Sejak masuk kereta Progo, saya hampir tidak pernah tidak berkeringat. Kalau naik kereta dari Jogja ke Bandung, memang pada mulanya saya gerah di awal--biasalah, udara Jogja--tapi harus siap-siap bersidekap untuk mengumpulkan hangat begitu menjelang pagi. Kali ini, membawa baju lapangan untuk tujuan itu jadi sia-sia--meski nantinya terpakai juga sih.
Tidak seperti Kahuripan yang makin menuju Bandung penumpangnya makin sedikit, Progo sepertinya tidak mengalami pengurangan penumpang yang cukup signifikan. Angin yang menyembur dari jendela terasa tidak berguna. Hawa tetap saja panas. Duduk saya tetap mepet jendela. Kasihan Vina, yang duduk di sebelah saya, terjepit antara saya dengan seorang mas-mas padahal kapasitas bangku yang kami duduki hanya dua orang.
Memasuki Bekasi dan seterusnya, tetap tidak terasa hawa sejuk yang berarti. Begitu turun di Stasiun Jatinegara pun panas tetap melingkupi tubuh.
Belum lagi saat menaiki bis Kalideres-Labuan. Panas sempat terusir dengan kencangnya angin yang masuk dari pintu. Memang saya duduk di deretan bangku paling belakang. Namun begitu bis tidak lagi berjalan kencang, panasnya menggila. Ketidaknyamananan ini ditambah dengan posisi duduk terus-menerus di atas bangku yang tidak ergonomis--begini juga pas di Progo.
Lepas dari Tangerang, pemandangan agak gersang di luar makin "memanasi" suasana.
Kami turun di terminal Labuan, di mana sempat terjadi kericuhan kecil antara beberapa pria di sana. Memperebutkan kami? Entahlah. Pada akhirnya kami mencarter sebuah angkot untuk kami bersebelas ditambah segala bawaan kami. Kalau satu orang membawa dua-tiga barang besar (carrier, ransel, maupun kotak alat atau dus makanan), bisa dibayangkan betapa sesaknya di dalam. Saya lihat Putro, yang duduk di pojok, bercucuran keringat deras sekali bagai habis disirami air dari depan.
Untunglah penderitaan kami tidak lama. Setelah sampai di kantor balai, kami mendapat ruang yang jauh lebih leluasa untuk bergerak. Salah satu ruang yang dibuka untuk kami berhawa cukup sejuk.
Memang ada kala saya tidak berkeringat, seperti saat di kamar dengan jendela terbuka dan berkaos lengan pendek, atau saat pagi hari. Ini membikin saya senang. Tapi lepas dari itu, saya tampaknya harus bertoleransi dengan hawa panas yang membekap. Syukur saya tidak seperti Lina dan Vina yang sepertinya mengalami alergi karena tidak cocok dengan udara dan air di sini. Sejauh ini saya tidak mengalami masalah berarti. Paling-paling hanya tidak betah dengan udara panas (dan berdebu) saja. Plus kecemasan terpendam karena membawa sandang terbatas. Harus ada yang bertoleransi dengan bau juga nih nantinya...
Saya bertanya-tanya apakah ini derita yang akan dialami oleh tiap orang yang telah mendiami daerah berhawa sejuk selama kurang lebih 16 tahun. Gerah sedikit tidak betah. Gerah selalu apalagi. Secara saya masih dua minggu kurang di sini, untuk hari-hari ke depan saya harus menyesuaikan diri dengan udara yang ada. Jadi ingin di Bandung saja. Kalau untuk sementara begini, apa boleh buat. Kalau ditanya di kota mana kelak saya ingin berdomisili, saya akan menunjuk kota-kota berhawa sejuk.
Tidak seperti Kahuripan yang makin menuju Bandung penumpangnya makin sedikit, Progo sepertinya tidak mengalami pengurangan penumpang yang cukup signifikan. Angin yang menyembur dari jendela terasa tidak berguna. Hawa tetap saja panas. Duduk saya tetap mepet jendela. Kasihan Vina, yang duduk di sebelah saya, terjepit antara saya dengan seorang mas-mas padahal kapasitas bangku yang kami duduki hanya dua orang.
Memasuki Bekasi dan seterusnya, tetap tidak terasa hawa sejuk yang berarti. Begitu turun di Stasiun Jatinegara pun panas tetap melingkupi tubuh.
Belum lagi saat menaiki bis Kalideres-Labuan. Panas sempat terusir dengan kencangnya angin yang masuk dari pintu. Memang saya duduk di deretan bangku paling belakang. Namun begitu bis tidak lagi berjalan kencang, panasnya menggila. Ketidaknyamananan ini ditambah dengan posisi duduk terus-menerus di atas bangku yang tidak ergonomis--begini juga pas di Progo.
Lepas dari Tangerang, pemandangan agak gersang di luar makin "memanasi" suasana.
Kami turun di terminal Labuan, di mana sempat terjadi kericuhan kecil antara beberapa pria di sana. Memperebutkan kami? Entahlah. Pada akhirnya kami mencarter sebuah angkot untuk kami bersebelas ditambah segala bawaan kami. Kalau satu orang membawa dua-tiga barang besar (carrier, ransel, maupun kotak alat atau dus makanan), bisa dibayangkan betapa sesaknya di dalam. Saya lihat Putro, yang duduk di pojok, bercucuran keringat deras sekali bagai habis disirami air dari depan.
Untunglah penderitaan kami tidak lama. Setelah sampai di kantor balai, kami mendapat ruang yang jauh lebih leluasa untuk bergerak. Salah satu ruang yang dibuka untuk kami berhawa cukup sejuk.
Memang ada kala saya tidak berkeringat, seperti saat di kamar dengan jendela terbuka dan berkaos lengan pendek, atau saat pagi hari. Ini membikin saya senang. Tapi lepas dari itu, saya tampaknya harus bertoleransi dengan hawa panas yang membekap. Syukur saya tidak seperti Lina dan Vina yang sepertinya mengalami alergi karena tidak cocok dengan udara dan air di sini. Sejauh ini saya tidak mengalami masalah berarti. Paling-paling hanya tidak betah dengan udara panas (dan berdebu) saja. Plus kecemasan terpendam karena membawa sandang terbatas. Harus ada yang bertoleransi dengan bau juga nih nantinya...
Saya bertanya-tanya apakah ini derita yang akan dialami oleh tiap orang yang telah mendiami daerah berhawa sejuk selama kurang lebih 16 tahun. Gerah sedikit tidak betah. Gerah selalu apalagi. Secara saya masih dua minggu kurang di sini, untuk hari-hari ke depan saya harus menyesuaikan diri dengan udara yang ada. Jadi ingin di Bandung saja. Kalau untuk sementara begini, apa boleh buat. Kalau ditanya di kota mana kelak saya ingin berdomisili, saya akan menunjuk kota-kota berhawa sejuk.
-diketik 5.11 di rumah Pak Arif, diunggah di perpustakaan kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar