Kamis, 28 April 2011

ngomik, kus?

Alkisah, seorang calon mahasiswi berprestasi UNPAD bernama Juhe harus mengerjakan sebuah karya tulis ilmiah (selanjutnya KTI). Untuk melengkapi KTI-nya itu, dia meminta seorang kawan SMA-nya untuk membikinkan komik (strip). Wah, rupanya terakhir kali kawan SMA-nya itu berlaga dalam dunia perkomikkan sudah cukup lama--sejak erupsi Merapi tahun lalu! Namun itu tidak membuatnya lupa bagaimana cara mengomik. Inilah yang harus dipersiapkan:

1. LKJ
Dari segi ukuran, LKJ amat efisien untuk menggambar komik strip. Tentu saja yang digunakan adalah bagian putihnya! LKJ bisa didapat secara cuma-cuma kalau orangtuamu seorang guru.

2. Pulpen STANDARD AE-7 
Pilihlah yang tidak mblebler. Bisa FINE atau ALFA TIP 0.5. Ini adalah jenis pulpen favorit para mahasiswa!

Selain dua alat utama di atas, diperlukan juga beberapa alat tambahan antara lain pensil, penghapus, penggaris, spidol hitam, dan tipe-X. Penggaris digunakan sebagai alat bantu untuk membuat panel sedangkan pensil untuk bikin sketsa, ya panel, ya isi panel. Sekeliling panel ditebalkan terlebih dulu dengan spidol hitam. Baru deh enak untuk mencorat-coret bagian dalamnya. Sketsa yang telah dibuat kemudian ditebalkan oleh pulpen. Kalau salah menggurat, tipe-X pun bekerja. Dalam komik ini si kawan SMA cukup banyak menggunakan tipe-X...
 
Setelah bagian putih LKJ kelar digambari, yang harus dilakukan selanjutnya adalah mencari pemindai gratis. Karena si kawan SMA tidak berada di rumahnya sendiri, dia nebeng Lab Biometrik kampusnya ("terima kasih, Pak Bambang... :D", kata si kawan SMA). Setelah dipindai, komik diedit dengan menggunakan Paint karena si kawan SMA tidak tahu cara menggunakan aplikasi lainnya... Komik diubah formatnya jadi monokrom. Itulah yang dilakukannya juga pada diari grafis yang dia buat saat erupsi Merapi tahun lalu.

Si kawan SMA pun menggambar mulai dari sekitar pukul delapan malam hingga satu pagi. Yah, meski gambarnya kayak anak TK, setidaknya dia sudah mencoba...

Ini komiknya yang pertama...


Dan ini yang kedua...

Versi 1:


Versi 2:


Sebenarnya si kawan SMA masih punya satu konsep komik lagi. Namun daya matanya sudah melemah. Akhirnya dia tidur.

Keesokan paginya, si kawan SMA menghadiri kuliah. Bukannya mendengarkan dosen bicara, dia malah menyelesaikan komiknya yang satu lagi itu. Komik yang ini selesai tidak lama setelah kuliah usai.


Versi 1:


 Versi 2:


Diskleimer: itu yang panel 3 dalam komik 3 versi 2 merupakan versi monokrom dari lukisan The Scream-nya Edvard Munch--lukisan favorit si kawan SMA. 

Dengan demikian, selesailah tugas si kawan SMA. Dia lega karena telah membantu temannya yang akan melawat ke Jerman selama 20 hari sejak 7 Mei mendatang. Semoga lancar, hati-hati di jalan, ya, Ju... Dan selamat ganti umur hari ini, moga Allah SWT selalu membimbingmu ke jalan yang benar, amiiin... :)

Rabu, 27 April 2011

Apresiasi untuk Mendapat Gizi


Judul : Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia
Penulis : Maman S. Mahayana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006

Ada yang mengatakan cerpen adalah cerita yang dapat langsung habis dibaca sekali duduk. Tapi cukupkah sekali duduk untuk merenungkan makna yang terkandung di dalamnya?

Setidaknya saya tidak cukup sekali duduk untuk menamatkan buku ini. Ada puluhan cerpen yang diulas dalam buku ini—meski saya tidak menghitung jumlahnya secara persis.

Sebetulnya Pak MSM tidak hanya akan mengajak kita bermain dengan cerpen. Tapi terlebih dulu kita diajaknya berkenalan, bersahabat, baru bermain hingga bergaul bebas! Eits, bergaul bebas di sini jangan dikonotasikan dengan macam-macam. Pak MSM justru hendak mengajak kita menengok kesusastraan negeri jiran hingga bersenggolan dengan dunia pewayangan.

Perkenalan kita dengan cerpen Indonesia dimulai dari mengenal sejarah cerpen Indonesia itu sendiri. Bangsa kita rupanya sudah produktif menghasilkan cerpen sejak abad 19. Dalam dasawarsa tahun 1950-an saja ada 5043 cerpen yang dimuat dalam 55 majalah. Produktivitas ini semakin semarak di masa sekarang ini dengan bermunculannya antologi-antologi cerpen, koran-koran yang memuatkan cerpen tiap Minggu, belum lagi tabloid, majalah, dan beragam media cetak lain. Ini hanya satu fenomena yang Pak MSM urai dalam buku ini.

Persahabatan dengan cerpen terjalin ketika Pak MSM membawa kita mengintip isi beberapa antologi cerpen yang telah terbit. Dari sepuluh antologi cerpen yang diulas, ada dua yang sudah saya baca—“Hingga Batu Bicara” (Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, dan Setiawan Intan Savitri) dan “Kali Mati” (Joni Ariadinata). Beberapa cerpen dalam “Korma: Cerpen-cerpen Puasa-Lebaran” terbitan KOMPAS juga kiranya sudah pernah saya baca di antologi lain. Nah, mulai dari sinilah saya menyadari bahwa kebermaknaan cerpen mungkin bisa jadi tidak ada tanpa hadirnya kritik.

Saya lupa kapan membaca “Hingga Batu Bicara” (selanjtunya HBB)—sudah lama sekali sepertinya, mungkin SMP.  Saya sudah lupa pula cerita tentang apa saja yang ada di dalamnya. Bahkan kalau bukan karena disinggung dalam buku ini, saya mungkin tidak bakal ingat kalau pernah membaca antologi tersebut! Bagaimanapun juga, kotak memori saya akan antologi tersebut kemudian dibuka dan ternyata memang nyaris tidak ada apa-apa di sana… Tapi bagian ini tetap saya soroti juga dengan porsi spesial.

Saya ingat-ingat, waktu saya SMP kiranya mulai terjadi booming fiksi islami yang diusung para penulis FLP. Para penulis HBB termasuk di antaranya. Banyak kiranya remaja seumuran saya yang suka membaca karya-karya semacam ini. Pada awal kemunculannya, saya sempat mengoleksi novel remaja islami (NORI) terbitan Mizan sampai akhirnya tidak terkejar lagi dan orientasi saya pun beralih ke teenlit. Tapi ada teman saya waktu itu yang tetap setia membeli karya genre ini sehingga saya tetap bisa menikmatinya.

Sejak SMA, lama saya tidak mencicipinya lagi. Sekarang tampaknya fiksi islami sudah tidak lagi berjaya. Penyebab yang paling kentara mungkin karena tema, alur, penokohan, dan unsur-unsur lainnya yang itu-itu saja. Pembaca belia mungkin tidak memerhatikannya, seperti saya waktu itu, tapi pada sekarang ini kalau saya membacanya lagi, hal itu benar sekali adanya. Namun rupanya ada satu unsur dalam fiksi islami yang luput dari sorotan saya: problem keberpihakan dan netralitas—ini adalah judul dari bagian yang mengulas HBB dalam buku ini.

Begini salah satu isi paragraf pengantarnya, “John Steinbeck, Ernst Hemingway, Pearl S. Buck atau Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam adalah para pengarang yang mengandalkan pengalaman objektif sama pentingnya dengan pengalaman intelektual. Wawasan pengetahun menjadi sama penting dengan observasi dan pencermatan atas objek yang hendak diangkat dalam karya sastra. Boleh dikatakan, hampir semua pengarang besar, sama sekali tidak mengandalkan bakat alam. Mereka senantiasa menyerap dan mengembangkan gagasannya lewat pengetahuan. Intelektualitas menjadi sumber kekayaan gagasan dan daya hidup kepengarangannya. Hanya dengan itu, mereka tidak cepat kehabisan ide, bahkan selalu memperbarui karyanya dengan gagasan baru dan tema yang lebih problematik.” (hal. 86)

Wawasan para penulis HBB mengenai persoalan yang bersangkutan dengan Palestina—sebagai tema antologi tersebut—memang amat mengagumkan, namun sayangnya mereka terjebak dalam keberpihakan yang malah mengurangi kualitas karya yang dihasilkan. Di sinilah ketidakseimbangan antara intelektualitas dan godaan emosional terjadi. Menurut Pak MSM, netralitas pengarang justru penting untuk menyembunyikan keberpihakannya. Bukankah kualitas suatu karya antara lain dilihat dari kepiawaian pengarang menyembunyikan makna? Tersebutlah Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari, dan Joni Ariadinata sebagai nama yang bisa dijadikan sumber belajar. Sekedar penggambaran saja (objektif, tragis, maupun ironis) bisa menggiring pembaca kepada pemihakan.

Lain dengan HBB, belum ada setahun sejak saya menamatkan dan mengomentari “Kali Mati”. Saya baru ngeh di mana segi estetika dari karya tersebut setelah membaca ulasan Pak MSM dalam buku ini. Gaya bahasa yang saya istilahkan dengan “frontal” justru merupakan kekuatan Joni Ariadinata dalam segi tersebut. Jadilah saya mengenal istilah baru lagi, onomatope, yang menurut KBBI elektronik saya artinya adalah: kata tiruan bunyi, msl "kokok" merupakan tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus. Kita akan banyak menemukannya dalam cerpen-cerpen Joni Ariadinata.

Banyak hal lain yang tidak kepikiran oleh saya saat membaca maupun mengomentari antologi tersebut. Sebagai contoh, tata bahasa yang tidak nyaman dibaca justru merupakan simbol dari kehidupan marjinal yang diangkat. Kenyamanan dalam kemarjinalan? Mungkinkah itu?

Kalau saya tidak membaca buku ini, saya mungkin tidak akan ngeh dari mana indahnya cerpen-cerpen Joni Ariadinata, apa makna yang diusungnya, dan mengapa beliau sampai diperhitungkan sebagai sastrawan.

Masih banyak cerpen lainnya yang dibedah dalam buku ini—baik per antologi maupun sendiri. Menurut Pak MSM, kebanyakan cerpen yang disajikannya memiliki tema yang tidak istimewa. Bisa saja peristiwa yang diangkat hanyalah penggalan dalam kehidupan sehari-hari, bukan aksi yang biasa kita saksikan di layar lebar atau TV. Namun justru di balik situasi yang sepertinya biasa-biasa saja itu terkandung begitu banyak makna. Seperti yang saya kutip dari halaman 200, tentang cerpen Wildam Yatim, “Jalur Membenam”,

“Hal pertama yang dapat kita tarik dari cerpen ini adalah bahwa tema cerita bukan segala-galanya. Tema besar dengan penggarapan yang dangkal, tetap saja tidak akan membantu karya itu menjadi penting. Sebaliknya, tema yang sederhana dengan penggarapan yang mendalam akan menghasilkan karya yang bermutu. Kenyataannya, sastra memang sering kali mengambil bahan ceritanya dari persoalan-persoalan remeh-temeh yang tidak penting atau peristiwa keseharian yang sebenarnya sudah tidak asing lagi.”

Sebut saja salah satu cerpen dalam buku ini, “Si Kakek dan Burung Dara” oleh Mohammad Fudoli. Dikisahkan seorang kakek yang menunggu sang cucu untuk menemaninya berziarah ke bukit, lalu mereka berjalan, sang kakek memberi nasihat ini-itu pada sang cucu, sang cucu menanggapi dengan tingkah khasnya, lalu mereka pulang, dan burung dara sang kakek kabur karena sang cucu lupa menutup pintu, namun sang kakek memaafkannya. Sepertinya kejadian biasa saja, namun ternyata hubungan kakek-cucu ini menyimbolkan keimanan dan ketakwaan. Kalau kita membaca cerpen ini sekilas saja, tanpa ada niat untuk memikirkannya lebih dalam, mungkin kita tidak akan ngeh kalau sebenarnya cerpen ini menyuarakan kesadaran untuk kembali pada Tuhan.

Bagi pembaca awam, kiranya bukan hal mudah untuk mengapresiasi cerpen sampai ke maknanya yang terdalam. Butuh wawasan luas hingga kita bisa mengasosiasikan suatu ucapan atau tindakan tokoh dengan ajaran agama, maupun mempersepsikannya sebagai pelajaran yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembaca berintelektualitas tinggi mungkin masih bisa coba mengakomodasinya sendiri. Tapi bagaimana dengan yang tidak? Inilah mungkin sebab mengapa karya populer biasa laris manis—karena tidak butuh intelektualitas tinggi untuk memamahnya!

Di sinilah peran kritikus, yang memang berkapasitas untuk itu, dibutuhkan. Yang saya pahami, kita butuh kritikus sebagaimana kita butuh ulama—untuk memberi kita arti dari teks yang tidak bisa begitu saja kita pahami! Ulama dengan Al-Quran sedang kritikus dengan karya sastra buatan manusia. Jika saya boleh menganalogikan lagi, membaca suatu karya tanpa tahu makna yang dikandungnya bagai memakan sesuatu tapi tidak jelas gizinya apa.

Tidak hanya pembaca yang butuh kritik, pengarang apalagi. Pengarang dapat belajar untuk membuat karya yang berkualitas dari kritik yang ada—tidak mesti kritik atas karyanya meskipun itu juga butuh, tapi juga kritik atas karya-karya orang lain.

Kalau bagi saya, keuntungan membaca kritik itu ada dua: 1. bisa tahu kandungan cerita tanpa harus membacanya sendiri, dan; 2. mengetahui kriteria karya yang berkualitas itu bagaimana dan ini kiranya akan sangat berguna ketika kita menggarap karya sendiri. Contohnya, dari paragraf-paragraf semacam ini saya tahu apa yang harus saya pelajari,

“Dalam konteks itu, barang kali juga, Sutardji hendak menegaskan, bahwa karya apa pun, dapat menjadi cerpen. Dengan kata lain, cerpen atau karya sastra apapun, dapat berangkat dari peristiwa apa saja. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan mengolah dan menyajikannya menjadi sebuah karya yang cerdas, menjadi karya yang memperlihatkan kepiawaian sastrawannya. Dan presiden penyair ini telah membuktikan, bahwa yang kotor dan jorok sekalipun, bisa menjadi cerita yang indah dan menawan jika pengarangnya telah sampai pada kualitas yang kokoh—kuat—mantap.” (hal. 84)

“Dalam kesusastraan dunia, keberhasilan memotret situasi sosial yang didukung oleh warna lokal inilah yang acapkali mengantarkan sastrawannya memperoleh penghargaan yang membanggakan. Karya-karya sastra seperti itu pula yang cenderung menjadi karya-karya monumental.” (hal. 203)

Tapi bisa pula proses kreatif jadi tersendat-sendat karena diiringi dengan pemikiran bahwa jalan cerita harusnya begitu atau kalau karakternyabegini kira-kira sudah berkualitas apa belum ya—jadinya kita harus menggiring kebebasan imajinasi kita pada koridor yang sesuai dengan kriteria keberkualitasan karya.

Saya lupa apa saja yang saya pelajari di bangku sekolah terkait karya sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Saya kira selama ini saya mempelajari sastra secara otodidak. Nah, sejak membaca buku-buku bernuansa kritik semacam ini (terutama pada saat mengomentari buku ini), saya jadi menyadari bahwa pengajaran apresiasi sastra merupakan materi yang amat vital dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia (memang sastra pentingnya apa sih?). Bagaimana minat baca masyarakat meningkat, kalau cara mengapresiasi bacaan saja tidak diajarkan?

Minggu, 24 April 2011

START FROM WHAT YOU HAVE: sebuah pelajaran dari Dr. Gede Bayu Suparta



Jumat (15/04/11) kali ini, Pak Ganis menghadirkan kami seorang praktisi yang beda dari yang sudah-sudah. Praktisi yang ini tidak menjalankan industri terkait langsung dengan dunia kehutanan. Beliau juga seorang akademisi. Beliau seorang bapak-bapak berkulit cokelat terbakar dan bermata sipit khas orang Bali—beliau lahir di Singaraja. Beliau adalah Dr. Gede Bayu Suparta, associate professor di FMIPA UGM dalam bidang studi tomografi (bedakan dengan lomografi!), satu-satunya di dunia, tiada duanya, dari IndONEsia!—begitu isi salah satu slide-nya. Ini namanya self-marketing (atau apa begitu—saya), katanya.

Konon (karena saya belum pernah nyoba sendiri), kita akan menemukan banyak artikel tentang bapak satu ini apabila memasukkan namanya, tambah kata “radiologi” saja misal, dalam laman pencari. Sekilas beliau mirip dengan dosen saya di mata kuliah Hasil Hutan Non Kayu, Pak Gentur. Tidak hanya secara penampilan, tapi juga karena ide-ide yang berloncatan dari mulutnya.

Beliau menyapa kami, “Selamat siang,” di penghujung waktu zuhur kala itu. Tambahnya, “Kalau tidak bisa mendefinisikan pagi, siang, atau malam, berarti Anda siap jadi pebisnis.” Karena kita bisa sampai lupa waktu kalau sudah fokus bekerja!

Darinya, saya baru tahu kalau “Tetuko” itu ternyata suatu istilah dalam dunia bisnis. Tepatnya, ini merupakan singkatan dari “sing teko ora tuku, sing tuku ora teko.” Oalah, selama ini saya tahunya Tetuko itu nama salah satu mahasiswa tingkat atas deh… Kok bisa ya orangtuanya memberi nama seperti itu?

Beliau melemparkan lagi suatu cerita. Ada orang yang sudah mengemas bisnisnya besar-besaran, tidak ada orang yang beli produknya. Tapi ada yang biasa-biasa saja, malah laris sampai kewalahan. Kok bisa kewalahan? “Kalau mau terjun ke bisnis, kita harus tahu apa yang mau dilakukan. Berlakukan hukum pasar. Misal kita punya 10 biji, yang mau beli 5000 orang. Bikin saja harganya jadi selangit, kenapa harus bikin sampai 5000 produk?”—begini saya rangkum ucapannya dalam catatan saya. Ternyata ini merupakan lead dari kisah bisnisnya yang akan beliau uraikan kemudian.

Beliau menekankan di hampir sepanjang pertemuan, “START FROM WHAT YOU HAVE.” Imbuhnya, “Karena kita intelektual, bukan petani.” Sebelumnya memang beliau bercerita tentang kisah seorang petani yang dianggapnya pebisnis luar biasa—hidup si petani begitu-begitu saja, tapi bagi dia adalah rahmat, dan seterusnya, saya tidak bisa menuangkannya lagi karena saya tidak mencatat ucapan beliau sampai sebegitu detail.

Jika saya coba mengkaitkan arti pernyataan “START FROM WHAT YOU HAVE” ini dengan kesuksesan beliau, maka yang beliau maksud dengan “WHAT YOU HAVE” ialah ILMU. Dengan ilmu tomografinya, beliau mampu membuat CT Scan untuk keperluan apapun, mulai dari batang pohon, karakterisasi bahan, apalagi keperluan medis—sangat terpakai!

Awalnya sih beliau bilang kalau beliau tidak mau berbisnis di bidang yang jadi keahliannya. “Entar urusannya sama orang sakit terus,” katanya. Dan ini sangat saya setujui dari beliau, “Menggagalkan sesuatu itu gampang. Tinggal cari saja satu alasan.” Nah, untuk mensukseskan sesuatulah yang penuh tantangan! Tapi nyatanya, bisnis beliau memang di bidang yang jadi keahliannya kok.

Yang membuat saya kian respek pada beliau adalah ketika beliau mengambil jeda saat azan ashar berkumandang, padahal saya tidak yakin kalau religi beliau sama dengan saya. Yang jadi lucu kemudian ialah ketika beliau hendak bicara lagi, ternyata azannya belum selesai. Dan ini tidak terjadi sekali. Entah siapa jadi muadzin—jeda antar kalimat satu dengan kalimat lain dalam azannya itu cukup lama. Sebetulnya azannya enak dinikmati, situasi di ruang 2.03 saja yang tidak sinkron, waha.

Kembali ke kuliah. Untuk mendukung keilmuannya itu, beliau juga mempelajari pembuatan software, programming, dan sebagainya. Beliau memperlihatkan satu software buatannya yang menampilkan rekonstruksi (?) dari suatu pipa. Beliau cerita bahwa software ini sangat dibutuhkan Malaysia. Selama tiga minggu mengerjakan karya tersebut, beliau menjadi tamu eksekutif di Malaysia. Beliau dibujuk tinggal di sana. Mereka mau membayarnya dengan gaji besar selama berbulan-bulan. Selorohnya, “Minggu pertama di sana biasa aja. Minggu kedua, kanan kiri jadi cantik. Minggu ketiga, tiang listrik pun jadi cantik!” Tapi, sekali lagi, membatalkan sesuatu itu gampang. Beliau adalah seorang nasionalis.

Pada 2003, beliau memulai riset CT Scan pada batang pohon. Hadir kendala. “Dana cuma tiga juta… Padahal untuk alat saja bisa ada enam juta,” ungkapnya. Kendala lain ialah objek yang tidak bisa jalan-jalan menghampiri alat sedangkan alatnya sendiri tidak mungkin pula dibawa-bawa mendekati objek. “Tapi kalau kita fokus, ada aja hal-hal untuk membuatnya jadi lebih baik.” Muncul ide: bikin alat yang bisa dibawa-bawa. Ada kreativitas di balik keterbatasan. Ya, Pak, saya sudah tahu itu dan senang karena Anda mengingatkan saya.

Jadi kembali ke “START FROM WHAT YOU HAVE”, di mana beliau ternyata memaksudkan “WHAT YOU HAVE” sebagai IDEA.

SAVE,
SHARE,
& SELL
your IDEA.

Lho, jadi bukan ILMU?

Nanti dulu. Saya teruskan ya…

Paten beliau sebenarnya ada banyak (kalau mau dipatenkan), tapi yang tersaji hanya tiga—ada yang atas pribadi maupun UGM. Dengan teknologi pemindaian/ilmu tomografi yang jadi fokus beliau ini, beliau bisa saja membuat alat pendeteksi barang palsu. Sebut saja bensin. Tapi siapa kira-kira yang bakal diuntungkan dari pembuatan alat ini? Lho, jelas, semua orang! Belum tentu… Semua orang, ya, kecuali si pembuat bensin palsu! Dia yang merasa paling rugi dengan adanya teknologi ini. Dan celaka, apabila si oknum pemalsuan bensin ini adalah orang kaya yang punya tukang pukul. Kata beliau, “Sebetulnya musuh saya sedikit tapi powerful.”

Beliau juga bisa saja membuat alat pendeteksi narkoba palsu (sudah narkoba, palsu lagi). Dan beliau bisa pula melakukan “antara” (?) dengan pedagang serta mafia narkoba, tapi… otomatis beliau jadi bagian dari mereka. Jadi incaran KABARESKIM dong (—apapun kepanjangannya!). “This is not good business,” katanya.

Jadi, inovasi macam apa yang beliau lakukan? Beliau mencontohkan teknologi untuk mengontrol kualitas. Jadi pemindaian dilakukan bukan untuk mengecek kepalsuan, melainkan untuk mengetahui suatu produk memiliki kualitas tertentu apa tidak.

Dengan murah hati juga beliau menawarkan kalau-kalau ada yang berminat mengembangkan inovasinya, beliau akan membantu.

Salah satu karyanya, yang dikerjakan bersama dua profesor, adalah “Aplikasi Radiografi Digital untuk Diagnose Media dan Simulasi Terapi”. Wow, apa itu? Tapi yang beliau terangkan kemudian adalah judul lain yang tidak sempat saya catat. Beliau coba melakukan inovasi-inovasi terhadap teknologi CT Scan medis, seperti menjadikan dosis radiasinya rendah, citraannya digital, dan lain-lain. Pada mulanya, bentuk inovasinya hanya berupa isi flashdisk saja tapi ukurannya lebih besar—aduh, maaf, saya tidak tahu istilah yang lebih tepat, prototip apa ya? Kalau hanya begitu, harga jualnya akan rendah. Bagaimana supaya bisa dijual mahal? Kuncinya ada di PACKAGING. Sang produk dikemas jadi seperti meja yang ada layar komputernya (haha, aduh, kayak nggak ada deskripsi yang lebih canggih aja…). Penentuan harga memerlukan pengetahuan akan harga produk berkinerja serupa di pasaran.

Meski demikian, beliau beberapa kali mengatakan kalau “pembelian” bukan tujuannya. Beliau punya kewajiban pada institusi. Alternatifnya ialah mengajak investor, pabrik, pemasok, pelanggan, dan siapa pun yang bisa bantu menyempurnakan produknya agar jadi lebih baik. “Wirausaha berpikir tentang kebersamaan akan masa depan. Ini adalah cara smart yang baik,” katanya.

“Wirausaha sama dagang itu beda! Wirausaha itu create, menggaet banyak stakeholder.” Sedangkan pedagang, mereka tidak berpikir sampai ke sana melainkan hanya sekedar menjual sesuatu untuk diri mereka sendiri. Tambah beliau, lahir dan mati itu takdir, tapi hidup itu pilihan, mau dihidupi, bertahan hidup, atau menghidupi? Kalau hanya sekedar bertahan hidup, maka hidup hanya untuk diri sendiri.

Beliau mencontohkan lagi apabila beliau membuat alat pendeteksi bom. Ini akan sangat berguna bagi tim gegana di musim bom seperti ini. Tapi beliau tidak akan memproduksi sebanyak jumlah tim gegana yang ada di seluruh Indonesia melainkan secara gradual saja. Lagipula, saya pikir, memang belum tentu seluruh tim gegana di penjuru Indonesia perlu kan?—maksudnya, yang jadi sasaran bom kiranya titik-titik tertentu saja. Dari sini saya mendapat kesimpulan bahwa produksi harus disesuaikan dengan kebutuhan sasaran. Kalau kata beliau, bikin produk cukup satu saja, tapi cari pembelinya sampai dapat. Kalau pun sasaran tidak bisa membeli saking mahalnya produk, disewakan saja. Yang penting uang tetap mengalir. Kira-kira begitu.

Sempat saya pikir kalau bisnis tidak lepas dari kelicikan (ada yang bilang, ini bukan licik, tapi cerdik!), yaitu memanfaatkan kelemahan calon pembeli. Jelaskan pada calon pembeli kerugian yang akan dia dapatkan kalau dia tidak membeli produk kita. Bandingkan dengan keuntungan yang akan dia dapatkan kalau dia beli. Misalnya produk kita berupa alat. Dengan memakai alat tersebut, dia bisa membuka lapangan kerja baru untuk operator yang mengoperasikan alat tersebut, atau untuk perawatan alat, dan sebagainyalah. Mulia bukan?

Ah, entahlah. Ada perasaan bagaimana begitu pada mereka yang bisa menciptakan kebutuhan yang secara esensial tidak dibutuhkan.

Saya malah jadi kepikiran juga nih bahwa CT Scan batang pohon itu sebenarnya berguna bagi para mandor tebang untuk menentukan sortimen. Dalam kasus log beringer-inger misal, mandor tebang bisa dengan tepat menandai bagian yang terkena inger-inger tanpa harus menyertakan bagian yang mungkin saja tidak terkena, meskipun hanya satu inci—tapi lumayan kan?

Bicara soal kebutuhan, ada anekdot tentang seorang pengusaha yang menegur seorang pemancing. “Malah leyeh-leyeh, bukannya cari uang,” begitu mungkin kata pengusaha—saya kira-kira saja—pada pemancing sementara ia sendiri sibuk mencari uang ke sana-sini. Lalu kata pemancing, yang kata pemateri kita kali ini sebetulnya, “Kenapa yang dicari uang? Yang dicari itu kan kenikmatan, kesenangan... Kenapa harus cari uang kalau begini saja sudah senang?”

Jadi ingat lagu “SAYA MAU KAYA”-nya Fransoa. Bisa-bisanya bule Prancis itu menyindir hasrat terpendam para kaum miskin—tidak terkecuali, bangsa kita! Eh, sudah kaya malah tidak tenang. Takut orang maling… Takut dikotori… Aduh, aduh, aduh… Tidak tenang ya tidak senang.

Usai cerita perjalanan bisnisnya, beliau yang sepertinya biasa kasih ceramah setidaknya dua jam ini membawa kami pada sesi selanjutnya. Kali ini berisi rangkaian kata-kata yang menarik untuk dicatat. Sesi khusus motivasi.

KNOW SCIENCES,
LEARN ENGINEERING,
CREATE TECHNOLOGY,
DEVELOP BUSINESS.

Saya baru tahu kalau “engineering” itu soal rekayasa.

Ginong prati dino
Sastrajen hayuningrat

Entah bahasa apa ini, yang jelas artinya adalah: “Senantiasa berpikir hari ini harus lebih baik dari kemarin (apa esok harus lebih baik dari hari ini ya?—saya). Pengetahuan membuat kesejahteraan.”

Orang kaya:

Ilmu (aset intelektual)
Ilmu akan menjaga dan membuat pemilik ilmu mampu bertahan hidup.

Materi (aset non intelektual)
Pemilik materi akan menjaga materi dan tidak dapat hidup tanpa materi.

Pahami dulu aset intelektual diri sendiri.

ANDA PUNYA IDE CEMERLANG DAN UANG,
APA YANG AKAN ANDA LAKUKAN?

Katanya, tipe orang itu ada empat:
1.      Nggak punya apa-apa tapi bisa apa-apa
2.      Punya apa-apa tapi nggak bisa apa-apa
3.      Nggak ngapa-ngapa tapi punya apa-apa
4.      Nggak punya apa-apa dan nggak bisa apa-apa tapi nggak apa-apa
Kamu yang mana? Saya ketawa baca yang nomor 4.

Beliau punya teman-teman China—begitu kata beliau—yang menyarankan untuk membiarkan bisnis berjalan mengalir. Pengalaman akan menuntun kita kalau kita fokus (oke, saya percaya!). Seseorang disebut pahlawan—wira—apabila telah anumerta atau sukses. Kepahlawanan tidak diciptakan, melainkan merupakan rekondisi (tidak ada di KBBI—saya) dari apa yang sudah kita lakukan. Dan tidak ada itu sarjana kewirausahaan. Bagaimanapun kepaduan dari kalimat-kalimat dalam paragraf ini, yah, sudah dibaca saja, barangkali mengena…

Anjur beliau, “Belajarlah dari yang pernah orang lain lakukan.” Dan apa yang bisa kita pelajari dari situ hanya dua: 1. hal-hal baik, atau; 2. kegagalannya. Maksud beliau adalah mempelajari mengapa orang lain bisa sampai gagal adalah bodoh.  Yang patut dipelajari adalah bagaimana orang itu sukses. Kira-kira begitu. Di akhir, beliau mengulang pesan ini lagi dengan redaksi berbeda, “Ketika melihat saya gagal, jangan lihat kegagalannya, tapi sampai mana saya berhasil.”

Jadi ILMU apa IDE? Saat sesi tanya jawab, Ramadhan dari angkatan 2008 bertanya apakah beliau bisa membuat alat untuk mengetahui tinggi pohon apa tidak. Seperti yang kami para mahasiswa Kehutanan biasa maklumi, hasil pengukuran tinggi pohon di lapangan oleh masing-masing orang itu bisa berbeda-beda—sesuai kadar integritas personal juga sebetulnya. Beliau bilang bahwa beliau belum pernah kepikiran itu sebelumnya tapi gara-gara ditanya beliau jadi kepikiran. Lalu beliau menjelaskan dengan media spidol dan whiteboard bahwa alat itu mungkin saja dibikin dengan dasar hukum phytagoras. Mungkin saya belum mengerti logikanya bagaimana, tapi saya jadi mengerti bahwa ide tidak akan muncul tanpa ilmu.

So, what do you have?

Selasa, 19 April 2011

nasib

mas,
seandainya saja nasibmu tak begitu.
seandainya kamu besar sebagai anak kota.
seandainya kamu lahir dari orangtua kaya.

maka penampilanmu, pembawaanmu, gaya bicaramu, cara berjalanmu, akan lain jadinya.
engkau mungkin akan jadi seorang intelektual, atau pemuda bermobil yang manja, sukamu hura-hura.
wajahmu mungkin bersih, dengan tubuh lebih berisi.
tinggimu sudah pas untuk membuatmu tambah jadi idaman.

mas, sayang aku tak tahu latar belakangmu.
nasibmu jadi pertugas kebersihan perpustakaan ini.
jangan siakan,
mungkin di sini tersimpan seribu rahasia untuk menggulir nasib?

-perpustakaan kota jogja, 13 april 2011

Senin, 18 April 2011

Ceramah Eyang


Judul : Harmonium
Penulis : Budi Darma
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

Saya melihat rumah Eyang. Sudah kusam, lecek, namun sangat menggoda untuk didekati. Saya sudah pernah memasuki rumah Eyang yang lain. Di sana Eyang menyuguhkan saya cerita yang membuat saya ingin terbahak-bahak. Ingin juga saya mengetahui cerita Eyang lainnya. Apakah dalam rumah ini saya akan menemukannya? Sembari terhanyut akan ikan-ikan ungu-hitam dalam akuarium, eh, saya malah diceramahi.

Budi Darma memang bukan eyang saya, tapi secara umur beliau adalah seorang eyang-eyang bagi saya meski para eyang saya sendiri umurnya lebih tua. Bagaimanapun seorang eyang berbicara, entah kita setuju atau tidak, kita harus memerhatikannya. Ini adalah suatu sikap patuh yang entah bagaimana muncul dengan sendirinya. Namun tentu saja sebagai intelektual muda (aih…), kita harus bisa mengolahnya lagi dan menyesuaikannya dengan keadaan kita—bagaimanapun kitalah kini yang menyandang peran melawan arus jaman.

Daripada saya makin menceracaukan hal-hal normatif, lebih baik saya langsung saja membagi hasil pertemuan saya dengan Eyang. Sebetulnya banyak yang Eyang bicarakan. Kritikus sastra, Nugroho Notosusanto, melodramatiknya sastra Indonesia, kebudayaan, puisi, dan lain-lain yang saya sudah lupa. Hanya tiga hal penting ini yang saya rangkum: pengarang, proses kreatif, dan karyanya.


Pengarang

Dalam pengantarnya, Eyang membuat saya ngeh kalau kunci menulis itu mungkin hanya berpikir dan mempertanyakan—karena Eyang sendiri begitu. Kata Eyang, itulah hakikat obsesi. Karena telah terobsesi, maka seseorang akan terus melakukan dialog dengan dirinya sendiri untuk terus mencari jawaban. Namun jawaban demi jawaban hanyalah terminal, bukan final. Karena itu, eseis, pengarang, dan penyair selalu mempunyai tema yang lebih-kurang sama (hal. x).

“Dalam proses kreativitas, tema mengalami metamorphose. Latar-belakang kehidupan pengarang, antara lain bakatnya, suasana lingkungannya, bacaannya, dan lain-lain sangat berpengaruh terhadap metamorphose tema. Bahkan suasana sesaat juga dapat mempengaruhi kreativitas. …

Meskipun banyak hal dapat mempengaruhi metamorphose tema, tema itu sendiri pasti ada. Entah sadar atau tidak, setiap pengarang dihantui oleh tema tersebut. …. Kafka selalu dihantui oleh keterasingan manusia, karena itu karya-karyanya juga mengenai kesendirian.” (hal. 47)

“Tema pokok seorang pengarang, yang selalu diulang-ulanginya karena obsesinya pada dasarnya juga sama, juga merupakan ciri orisinalitas pengarang tersebut. Seorang pengarang yang tidak mempunyai tema pokok pada umumnya juga kurang mempunyai kepribadian. …. Perkembangan seorang pengarang adalah perkembangan gaya dan ekspresinya.” (hal. 50)

Sastra yang baik tidak selalu berarti sastra yang membawakan suara jamannya. Jika selalu demikian, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Di halaman 37-38, “Seseorang yang berkepribadian tidak akan terjerat oleh mode dan kemudian menjadi latah, akan tetapi dapat melihat mode itu dari segi pandangannya sendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. …. Seseorang yang berkepribadian dapat melepaskan diri dari dominasi mode yang dijadikan model oleh kebanyakan orang. Karena itu dia mengalami konflik.”

Jadi, sebagaimana yang sudah Jakob Sumardjo ungkapkan dalam “Dari Kasanah Dunia”, seorang pengarang patut kiranya memiliki kepribadian yang matang. Tapi rupanya Eyang menambahkan kriteria lain.

“Seniman yang baik pada hakikatnya adalah intelektual yang baik. Mereka selalu mencari, belajar, dan berkembang. Daya serap mereka tinggi, demikian pula daya seleksi dan daya susun mereka. Mereka selalu dalam keadaan menyerap. Begitu terlibat dalam proses kreatif, mereka menyeleksi apa yang telah mereka serap ke dalam komposisi yang hebat. Sebaliknya, seorang intelektual yang tidak mempunyai kemampuan komposisi bukanlah pengarang. Begitu persepsi dan seleksi yang ringgi memadu dalam komposisi yang hebat jadilah karya seni yang baik.” (hal. 60)


Proses kreatif

Kata Eyang di halaman 36, “Panorama sastra Indonesia rata-rata sampai saat ini adalah panorama dekade pengarang yang tidak mengalami konflik yang keras dengan masyarakat dan jamannya. Para pengarang ingin membangkitkan semangat sosial melalui karya-karya mereka, dengan jalan mengikuti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak dapat mengharapkan adanya penokohan atau perwatakan yang baik dalam karya sastra. Penokohan atau perwatakan hanya dapat terjadi, apabila pengarangnya sendiri merasakan adanya konflik antara dirinya dengan lingkungannya. Apabila pengarang hanya mengikut, karena konfliknya terlalu lemah atau kurang hakiki, maka karya sastra tersebut bukanlah mengenai manusia, akan tetapi mengenai masyarakat sendiri.”

Perlu diingat sebelumnya, bahwa buku ini adalah terbitan tahun 1995. Satu setengah dekade setelah itu kiranya panorama sastra Indonesia telah mengalami perbaikan, he?

“Sekali lagi, tanpa mempunyai pandangan yang berbeda, seseorang tidak mengalami konflik yang hebat dengan dunia luar. Dan tanpa mengalami konflik seseorang sulit terlibat dalam proses kreatif.” (hal. 39) Eyang menyinggung Nh. Dini dengan “Namaku Hiroko”-nya di halaman 41. “Karena Nh. Dini sendiri tidak merasakan adanya konflik dalam menghadapi kehidupan macam Hiroko, Hiroko tidak mungkin mengalami konflik yang berarti.”

Eyang mencontohkan plot beberapa novel hiburan Barat di mana cara pengarangnya menggali persoalan mengagumkan. Pengarang mengungkapkan persoalan yang sangat sederhana, kemudian mengebor persoalan ini di seluruh halaman novel tebal. Apakah ada pengarang Indonesia yang sanggup menjabarkan peristiwa kecil ke dalam novel yang tidak tipis, itu adalah pertanyaan Eyang. “Orang pada umumnya lebih banyak tersandar pada apa yang akan terjadi dibanding dengan menciptakan kejadian.” (hal. 3)

Lalu Eyang juga mengungkap betapa isi novel-novel Indonesia banyak mengumbar hal-hal yang melodramatis. Satu yang saya cermati adalah perkara wishful thinking. Seperti yang pernah saya catat dari otobiografinya A. A. Navis dan saya lontarkan lagi dengan redaksi saya sendiri, hidup orang Indonesia itu sudah pedih. Maka mereka tidak suka disuguhi karya-karya yang mengingatkan kepedihan hidup mereka itu. Jadilah yang banyak tersaji adalah cerita-cerita yang dapat memenuhi khayalan mereka. Tidak pernah hidup mewah. Ingin tahu rasanya hidup mewah. Tontonlah sinetron. Tidak pernah punya pacar. Ingin tahu rasanya punya pacar. Bacalah teenlit pasaran.

Eyang mengemukakan tiga hal yang mungkin jadi pendorong pengarang untuk mendramatisir tokoh-tokohnya sampai ke luar batas. Tapi yang saya catat, sebab itu paling menarik bagi saya, adalah ini:

“2. Mungkin untuk menutupi kekosongan otak dan jiwa para tokohnya. Para tokoh ini adalah tipe orang yang banyak tertawa dan tersenyum dalam sebuah debat atau dalam desakan untuk mengambil keputusan, karena sebetulnya otak mereka kosong. Dan meskipun mobilitas mereka tinggi, jiwa mereka berlubang. Yang berpikir, berusaha merasakan persoalan, dan merasa gelisah bukanlah mereka sendiri, melainkan pengarang.” (hal. 93)

Nah, di sinilah proses kreatif memegang peranan penting. Seperti yang sudah pernah saya baca juga, tapi lupa di mana, kadang seseorang memiliki semangat meledak-ledak untuk segera menulis tanpa melakukan eksplorasi lebih luas dan mendalam akan apa yang hendak ditulisnya. Itulah mengapa Islam mengajarkan kita untuk sabar.

“…penghayatan adalah satu-satunya modal utama para pengarang yang dikagumi... Penghayatan tersebut tidak akan mencapai apabila pengarangnya tidak mempunyai kepekaan hebat, sikap hidup yang bukan sembarangan, dan keterampilan menulis yang tiada taranya,” begitu kata Eyang di halaman 16.

Kalau bagi saya sendiri, penulisan novel (terutama) membutuhkan pengendapan ide dan perencanaan yang relatif detail. Saya bisa saja sudah produktif berkarya pada usia yang lebih muda, namun pada saat itu saya sadar bahwa saya belum punya kapasitas untuk mewujudkan kualitas yang saya inginkan. Namun rupanya sikap saya ini kena sentilan Eyang juga.

“Pengarang boleh saja menentukan apa yang akan digarapnya, akan tetapi dalam proses penggarapannya sendiri, pengarang akhirnya akan sadar, bahwa yang ditulis ternyata bukan seperti yang direncanakannya semula. Dalam proses penulisan itulah imajinasi pengarang berkembang untuk mencari bentuk.” (hal. 44)

“Kecuali menciptakan dunia tersendiri yang tidak sama dengan dunia sehari-hari, kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Pengarang boleh merencanakan apa yang akan ditulis, membuat kerangka cerita, menyiapkan resep mengenai apa yang harus diucapkan oleh para tokohnya, dan lain-lain. Apabila pengarang hanya sekedar tukang, dan dengan demikian tidak terlibat dalam proses kreatif, maka dia dapat mengembangkan apa yang akan ditulisnya sesuai dengan rencananya. Tetapi pengarang yang benar-benar pengarang akan tertipu oleh rencananya sendiri. Rencana hanyalah mekanisme kerja, bukannya penemuan. Sementara itu, kreativitas adalah obsesi yang berkelejetan. Apa yang akan terjadi pada obsesi ini, pengarang sendiri tidak dapat meramalkannya.” (hal. 57)

Setelah ingat pengalaman saya sendiri dalam menulis novel, benar juga sih kata Eyang. Proses pra penulisan adalah sesuatu yang tak bisa saya elakkan, tapi saat penulisan, bisa lain lagi ceritanya.

Lebih lengkap lagi, ini potongan cerita Eyang di halaman 13, “…andaikata dia mempunyai bakat, tidak mungkin dia menulis novel dengan rancangan-rancangan demikian. Dari bacaan-bacaan yang bagus dia menyimpulkan, bahwa pengarang yang baik pasti akrab dengan objeknya dan cara menggarap objek tersebut. Bahkan, objek dengan pendekatannya sudah menjadi satu dengan nafas, persepsi, dan aspirasi pengarang sendiri. Dengan demikian, pengarang lebih banyak digerakkan oleh nalurinya dibanding dengan otaknya. Rambu-rambu penulisan tercipta dengan sendirinya pada waktu dia menulis, bukan sebelum dia menulis. Perwatakan juga akan datang dengan sendirinya tanpa dijadwalkan. Tapi Nirdawat bukan seorang pengarang, dan karena itu tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya dapat mencurigai, jangan-jangan Martinus tidak pernah merasa dikejar-kejar oleh suatu persoalan. Tapi biarlah, asal novel Martinus nanti tidak dangkal.”

Tapi Eyang, bagaimana dengan kutipan dari sang jenius penemu bohlam bahwa kesuksesan adalah 99% kerja keras dan 1% bakat? Perkataan Eyang seolah-olah pengarang itu adalah seseorang yang pasti mempunyai bakat. Mungkin benar pula demikian, namun kiranya bakat tidak akan berguna jika tidak diasah dengan kerja keras secara kontinyu.


Karya

Menurut Eyang di halaman 3, “…karya sastra yang baik itu bagaikan intan, berwajah banyak dan bertebing banyak, dan masing-masing wajah serta tebing itu membiaskan sekian ragam cahaya.” Dan kritikus yang baik mampu melihat bilik-bilik rahasia di balik kata-kata dalam karya sastra tersebut.

“Karya sastra yang baik dapat mengatakan sesuatu tanpa mengatakannya. Dalam karya sastra yang baik, tema, penokohan, alur, gaya bahasa, dan lain-lain berbaur menjadi kebulatan.” (hal. 62)

“Dalam karya sastra realistis, pada umumnya imajinasi yang baik tidak jauh dari kenyataan sehari-hari. …. Dalam karya sastra realistis kadang-kadang seolah tidak ada apa-apanya…. Akan tetapi dari yang nampaknya tidak ada apa-apanya ini ternyata ada sesuatu yang menyentuh pembaca, yaitu suasana subtil yang memancing kontemplasi pembaca. Rangsangan kontemplasi yang ditimbulkan oleh imajinasi inilah yang dipergunakan sebagai ukuran dalam logika sastra."

Sedangkan menurutnya tentang karya sastra yang buruk, “Rendahnya mutu cerita-cerita detektif, spionase, koboi, dan sebagainya menurut logika sastra terletak pada usaha para penulisnya untuk menggambarkan keadaan yang luar biasa, akan tetapi sebetulnya tidak ada apa-apanya kecuali sensasi. Tulisan-tulisan semacam itu tidak mengundang pembacanya untuk berkontemplasi, melainkan untuk terangsang jasmaninya.” (hal. 43-44)

“…menurut Freud, karya sastra pengarang semacam ini rata-rata buruk, sebab pengarang kurang mampu mengolah imajinasinya. Karena itulah Freud menganggap romance karya sastra yang buruk. …. Karya-karya di atas sekaligus memproyeksikan wishful thinking pembacanya. Dan memang di mana-mana dan di jaman apapun ada kaidah tidak tertulis, bahwa proyeksi wishful-thinking dicari oleh kebanyakan orang. Orang senang melihat dirinya dalam keadaan yang diinginkannya, terutama yang tidak tercapai olehnya. …. Dan bisa terpuasinya wishful-thinking terdapat dalam karya-karya yang cepat luntur.” (hal. 43)

Eyang mencontohkan karya-karya Ian Fleming (James Bond) dan karangan Ashadi Siregar sementara dalam “Dari Kasanah Sastra Dunia” Jakob Sumardjo mencontohkan karya-karya Agatha Christie dan Karl May.

 “…inilah yang menjadikan novel mereka hiburan, orientasi mereka hanyalah ketegangan, sensasi dan debar jasmani. Mereka tidak berorientasi pada kontemplasi, karena memang mereka tidak mempunyai visi. Karena itu novel mereka hanya sekedar menyenangkan. Sebaliknya, karya-karya sastra yang baik tidak selamanya menyenangkan, tapi penuh dengan ledakan yang menyebabkan dia resah terhadap dirinya sendiri, orang-orang sekitarnya, dan alam tempatnya bernafas. Karya sastra yang baik dapat membawanya ke dunia yang sublim, dan hanya dapat dirasakan tanpa dapat banyak dipikirkan.” (hal. 13)

Jadi apakah kegelisahan itu adalah suatu hal yang amat berarti?

Namun yang saya ketahui, karya-karya yang tadi disebut justru amat banyak penggemarnya, bahkan hingga saat ini. Karya-karya sastra yang baik, yang dianggap mengandung nilai-nilai universiil dan abadi, sebut saja milik Ernest Hemingway atau John Steinbeck, malah saya meragukan teman-teman saya yang awam dunia sastra akan mengenalnya. Pengstrataan karya sastra ini sepertinya hanya berlaku di kalangan tertentu saja. Mayoritas masyarakat tidak akan berpikir akan kualitas karya sastra tersebut karena orientasi mereka mungkin hanya hiburan—meski mereka tahu kalau karya tersebut mungkin tidak mutu. Mungkin hanya para kritikus dan mereka yang mau jadi pengarang saja yang benar-benar menilik bagaimana kualitas dari suatu karya.

Jadi, mau menulis karya yang seperti apa?

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain