Lama mataku memicing. Terik benar sinar matahari di pagi menjelang siang ini. Namun tetap harus kuterjang! Apapun yang menghadang, aku harus sampai di warung makan langganan! Aku lapar! Sepanjang kuliah pagi barusan aku tambah tidak konsentrasi karena pusing kepala dan gemuruh perut akibat telat sarapan.
Kuturunkan pandangan dari langit dan kulihat beberapa meter di depan sana pagar kampus menyambut. Di sisinya ada ruang khusus bagi pejalan kaki untuk ke luar-masuk—juga tempat mangkalnya peminta-minta. Tumben kulihat seorang anak di sana. Rambutnya yang kemerahan—inilah alay murni!—lurus jatuh. Pakaiannya berupa piyama biru tua kumal dipadu celana pendek biru muda belel. Sebelah tangannya menadah.
Aih. Kasihan. Tega benar ibumu, Nak, mendidikmu dengan cara serupa ini. Bagaimanakah mentalmu jadinya ketika sudah jadi manusia sebesarku? Sudikah kamu jadi mahasiswa? Atau dirimu malah lebih ingin jadi peminta-minta mapan? Aku terus berjalan.
Kutengokkan lagi kepala ke arahnya dengan tatapan prihatin. Bukan saja karena sinar matahari keningku berkerut kini. Meski ada beberapa logam dalam kantong pakaianku, namun sebaiknya aku simpan saja. Aku tidak mau mendukung program ibumu, Nak.
Sebagai bagian dari kaum yang digembar-gemborkan menjadi bukan saja agen MLM tapi juga agent of change, yang diamanati memperbaiki nasib bangsa, yang berat pundaknya dibebani dengan tuntutan ini itu, yang diidealkan lulus empat tahun, yang selalu tergelitik untuk melakukan sesuatu yang menggugah, maka aku mampir ke sebuah toko fotokopian yang menjajakan aneka bacaan. Kubayar sebuah majalah anak-anak.
Sesampainya di warung makan langganan, aku puas-puasi melahap seluruh isi majalah anak-anak itu sebelum nanti dengan tulus dan ikhlas kuhibahkan pada sang peminta-minta cilik.
Berat pula perutku kini. Aku harus segera ke kampus untuk menuntut ilmu lagi padahal ia tak bersalah. Maka aku lewati lagi toko fotokopian itu, dan sang peminta-minta cilik itu.
Aku jongkok di depannya. “Kelas berapa, Dek?”
“Kelas dua,” jawabnya.
“Sudah bisa baca?”
“Sudah.”
Alhamdulillah. Tidak sia-sia aku membelikannya majalah anak-anak! Inilah langkah awalku dalam membangun budaya literasi bangsa!
Kuberikan barang itu padanya. Aku tinggalkan ia dengan senyum terkembang di wajahku. Harapanku, anak itu akan membaca pemberianku. Semoga ia terinspirasi dengan apapun yang ada di sana dan meninggalkan cita-citanya sebagai peminta-minta mapan dan sudi jadi mahasiswa supaya ia juga bisa merasakan penderitaanku! Hahaha!
Ah, tidak. Aku harap jikalau suatu saat ia bisa jadi mahasiswa, ia bisa lebih menghargai pendidikan seberapa payah pun kualitasnya.
Aku sadari matahari makin murah hati saja berbagi potensi kanker kulit. Sebelum belok ke arah bangunan kampus, aku menoleh ke belakang. Aku penasaran ingin melihat reaksi sang peminta-minta cilik atas pemberianku yang belum umum itu—yang kalau diuangkan mungkin sepadan dengan keikhlasan sepuluh orang yang lebih suka memberi duit.
Dari kejauhan, kulihat sosok biru itu masih bersimpuh di dekat jalur ke luar-masuk pejalan kaki. Seperti ada sesuatu yang menempel di kepalanya sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari. Aku picingkan mata. Seiring dengan langkah kakiku yang jadi mendekat lagi ke arahnya, jelaslah apa yang terlihat.
Kok majalah anak-anaknya malah dipakai sebagai pelindung kepala?!
(13 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar