Jumat (15/04/11) kali ini, Pak Ganis menghadirkan kami seorang praktisi yang beda dari yang sudah-sudah. Praktisi yang ini tidak menjalankan industri terkait langsung dengan dunia kehutanan. Beliau juga seorang akademisi. Beliau seorang bapak-bapak berkulit cokelat terbakar dan bermata sipit khas orang Bali—beliau lahir di Singaraja. Beliau adalah Dr. Gede Bayu Suparta, associate professor di FMIPA UGM dalam bidang studi tomografi (bedakan dengan lomografi!), satu-satunya di dunia, tiada duanya, dari IndONEsia!—begitu isi salah satu slide-nya. Ini namanya self-marketing (atau apa begitu—saya), katanya.
Konon (karena saya belum pernah nyoba sendiri), kita akan menemukan banyak artikel tentang bapak satu ini apabila memasukkan namanya, tambah kata “radiologi” saja misal, dalam laman pencari. Sekilas beliau mirip dengan dosen saya di mata kuliah Hasil Hutan Non Kayu, Pak Gentur. Tidak hanya secara penampilan, tapi juga karena ide-ide yang berloncatan dari mulutnya.
Beliau menyapa kami, “Selamat siang,” di penghujung waktu zuhur kala itu. Tambahnya, “Kalau tidak bisa mendefinisikan pagi, siang, atau malam, berarti Anda siap jadi pebisnis.” Karena kita bisa sampai lupa waktu kalau sudah fokus bekerja!
Darinya, saya baru tahu kalau “Tetuko” itu ternyata suatu istilah dalam dunia bisnis. Tepatnya, ini merupakan singkatan dari “sing teko ora tuku, sing tuku ora teko.” Oalah, selama ini saya tahunya Tetuko itu nama salah satu mahasiswa tingkat atas deh… Kok bisa ya orangtuanya memberi nama seperti itu?
Beliau melemparkan lagi suatu cerita. Ada orang yang sudah mengemas bisnisnya besar-besaran, tidak ada orang yang beli produknya. Tapi ada yang biasa-biasa saja, malah laris sampai kewalahan. Kok bisa kewalahan? “Kalau mau terjun ke bisnis, kita harus tahu apa yang mau dilakukan. Berlakukan hukum pasar. Misal kita punya 10 biji, yang mau beli 5000 orang. Bikin saja harganya jadi selangit, kenapa harus bikin sampai 5000 produk?”—begini saya rangkum ucapannya dalam catatan saya. Ternyata ini merupakan lead dari kisah bisnisnya yang akan beliau uraikan kemudian.
Beliau menekankan di hampir sepanjang pertemuan, “START FROM WHAT YOU HAVE.” Imbuhnya, “Karena kita intelektual, bukan petani.” Sebelumnya memang beliau bercerita tentang kisah seorang petani yang dianggapnya pebisnis luar biasa—hidup si petani begitu-begitu saja, tapi bagi dia adalah rahmat, dan seterusnya, saya tidak bisa menuangkannya lagi karena saya tidak mencatat ucapan beliau sampai sebegitu detail.
Jika saya coba mengkaitkan arti pernyataan “START FROM WHAT YOU HAVE” ini dengan kesuksesan beliau, maka yang beliau maksud dengan “WHAT YOU HAVE” ialah ILMU. Dengan ilmu tomografinya, beliau mampu membuat CT Scan untuk keperluan apapun, mulai dari batang pohon, karakterisasi bahan, apalagi keperluan medis—sangat terpakai!
Awalnya sih beliau bilang kalau beliau tidak mau berbisnis di bidang yang jadi keahliannya. “Entar urusannya sama orang sakit terus,” katanya. Dan ini sangat saya setujui dari beliau, “Menggagalkan sesuatu itu gampang. Tinggal cari saja satu alasan.” Nah, untuk mensukseskan sesuatulah yang penuh tantangan! Tapi nyatanya, bisnis beliau memang di bidang yang jadi keahliannya kok.
Yang membuat saya kian respek pada beliau adalah ketika beliau mengambil jeda saat azan ashar berkumandang, padahal saya tidak yakin kalau religi beliau sama dengan saya. Yang jadi lucu kemudian ialah ketika beliau hendak bicara lagi, ternyata azannya belum selesai. Dan ini tidak terjadi sekali. Entah siapa jadi muadzin—jeda antar kalimat satu dengan kalimat lain dalam azannya itu cukup lama. Sebetulnya azannya enak dinikmati, situasi di ruang 2.03 saja yang tidak sinkron, waha.
Kembali ke kuliah. Untuk mendukung keilmuannya itu, beliau juga mempelajari pembuatan software, programming, dan sebagainya. Beliau memperlihatkan satu software buatannya yang menampilkan rekonstruksi (?) dari suatu pipa. Beliau cerita bahwa software ini sangat dibutuhkan Malaysia. Selama tiga minggu mengerjakan karya tersebut, beliau menjadi tamu eksekutif di Malaysia. Beliau dibujuk tinggal di sana. Mereka mau membayarnya dengan gaji besar selama berbulan-bulan. Selorohnya, “Minggu pertama di sana biasa aja. Minggu kedua, kanan kiri jadi cantik. Minggu ketiga, tiang listrik pun jadi cantik!” Tapi, sekali lagi, membatalkan sesuatu itu gampang. Beliau adalah seorang nasionalis.
Pada 2003, beliau memulai riset CT Scan pada batang pohon. Hadir kendala. “Dana cuma tiga juta… Padahal untuk alat saja bisa ada enam juta,” ungkapnya. Kendala lain ialah objek yang tidak bisa jalan-jalan menghampiri alat sedangkan alatnya sendiri tidak mungkin pula dibawa-bawa mendekati objek. “Tapi kalau kita fokus, ada aja hal-hal untuk membuatnya jadi lebih baik.” Muncul ide: bikin alat yang bisa dibawa-bawa. Ada kreativitas di balik keterbatasan. Ya, Pak, saya sudah tahu itu dan senang karena Anda mengingatkan saya.
Jadi kembali ke “START FROM WHAT YOU HAVE”, di mana beliau ternyata memaksudkan “WHAT YOU HAVE” sebagai IDEA.
SAVE,
SHARE,
& SELL
your IDEA.
Lho, jadi bukan ILMU?
Nanti dulu. Saya teruskan ya…
Paten beliau sebenarnya ada banyak (kalau mau dipatenkan), tapi yang tersaji hanya tiga—ada yang atas pribadi maupun UGM. Dengan teknologi pemindaian/ilmu tomografi yang jadi fokus beliau ini, beliau bisa saja membuat alat pendeteksi barang palsu. Sebut saja bensin. Tapi siapa kira-kira yang bakal diuntungkan dari pembuatan alat ini? Lho, jelas, semua orang! Belum tentu… Semua orang, ya, kecuali si pembuat bensin palsu! Dia yang merasa paling rugi dengan adanya teknologi ini. Dan celaka, apabila si oknum pemalsuan bensin ini adalah orang kaya yang punya tukang pukul. Kata beliau, “Sebetulnya musuh saya sedikit tapi powerful.”
Beliau juga bisa saja membuat alat pendeteksi narkoba palsu (sudah narkoba, palsu lagi). Dan beliau bisa pula melakukan “antara” (?) dengan pedagang serta mafia narkoba, tapi… otomatis beliau jadi bagian dari mereka. Jadi incaran KABARESKIM dong (—apapun kepanjangannya!). “This is not good business,” katanya.
Jadi, inovasi macam apa yang beliau lakukan? Beliau mencontohkan teknologi untuk mengontrol kualitas. Jadi pemindaian dilakukan bukan untuk mengecek kepalsuan, melainkan untuk mengetahui suatu produk memiliki kualitas tertentu apa tidak.
Dengan murah hati juga beliau menawarkan kalau-kalau ada yang berminat mengembangkan inovasinya, beliau akan membantu.
Salah satu karyanya, yang dikerjakan bersama dua profesor, adalah “Aplikasi Radiografi Digital untuk Diagnose Media dan Simulasi Terapi”. Wow, apa itu? Tapi yang beliau terangkan kemudian adalah judul lain yang tidak sempat saya catat. Beliau coba melakukan inovasi-inovasi terhadap teknologi CT Scan medis, seperti menjadikan dosis radiasinya rendah, citraannya digital, dan lain-lain. Pada mulanya, bentuk inovasinya hanya berupa isi flashdisk saja tapi ukurannya lebih besar—aduh, maaf, saya tidak tahu istilah yang lebih tepat, prototip apa ya? Kalau hanya begitu, harga jualnya akan rendah. Bagaimana supaya bisa dijual mahal? Kuncinya ada di PACKAGING. Sang produk dikemas jadi seperti meja yang ada layar komputernya (haha, aduh, kayak nggak ada deskripsi yang lebih canggih aja…). Penentuan harga memerlukan pengetahuan akan harga produk berkinerja serupa di pasaran.
Meski demikian, beliau beberapa kali mengatakan kalau “pembelian” bukan tujuannya. Beliau punya kewajiban pada institusi. Alternatifnya ialah mengajak investor, pabrik, pemasok, pelanggan, dan siapa pun yang bisa bantu menyempurnakan produknya agar jadi lebih baik. “Wirausaha berpikir tentang kebersamaan akan masa depan. Ini adalah cara smart yang baik,” katanya.
“Wirausaha sama dagang itu beda! Wirausaha itu create, menggaet banyak stakeholder.” Sedangkan pedagang, mereka tidak berpikir sampai ke sana melainkan hanya sekedar menjual sesuatu untuk diri mereka sendiri. Tambah beliau, lahir dan mati itu takdir, tapi hidup itu pilihan, mau dihidupi, bertahan hidup, atau menghidupi? Kalau hanya sekedar bertahan hidup, maka hidup hanya untuk diri sendiri.
Beliau mencontohkan lagi apabila beliau membuat alat pendeteksi bom. Ini akan sangat berguna bagi tim gegana di musim bom seperti ini. Tapi beliau tidak akan memproduksi sebanyak jumlah tim gegana yang ada di seluruh Indonesia melainkan secara gradual saja. Lagipula, saya pikir, memang belum tentu seluruh tim gegana di penjuru Indonesia perlu kan?—maksudnya, yang jadi sasaran bom kiranya titik-titik tertentu saja. Dari sini saya mendapat kesimpulan bahwa produksi harus disesuaikan dengan kebutuhan sasaran. Kalau kata beliau, bikin produk cukup satu saja, tapi cari pembelinya sampai dapat. Kalau pun sasaran tidak bisa membeli saking mahalnya produk, disewakan saja. Yang penting uang tetap mengalir. Kira-kira begitu.
Sempat saya pikir kalau bisnis tidak lepas dari kelicikan (ada yang bilang, ini bukan licik, tapi cerdik!), yaitu memanfaatkan kelemahan calon pembeli. Jelaskan pada calon pembeli kerugian yang akan dia dapatkan kalau dia tidak membeli produk kita. Bandingkan dengan keuntungan yang akan dia dapatkan kalau dia beli. Misalnya produk kita berupa alat. Dengan memakai alat tersebut, dia bisa membuka lapangan kerja baru untuk operator yang mengoperasikan alat tersebut, atau untuk perawatan alat, dan sebagainyalah. Mulia bukan?
Ah, entahlah. Ada perasaan bagaimana begitu pada mereka yang bisa menciptakan kebutuhan yang secara esensial tidak dibutuhkan.
Saya malah jadi kepikiran juga nih bahwa CT Scan batang pohon itu sebenarnya berguna bagi para mandor tebang untuk menentukan sortimen. Dalam kasus log beringer-inger misal, mandor tebang bisa dengan tepat menandai bagian yang terkena inger-inger tanpa harus menyertakan bagian yang mungkin saja tidak terkena, meskipun hanya satu inci—tapi lumayan kan?
Bicara soal kebutuhan, ada anekdot tentang seorang pengusaha yang menegur seorang pemancing. “Malah leyeh-leyeh, bukannya cari uang,” begitu mungkin kata pengusaha—saya kira-kira saja—pada pemancing sementara ia sendiri sibuk mencari uang ke sana-sini. Lalu kata pemancing, yang kata pemateri kita kali ini sebetulnya, “Kenapa yang dicari uang? Yang dicari itu kan kenikmatan, kesenangan... Kenapa harus cari uang kalau begini saja sudah senang?”
Jadi ingat lagu “SAYA MAU KAYA”-nya Fransoa. Bisa-bisanya bule Prancis itu menyindir hasrat terpendam para kaum miskin—tidak terkecuali, bangsa kita! Eh, sudah kaya malah tidak tenang. Takut orang maling… Takut dikotori… Aduh, aduh, aduh… Tidak tenang ya tidak senang.
Usai cerita perjalanan bisnisnya, beliau yang sepertinya biasa kasih ceramah setidaknya dua jam ini membawa kami pada sesi selanjutnya. Kali ini berisi rangkaian kata-kata yang menarik untuk dicatat. Sesi khusus motivasi.
KNOW SCIENCES,
LEARN ENGINEERING,
CREATE TECHNOLOGY,
DEVELOP BUSINESS.
Saya baru tahu kalau “engineering” itu soal rekayasa.
Ginong prati dino
Sastrajen hayuningrat
Entah bahasa apa ini, yang jelas artinya adalah: “Senantiasa berpikir hari ini harus lebih baik dari kemarin (apa esok harus lebih baik dari hari ini ya?—saya). Pengetahuan membuat kesejahteraan.”
Orang kaya:
Ilmu (aset intelektual)
Ilmu akan menjaga dan membuat pemilik ilmu mampu bertahan hidup.
Materi (aset non intelektual)
Pemilik materi akan menjaga materi dan tidak dapat hidup tanpa materi.
Pahami dulu aset intelektual diri sendiri.
ANDA PUNYA IDE CEMERLANG DAN UANG,
APA YANG AKAN ANDA LAKUKAN?
Katanya, tipe orang itu ada empat:
1. Nggak punya apa-apa tapi bisa apa-apa
2. Punya apa-apa tapi nggak bisa apa-apa
3. Nggak ngapa-ngapa tapi punya apa-apa
4. Nggak punya apa-apa dan nggak bisa apa-apa tapi nggak apa-apa
Kamu yang mana? Saya ketawa baca yang nomor 4.
Beliau punya teman-teman China—begitu kata beliau—yang menyarankan untuk membiarkan bisnis berjalan mengalir. Pengalaman akan menuntun kita kalau kita fokus (oke, saya percaya!). Seseorang disebut pahlawan—wira—apabila telah anumerta atau sukses. Kepahlawanan tidak diciptakan, melainkan merupakan rekondisi (tidak ada di KBBI—saya) dari apa yang sudah kita lakukan. Dan tidak ada itu sarjana kewirausahaan. Bagaimanapun kepaduan dari kalimat-kalimat dalam paragraf ini, yah, sudah dibaca saja, barangkali mengena…
Anjur beliau, “Belajarlah dari yang pernah orang lain lakukan.” Dan apa yang bisa kita pelajari dari situ hanya dua: 1. hal-hal baik, atau; 2. kegagalannya. Maksud beliau adalah mempelajari mengapa orang lain bisa sampai gagal adalah bodoh. Yang patut dipelajari adalah bagaimana orang itu sukses. Kira-kira begitu. Di akhir, beliau mengulang pesan ini lagi dengan redaksi berbeda, “Ketika melihat saya gagal, jangan lihat kegagalannya, tapi sampai mana saya berhasil.”
Jadi ILMU apa IDE? Saat sesi tanya jawab, Ramadhan dari angkatan 2008 bertanya apakah beliau bisa membuat alat untuk mengetahui tinggi pohon apa tidak. Seperti yang kami para mahasiswa Kehutanan biasa maklumi, hasil pengukuran tinggi pohon di lapangan oleh masing-masing orang itu bisa berbeda-beda—sesuai kadar integritas personal juga sebetulnya. Beliau bilang bahwa beliau belum pernah kepikiran itu sebelumnya tapi gara-gara ditanya beliau jadi kepikiran. Lalu beliau menjelaskan dengan media spidol dan whiteboard bahwa alat itu mungkin saja dibikin dengan dasar hukum phytagoras. Mungkin saya belum mengerti logikanya bagaimana, tapi saya jadi mengerti bahwa ide tidak akan muncul tanpa ilmu.
So, what do you have?