. Kumpulan cerita tentang remaja dari mata seseorang yang sudah bukan lagi remaja. Bukan orang biasa pula. Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang suka menulis tentang satu hal yang saya minati, yaitu komik. Kalau tak salah dia juga yang mengarang Kematian Paman Gober—sebuah cerpen yang belum pernah saya baca, namun saya tahu garis besar ceritanya seperti apa dan itu memuat hal lain lagi yang saya suka: satir.

Lewat kumpulan cerita ini, Om Seno menunjukkan bahwa dunia remaja memang begitu luasnya—bukan hanya dari kalangan konsumen teenlit mainstream saja. Pasangan yang make out di tepi pantai sejauh 687 km dari rumah mereka, ballboy di lapangan tenis sebuah sport center, cowok yang kesengsem berat sama film Basic Instinct, anak jalanan, hingga cewek yang terjebak di lorong waktu maupun di pegunungan gamping—mereka juga remaja! Mengapa jarang teenlit yang mengangkat kehidupan mereka?

Satu hal yang membuat saya mengagumi hingga mengidamkan profesi wartawan—sebagaimana Om Seno—ialah karena dengan menjadi wartawan saya bisa keluar dari cangkang saya dan mengalami sendiri betapa dunia begitu luasnya. Seperti yang Johan katakan dengan Astari dalam Keroncong Asmara,

“Kalau bisa ia jadi wartawan.”
 “Lho kerjaan itu memperluas wawasan, tidak sempit di bidangnya sendiri terus.”
“Pokoknya harus jadi manusia, bukan mesin.”
“Wartawan, kalau perlu jadi seniman sekalian, biar kreatif.” (hal. 13-14)

Kalimat-kalimat yang amat menggoda, Om, hehe…

Karena Om Seno juga wartawan, maka saya merasa bahwa apa yang ia tulis bukan sekedar rekaan melainkan berdasar hasil observasi dan wawancara pada pelaku atau orang-orang terkait—di dunia nyata, tentu. Penuturannya terasa mendalam. Inilah satu alasan lain mengapa saya kira jadi wartawan begitu menggoda ialah karena profesi tersebut kiranya amat mendukung kepengarangan.

Diterbitkan tahun 2001, sebagian cerita merekam kehidupan remaja tahun 90-an. Kebetulan baru beberapa waktu lalu saya menonton film Ruma Maida, mengunduh lagu-lagunya Rumah Sakit dan Singiku serta ingin kembali menjadi anak TK. Beberapa waktu sebelumnya malah saya menyimpan file dari Kaskus yang seorang teman tautkan di Facebook, judulnya, “110 Gaya ABG Tahun 90-an.” Saya sedang ingin main ke zona 90 dan apa yang saya dapatkan seakan mendukung saya untuk itu. Apa-apaan ini, efek The Secret?

Keroncong Asmara dan Rina Bunting memuat tema yang agak klise saking kerapnya dimediakan: remaja yang “melakukan” padahal belum menikah. Bandana adalah tentang bagaimana seorang miskin bisa membuat seorang kaya menderita—saya suka, menyentuh! Cerita untuk Y & L ialah tentang sepasang anak yang mengambili bintang dan bulan, wew, mustahil tapi romantis pokoknya. Ritchie Blackmore membuat saya merasa jadi lebih memahami dunia cowok—bonus lirik-lirik lagunya Deep Purple pula. Farol dan Fitri mengingatkan saya pada sinetron Cinta Fitri. Aku Anak Jalanan—ini loh, yang membuat kumpulan cerita ini jadi ada resep otak-otaknya. Tokoh ibu dalam Big Boss membuat saya tertawa karena kalimatnya, “Mengeluarkan uang empat ratus ribu untuk sepatu itu tidak sopan, tidak menjaga perasaan orang kecil, ngerti nggak.” Sukab Ingin Jadi Tentara meyakinkan saya bahwa sosok manusia “sempurna” itu memang ada. Kematian Donny Osmond membuat saya jadi penasaran apakah korban tawuran pelajar tahun 1996 yang bernama Donny Osmond itu benar-benar ada. Seorang Wanita Memetik Gitar dan Dan Perempuan Itu Menjadi Bintang adalah cerita yang kurang remaja, menurut saya. Duaribusatu, pernah dimuat di Kawanku, merupakan cerita ngaco nan kocak di mana Tom Cruise jadi sopir mikrolet. Ratri Murid Nomor Satu adalah suara hati seorang gadis berambut merah dari pegunungan gamping—namun tak dijelaskan mengapa ia bisa sampai berbeda dari teman-temannya.

Yang saya herankan adalah mengapa nama Sukab dan Ratri begitu kerap disebut. Nama Ratri muncul di Big Boss, Sukab Ingin Jadi Tentara, dan tentu saja Ratri Murid Nomor Satu. Sedang nama Sukab, saya tahu Om Seno punya buku lain dengan judul yang memuat nama tersebut. Entah apa arti dari sang nama.

Teenlit. Teen Literature. Bacaan tentang remaja. “Untuk” rasanya tak tepat menggantikan “tentang” karena remaja bisa membaca tentang apa saja, bahkan apa yang tidak khusus di”untuk”kan buat mereka. Tak sedikit orang berstigma teenlit adalah bacaan ece-ece yang kurang memberdayakan. Remaja yang mengaku bercita rasa tinggi mungkin akan lebih memilih bacaan tentang ranah umur lainnya untuk dilahap. Dan saya kira masih sedikit bacaan tentang remaja yang akan remaja-yang-mengaku-bercita-rasa-tinggi lirik. Jika diperbanyak, bukankah itu akan sangat membantu bagi para remaja untuk dapat lebih mengenali dunia mereka dan menentukan di mana posisi mereka—bukankah itu yang paling mereka cari?

HIDUPLAH SASTRA REMAJA!

Senin, 29 November 2010

tujuh

Majalah LEMPERs edar setiap satu semester sekali, yaitu saat pembagian rapot. Tampilan penuh warna, paduan font dan warna yang eye-catchy, kualitas kertas yang baik, serta berseliwerannya potret siswa-siswi rupawan di sana-sini menjadikan media tersebut pilihan utama untuk memanjakan mata. Kendati dikomersilkan, majalah semesteran justru menjadi yang paling dihargai ketimbang media LEMPERs lain. Selain memberi pemasukan untuk kas, menopang hidup mading, dan menambah kesejahteraan anggota, ada saja orangtua murid yang ikut mengonsumsi media ini.

Suatu kebanggaan bagi Zia, tulisannya dimuat di sana pada semester pertamanya di SMANSON. Terima kasih banyak untuk Mas Imin saat itu, karena tulisannya merupakan sari dari suatu obrolan bernasnya dengan Mas Imin.

“Potensi yang terpendam itu ibarat wahana terselubung,” begitu Zia berkata dalam tulisannya. “Seperti wahana di Dufan. Saat kamu bermain di dalamnya, kamu merasa senang, nyaman, dan tenggelam dalam keasyikkan. Kamu bakal merasa ingin untuk melakukannya berulang dan berulang kali.

Zia ingat cerita Mas Imin yang telah mencoba macam-macam hal—mulai dari PATIN, MLM, LEMPERs, ekskul sinematografi, dan lain-lain—untuk menemukan potensi dirinya. Alih-alih demikian, Mas Imin malah me­nemukan potensi pada diri orang lain. Jadilah Zia menulis, “Semua orang ingin jadi sukses. Orang harus mencari terlebih dulu apa minat, bakat, dan potensi yang bisa dikembangkan dari dirinya untuk menga­rahkannya pada kesuksesan.”

Dalam tulisannya itu, ia juga menyebutkan, “…pengembangan minat, ba­kat, dan potensi adalah yang utama. Itu semua adalah karunia Tuhan yang ti­dak boleh disia-siakan!”,

dan, “Peranan bakat seringkali dinafikan. Kerja keras jauh lebih utama ketimbang mengandalkan bakat semata. Itu benar, tapi kalau memang punya bakat, ke­napa malah disia-siakan? Bukannya kerja keras akan lebih berhasil kalau didukung o­leh bakat? Mengasah bakat pun perlu kerja keras.”,

serta, “Tes bakat itu bisa jadi menipu. Cara yang paling tepat untuk mengetahui apa bakat kita adalah dengan metode em­piris. Ingat-ingatlah hal yang paling se­nang kamu lakukan dan apakah hal itu bi­sa berguna buat kamu? Kalau tidak ada, jangan segan-segan, cobalah segala hal yang bermanfaat!”

Selain kebanggaan, hal lain yang Zia dapat dari pemuatan tulisannya itu adalah keyakinan bahwa ia memiliki potensi untuk melakukan banyak hal bermanfaat—kalau tidak dikatakan multitalenta. Masa depannya tentu tidak hanya terbatas di dunia tulis-menulis saja.

Seiring dengan pergantian pengurus, pada semester berikutnya Zia dimasukkan ke dalam tim mading. Pemimpin redaksinya waktu itu bilang kalau kreativitas Zia dibutuhkan untuk menyemarakkan mading LEMPERs. Sebaliknya, Zia merasa potensinya akan lebih terasah jika ia berada di tim majalah semesteran. Setelah negosiasi panjang dan berbelit-belit, Zia mengalah. Tapi ia tidak bisa menutupi rasa angin-anginan kala harus mengerjakan sesuatu yang ia tidak suka. Kreativitasnya yang diharapkan pemimpin redaksi pun enggan timbul. Ia yakin benar, dimasukkannya ia ke tim mading adalah lebih karena tim majalah semesteran hendak dijadikan hegemoni kaum cewek centil sok eksis. Sejak itu dan sampai sekarang Zia tidak mau ambil pusing bagaimana kelanjutan mading LEMPERs.

Mading LEMPERs terpajang di dinding salah satu koridor tersuram di SMANSON—tidak ada koridor yang tidak suram di SMANSON sebetulnya—kendati koridor tersebutlah yang paling banyak dilintasi siswa. Zia tahu, sejak berlalunya era Madam SMANSON dan naik pamornya majalah semesteran, tidak ada seorang siswa pun yang benar-benar mengacuhkan keberadaan mading LEMPERs. Kecuali mungkin seorang kakak kelas kurang kerjaan yang dikenalnya sebagai Kang Detol. Zia berusaha tidak sakit hati saat mendengar Kang Detol berkata padanya, “Tampilan mading LEMPERs kok makin ngerusak mata aja ya?”

Zia merutuki angin yang menerbangkannya kembali ke hadapan pemimpin redaksi umum LEMPERs—yang kini seangkatan dengannya. Yang pandangannya menyimpan pertanyaan, “Ke mana aja kamu selama ini, Zia?” Zia menahan-nahan desakan egonya untuk balik kanan dan tidak kembali ke ruangan penuh keberantakan ini lagi. Zia mendesis ngeri kala melihat mading-mading edisi lampau terkulai di pojok ruangan. Tempelannya lepas-lepas. Seekor laba-laba merayap masuk ke balik lipatan karton. Apalagi ketika sang pemred mengabarkan bahwa mading LEMPERs kini hanya akan diterbitkan sebulan sekali setelah sempat vakum sementara. Suatu masa jaya yang memudar—Zia merasa jadi lebih dapat memahami Kakek.

“Jadi, ada yang bisa aku bantu?” Zia berusaha menyembunyikan keprihatinannya akan tampang Bang Ali—begitu ia memanggil sang pemred yang masuk SD-nya telat itu. Pikir Zia, hebat sekali Bang Ali masih bertahan jadi pemred. Mungkin selama itu sari-sari kehidupannya sudah disedot para cewek centil sok eksis kebanyakan energi itu. Jam istirahat begini mereka pasti lagi pada mejeng di kantin. Kasihan, pasti Bang Ali sudah menanti-nanti tibanya pergantian kepengurusan. Ialah Ali Baba di sarang perawan—mungkin seperti itu juga tampang Harry Potter tanpa surat panggilan dari Hogwarts. Tambah lagi asumsi Zia, pantas saja Mas Imin tidak bertahan lama di LEMPERs yang secara turun temurun memang didominasi kaum hawa.

Bang Ali mengamatinya dengan ekspresi tak yakin. Zia berharap Bang Ali masih mau memberinya kesempatan untuk unjuk potensi. Angan-angan Zia, orang-orang LEMPERs akan melakukan penilaian ulang terhadapnya. Penilaian tersebut lantas berujung pada suatu fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa ia memang layak diperhitungkan di tim majalah semesteran.

“Kang, ini sisa kartonnya saya taruh di sini yah.” Kepala Zia berputar sedikit ke belakang untuk mengetahui siapa yang datang. Heh, masak yang begitu anak mading? Tampilan fisik cewek tersebut lebih cocok untuk digolongkan ke dalam kaum cewek centil sok eksis.

“Mading yang baru udah dipasang, Rieka?” tegur Bang Ali.

“Baru aja tadi.” Setelah basa-basi yang sekian lama mengacangkan Zia, akhirnya cewek itu melambaikan tangan diiringi senyum. “Duluan yah, Kang.”

“Anak mading?” tanya Zia setelah cewek yang mestinya anak kelas X itu berlalu. Bang Ali mengangguk. O, jadi sekarang kaum cewek centil sok eksis sudah merambah mading juga rupanya… Zia menyimpulkan.

“Jadi, Bang…?”

“Mmh…” Bang Ali mengucek-ngucek mata. Kacamatanya timpang ke atas. Matanya terlihat suntuk saat berkata, “Entar lagi kan KOMBAS mo ngadain gig.”

KOMBAS adalah Komunitas Band SMANSON, suatu komunitas yang sejak dulu ingin Zia masuki. Namun tak kunjung Zia punya kemahiran dalam alat musik tertentu, atau vokal, yang jadi salah satu kualifikasi anggota.

“Kapan?”

“Besok.”

“Engh…”

“Kamu liput ya, Zia.”

Sesaat Zia merasa ada harapan liputannya akan dimuat di majalah semesteran. Liputan sepertinya tidak termasuk rubrik pengisi mading. “Entar buat majalah semesteran yah?”

“Buat madinglah…”

“Hah, bukannya liputan masuk majalah semesteran yah?”

“Sekarang format mading kita udah beda, Zia. Lagian buat majalah semesteran juga udah disediain space buat gig KOMBAS yang lebih gede menjelang akhir tahun entar.”

Zia melebarkan bibir. Matanya memicing. Selalu saja ia diberi pekerjaan rendahan. Keadaan mungkin akan sedikit lebih baik sekiranya ia dulu tidak pakai mangkir segala. Sekarang ia harus mulai lagi dari awal. Pelajaran yang sama sudah didapatkannya di SMP. Zia mengambil ekskul jurnalistik juga, dan keaktifannya bisa dianalogikan dengan sepasang orang yang berpacaran tanpa komitmen jelas.

Sekeluarnya dari markas LEMPERs, Zia menuju koridor tersuram di mana mading LEMPERs terpajang. Ia tercengang, koridor itu kini tak terasa sesuram dalam pikirannya, berkat aura ceria yang terpancar dari kotak mading. Ternyata benar kata Bang Ali, anak kelas X sekarang rajin-rajin dan lebih mengerti prinsip disain. Mereka tahu bagaimana memadukan warna tulisan dengan latarnya sehingga tidak menjadi sesuatu yang merusak mata. Penempatan gambarnya juga tidak asal-asalan. Dan mereka sangat mumpuni menggambar dengan aneka rupa pewarna. Apa yang dipikirkan tim mading seangkatannya waktu itu sehingga tidak kepikiran untuk berusaha membuat mading macam demikian? Apa yang dipikirkannya waktu itu?

Kiranya anak-anak kelas X itu memang belum terpengaruh dengan kejomplangan gengsi di antara tim majalah semesteran dengan tim mading. Semangat mereka masih murni. Tunggu saja sampai mereka merasakan… Zia tertawa dalam hati.

Zia menyimpulkan, tampilan baru mading LEMPERs ini secara keseluruhan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Ia ingin tahu apa pendapat Kang Detol mengenainya. Jiwa Zia tersuntik sedikit semangat. Kalau tampilan madingnya macam begini sih, rasa-rasanya ia akan bisa menuntaskan tantangan kali ini.

Minggu, 28 November 2010

enam

(kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkanmu/ sesali wajahmu merenta, kisahmu terlupa/ kau sadari semua yang berjalan tlah tinggalkanmu/ dan tak dapat merangkai semua dekat di khayalmu/ kau harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu/ kau biarkan mimpi tetap mimpi yang melengkapi khayalmu/ kau terhenyak dan terbangunkan/ dan harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kini waktu meninggalkanmu/ peter pan - tertinggalkan waktu)

.

Kepala Zia terangkat sejenak dari layar laptop Kang Detol. Hembusan angin mengisi pandangan yang redup karena mentari mulai turun panggung. Lari, ya, lari, nggak usah pake jerit-jerit… Zia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum… Dasar Lutung... Lagi-lagi gelak tawa Mas Imin dan Kang Detol merambati rongga telinganya. Kata Mas Imin, stres itu harus dilampiaskan dengan cara positif. Ini adalah kali kedua Zia mampir ke SORGA dalam sebulan dan Zia belum berminat melampiaskan stres dengan cara Mas Imin. Hanya menemani Mas Imin beraksi saja sudah cukup menjauhkan stresnya untuk sementara waktu.

Kepala Zia turun kembali. Ia menggerutu. Lemot nian modem Kang Detol ini. Sedari tadi layar hitam di hadapannya masih ditimpa oleh potongan gambar yang tak kunjung lengkap. Membuka situs lain sembari menunggu hanya akan semakin memperlambat akses saja. Zia mengetuk-ngetukkan bantalan jemari pada kibor. Pandang dilemparkannya lagi pada sirkuit merah SORGA. Namun yang mengisi kepalanya adalah memori beberapa hari lalu. Saat ia baru sampai rumah dari persinggahannya di rumah Regi. Beruntung sekali didapatkannya Zaha tengah tidur-tiduran di hadapan TV, jadi ia tidak usah mendobrak paksa kamar adiknya itu. Bertubi-tubi gertak langsung ia kerahkan.

Dimulai dari, “Jelek banget sih gambar kamu di situ! Temen-temenku tadi pada ngeliatin tau, kalo mo di-publish cuma-cuma tuh yang bagusan sekalian kek!”, yang dijawab dengan, “Ya gimana lagi, aku kan gambarnya cuman pas lagi emosi…”, yang segera dipotong dengan, “…diedit dulu kek…”, dan disambut dengan, “…males banget, cuman cerita tentang kamu doang ini… Masih untung ada yang mo baca!”

Dan diakhiri dengan, “…aku tuh nggak pernah ngejadiin foto kecenganku screensaver di ponsel ya, jangan dusta kamu!”, yang ditukas dengan, “Seniman tuh menunjukkan kebenaran dengan kebohongan. Kamu aja yang nggak bisa ngapresiasi!”, lalu, “Trus apa-apaan itu, TV di kamar mandi?”, lalu, “Hah, selera humor aku aja yang kamu nggak ngerti!”, lalu, “Humor? Humor apaan? Nggak lucu tau! Belajarlah menerima kenyataan, Fazaha!”, dan pemungkasnya adalah, “Diem kamu!”

Kala itu Zia memang diam sebentar. Bukan karena Zaha menyuruh, melainkan agar Zaha tahu bahwa apa yang akan dikatakan Zia kemudian adalah sungguh-sungguh, bukan sekedar peramai adu mulut, “Yang judulnya ‘KDRT’ dihapuslah. Ngingetin sama yang nggak enak. Denger kamu, Zaha?”

Zaha diam saja. Zia berharap anggapannya selama ini benar; Zaha pasti selalu mendengarkan kata-katanya agar bisa membalas dengan kepedasan yang lebih maknyus.

“Eh, besok aku pinjem ankle shoes kamu, yah!” Zia menutup percakapan hangat malam itu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Ia sudah berencana memamerkan barang tersebut di sekolah esok hari. Didengarnya balasan Zaha, “Dasar miskin, pinjem-pinjem barang mulu!”

Adapun strip dengan judul yang Zia singgung malam itu adalah strip di mana tampil inisiatif karikatur Zaha untuk tanggap pada KDRT. Zaha tahu ada tetangganya yang demikian. Ia berniat melaporkannya pada KOMNASHAM. Tapi lalu disadarinya bahwa KDRT di keluarga sendiri saja tidak berani ia laporkan. Pada panel berikutnya Zaha menampilkan Zia dan mendiang Mama.

Setelah Mas Imin menempuh tiga putaran lagi, barulah Zia mendapat kepastian bahwa strip tersebut sudah tidak ada. Zia menghela nafas lega. Jarinya mendorong-dorong scroll mouse. Diam-diam ia mengagumi karya Zaha yang sewaktu dibuat dalam emosi saja sudah oke.

Terasa Mas Imin menghempaskan tubuh di sampingnya. “Zia, handuk dong…” Zia melemparkan barang yang Mas Imin minta. “Minum…” Lagi. Kang Detol menyusul kemudian dengan lidah terjulur dan nafas ngos-ngosan. Ia duduk bersandar pada bangku dengan berselonjor kaki. “Eh, Lutung, jangan langsung duduk kayak gitu…”

Mas Imin menurut apa kata sobat lengketnya itu. Tubuhnya merosot dari bangku. “Berapa, Det?”

“Dua puluh…” Kang Detol menerima botol yang diserahkan Mas Imin.

“Aargh… Penghinaan!” Mas Imin berlagak membanting handuk.

“Mana ada stopwatch baru saya berdusta, Min… Eh, Lutung… Beuh, saya bingung nama panggilan kamu banyak pisan…” Kang Detol menaruh botol di sampingnya seraya mendongakkan kepala. Megap-megap mencari udara.

“Ya udah, panggil yang biasa ajalah…”

“Yang biasa yang mana?”

“Dulu manggilnya apa?”

“Emang kalian nggak pernah saling manggil pake ‘sayang-sayang’-an ya?” timpal Zia. Kang Detol memberinya tatapan aneh.

“Eh, nggak bener tuh, cuman dua puluh. Ulang lagi ah!”

Kali ini tatapan aneh Kang Detol melayang pada Mas Imin. Mas Imin menangkapnya. Sesaat mereka tak bersuara sebelum kemudian bertukar tawa kecil. Mengamati hal tersebut, Zia menggeleng-gelengkan kepala sembari mengarahkan mata kembali pada layar laptop. Hendak membaca strip komik Zaha lainnya.

“Serius, Danang!”

“Edan, capek ah, Luthfi!”

“Tapi nggak mungkin itu dua puluh, Dito. Harusnya dua puluh dualah!”

“Ah, kamu mah maksa aja, Muhai!”

“Eh, Zia, lagi buka apaan?”

Zia refleks menarik diri dari Mas Imin. Lekas ditutupnya blog Zaha meski sepertinya Mas Imin tidak akan sampai seniat itu ingin tahu apa yang tengah dilihatnya. Kang Detol mengamatinya dengan tampang tanpa ekspresi. “Lagi ngecek Twitter aja…” Zia menukas segera. Dua cowok tersebut mengangguk-angguk seraya mengalihkan mata mereka ke arah lain. Menutupi kebohongannya tadi, Zia memunculkan tab baru untuk mengakses akun Twitter-nya.

“Eh, Zia, tulisan kamu nggak muncul di majalah LEMPERs lagi?”

Zia baru menyadari bahwa Kang Detol yang kini tengah meneguk minum kembali adalah seorang pemantau media LEMPERs. Bukannya Zia tidak tahu sebelumnya, Kang Detol kerap mengomentari media apapun yang dihasilkan LEMPERs. Mulai dari font tulisan, lay out, judul, sampai model foto. Kang Detol juga yang menguak identitas Mas Imin sebagai Madam SMANSON.

Pada tahun pertamanya di SMANSON, Mas Imin bertahan beberapa bulan di LEMPERs sebagai pengasuh rubrik “Dear Madam SMANSON”, sebuah rubrik curhat di mading mingguan LEMPERs. Mengasuh rubrik ini memberikan kepeka­an awal baginya untuk lebih memerhatikan keadaan orang-orang di sekitarnya. “Saya jadi tahu masalah anak-anak di sekolah. Beberapa kadang terlalu parah buat dimu­at di mading, jadi saya simpan aja. Kalau saya bisa ngasih solusi, saya bakal ngasih tau yang bersangkutan diam-diam, kalau-tau-orangnya,” kenang Mas Imin pada suatu ketika.

Berdasar kesepakatan yang dibuat saat rapat AD/ART LEMPERs, hanya pengasuh ru­brik tersebut yang boleh membuka surat curhat yang di­tujukan untuknya. Hanya ia juga yang berhak me­nentukan apa­kah surat itu akan dimuat di mading a­tau tidak. Madam SMANSON menjamin kerahasiaan identi­tas pengirim, yang me­mang biasanya me­ngirim surat tanpa iden­titas.

Mas Imin memutuskan hengkang dari LEMPERs sejak Kang Detol tahu-tahu mendatanginya dan bilang, “Kamu, ya, si Madam SMANSON itu?” Lagi-lagi berdasar AD/ART LEMPERs, rubrik itu pun tidak lagi diadakan karena identitas pengasuhnya ketahuan siswa non anggota LEMPERs. “Sebenarnya rubrik itu saya yang ngusulin pas rapat redaksi. Karena nggak ada yang mau megang, akhirnya sama sa­ya deh. Nggak nyangka, ternyata yang mi­nat lumayan juga. Pas saya keluar dari LEMPERs, nggak ada yang sanggup nerusin sebaik saya, hehe…” begitu pengakuan Mas Imin. “Lagian capek ah jadi madam-madam. Ngelawan kodrat.”

Kang Detol juga yang bilang pada Zia bahwa Mas Imin masuk LEMPERs karena mengejar cewek berinisial LTR yang dikecenginya sejak SMP. Mereka bertemu di suatu lomba yang pernah dia­dakan SMAN Ujunggerung. Cewek itu ju­ga yang menjadi alasan Mas Imin masuk SMAN­SON. Seiring berjalannya waktu, Mas Imin sudah tidak lagi mengecengi cewek terse­but. Sampai sini Zia kecewa. Mas Imin menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja omongan Kang Detol karena Kang Detol memang suka mengarang cerita. Cerita tentang Mas Imin hanyalah satu yang tidak absurd dari koleksi karangan absurd Kang Detol.

“Nantangin kamu tuh, si Detol,” teguran Mas Imin mengunggah kesadaran Zia kembali. “Kapan nulis lagi, Zia?”

“Iya, nantang, nih, nantang.” Kang Detol berlagak menyingsingkan kedua lengan jumper-nya bergantian. Zia mengernyit.

Sabtu, 27 November 2010

lima

(it must have been love, but it’s over now/ it must have been good, but i lost it somehow/ it must have been love, but it’s over now/ from the moment we touched till the time had run out/ roxette – it must have been love)

.

Sebelum semakin mengutara Kota Bandung, turunlah Zia dan Tata dari angkot. Sampai memasuki bagian dalam rumah makan, Tata belum lepas dari kaitan lengan Zia. Tata menyimpan kekecewaan karena Ardi menolak diajak ikut reuni SMP-nya. Zia menyimpan kesenangan karena Tata menjadi miliknya lagi. Di sini tidak akan ada pendar-pendar obsesi Tata pada Ardi.

Hawa lembab menerpa kala mereka memasuki ruangan besar yang disekat papan-papan kayu berwarna muda dari pemandangan di luarnya. Angin sejuk dan cahaya matahari menembus dari celah-celah di antara kedua bilah papan. Rumbai-rumbai kain krep menjuntai dari langit-langit. Lampu-lampu dengan tali panjang menggantung. Perhatian Zia terarah ke sana sebelum kemudian mengalih pada wajah-wajah yang mengenal dan dikenalnya. Menyapa dan disapa sembari berjalan di antara bangku-bangku panjang berwarna senada dengan dinding. Tata memilih duduk di seberang Akbar. “Si Ega mana, Bar?” Ia menyela percakapan Akbar dengan orang di sampingnya.

“Wah, iya. Gimana ya kabar si Ega?” Akbar mengusap-usap belakang kepalanya.

“Lieur budak teh. Bukannya kamu teh dulu sobat kentalnya si Ega?”

“Loh, bukannya kamu yang sekarang satu SMA sama dia?”

“Oh iya, ya!” Tata tertawa. Zia berdecak-decak. Ganti Akbar yang menegurnya. “Eh, Zia! Saya baru kepikiran, kamu harus jadi orang Garut dulu kalau entar punya mobil! Supaya entar kamu platnya bisa Z 14 atau Z 1 A.”

“Berarti kalau si Tata harus jadi orang Purwakarta dulu atuh?”

“Kenapa gitu?” tanya Tata bingung.

“Iya. Kan biar entar platnya jadi T 4 TA!” Akbar menandaskan. Sebelah alis Tata terangkat—gestur yang dipelajarinya dari Ardi. Ia bangkit untuk menyerbu orang-orang yang ingin diusiknya. Ganti Epay yang mengisi tempat Tata. Ucapnya sumringah, “Aduh, ya ampun. Kangen deh, kangen… Udah lama deh nggak ketemu! Zia! Apa kabarnya?”

“Ah, Epay. Besok juga ketemu di sekolah…” Zia menggeser pantatnya agar bertambah jarak lagi di antara ia dan Epay.

“Ih, Zia. Ini kan reunian, Zia, reunian! Kita harus menyesuaikan!”

“Ya, harusnya kamu bilangnya ke Akbar yang beda sekolah. Jangan ke aku…”

“Iya, ini juga baru mau gitu sama Akbar. Aduh, Akbar, udah lama nggak ketemu! Kangen! Kangen! Kangen!” Akbar menyambutnya dengan tawa renyah. Kata Epay lagi, “Kalau saya plat mobilnya apa, Bar?”

“Mmm… E yah? Berarti kamu harus ke Cirebon dulu, Pay. Tapi huruf P kalau diangkain jadi apa ya?” Akbar menggaruk dagunya. “Tapi kalau pakai nama asli kamu bisa sih, Pay. Jadi V 14 atau V 1 A.”

“Tapi emangnya daerah mana yang platnya V?” tukas Zia nyinyir.

“Haa… Berarti kamu nggak bisa punya mobil, Via!” Akbar menunjuk Epay. Kembali pada tawa renyahnya. Tawa ngakak Zia mengiringi. Epay menggerutu. Setelah bertukar kabar— terutama tentang terpilihnya Ega sebagai ketua OSIS dan ketidakbisahadiran dirinya serta Regi karena ada rapat OSIS, beberapa kalimat, dan tawa lagi, Akbar kembali beralih pada orang di sebelahnya. Epay menepuk punggung Zia. Senyumnya penuh maksud. Setengah berbisik, ia berkata, “Tadi saya ketemu si Ezra di depan!”

Kegamangan melintas dalam hati Zia. Pernah ada masa di mana ia langsung memekik ketika nama itu disebut. Namun setelah itu datang masa di mana malah keresahan yang melandanya. Jadi dengan intonasi datar Zia hanya berucap, “Terus?”

Arah pandang Epay berjalan ke atas. Epay memberi tekanan pada pundak Zia agar membalikkan tubuh sehingga ia bisa melihat Ezra dan Oman menyongsongnya. “Wah, ini nih… Duo maut yang menyabotase konser urang akhirnya dipertemukan lagi,” kata Oman begitu melihat Zia. Oman—Zia menjulukinya Sang Dewa Gitar—adalah guru gitar pertama Zia. Seorang kawan segeng yang memberi sedikit kontribusi bagi upaya sabotase yang disinggungnya. Mendengar kata “sabotase”, Zia meringis.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, pada suatu malam ia dan Ezra berdiri di balik panggung yang berdiri di lapangan SMP mereka. Cowok berponi itu terlihat menyembunyikan kegugupannya. Sebelah lengannya mencengkeram erat fret gitarnya. “Siap, Zia?” Zia mengangguk saja. Ia heran mengapa ia tidak sampai segugup Ezra. Mungkin karena ini adalah pertunjukan Ezra, kendati ia yang bagian berteriak-teriak dengan pita suaranya sendiri, sementara Ezra meraung dengan gitar listriknya. Selama berminggu-minggu mereka sudah menyiapkan ini. Ketika Oman telah sampai pada suatu bagian dalam permainan gitar-nya, Ezra dan Zia mulai berderap menaiki panggung. Dan kejutan untuk semua hadirin—namun terutama adalah untuk Sugeng, Andri, dan Hauzan. Epay sudah mengomando kawanan gengnya agar bersorak sekeras mungkin saat kejutan itu terjadi.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, jauh sebelum itu ia selalu memaksa Epay agar menceritakan kembali apa yang telah Ezra curhatkan padanya. Hanya Epay yang tahu pasti bahwa Zia mendamba Ezra semenjak lama—sementara kawanan gengnya hanya tahu bahwa kecengan Zia adalah seorang adik kelas bernama Bagas. Berkat Epay, Zia dapat memahami Ezra lebih jauh, dekat dengan cowok itu, menjadi teman curhat dan berbagi minatnya yang lain, dan setuju untuk bantu menyabotase konser para kawan yang telah mencampakkannya.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, bulan-bulan setelah malam perpisahan SMP yang penuh sensasi itu menjadi masa-masa di mana hangat mengisi dadanya, sebelum kemudian diganti resah tak berujung. Masa-masa di mana Ezra tahu-tahu meneleponnya, mengajaknya jalan, dan menciptakan kedekatan personal di antara mereka berdua. Zia sudah menduga-duga akan ke mana akhir dari hubungan itu. Ia tidak bisa berhenti bahagia pada saat itu, meski masih menyayangkan mengapa ia dan Ezra tidak masuk ke SMA yang sama saja. Namun selalu ada saatnya bagi pikiran untuk tercerahkan dan membangkitkan kesadaran. Kesadaran yang memberitahunya akan betapa labilnya Ezra. Dengan segala cerita Ezra tentang permasalahannya dengan ayahnya, kesengajaannya untuk tidak pergi ke sekolah, konflik batin tentang mantan pacarnya yang ia ciptakan sendiri, lama-lama Zia merasa tidak nyaman. Pantas saja dulu Ezra selalu bermasalah dengan pacarnya dan tidak pernah bisa sesuai dengan para kawan band-nya hingga ia didepak. Oman pun dicomot untuk menggantikan. Zia pikir, ia dan Ezra bagai dua kutub negatif yang seharusnya saling tolak-menolak. Yang harusnya ia cari adalah kutub positif. Maka pelan-pelan Zia menjauh sembari tak putus melontar harap agar Ezra dapat mengatasi masalahnya sendiri. Epay sungguh heran saat itu karena ia kira sesama orang labil seharusnya dapat saling memahami dan cocok. Namun lama-lama harap Zia terwujud juga. Ezra semakin jarang menghubunginya lagi. Selain usahanya untuk tidak menggubris Ezra seintens semula, Zia tidak tahu apa faktor lain yang menyebabkan Ezra begitu.

Kini ia berada di reuni SMP untuk mengetahuinya tanpa ia rencanakan. Setelah Oman berlalu, Ezra duduk di hadapan Zia. Zia merasakan gelenyar aneh menjalar di dalam dadanya saat melihat wajah cowok berkacamata itu lagi. Sesuatu yang memikat dirinya pertama kali. Setelah bertukar sapa ala kadarnya dan pesan jus jeruk satu, Zia tidak mengharapkan Ezra masih ingat masa-masa di mana mereka pernah dekat dan menyinggung hal tersebut. Ia merasa malu. Satu pertanyaan Epay waktu Zia bilang bahwa ia sudah tidak mau dekat Ezra lagi selalu mengusik, “Trus kenapa kamu nggak berubah jadi kutub positif aja, Zia?”

“Udah nge-band lagi?” tegur Ezra. Zia diingatkan lagi akan betapa memesonakannya senyum cowok itu. Betapa lemas tubuhnya setiap kali senyum itu melayang padanya. Betapa ia selalu lapor pada Epay setiap kali habis berinteraksi dengan Ezra. Ah, itu semua hanya riak-riak kecil dalam kehidupan remaja labil! Zia berusaha menutup kembali kotak memorinya. Ia juga berusaha menepis rasa terpuruk akibat diingatkan akan satu usaha gagalnya.

“Udah… nggak,” ucap Zia setelah gagal juga dalam mengarang jawaban yang mengandung peningkatan harga diri. “Sekarang aku lagi suka ngarang lagu aja.” Setelah pulang dari reunian ini, kalau Tata tidak mengajak mampir ke rumahnya, Zia akan mengurung diri dalam kamar untuk mencipta sebuah lirik lagu berjudul “Simfoni Patah Hati Terakhir.” Mungkin Ezra akan berminat dengan kesukaan Zia mengarang lagu? Oh, tidak, ia melambai pada rombongan Sugeng, Andri, dan Hauzan. Sudah berdamai mereka rupanya. Zia masih ingat akan suatu gosip kala ia SMP bahwa Ezra pernah hampir menghajar Andri karena ketahuan jalan bersama Ocha—pacar Ezra saat itu. Namun Sugeng dan Hauzan malah membela Andri. Zia menghela nafas. Pikirannya susah diajak kompromi dengan indra pendengaran agar memerhatikan cerita Ezra kemudian. Yang ia tangkap hanya Ezra sekarang pegang bass dan ia tidak rebutan cewek dengan salah satu personil band barunya.

Muka Ezra jadi semakin cerah. “Eh, eh, Zia… Liat nih, pacar baru Ezra…” ucapnya sembari mengambil dompet dari saku belakang celananya. Zia tercenung. Rupanya Ezra masih menganggap Zia sebagai seseorang yang dekat dengannya, sampai berinisiatif hendak menunjukkan pacar terbaru segala. Kalau ia tidak pernah menjauhkan diri dari Ezra, mungkin potretnya yang bakal mengisi dompet tersebut.

Mata Zia menumbuk potret yang Ezra sodorkan padanya. Ia merasa mengenal cewek tersebut. “Penyiar Ringo, yah?”

“Eh, kok tahu?”

“Namanya siapa sih?”

“Joan. Anak SMAN Bilatung. Imut banget yah? Ezra suka.”

“Alphita Joannisa Handoko?”

“Eh, kok tahu?” Zia tak heran Ezra tampak kaget. Akhirnya Zia ingat juga siapa nama asli Handoce. Ternyata benar apa kata orang, dunia tidak selebar celana kolor. Terima kasih, Ezra.

Jumat, 26 November 2010

SELAI PISANG COKLAT!

Haloooooooo Sayangku, Anakku, Manisku, muah, muah, muah! Tidak hanya kamu yang manis, tapi juga sesuatu yang telah Nyonya Teladan ciptakan baru-baru ini. Oh, apakah itu, kamu pasti mau tahu... Dimulai dari kedatangan Nyonya Teladan ke rumah Bude Nyonya Teladan lagi... Ketika Nyonya Teladan hendak pulang, Bude mengoleh-olehi Nyonya Teladan sebungkus biskuit Danish. Namun sayang, setelah hari berganti hari hingga minggu diganti minggu, biskuit itu remuk bukan buatan! Olala... Sudah tidak menguar selera untuk memakannya lagi, Sayangku, Anakku, bagi siapapun yang melihatnya... Kebetulan juga Nyonya Teladan saat itu memiliki beberapa buah pisang ambon yang sedang berada di ambang kematangan. Maka...

Kamu hanya membutuhkan
- sebungkus biskuit remuk
- 2 sachet susu kental manis rasa coklat
- sebuah pisang ambon yang amat matang
- air secukupnya
untuk dipadukan di atas sebidang piring sehingga menjadi sesuatu yang Nyonya Teladan namakan SELAI PISANG COKLAT.

Mau tahu bagaimana cara Nyonya Teladan membuatnya? Pertama, Nyonya Teladan remukkan keseluruhan biskuit dalam plastik untuk kemudian dituangkan di atas piring. Tuangkan susunya satu sachet dulu, aduk-aduk... Kurang, Nyonya... Oke. Tambahkan satu sachet lagi. Aduk-aduk lagi. Tambahkan air secukupnya agar semua bahan dapat tercampur dengan merata. Sudah? Oke. Mari kita masukkan sensasi pamungkas kita, sang primadona ambon manise matenge... the banana in the tropical jungle... Dilumat hingga bersatu dengan adonan sebelumnya ya, Anakku, Sayangku...

Nah, sudah jadi adonan selai kita. Agar lebih menggugah selera, pindahkanlah ia ke wadah yang cukup aman untuk dimasukkan ke dalam kulkas bersama. Sembari menunggu semalaman, kamu dapat membeli sebungkus roti sandwich susu spesial merek BE LIVING BREAD di toko terdekat. Maka, kamu akan mendapati cerahnya esok pagi dengan beberapa lembar roti lapis selai buatan sendiri cap nyonya teladan! Salam manis!

Kamis, 25 November 2010

Sekelumit Wajah Jepang Pra Restorasi Meiji

Judul : Yokohama 1 - 8 (tamat), terjemahan dari Yokohama Monogatari
Pengarang : Waki Yamato
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1994-1995 (cetakan pertama)

Adalah sebuah seri komik lawas yang saya temukan di rak kontrakan teman, dibeli saat harga komik Elex masih 3300 rupiah. Saya terkekeh saat di nomor pertama membaca sebuah judul di halaman awal: "Roman Yokohama". Kalau bicara soal roman umumnya di kepala ini yang terbayang adalah sebuah buku penuh teks, macam "Siti Nurbaya" itu. Jadi kalau dipikir-pikir lagi seri komik "Candy-candy" pun mungkin bisa disebut roman juga?

Cerita dalam komik ini berlatar di Yokohama, sebuah kota yang menjadi gerbang barang-barang impor maupun ekspor di Jepang, tahun 1870-1880-an. Tepatnya, pada musim gugur tahun 1875, seorang gadis yatim piatu dari gunung bernama Uno dibawa oleh seorang pengusaha kaya raya, yang adalah majikan orangtuanya, ke Yokohama. Pria bernama Tuan Kanou ini bermaksud menjadikan Uno sebagai pembantu anak bungsu perempuannya yang bernama Mariko. Meski dididik sebagai perempuan rumahan yang bertata krama, Mariko badung luar biasa. Tak disangka Uno ternyata dapat berteman akrab dengan Mariko. Inilah awal dari persahabatan mereka, yang saling mengasihi, berkorban, dan mendukung cita-cita satu sama lain, dan tak akan lekang oleh waktu hingga cerita berakhir saat pelabuhan Yokohama menjelang dibangun dan Restorasi Meiji akan segera dimulai.

Sebagai kota pelabuhan, Yokohama banyak mendatangkan orang asing. Dari ilustrasi-ilustrasi yang dibuat sang komikus, Yokohama seperti tak ada duanya dengan kota-kota di Eropa. Dengan budaya Jepang yang masih kental tentunya. Tidak hanya berdagang, ada pula orang asing yang memberi pendidikan bagi masyarakat lokal.

Sebagai anak-anak perempuan yang berpikiran maju dan terbuka pada perubahan, Mariko dan Uno memohon kepada Tuan Kanou agar diizinkan bersekolah. Dengan bantuan dari nenek tetangga sebelah bernama Amano Reika, juga setelah membungkuk-bungkuk penuh harap, dua gadis ini pun diizinkan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan keluarga Simmons, yang kelak akan menjadi bekal yang amat berguna dalam memperoleh cita-cita mereka, di antaranya berkelana sampai ke negeri orang.

Tidak mudah jalan yang harus mereka tempuh untuk mencapainya. Apalagi mereka hidup pada jaman di mana masyarakat masih punya pandangan bahwa wanita tidak pantas untuk pergi jauh-jauh dan lebih patut tinggal di rumah saja mengurus suami dan anak. Uno sempat ditipu seorang asing yang hendak menjualnya ke Hawaii, ayah Mariko meninggal dan usahanya diwariskan ke anak sulungnya, Shuiciro, yang lebih berminat melukis daripada berbisnis, hingga akhirnya sepasang sahabat yang sudah bagai saudara ini harus berpisah. Uno menggantikan Mariko pergi ke Amerika sedangkan Mariko sendiri harus tetap tinggal di Yokohama. Karena perusahaan ayahnya di ambang kebangkrutan, Mariko terpaksa menikah dengan seorang pengusaha kaya yang dulu pernah menolongnya.

Akan jadi amat panjang nantinya kalau detail cerita ini dijabarkan. Sebagaimana roman pada umumnya, banyak tokoh lainnya berseliweran dalam cerita ini, di antaranya para pemuda ganteng yang membuat kehidupan cinta dua gadis muda ini jadi pelik, sebut saja Amano Shintaro--teman sepermainan Mariko sejak kecil yang diam-diam dengan Mariko saling menyukai, Ryusuke Kai--anak samurai yang penuh perjuangan keras agar bisa hidup, Kicho Isahaya--penerus bisnis keluarga yang wajahnya cantik dan mirip Shintaro, Toby Simmons--anak pengelola kursus Simmons yang jatuh cinta pada Uno, juga ada tokoh-tokoh lainnya seperti Rinko, anak samurai yang seorang geisha, dan Jim Roid, seorang koboi yang menolong Uno saat mencari Shintaro di Amerika.

Salah satu yang menarik dari cerita ini adalah latarnya. Saat baru ngeh akan latarnya, saya menerka-nerka, akankah ada isu kristenisasi menyelip dalam cerita ini? Misalnya karena banyak mengecap pengaruh dari Barat akhirnya Uno dan kawan-kawan menjadi kristen atau bagaimana, lalu dikejar-kejar untuk dibunuh, seperti yang pernah saya tonton sekilas dalam kartun "Samurai X". Atau apakah mereka akan terkena dampak dari pemboman dua kota industri di Jepang pada masa Perang Dunia II? Tidak ada yang seperti itu sih. Sacramento, San Fransisco, dan daerah-daerah Barat Liar di Amerika sana sempat menjadi latar atau sekedar disebut-sebut dalam cerita ini.

Alkisah, Amano Shintaro, yang tinggal membuat skripsi saja untuk lulus dari Kedokteran Harvard, hijrah ke San Fransisco untuk mengobati para imigran Jepang miskin yang mengadu nasib di sana. Saat itu di Amerika isu rasial masih gencar dan tidak ada seorang dokter kulit putih pun yang mau mengobati orang Jepang, yang sering disangka orang Cina atau orang Indian, apabila mereka sakit. Saking susahnya menjadi orang Jepang di Amerika saat itu, terutama kaum penggarap tanah, untuk membayar biaya menonton pertunjukkan teater seharga 50 sen per orang saja mereka belum tentu mampu (meski saya tidak tahu semahal apa sih 50 sen pada masa itu). Meski demikian, ada juga orang Jepang yang mapan. Tapi profesinya insinyur tambang. Kondisi demikian mengingatkan saya akan novelnya John Steinbeck, 'The Grapes of Wrath"--yang edisi Bahasa Indonesianya berjudul "Amarah"--yang juga mengisahkan tentang kaum kulit putih penggarap tanah.

Entah mengapa, cerita ini menimbulkan kesan yang cukup kuat buat saya. Meski para tokohnya mungkin agak tipikal, romansanya agak klise, dan saya membayangkan jika cerita ini dibuat versi live action-nya, mesti akan menjadi serial drama seperti "Jang Geum", "Putri Huan Zhu", atau drama Taiwan serupa yang soundtrack-nya "hou syang hou syang". Kalau kamu suka kisah roman dengan tema cinta, persahabatan, dan cita-cita berlatar belakang sejarah, bacalah seri komik ini.

Rabu, 24 November 2010

Judul : Serial Akta: Gendut Oke, Hitam...
Pengarang : Jazimah Al-Muhyi
Penerbit : Era Novfis, Solo, 2003

Sudah lama tidak membaca fiksi islami, yang mesti banyak selipan dakwahnya, membuat saya menarik novel tipis ini dari rak di kontrakan teman. Terdiri dari beberapa belas cerita pendek yang meski berdiri sendiri-sendiri namun saling berkaitan antar satu sama lain, bahasa tutur novel ini amat ringan dan tamat sekian jam dibaca. Secara sasarannya anak SMA (karena tokoh-tokohnya masih pada duduk di bangku SMA), sekiranya ceritanya tidak harus sesimpel ini. Setiap peristiwa tidak banyak dijabarkan melainkan hanya diceritakan seperlunya saja. Selain itu, muatan dakwahnya sendiri saya rasa cukup berat. Saya katakan cukup berat karena jika saya memposisikan diri sebagai yang menjadi sasaran dakwah novel ini, akan berat bagi saya rasanya jika harus mengubah kebiasaan saya sebagaimana yang tokoh utama--Akta--dalam novel ini inginkan. 

Tokoh utama serial ini, Akta, adalah seorang siswi SMA yang begitu memegang teguh prinsip ideal seorang muslimah. Ya, biarpun masih duduk di bangku SMA, tapi pembawaannya serius sekali, baik soal keislaman maupun studi. Sekilas si Akta ini tampak sempurna dan ideal. Akidah, otak, finansial, fisik, sepertinya tidak ada masalah berarti jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, yang pada bermasalah dan si Akta inilah yang jadi pemecah masalahnya. Saya membayangkannya bagai teman-teman saya, mbak-mbak yang aktif di lembaga dakwah tapi aktif juga di kelas, ber-IP tinggi, dan belum prestasi lainnya.

Kalau anda adalah anak muda yang masih haus mencari kesenangan dunia dan belum siap jadi alim (meski ilmu akhirat mesti ditimba sedini mungkin), saya tidak menyarankan anda membaca novel ini. Mengapa? Karena setelah menyelesaikannya, anda mungkin akan jadi merasa amat berdosa. Atau anda akan jadi sebal sama Akta yang kok-sebegitunya-sih-bersikap. Atau bisa jadi malah muncul rasa antipati, "ah, beragama nggak meski segitunya kali..." Tapi anda bilang seperti itu apakah karena pondasi ilmu akhirat anda memang sudah kuat atau hanya asal bunyi saja karena tidak ingin dipojokkan sebagai seorang pendosa? Jika tidak ingin merasa dihakimi oleh fiksi islami yang tidak begitu anda doyani, sebaiknya anda jejali dulu otak anda dengan ilmu akhirat sebanyak-banyaknya.

Selasa, 23 November 2010

Tobias Wolff – Say Yes


Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. They talked about different things and somehow got on the subject of whether white people should marry black people. He said that all things considered, he thought it was a bad idea. Konflik pun dimulai. Sang istri terus menyinggung topik ini, bertanya apakah jika dia kulit hitam sang suami akan mau menikahinya. Sang suami keukeuh itu tak akan terjadi dengan mengeluarkan bermacam argumen. Sang istri hanya ingin tahu jawaban pasti dan sang suami menjawab, “tidak.” Perdebatan terhenti. Sang suami berjalan-jalan di luar sejenak untuk menenangkan pikiran. Sekembalinya ke rumah, sang suami minta maaf pada istrinya dan mengubah jawabannya. Namun istrinya telah menjadi seseorang yang asing baginya.

Pada paragraf pertama kita ditunjukkan betapa sang suami berusaha menjadi seorang suami yang berperasaan dengan membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga, salah satunya adalah dengan mencuci piring bersama.

Saya merasa bisa memahami sang suami. Dia coba menjadi orang yang baik namun ia ternyata tak bisa sebaik itu—hingga mau menikahi seseorang yang berlainan ras dengannya. Bagi saya perdebatan yang sang istri angkat sekiranya tak perlu. Saya sependapat dengan sang suami, jika mana sang istri adalah kulit hitam, mesti akan lain takdir yang terjadi. Tak bermaksud untuk rasis. Saya pun punya pikiran jika saja bapak saya tidak menikahi ibu saya, tentu saya tak akan menjalani hidup yang seperti ini. Dan ini sudah takdir, sudah terjadi, tak perlu untuk diperkarakan karena takdir tak bisa diutak-atik.

Dan soal jodoh adalah pilihan. Kita punya selera masing-masing akan sesuatu. Jika kita ingin menikah dengan A, dan bukan si B, mengapa kita harus dipaksa untuk menikah dengan B? Dan ini tak mesti terkait dengan ras. Jika sang suami memang tak berminat untuk menikah dengan kulit hitam, mengapa dia harus dipaksa untuk mau? Itu bukan berarti dia rasis, saya sependapat dengannya: “I went to school with blacks, and I’ve worked with blacks and lived on the same street with blacks, and we’ve always gotten along just fine. I don’t need you coming along now and implying that I’m a racist.

Well, the husband is just me, seseorang yang berusaha untuk jadi orang baik namun tak lantas dapat menerima perbedaan. Di mata sang istri, sang suami bisa jadi seorang rasis. Dipersalahkan. Dengan demikian, saya punya keberpihakan kuat pada sang suami dan mengklaim sang istri sebagai wanita dominan nan arogan.

Selesai mencuci piring, sang suami berjalan-jalan di luar rumah. Ia melihat dua ekor anjing (?) di tempat sampah sedang mencari makan. Biasanya ia akan melempari mereka dengan batu, namun kali ini ia diamkan saja mereka. Mungkin karena dua ekor anjing itu ialah jantan dan betina, ia jadi teringat pada dirinya dan istrinya. Anjing saja bisa kompak berdua seperti itu, mengapa tidak mereka?

Pada akhirnya, sebagai seseorang yang berusaha untuk jadi orang baik,  sang suami mengalah. Kendati akibat adanya pertentangan itu, dirasakannya kemudian bahwa sang istri telah menjadi seseorang yang asing—sama seperti pada malam pertama mereka dulu. Di sinilah saya menyadari apa yang seakan hendak sang istri (atau pengarang?) sampaikan. Seberapapun kita merasa lebih aman dengan orang yang kita kenal, orang tersebut pernah jadi orang asing dalam hidup kita—sebelum kita mengenalnya, misal. Jadi mengapa kita harus tak menerima orang lain karena ia berbeda dengan kita? Memang beda tak lantas bisa disamakan dengan asing. Toh jika kita menolak sesuatu karena berlainan dengan kita, entah karena beda atau asing, lama-lama kita akan terbiasa dengannya.

Entah apa relevansi dari inti yang saya dapat barusan dengan judul cerpen ini. Mungkin say yes terhadap perbedaan? Bagaimanapun juga, menjadi terbiasa bukan berarti karena kita telah menyukainya. 
 
(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)



Senin, 22 November 2010

Cowok Idaman Bibe

Sebelum bertemu fisiknya, orang kerap salah mengenalinya sebagai perempuan. Tapi Manda maklum saja sebab cowok yang bernama Prima, Indi, atau Elda, juga bisa mengalami hal yang sama. Sebagaimana orang bernama Sugeng dan Bambang punya komunitas[1], Manda pernah kepikiran untuk membuat komunitas bagi mereka yang punya nama uniseks.

Belum sebulan Manda menghuni XI A2. Beberapa belas menit lalu ia menolak halus ajakan teman sebangkunya untuk menghabiskan jam istirahat di kantin. Ia memasang headset dan memutar karya dari musisi kesukaannya. Ia menunggu kelas cukup sepi untuknya mengeluarkan buku pelajaran Matematika kelas 5 SD. Ia lalu mematikan pemutar mp3-nya agar bisa berkonsentrasi dalam menekuni buku tersebut. 

Perhatian Manda teralih sebentar. Segerombolan siswi memasuki kelas. Berdasar kesepakatan kelas mengenai pembagian bangku pada minggu silam, adalah satu dari mereka yang mendapat bangku di belakangnya. Ialah Bibe, yang beserta kawanannya mengusir kekosongan di belakang punggung Manda.

Sewaktu kelas X, kelas Manda bersebelahan dengan kelas Bibe. Itulah yang membuat mereka kebagian meja yang bersebelahan saat lomba kreasi nasi goreng dalam rangka peringatan HUT RI. Manda sadar Bibe terus mengamatinya mengiris mentimun. Bibe bilang pergerakan jari Manda mengagumkan. Itu hanya satu dari sedikit interaksi dengan Bibe yang Manda ingat.

Selebihnya, Manda mengenal Bibe tanpa sedikit pun usaha. Bibe sudah terkenal dengan sendirinya. Setiap upacara bendera, selalu disebut nama “Bibe Alizia Pohan” sebagai pemenang bermacam lomba. Bibe pernah menang lomba pidato, lomba debat, lomba cerdas cermat, lomba menulis, hingga lomba baris-berbaris. Namun sekali Bibe menang suatu lomba, tak pernah terdengar lagi kiprahnya dalam lomba yang sama. Belum bisa mengatakannya sebagai yang terunggul dalam suatu bidang, tapi Bibe telah terbukti dapat unggul dalam segala bidang. Bibe juga aktif di banyak ekskul. Kawanannya tak hanya yang itu-itu saja—Bibe pernah terlihat bersama berbagai macam orang. Bibe melukis sendiri sepatunya, juga menjahit sendiri ikat rambut dan tas cangklongnya. Bibe tak berusaha kelihatan modis, seadanya, namun nyaman dipandang meski Bibe bukan cewek tercantik yang pernah Manda lihat.

Bibe sedang ditodong kawanannya. Kini giliran Bibe untuk mengungkap apa saja kriteria cowok idamannya.

“Iya… Iya… Nih aku sebutin, nih… Perhatiin baik-baik ya, semuanya!” Bibe berusaha menenangkan rasa penasaran yang mengerumuninya. “Satu… Seiman dan beriman. Solatnya nggak boleh bolong-bolong… Oke.. Dua… Bisa main piano. Dan ngefans berat juga sama Om Hayyra…”

“Om Hayyra terus, Om Hayyra terus, nikah aja sekalian sama dia!” keluh seseorang ditimpali yang lain. Terasa bahwa nama itu sudah sering mereka dengar namun mereka sendiri sebenarnya tak familier dengan siapa yang dimaksud.

Bibe tergelak. “Haha, ih, masak aku nikah sama yang sepantaran mama aku?” Tak mengindahkan tanggapan ramai kawanannya, Bibe melanjutkan, “Tiga, harus punya banyak saudara kandung. Pokoknya berasal dari keluarga besarlah! Empat, pekerjaannya entar nggak mengharuskan dia buat banyak berpergian. Pokoknya kalau pagi sama malem seringnya harus ada di rumah. Akhir minggu juga nggak malah keluyuran ke mana-mana.”

“Yah, Bibe, dipenjara aja sekalian…”

“Ya nggak mesti gitu juga kali… Lima, intelejensianya kurang lebih setara, lebih tinggi dikit juga nggak apa-apa deh. Enam, nggak protes sama selera makan yang aneh-aneh—“

Terdengar gelak beberapa orang. Berdasar kenangan akan lomba kreasi nasi goreng yang lampau, Manda pernah melihat sekilas Bibe menuang sirup ke piring nasi gorengnya. Baru kemarin juga ia melihat Bibe menjilati es tong-tong yang dibubuhi lada.

Bibe tak menghiraukan ledekan kawanannya. “Tujuh, nggak songong. Delapan, nggak suka berantakin rumah. Sembilan, punya ladang jamur. Sepuluh, rajin nabung. Sebelas, suka main layangan. Dua belas, suka bakar roti. Tiga belas, nggak norak apalagi suka ngumbar kata-kata yang bikin diabetes, hiiii… Empat belas, nggak suram. Lima belas—“

“Eh… nggak bisa, nggak bisa… kriterianya cuman sepuluh…”

“Wah, Bibe maruk nih…”

Kawanan tersebut menuntut Bibe untuk mengeliminasi kriterianya. Bibe mendesah. “Oke! Oke! Nomor tujuh sampai sembilan disatuin di nomor tujuh. Nomor sepuluh sampai dua belas jadi nomor sepuluh aja… Trus…”

“Ye… Ya nggak bisa juga dong! Harus satu-satu!”

“Iya nih, Bibe banyak banget kriterianya…”

“Cuman lima belas aja kok! Pasin ajalah…” sela Bibe.

“Belum kriteria fisiknya…”

“Aduh… aku sih masing bingung ya sama definisi ganteng…” suara Bibe lagi. Ia membungkam sisa luapan komentar kawanannya dengan, “Pokoknya, nomor terakhir nih, nomor terakhir… Biar aku sama dia bisa saling melengkapi, dia mesti BEDA dari aku!”

“Beda kayak gimana, Beb?”

“Aah… Aku tahu, pasti cowoknya Bibe entar yang pendiem banget, sampai-sampai jarang ngomong…”

“Yang jelas selera makanannya normal, hahaha…”

Kembali Bibe ramai diledeki kawanannya. Bibe rusuh mendiamkan mereka.

“Aaah… Beb, kalau kriterianya kayak gitu mah, kapan kamu bisa dapet cowoknya?”

“Iya, ih, aku nggak kebayang loh, Bibe entar cowoknya kayak gimana…”

“Iiih… Apa sih kalian? Aku kan pingin punya cowoknya masih lama. Buat calon suami mah nggak boleh sembarangan dong kriterianya… Jadi tenang aja, masih banyak waktu buat nyari… Dari sekian miliar jumlah cowok di muka bumi ini, masak nggak ada satu pun yang menuhin kriteria kayak gitu sih?” balas Bibe.

“Ya, mungkin ada kali, Beb, di Zimbabwe!”

Terdengar lagi gelak tawa.

“Bukan terong digulain lagi itu mah, tapi kadal dikecapin!”

“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek, atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu. Titik!”

***

Hari sebelumnya

Manda biasa langsung pulang ke rumah sepulangnya dari sekolah. Gaya jalannya yang terseok-seok menimbulkan bunyi gesekan antara sol sepatu dengan jalan gang yang disemen. Begitu mendekat ke ambang pintu rumah, Azi berlari menyongsongnya dari dalam rumah. “Kakak, gendong! Gendong!”

Manda merengkuh tubuh gempal si mungil dan membawanya masuk kembali ke dalam rumah. Mengayun-ayunkannya hingga anak itu tergelak. “Udah makan belum, Dek Azi?” Jari Manda mengambili butir-butir nasi yang menempel di pipi gembil itu. Sebelah tangannya membetulkan letak vas yang tak tepat di tengah meja. Mungkin gara-gara disenggol Azi tadi.

“Lagi makan…” Mata Azi sudah fokus kembali pada mainan di tangan. Manda menurunkan Azi di sebelah Aza. Kembaran Azi tersebut menoleh. Dengan tak acuh kembali memalingkan perhatian pada layar TV. Sebelah tangannya memegang sendok. Lebih banyak butir nasi berceceran di sekitarnya.

“Tuh, liat, kayak Dek Aza, makan sendiri. Dek Azi makan sendiri apa disuapin?”

“Disuapin Aza…”

Sembari bangkit, Manda mendengus. Layar TV diisi iklan. Masih membawa sendoknya, Aza mengekori Manda ke kamar. Manda terkejut mendapatinya ketika hendak menutup pintu. “Kenapa Dek Aza?”

“Mau disuapin Kak Manda…”

“Iya bentar, Kakak ganti baju dulu ya. Jangan ikut masuk. Kakak malu...” Manda menghembuskan nafas lega karena Aza mau saja menunggu di balik pintu. Lekas ia mengganti bajunya. Sebelum melepas atasan, ia merogoh-rogoh saku. Uang di dalamnya masih tersisa lumayan. Celengannya bertambah berat saja dari hari ke hari. Manda lebih suka mengulik soal matematika SD ketimbang mengeluarkan uang saat jam istirahat.

Ketika ia membuka pintu kembali, Aza sudah tak ada. Azi menunjuk-nunjuk layar TV. “Kakak, liat, Kakak, Sponge Bob!”

“…iya… Kakak solat dulu ya…” Manda lekas melintas sepasang bocah usia tiga tahun itu. Di dapur ia menegur Melia sambil lalu. “Bikin apa, Dek? Hati-hati loh, pake toaster-nya…” Sekembalinya dari kamar mandi dengan titik-titik air membasahi beberapa bagian tubuh, Manda mendapatkan jawaban, “Bikin roti bakar, Kak.”

“Oh…” Manda hendak berlalu lagi, namun Melia memanggilnya.

“Kak, Kakak bisa tungguin ini bentar nggak? Kayaknya bentar lagi mateng nih… Aku mau ke atas dulu bentar…”

“Ya…” Manda menggantikan posisi anak kelas 2 SD itu di depan toaster. Dari jauh dilihatnya Aza yang terpekur karena tayangan TV dan Azi yang membolak-balik mainannya dengan penuh minat. “Azi, Aza, mau roti bakar juga nggak?” Malah toaster yang menggubris. Manda memindahkan roti dari dalamnya ke atas piring yang telah terisi roti bakar sebelumnya. Melia telah kembali.

“Mau diisi apa, Mel, rotinya?”

“Mmm… Atasnya nasi, bawahnya Anak Mas…”

Manda memasukkan dua lembar roti yang sudah dibubuhi margarin lagi ke dalam toaster. “Gantian tungguin ya, Dek. Kakak mau solat dulu…” Manda menyibak poninya yang basah. Ia tunaikan solatnya segera, kembali ke dapur, dan mendapati sepasang roti bakarnya sudah menumpuk di atas piring.         

“Kakak isinya mau kayak yang punyaku juga, nggak?”

“Nggak, ah…” Manda membawa piringnya masuk ke dalam kamar. Ia kunci pintunya. Manda membuka salah satu laci meja belajarnya. Tangannya merogoh hingga ke pojok laci untuk mendapatkan sebungkus Pedigree. Sepuluh tahun lalu ia pernah ikut bermain ke rumah tetangga—teman kakaknya—yang memelihara anjing. Dengan sengaja, kedua bocah yang bisa dikatakan hampir menginjak remaja itu memberinya beberapa butir biskuit kecil berbentuk tulang anjing. Snack keluaran terbaru, kata mereka. Tidak sekali mereka begitu. Manda sudah terlanjur ketagihan ketika sadar bahwa yang diberikan padanya adalah makanan anjing. Perutnya tak pernah mengalami masalah berarti karena itu. Kak Mita bahkan tidak tahu bahwa ia masih mengonsumsi. Selama ini ia membeli cemilan favoritnya itu secara sembunyi-sembunyi dari tabungannya.

Permukaan roti kini sudah penuh terisi tulang anjing-tulang anjing mini. Lembar roti lain ia taruh di atasnya. Sembari mengunyah serta menikmati “krauk krauk” plus sensasi dari sari daging yang dikeringkan, Manda mengamati bayangannya di cermin. Tak sedikit yang mengatakan betapa ia memiliki rambut yang halus dan bersinar—secerah kulitnya, secemerlang matanya. Apa yang dikatakan produsen cemilan favoritnya pada kemasan kiranya bukan bohong belaka.[2]

“Kak…” Sepertinya itu Aza yang menggedor pintu. Manda lekas menghabiskan makan siangnya.

“Iya, Aza…” Manda membuka pintu. Aza hendak menyanyi dan ia minta Manda mengiringinya dengan piano.

Manda memindah mainan-mainan adiknya yang berserakan di atas kap piano ke rak lain sekaligus merapikannya. Aza merengek agar Manda lekas. Hanya Manda yang bisa memainkan piano dengan benar di rumah ini. Para saudaranya sesekali memainkannya juga namun hanya untuk main-main. Tak ada yang seberminat itu mempelajarinya selain Manda.

Waktu masih kecil, Manda iseng mendentingkan sebuah piano di area alat musik suatu toko buku. Seorang karyawan mendekat dan dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa bakat Manda harus dikembangkan. Sewaktu lapak ibunya belum habis dilalap api, Manda masih bisa les privat sekali seminggu. Piano tersebut pun orangtuanya beli dengan harga amat murah dari gurunya. Manda jadi merasa semakin sayang pada orangtuanya setiap mengingat hal tersebut.

Manda mendudukkan Aza di pangkuan. “Aza mau nyanyi apa?” Ia mencium ubun-ubun adiknya itu dengan gemas. Aza menelengkan kepala.

Azi lari mendekat. “Azi mau nyanyi juga!”

“Kemarin lagu yang Kakak ajarin masih hapal, nggak?”

Bintang kecil…” Azi berdendang. Manda menjejakkan jari-jari tangannya di atas tuts kendati tubuh Aza agak menghalangi geraknya. Aza menyusul bernyanyi. Manda juga. Mereka bernyanyi bersama. Manda tersenyum membayangkan masa-masa ini akan ia alami dua kali lagi; saat ia punya anak dan saat ia punya cucu. Mungkin ia bisa lebih sering mengalaminya lagi jika ia menjadi guru Seni Musik bagi anak-anak playgroup. Namun ia pendam saja bayangan itu.

Derum motor terdengar dekat. Aza loncat dari pangkuan, menyusul Azi yang sudah lebih dulu ke halaman. Bapak muncul dengan Azi di pundak dan Aza menggelayuti paha. Manda bangkit untuk memberi salam. Manda selalu bersyukur ayahnya seorang guru. Ayahnya pulang kerja tak lama setelah anak-anaknya pulang sekolah. Ayahnya juga libur ketika anak-anaknya libur. Ayahnya selalu memiliki banyak waktu untuk banyak anaknya. Meski akibat profesinya tersebut, mereka sekeluarga pernah mengalami masa sulit ketika honor seminggu hanya sampai Rabu.

Bapak setuju jika Manda juga ingin jadi guru. Namun Manda kerap tak sanggup jika membayangkan dirinya sampai harus memberi les-les dan jual buku untuk menambah uang saku. Ia juga tak setuju jika harus jadi diktator—jual diktat beli motor. Belum jika ada penyunatan gaji dan murid badung melulu.[3] Bagaimanapun itulah masa lalu. Hidup mereka sudah lebih sejahtera kini.

Di belakang Bapak, tampak seorang perempuan dengan helm menumpuk jilbab. Manda memberitahu perempuan tersebut untuk menunggu sebentar. Ia menuju belakang rumah. Ketika pintu dibuka, tampak sepetak ladang jamur tiram. Manda mengambil sebuntal plastik dari rak dekat pintu.

“Sori tadi pagi aku lupa dateng,” kata perempuan tersebut ketika Manda menyerahkan buntalan berisi jamur tiram padanya. Perempuan itu ganti menyodorkan lipatan sepuluh ribuan ke tangan Manda.

“Iya, jamurnya jadi kurang fresh tuh.”

“Nggak papa, mereka mintanya emang buat malem juga sih.”

Kepergian perempuan itu dengan motor bebeknya digantikan azan ashar. Lipatan uang di saku celana Manda berpindah lagi ke dalam celengan. Adalah perempuan tadi, teman SMP-nya, yang mengajaknya usaha jamur tiram bersama karena tahu Manda punya sepetak lahan tak terpakai di belakang rumah. Dengan rekayasa lingkungan sedemikian rupa, usaha kecil-kecilan ini lumayan untuk memperberat celengan atau variasi lauk di meja makan rumah.

Sebetulnya jadwalnya memberi les di rumah Zulfan jam empat. Namun bocah itu memintanya datang lebih awal. Bocah itu bilang ia ada urusan jam lima. Manda lekas mandi dan solat ashar. Ia mengambil hem dan jins baru dari lemari. Tak lupa rambut ia sisir rapi. Ibunya mendidiknya agar selalu berpenampilan baik jika hendak bertamu ke rumah orang. Tapi akhirnya pakaian licinnya itu tertutup jua oleh jaket yang sudah terpakai kemarin.

Manda kira ia akan menjumpai Momon di rumah Zulfan. Adik kelas 5 SD-nya itu begitu betah main di sana. Manda jadi penasaran game apa saja yang Zulfan punya dan apakah akan pantas jika ia ingin ikutan main.

“Loh, Mas Manda kok udah dateng?” Mama Zulfan tergopoh-gopoh menyambut Manda di ruang tamu.

“Iya, Tante. Kata Zulfan, abis ashar aja langsung ke sini…”

“Walah… Aduh, itu anak, pasti biar bisa cepetan main di luar lagi. Bentar ya, saya panggilkan. Duduk aja dulu, Mas…”

Manda menurut. Sembari menunggu datangnya Zulfan, ia mengamat-amati interior yang sedap dipandang. Zulfan muncul tak lama kemudian.

“Eh, Zulfan. Kakak udah bikinin soal nih.” Manda hendak mengeluarkan kertas berisi soal-soal hasil ulikannya saat jam istirahat di sekolah tadi. Zulfan duduk dengan lesu di sebelahnya setelah menghempaskan tumpukan buku pelajarannya ke atas meja.

“Ah, ngerjain PR aja, yah, Kak. Bisnis nggak bisa ditunda nih…”

“Ya dikerjain dulu PR-nya.”

“Jam empat udahan ya, Kak?”

Karena dibayar untuk tiga jam seminggu, Manda menjawab, “Jam lima deh. Tapi besok Jumat sampai maghrib yah?”

“Aaah!” rajuk Zulfan.

“Eh, Momon tadi main ke sini nggak?”

“Nggak tau.”

“Ngambek nih…”

Kendati Zulfan menunjukkan air muka yang tak enak dilihat, ia tekun mengerjakan PR-nya. Sedikit saja ia bertanya pada Manda yang memperhatikan pengerjaannya dari belakang. Pembantu di rumah itu sempat muncul untuk menyuguhkan minum dan penganan kecil.

“Ini, Kak!” Zulfan menyodorkan hasil pekerjaannya, namun segera ia tarik lagi begitu tangan Manda hendak mengambilnya. “Istirahat dulu yuk, Kak!”

“Eh, diperiksa dulu kerjaannya…”

Tangan Zulfan kuat mencengkeramnya. Kendati tenaganya mungkin lebih kuat, Manda tak enak jika hendak melawan. Ia ikut saja ke mana Zulfan menyeretnya. Untung saja ia tak menemui Mama Zulfan sepanjang jalan menuju taman di atap rumah tersebut. Manda terpana dengan kehadiran tanaman-tanaman hias yang selama ini hanya bisa ia lihat dari bawah. Zulfan muncul dengan membawa sebuah layang-layang besar.

“Pegang, Kak,” titah Zulfan. Manda menurut. Sementara Zulfan mengulur kenur, Manda dipandu untuk terus jalan mundur, terus dan terus. Sesekali Manda menengok ke belakang untuk memastikan langkah selanjutnya masih berpijak di permukaan keras. Titah Zulfan lagi, “Lepas, Kak!”

Zulfan menyentak kenurnya dan si layang-layang melanglangbuana. Manda jadi ingat suatu masa di mana hidupnya belum dihiasi kehadiran adik-adiknya—paling baru Momon yang masih amat mungilnya. Petang begini, Manda pasti berada di luar rumah. Waktu itu masih ada beberapa tanah kosong yang membuat anak-anak sepantarannya leluasa menerbangkan layang-layang. Manda ingat ia sering menamai layang-layangnya. Si Bule dan Si Bontot tertancap di tiang listrik—Kak Mita melarangnya untuk mengambilnya karena takut ia kesetrum. Si Bandrek hanyut di sungai. Si Bandar ia berikan pada seorang anak kecil yang menangis karena kehilangan bolanya. Hanya si Bayu yang ia tak tahu di mana keberadaannya kini.

Lalu ibunya sakit keras yang menyebabkannya harus bedrest dalam waktu lama. Manda, Kak Mita, dan Bapak jadi harus bergantian mengasuh Momon. Itulah awal mula Manda menyadari betapa asiknya mengasuh adik. Orangtuanya pun memberinya lagi, lagi, lagi, dan lagi.

“Ah… dikit lagi…” Manda mengerjapkan mata. Padahal jarak antara layang-layang besar Zulfan mungkin hanya sejengkal dengan si bintang merah. Manda duduk dekat tempat Zulfan berdiri. Besarnya layang-layang Zulfan membuat Manda mengandai-ngandaikan layang-layang dengan ukuran yang lebih besar lagi. Cukup besar hingga kata semacam “I Love You” dapat terbaca oleh orang yang menjejak tanah. Manda tersengal. Kepada siapa akan ia persembahkan yang macam itu? Ia jadi merinding sendiri ketika membayangkan dirinya memanggil “Sayang,” “Cinta”, “dan kata-katas manis lainnya pada seorang gadis.

“Fan, udah yuk. Kita lanjutin lagi PR-nya,” ajak Manda sebelum pikirannya lebih tinggi mengangkasa. Zulfan berdecak kesal. Manda menawarkan dirinya untuk mengambil alih kendali layang-layang. Zulfan menjauhkan tangannya. Manda mencoba beberapa kali seraya meyakinkan Zulfan bahwa di tangannya kemenangan akan lebih cepat teraih. Zulfan mengalah. Si bintang merah terbang tak tentu arah dalam beberapa menit.

Sembari mengekori kegirangan Zulfan di tangga menuju lantai bawah, Manda termenung memikirkan apakah tepat tindakannya menolong Zulfan tadi. Bisa dikatakan bahwa Manda telah menganggu pembelajaran Zulfan akan arti kerja keras. Ia saja baru bisa menumbangkan sebuah layang-layang setelah berusaha selama kurang lebih dua tahun. Tapi mungkin tak semua kerja keras itu berarti. Kerja keras dalam menyelesaikan PR lebih berarti daripada kerja keras dalam menghilangkan kepunyaan orang, Manda meyakinkan dirinya sendiri. Setidaknya Zulfan jadi lebih terbuka padanya kini. Ia dengan jenaka menanggapi penjelasan Manda akan cara yang benar dalam mengerjakan PR-nya—kendati ia menolak soal-soal buatan Manda.

Maghrib Manda pulang, ia mendapati Mama sudah di rumah. Zova minum susu dalam gendongannya. Keadaan Mama semakin membaik setelah mendapat pinjaman modal untuk membangun usaha baru di suatu ruko. Ia bisa ringan tersenyum kembali untuk menyambut anak-anaknya saat pulang ke rumah.

Sepanjang jalan menuju kamar mandi, Manda membereskan barang-barang berserakan yang ia temui. Meski ia tahu, dalam waktu dekat Melia, Aza, dan Azi akan mengacaknya lagi.

“Kak Manda itu loh, tiga besar terus dari SD. Ayo, Momon juga bisa. Jangan mau kalah.” Ucapan Bapak membuat Manda ngeh akan kehadiran Bapak dan Momon tak jauh dari sampingnya. Momon tampak bingung dengan PR-nya.

Manda mendekat. “Ada yang susah, Mon?”

Keruh muka Momon. Bapak menjelaskan bahwa benang layang-layang Momon tadi petang diputus oleh Zulfan. Manda terdiam. “Lagi marahan sama Zulfan?” Momon tak jawab. Manda terus ke kamar mandi untuk berwudu. Sehabis solat maghrib, Manda berniat mendekam saja di kamarnya sampai Isya. Ia akan merebahkan diri di kasur, memasang headset, memutar album Hayyra, dan memejamkan mata.

Hayyra, nama itu tepat benar bagi Manda. Hayy adalah bahasa Arab yang berarti “hidup” sedang Ra adalah dewa matahari bangsa Mesir. Manda selalu merasa hangat hati dan hidup jiwa lagi kala mendengarkan permainan piano Hayyra.

Tak banyak yang tahu Hayyra. Pria tersebut adalah satu dari sekian orang Indonesia yang sukses di mancanegara namun dilupakan di negerinya sendiri. Padahal ia sering mengiringi musisi jazz terkenal dan punya album sendiri yang penjualannya laris manis di pasaran Amerika. Tampaknya di Indonesia hanya penggemar jazz sejati yang mengetahui keeksisan Hayyra.[4] Banyak dari mereka mencintainya. Manda masih mempertimbangkan untuk membongkar celengannya karena Hayyra direncanakan tampil di Java Jazz tahun depan.

Belum lama Manda dihanyutkan dalam hamparan bunga matahari, pintunya diketuk. Manda bangkit namun pintunya sudah keburu dibuka. Tampak wajah ceria Kak Mita. “Hai, honey…” Manda menyungging senyum lalu merebahkan dirinya lagi karena Kak Mita kembali menutup pintu. Lantunan nada Hayyra jadi tak terdengar senikmat tadi. Manda memutuskan untuk bergabung saja bersama keluarganya di ruang tengah.

Kak Mita memang tak terlalu suka—apalagi lihai—dalam memomong adik. Tapi ia adalah pencari uang yang cepat. Sementara Manda menimang Melia di rumah, Kak Mita sedang iseng mengamen bersama teman-temannya di perempatan. Sementara Manda memperhatikan Mama mengganti popok Azi, Kak Mita sedang menodong teman-teman sekolahnya untuk membeli perhiasan ronce buatannya. Sementara Manda memandikan Aza, Kak Mita sedang bertransaksi pulsa dengan seorang kenalannya. Gajinya kini sebagai asisten dosen membuatnya kerap membelikan penganan yang berbeda-beda sepulangnya ke rumah. Manda mencomot sepotong martabak telur di meja makan. Ia duduk di tepi sofa, tapi pindah lagi begitu melihat Melia tampak kepedasan karena iseng menggigit cabe.

Masih menanti gelas penuh oleh kucuran air dari dispenser, Bapak dan Kak Mita memanggilnya untuk lekas kembali ke ruang tengah. Tergopoh-gopoh Manda ke sana.

“Manda, itu anak sekolah kamu!”

“Itu temenmu bukan, Man?”

Manda menyipitkan mata. Tampaknya benar kalau matanya semakin rabun saja dari hari ke hari, tapi belum terasa mendesak baginya untuk pergi ke optik. Semakin dekat jarak matanya dengan layar TV. “Oh, si… Bibe Alizia,” ucap Manda. Ia kembali menjauh. Melia semakin tak tahan dengan rasa pedas di mulutnya. Setelah memberi Melia air, Manda mendekat kembali ke layar TV. Heran ia, ada hal apa hingga seorang anak sekolahnya bisa masuk TV. TV lokal. Manda jadi mafhum. Ada-ada saja reporter cari berita. Memang TV lokal tersebut sedang menayangkan program untuk anak muda. Salah satu isu yang diangkat adalah persiapan SMA-SMA dalam menyambut HUT RI. Manda jadi ingat nasi goreng berkuah sirup milik Bibe.

“Kenal nggak, Man?” tanya Bapak lagi.

“Temen sekelas.” Manda jongkok kini. Ia sendiri baru ngeh kalau Bibe yang menjadi ketua panitia dalam perayaan HUT RI di sekolahnya.

“Eksis juga dong, Man, di sekolah… Kayak si… siapa itu namanya?” Kak Mita menyuapkan potongan martabak ke sekian dalam mulutnya.

Bibe tampak amat percaya diri ketika mikrofon mengarah padanya. Manda kira dirinya tak kan sanggup bicara apa-apa jika berada di situasi yang sama—kendati bersinar penampakannya karena asupan tulang anjing bergizi tinggi. Manda bahkan tak memiliki kepercayaan diri untuk memainkan ulang komposisi Hayyra di piano. Manda jadi diliputi perasaan beruntung karena mengenal Bibe. Pernah berinteraksi dengannya pula, meski hanya beberapa kalimat. Manda membayangkan suatu saat mungkin Bibe akan jadi menteri, ah, atau mungkin presiden wanita kedua di Indonesia. Atau jika Indonesia terlalu picik untuk menghargai multibakatnya, mungkin ia akan hijrah ke Amerika seperti Hayyra.

Gambar berganti. Tak ada lagi Bibe di TV. Manda sadar bahwa ia terlalu tinggi mengangan-angankan masa depan Bibe. Padahal Bibe hanya ketua panitia sebuah acara setingkat SMA—tak ada ubahnya dengan mereka dari SMA lain yang juga diwawancara. Yang meliput hanya TV lokal pula.

“Ah, biarin ajalah, Kak. Aku emang beda kok dari si Bibe…”

Manda bangkit. Ia ingin kembali dipukau Hayyra di kamar.

***

“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek, atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu. Titik!”

“Yee… maksa! Maksa!”

Manda tersenyum. Membayangkan apa yang akan terjadi jika ia dan Bibe bisa lebih saling mengenal.


 

 

21 November 2010 menjelang jam tidur



[1] Ada  artikelnya dimuat di KOMPAS Minggu. Lupa kapan persisnya tanggal terbit, kemungkinan November 2010 atau dekat-dekat sebelum itu.

[2] Terinspirasi dari salah satu episode dalam serial Disney “Wizard of Waverly Place”. Biasanya di kemasan makanan hewan peliharaan, macam anjing dan kucing begitu, dikatakan bahwa produk tersebut dapat membuat mata dan rambut hewan peliharaan jadi makin bersinar cemerlang.

[3] Diadaptasi dari lirik lagu P Project – Ku Mau Jadi Guru (I’ll Make Love To You)

[4] Nggak usah klarifikasi ke Mbah Google, dia fiktif kok…

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain