Aku telah tinggal dalam rongga ini selama bertahun-tahun. Kamu senang sekali ketika aku lahir. Kamu memerhatikanku dengan intens sejak itu, mengawasiku tumbuh dan berkembang, mengasupiku dengan sari-sari kehidupan. Kamu perlakukan aku seakan aku adalah anakmu kelak.
Aku juga sayang padamu. Aku ingin selalu kamu perhatikan. Maka aku mengganggumu terus. Aku tidak peduli kamu sedang di kelas, di atas motor, mendengarkan orang mengobrol, atau malah menjelang molor.
Aku tidak suka kalau kamu mencekcoki rongga ini dengan apapun yang tidak ada kepentingannya denganku. Itu semua sampah! Tapi kadang hanya itu yang bisa kamu dapat dari dunia luar. Aku harus rela berdesakan dengan mereka. Aku senang kalau mereka akhirnya tersingkirkan juga. Rongga ini jadi terasa lega lagi dan aku kian leluasa bergerak. Seringkali aku bergerak terus, menendangi mereka yang hendak turut menjejali rongga ini. Enak saja.
Aku ini istimewa tahu. Aku lahir di rongga ini, asli sini, murni! Sementara mereka tidak mau tahu apa-apa tentang dirimu. Mereka hanyalah kiriman orang-orang yang tidak paham akan potensi sejati dirimu. Aku tidak rela mereka ada di sini, apalagi karena kehadiran mereka sama sekali tak berguna. Hanya menuh-menuhi tempat saja!
Tapi, ada sesuatu yang membuatku gelisah. Semakin banyak sampah yang kamu masukkan seiring dengan semakin berkembang pulanya diriku, rongga ini kian terasa sesak. Dan aku tidak mau gelisah sendirian. Maka aku membuatmu gelisah juga sepanjang waktu.
Sering kali juga aku merasa tidak berguna. Aku hanya membebanimu saja. Selama aku di rongga ini, kamu harus terus-menerus menghidupiku, berusaha menenangkanku yang sering bandel, berharap aku bisa diam barang beberapa waktu saja, namun aku tidak bisa ditebak. Aku suka meledak-ledak.
Aku ingin ke luar dari rongga ini!
Aku ingin berguna. Aku ingin menjadikanmu sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang dipuji-puja. Sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Aku ingin melakukannya untukmu. Maka keluarkanlah aku! Aku tahu aku bisa. Selama ini kamu merawatku agar kelak aku bisa menjadi seperti itu bukan? Itulah tujuanmu memeliharaku dalam rongga ini bukan? Nah, sekarang aku kira sudah tiba saatnya bagiku untuk membantumu mewujudkan mimpimu itu...
Namun kamu malah mendesakku lagi ke dalam. Katamu, di luar sana berbahaya, Sayangku! Kamu bilang kalau aku belum cukup tangguh untuk dapat menghadapi dunia luar. Aku belum utuh. Belum sempurna. Masih banyak yang harus kamu lakukan untuk mempersiapkanku. Kamu takut mengeluarkan diriku. Lalu kapan kamu akan siap? Kamu bilang kamu tidak punya cukup waktu sekarang ini tapi nanti pasti ada! Kapan? Aku merajuk.
Aku ingat para penghuni lainnya di rongga ini. Ya, sama sepertiku. Mereka juga lahir di rongga ini. Dibesarkan olehmu. Diasupi. Disayangi. Hanya untuk sementara waktu... Laksana bibit yang disemai, kamu siram mereka, kamu berikan berbagai unsur hara, lalu mereka tumbuh lalu kamu tinggalkan mereka. Dan lamat-lamat mereka tersingkir ke sudut. Berhenti merekah. Menunggu untuk kamu jamah lagi sementara rongga ini terus menerus kedatangan penghuni baru.
Aku tahu giliranku mungkin akan sampai... Ah, tapi aku tidak mau! Aku tahu aku bisa jadi sesuatu! Aku tidak mau didiamkan terus dalam rongga ini! Aku ingin tumbuh! Aku ingin hidup! Aku juga ingin menjelajahi rongga-rongga lainnya seperti yang kamu ceritakan itu! Biarkan aku melakukannya demi kamu!
Tapi... tapi... tapi...
Aku tak peduli. Aku rongrong kamu terus hingga kamu kelelahan. Hingga kamu tutup rongga ini dengan kelambu mimpi. Tapi kamu harus membukanya lagi esok pagi karena seperti itulah kehidupanmu harus berjalan. Dan aku akan ikut jalan bersamamu. Mendorongmu menilik kehidupan yang perlu kamu tahu untuk memenuhi kebutuhanku. Saat kamu suntuk, kamu bisa memanggilku untuk membuatmu tersenyum lagi.
Namun aku dan kamu sama-sama tahu, bahwa kita bosan hidup terus-menerus seperti ini.
Oh, berapa kali aku harus mendesakmu, hah? Keluarkan aku dan kita akan lihat bahwa kita bisa membuat perbedaan sekecil apapun itu. Oh, jangan lagi kamu kemukakan alasan-alasan itu! Mungkin hanya akibat kecemasan dan kejemuan yang melandamu saja--padahal kamu bisa melakukannya! Mewujudkan mimpimu itu bersamaku! Tapi bagaimana aku bisa melakukannya kalau aku sendiri tak berwujud?!
Maka aku terus berusaha ke luar dari rongga ini. Satu-satunya cara, yang lantas jadi ambisiku, adalah dengan menggerakkan tanganmu untuk melakukannya. Ya, hanya tanganmu yang bisa! Dan aku tahu harus minta bantuan siapa agar tanganmu sudi terangkat. Bentuknya gumpalan halus yang mendekam dalam dadamu. Ia bisa membesar dan mengecil tergantung situasi. Dan aku akan membuatnya jadi topan badai! Gemuruh yang menghentak-hentak! Hingga tak bisa kamu tahankan lagi, tak tertahankan, matamu terbuka, dan melalui tanganmulah aku mewujud... jadi kata-kata!
Kamu terpana. Sudah terlanjur aku mewujud meski tak sempurna. Kamu tak puas. Namun yang mengendalikan tanganmu adalah gejolak yang kuterbitkan. Tak bisa didiamkan. Kamu resah. Maka aku pun dijamahmu selalu. Tanganmu mengoyak-oyak wujud mentahku yang kamu anggap gagal. Kamu potong. Kamu giling. Kamu telan. Kamu kunyah. Kamu muntahkan kembali. Kamu lumat lagi. Namun aku terus berusaha untuk melesak ke luar. Itu wujudku... Itu wujudku... Aku hampir sampai kepadanya... Kamu tahan aku. Aku meronta-ronta. Kamu coba benamkan lagi. Aku berontak. Aku ingin ke luar. Aku ingin bertemu wujudku... meski... pun... aku...
...harus membuatmu sampai gila...
...meski... pun... aku....
...harus menculikmu dari dunia nyata....
Meskipun harus ganti aku yang memenjarakanmu!
Sayang, ini memang sebuah pengorbanan. Kamu kuras waktu, tenaga, pikiran, makanan, hingga kehidupan sosialmu, hanya demi aku.
Tapi, Sayang, percayalah, suatu saat aku akan berhenti menggerakkan tanganmu jua, ketika telah sampai wujudku yang--meski tak sempurna karena hanya Penciptamulah Yang Kuasa--indah kamu lihat dalam jiwa. Cacat di sana sini oleh ketaksempurnaanmu tak kentara karena keseluruhannya telah membikin batinmu bersukaria.
Maka kembang api digempitakan.Tak hanya ronggamu itu kini, namun hamparan putih yang seakan tiada batasnya pun dapat pula kuisi. AKU HIDUP! Dan aku tak sabar menanti rongga-rongga lainnya untuk kujelajahi pula! HIDUPKU AKAN SEMAKIN HIDUP!
Tapi, kamu bilang, mungkin masih jauh jalan yang harus kita tempuh hingga terwujud mimpi itu...
Tidak apa-apa, Sayang! Kamu bisa mempercantikku kapanpun kamu mau. Yang penting wujudku telah purna! Tidak hanya mata batinmu saja kini yang bisa menikmati keindahan diriku, tapi juga matamu yang bulat kecokelatan itu, dan sekian mata lainnya yang doyan melahap kekayaan pikir dan rasa dalam begini rupa.
Meski kamu tak berkata, aku sudah senang ketika dari gelora harumu saja sudah ternyata. Kamu bahagia. Aku bahagia. AKULAH KARYA!
Aku harap para penghuni lain dalam ronggamu yang sempit itu juga bisa lekas menyusulku.
Aku juga sayang padamu. Aku ingin selalu kamu perhatikan. Maka aku mengganggumu terus. Aku tidak peduli kamu sedang di kelas, di atas motor, mendengarkan orang mengobrol, atau malah menjelang molor.
Aku tidak suka kalau kamu mencekcoki rongga ini dengan apapun yang tidak ada kepentingannya denganku. Itu semua sampah! Tapi kadang hanya itu yang bisa kamu dapat dari dunia luar. Aku harus rela berdesakan dengan mereka. Aku senang kalau mereka akhirnya tersingkirkan juga. Rongga ini jadi terasa lega lagi dan aku kian leluasa bergerak. Seringkali aku bergerak terus, menendangi mereka yang hendak turut menjejali rongga ini. Enak saja.
Aku ini istimewa tahu. Aku lahir di rongga ini, asli sini, murni! Sementara mereka tidak mau tahu apa-apa tentang dirimu. Mereka hanyalah kiriman orang-orang yang tidak paham akan potensi sejati dirimu. Aku tidak rela mereka ada di sini, apalagi karena kehadiran mereka sama sekali tak berguna. Hanya menuh-menuhi tempat saja!
Tapi, ada sesuatu yang membuatku gelisah. Semakin banyak sampah yang kamu masukkan seiring dengan semakin berkembang pulanya diriku, rongga ini kian terasa sesak. Dan aku tidak mau gelisah sendirian. Maka aku membuatmu gelisah juga sepanjang waktu.
Sering kali juga aku merasa tidak berguna. Aku hanya membebanimu saja. Selama aku di rongga ini, kamu harus terus-menerus menghidupiku, berusaha menenangkanku yang sering bandel, berharap aku bisa diam barang beberapa waktu saja, namun aku tidak bisa ditebak. Aku suka meledak-ledak.
Aku ingin ke luar dari rongga ini!
Aku ingin berguna. Aku ingin menjadikanmu sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang dipuji-puja. Sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Aku ingin melakukannya untukmu. Maka keluarkanlah aku! Aku tahu aku bisa. Selama ini kamu merawatku agar kelak aku bisa menjadi seperti itu bukan? Itulah tujuanmu memeliharaku dalam rongga ini bukan? Nah, sekarang aku kira sudah tiba saatnya bagiku untuk membantumu mewujudkan mimpimu itu...
Namun kamu malah mendesakku lagi ke dalam. Katamu, di luar sana berbahaya, Sayangku! Kamu bilang kalau aku belum cukup tangguh untuk dapat menghadapi dunia luar. Aku belum utuh. Belum sempurna. Masih banyak yang harus kamu lakukan untuk mempersiapkanku. Kamu takut mengeluarkan diriku. Lalu kapan kamu akan siap? Kamu bilang kamu tidak punya cukup waktu sekarang ini tapi nanti pasti ada! Kapan? Aku merajuk.
Aku ingat para penghuni lainnya di rongga ini. Ya, sama sepertiku. Mereka juga lahir di rongga ini. Dibesarkan olehmu. Diasupi. Disayangi. Hanya untuk sementara waktu... Laksana bibit yang disemai, kamu siram mereka, kamu berikan berbagai unsur hara, lalu mereka tumbuh lalu kamu tinggalkan mereka. Dan lamat-lamat mereka tersingkir ke sudut. Berhenti merekah. Menunggu untuk kamu jamah lagi sementara rongga ini terus menerus kedatangan penghuni baru.
Aku tahu giliranku mungkin akan sampai... Ah, tapi aku tidak mau! Aku tahu aku bisa jadi sesuatu! Aku tidak mau didiamkan terus dalam rongga ini! Aku ingin tumbuh! Aku ingin hidup! Aku juga ingin menjelajahi rongga-rongga lainnya seperti yang kamu ceritakan itu! Biarkan aku melakukannya demi kamu!
Tapi... tapi... tapi...
Aku tak peduli. Aku rongrong kamu terus hingga kamu kelelahan. Hingga kamu tutup rongga ini dengan kelambu mimpi. Tapi kamu harus membukanya lagi esok pagi karena seperti itulah kehidupanmu harus berjalan. Dan aku akan ikut jalan bersamamu. Mendorongmu menilik kehidupan yang perlu kamu tahu untuk memenuhi kebutuhanku. Saat kamu suntuk, kamu bisa memanggilku untuk membuatmu tersenyum lagi.
Namun aku dan kamu sama-sama tahu, bahwa kita bosan hidup terus-menerus seperti ini.
Oh, berapa kali aku harus mendesakmu, hah? Keluarkan aku dan kita akan lihat bahwa kita bisa membuat perbedaan sekecil apapun itu. Oh, jangan lagi kamu kemukakan alasan-alasan itu! Mungkin hanya akibat kecemasan dan kejemuan yang melandamu saja--padahal kamu bisa melakukannya! Mewujudkan mimpimu itu bersamaku! Tapi bagaimana aku bisa melakukannya kalau aku sendiri tak berwujud?!
Maka aku terus berusaha ke luar dari rongga ini. Satu-satunya cara, yang lantas jadi ambisiku, adalah dengan menggerakkan tanganmu untuk melakukannya. Ya, hanya tanganmu yang bisa! Dan aku tahu harus minta bantuan siapa agar tanganmu sudi terangkat. Bentuknya gumpalan halus yang mendekam dalam dadamu. Ia bisa membesar dan mengecil tergantung situasi. Dan aku akan membuatnya jadi topan badai! Gemuruh yang menghentak-hentak! Hingga tak bisa kamu tahankan lagi, tak tertahankan, matamu terbuka, dan melalui tanganmulah aku mewujud... jadi kata-kata!
Kamu terpana. Sudah terlanjur aku mewujud meski tak sempurna. Kamu tak puas. Namun yang mengendalikan tanganmu adalah gejolak yang kuterbitkan. Tak bisa didiamkan. Kamu resah. Maka aku pun dijamahmu selalu. Tanganmu mengoyak-oyak wujud mentahku yang kamu anggap gagal. Kamu potong. Kamu giling. Kamu telan. Kamu kunyah. Kamu muntahkan kembali. Kamu lumat lagi. Namun aku terus berusaha untuk melesak ke luar. Itu wujudku... Itu wujudku... Aku hampir sampai kepadanya... Kamu tahan aku. Aku meronta-ronta. Kamu coba benamkan lagi. Aku berontak. Aku ingin ke luar. Aku ingin bertemu wujudku... meski... pun... aku...
...harus membuatmu sampai gila...
...meski... pun... aku....
...harus menculikmu dari dunia nyata....
Meskipun harus ganti aku yang memenjarakanmu!
Sayang, ini memang sebuah pengorbanan. Kamu kuras waktu, tenaga, pikiran, makanan, hingga kehidupan sosialmu, hanya demi aku.
Tapi, Sayang, percayalah, suatu saat aku akan berhenti menggerakkan tanganmu jua, ketika telah sampai wujudku yang--meski tak sempurna karena hanya Penciptamulah Yang Kuasa--indah kamu lihat dalam jiwa. Cacat di sana sini oleh ketaksempurnaanmu tak kentara karena keseluruhannya telah membikin batinmu bersukaria.
Maka kembang api digempitakan.Tak hanya ronggamu itu kini, namun hamparan putih yang seakan tiada batasnya pun dapat pula kuisi. AKU HIDUP! Dan aku tak sabar menanti rongga-rongga lainnya untuk kujelajahi pula! HIDUPKU AKAN SEMAKIN HIDUP!
Tapi, kamu bilang, mungkin masih jauh jalan yang harus kita tempuh hingga terwujud mimpi itu...
Tidak apa-apa, Sayang! Kamu bisa mempercantikku kapanpun kamu mau. Yang penting wujudku telah purna! Tidak hanya mata batinmu saja kini yang bisa menikmati keindahan diriku, tapi juga matamu yang bulat kecokelatan itu, dan sekian mata lainnya yang doyan melahap kekayaan pikir dan rasa dalam begini rupa.
Meski kamu tak berkata, aku sudah senang ketika dari gelora harumu saja sudah ternyata. Kamu bahagia. Aku bahagia. AKULAH KARYA!
Aku harap para penghuni lain dalam ronggamu yang sempit itu juga bisa lekas menyusulku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar