Senin, 26 September 2011

Kotaku, Inspirasiku

Judul : Istanbul—Kenangan Sebuah Kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta, 2009

Apa tema kotamu? Orhan Pamuk menjawab, “Kemurungan,” atau “huzun”, dalam memoarnya ini. Kotanya adalah Istanbul. Menurutnya, huzun bukan sekadar berarti perasaan kehilangan dan kemurungan spiritual, melainkan juga memiliki tradisi dan filosofi yang berbeda.

Salah satunya adalah tradisi yang berkembang dari mistisme Sufi. “Bagi para Sufi, huzun merupakan penderitaan spiritual amat mendalam yang kita rasakan karena kita tidak bisa cukup dekat dengan Allah, karena kita tidak dapat melakukan cukup banyak amalan demi Allah di dunia ini.” Lebih lanjut lagi, “Terlebih lagi, tidak adanya huzun, bukan adanya huzun, yang membuatnya merasa tertekan. Kegagalannya untuk merasakan huzun itulah yang membuatnya merasakan huzun; dia menderita karena dia belum cukup menderita…”

Tradisi lainnya adalah, “kita mengalami hal yang disebut huzun ketika kita terlalu banyak menikmati kesenangan duniawi dan mengumpulkan harta benda; implikasinya adalah bahwa “jika Anda tidak melibatkan diri terlalu dalam di dunia fana ini, jika Anda seorang muslim sejati yang baik, maka Anda tidak akan terlalu memedulikan hilangnya kesenangan duniawi ini.” Disebutkan bahwa kematian adalah salah satu hal duniawi. (halaman 129)

Yang mana yang mewarnai atmosfer yang dirasakan Orhan dalam Istanbul?

Ingatan melayang pada apa yang diajarkan buku Sejarah zaman sekolah menengah. Adalah seorang Ataturk yang melakukan suatu perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Turki: mengubah kiblat peradaban dari timur ke barat. Melalui cerita Orhan Pamuk tentang dirinya, keluarganya, dan kalangan pergaulannya, sepertinya “berkiblat ke barat” berarti melepaskan agama juga. Bukan suatu kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadan maupun solat. Bukan masalah pula bercinta sebelum menikah dan minum alkohol. Jadi apakah penting untuk mengetahui bahwa penulis memoar ini adalah seorang muslim atau bukan?

Maka kita diajak penulis menjelajahi masa kecil hingga masa remajanya dalam lanskap sebuah kota bernama Istanbul—tanpa membandingkannya dengan kota lain di negara yang sama yang bisa saja mengalami kondisi serupa atau berbeda. Bagai sebuah tur, kita dibawa menyusuri jalanan kota, tempat-tempat tertentu yang memberi kesan sesuatu, hingga membaca literatur-literatur mengenai Istanbul yang ditulis baik oleh orang barat maupun orang Istanbul sendiri. Kita menyaksikannya lewat mata sang penulis. Dia juga mengizinkan kita untuk mengenal keluarganya lebih dekat—lengkap dengan foto-foto zadul. Bayangkan jika kita bertamu ke rumah teman di lain kota. Tidak hanya diajak jalan-jalan keliling kota, tentu kita juga akan dikenalkan dengan keluarganya, bukan? Hanya saja kali ini lewat buku yang tidak hanya berisi huruf tapi juga banyak gambar—sayangnya tak berwarna.

Mari kita ketahui bahwa sebuah kota bisa jadi sangat menginspirasi. Memoar setebal 551 halaman yang terbagi dalam 37 bab ini hanya satu contoh literatur yang terinspirasi dari sebuah kota bernama Istanbul. Untuk kota dalam negeri pun kita punya. Sebut saja “Semerbak Bunga di Bandung Raya” oleh Haryoto Kunto (1047 halaman, PT Granesia, 1986) dan “Jendela Bandung: Pengalaman bersama KOMPAS” oleh Her Suganda (423 halaman, KOMPAS, 2008) yang hanya sekelumit contoh literatur mengenai Bandung. Bahkan ada 15 halaman sendiri untuk menuliskan daftar pustaka yang digunakan dalam menggarap “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (halaman 1049-1064). Ingat pula Benny & Mice dengan “Lagak Jakarta”.

“Pengarang novel Prancis, Claude Simone, menyatakan bahwa untuk mengumpulkan bahan untuk sebuah novel, sebenarnya cukup hanya dengan mengitari sebuah blok di kotanya. Setelah pulang, tuliskan apa yang kita lihat, pikirkan, rasakan, ingat, dan seterusnya,” kata Novakovich dalam “Berguru kepada Sastrawan Dunia” (Kaifa, 2003) meski menurutnya cara ini terlalu berlebihan. Masih dari Prancis, saya menemukan kutipan menarik yang diambil Orhan Pamuk dari kolumnis Istanbul—tertulis tahun 1952 ,

“Pengarang Prancis ternama, Victor Hugo; punya kebiasaan bepergian dari salah satu sudut kota yang lain di tingkat atas bus penumpang yang ditarik oleh kuda, hanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh saudara-saudaranya sesama warga negara. Kemarin kami melakukan hal yang sama, dan kami menyimpulkan bahwa sejumlah besar penduduk Istanbul tidak begitu menaruh perhatian pada apa yang sedang mereka lakukan ketika melangkah di jalanan dan selalu saling bertabrakan, serta membuang karcis, bungkus es krim, dan kulit jagung ke tanah; di mana-mana ada pejalan kaki yang berjalan di jalan raya, sedangkan mobil-mobil naik ke trotoar, dan—bukan karena kemiskinan, melainkan karena kemalasan dan kebodohan—setiap orang di kota ini berpakaian sangat jelek.”

Waha. Saya penasaran hal-hal menarik apa yang bakal saya dapatkan jika saja saya lebih perhatian pada apa yang ada di sekitar saya saat saya jalan-jalan. Contoh lain adalah seperti ini misalnya—tertulis tahun 1997,

“Setelah berusaha mencari tahu berapa banyak uang yang telah dihamburkan masyarakat untuk pertunjukan kembang api yang konyol dan gila-gilaan megah yang telah kita saksikan di setiap sudut kota Istanbul, setiap malam pada musim panas ini, saya harus bertanya pada diri sendiri apakah orang-orang yang merayakan perkawinan itu tidak akan merasa lebih bahagia—mengingat kita sekarang memiliki kota dengan penduduk sepuluh juta orang—jika uang sebanyak itu digunakan untuk pendidikan anak-anak kaum miskin. Saya benar atau salah, ya?”

Hal yang sama saya tanyakan pada kalangan the have yang membelanjakan uang mereka untuk segala kesenangan yang bertebaran di Kota Bandung.

Kelak saya ingin seperti mereka yang menulis tentang kota. Nah, tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan perhatian, pelibatan indra, perenungan, imajinasi, dan perluasan wawasan mengenai kota tersebut. Bukan muluk-muluk hendak jadi James Joyce dengan Dublin-nya. Saya hanya merasa kota di mana saya lahir serta tumbuh hingga 16,5 tahun lamanya sungguh berpengaruh saja buat saya. Dan saya memang sudah kepikiran tema untuk kota tersebut—kreatif atau individualis ya?


sumber gambar

Kamis, 15 September 2011

Semangat

Lagi-lagi dia minta semangat. Aku raih tangannya. Aku tepukkan telapak tanganku ke telapak tangannya. “Nih, aku kasih SEMANGAT!” Dia menarik tangannya lagi dan menatapku hampa. Aku tersenyum—berpura-pura kalau aku memang bersemangat. Barangkali kepura-puraan positif memang berdampak nyata. Bagaimanapun, aku mengerti bahwa semangat adalah modal vital dalam menghadapi semester baru yang sepertinya bakal sangat bikin rebek ini. Betapa akan sangat tersiksa jiwa ini kalau harus menjalankan sesuatu tanpa semangat. 

Dia menghela nafas, menopang dagunya dengan kepalan tangan, sembari melepas pandang ke orang-orang.

“Enggak apa-apa kalau kamu enggak punya semangat, Ta,” kataku. “Aku pernah main ke museum TNI di Jogja. Di sana ada tulisan tentang I Gusti Ngurah Rai.” Dengan ejaan lawas, isi tulisan tersebut kira-kira sebagai berikut, “Almarhum I Gusti Ngurah Rai itu, meskipun badannya kecil, pembawaannya lemas dan tidak bersemangat, tapi cita-citanya tinggi dan besar…” Aduh, aku lupa kelanjutannya, namun, “Akhirnya beliau berhasil mengusir tentara Belanda dari Bali.”

Sepertinya dia tidak terkesan dengan ceritaku. Aku pikir lagi, apa gunanya kita bercita-cita tinggi kalau tidak punya semangat untuk mewujudkannya?

Selanjutnya kami malah mengomentari orang yang menarik perhatian kami.

“Lihat tuh, si Diana. Dia yang kemarin baru dapet penghargaan dari kampus—“

“Beuh… IPK-nya, dewa abis…”

“Enggak cuman itu Ta, dia juga ikut yang simulasi PBB itu loh, sering ke luar negeri…”

Lewat lagi yang lain.

“Eh, itu si Sansan, baru dari Ceko kemarin.”

“Katanya dia sempet main ke negara-negara lainnya juga gitu ya?”

“Iya, aku udah denger,” kataku dilanjutkan mengabsen sejumlah negara di Eropa yang berdekatan dengan Ceko.

“Beuh, udah mah mahasiswa berprestasi fakultas…”

“PKM-nya juga menang kemarin…”

Lewat lagi yang lain.

“Itu tuh, si Anggi, besok mau ke Kalimantan. Penelitian dua bulan gitu katanya.”

“Oh ya, dia juga dulu pas masih tingkat awal ke Turki terus dapet penghargaan apa gitu ya?”

Lewat lagi yang lain.

“Eh, itu tuh si Dara. Dia penghasilannya banyak loh… Kerja sambilan di macem-macem tempat loh dia. Kayaknya asik gitu kerjaannya dia.”

“Oh iya? Oh pantes… Aku pernah denger dia beli mobil pakai uangnya sendiri gitu.”

Sementara menunggu orang yang patut dibicarakan lagi, aku terpikirkan akan nasibku dengan temanku itu. Entah kapan IPK kami bisa mencapai cum laude—mungkin jatah waktu kami di perguruan tinggi ini keburu habis sebelum itu terjadi. Kami belum pernah ke luar pulau sama sekali untuk kepentingan akademis—boro-boro ke luar negeri. Kami tidak begitu aktif berorganisasi karena jadwal kuliah dan praktikum saja sudah cukup menyita perhatian kami. Kami optimis lulus empat tahun lebih. Kami tidak pernah sempat ikut kompetensi penelitian. Kami juga tidak cukup punya waktu dan keterampilan untuk mencari tambahan uang saku.

“Kalau kamu jadi mereka, kamu bakal lebih bersemangat enggak, Ta?”

“Ng? Enggak tahu. Kamu gimana?”

“Mungkin iya. Kalau aku lebih pinter, berprestasi, bisa ngehasilin banyak uang dari usaha sendiri, kan jadi banyak hal yang bisa aku banggain dari diri aku,” jawabku spontan saja. Kataku lagi, mengutip entah kalimat Sponge Bob atau Patrick dalam episode Sponge Bob-bau-mulut, “Kan ada kekuatan pada rasa bangga. Kekuatan itu sama kayak semangat enggak sih?”

Dia hanya memandangku sebentar. Lalu lepas lagi matanya ke samudra mahasiswa.

“Eh, liat itu si Ananda…”

Aku mengangkat daguku. Terlihat seorang cewek bertubuh pendek. Jalannya santai dan bibirnya membentuk senyum.

Aku tidak ingat dia pernah menorehkan prestasi apapun. Sepertinya dia termasuk kasta mahasiswa biasa-biasa saja macam kami. Fisiknya tidak begitu rupawan, keluarganya juga bukan dari kalangan menengah ke atas. Memang sih, setahuku, IPK-nya sedikit lebih tinggi dari punyaku. Selebihnya, aku tidak tahu apa lebihnya ia dariku. Badanku bahkan lebih tinggi dari dia!

“Seneng deh liat si Nanda,” suara teman di sebelahku lagi.

“Kenapa? Kayaknya dia enggak sehebring orang-orang yang tadi kita omongin deh.”

Tapi tetap saja ada yang bisa kami bicarakan tentang seseorang. Aku jadi merasa geli dengan persamaan kami, para mahasiswa sekasta. Kami sama-sama jarang jadi asisten praktikum. Kami sama-sama pernah coba ikut PKM dan gagal. Kami sama-sama kerap asik dengan dunia sendiri hingga melalaikan organisasi. Kami sama-sama tidak piawai membuat esai untuk mengikuti konferensi apapun. Kami sama-sama tidak berprestasi. Entah kapan kami bisa membanggakan negeri.

Pikiran ini jadi kian menyurutkan semangatku. Mendadak geliku sirna juga. Tapi teman di sebelahku ini malah jadi kelihatan tambah bersemangat berkat membicarakan Ananda.

“Seneng aja liat dia. Kayaknya orangnya semangat terus deh.”

Aku ingat-ingat… Ya, aku memang jarang lihat muka lusuh Ananda.

Akhirnya aku lihat senyum lebar memaniskan wajah temanku lagi. “Hebat ya?”

“Kenapa?” Aku menoleh padanya hingga kami saling bertatapan.

Lanjutnya,” Ya kayak kata kamu tadi. Kalau kamu udah punya macem-macem terus semangat, ya itu biasa, tapi kalau kamu enggak punya apa-apa tapi bisa tetep semangat, rasanya hebat aja.”

Aku tercenung. Mendadak temanku bangkit sambil menarik tanganku. “Yuk ah, deketin yang semangat yuk. Siapa tahu aja semangatnya nular…”

 

 


13 September 2011

Terinspirasi dari kutipan “Kalau kau punya ‘apa-apa’ dan segala-galanya lalu hidup semangat, apa hebatnya? Tapi bila kau tak punya ‘apa-apa’ lalu hidup semangat, itu yang keren.” (Pidi Baiq)

Rabu, 14 September 2011

Yang Gemerlapan Bukan Hanya Pub

Gambar dari
Gramedia Pustaka Utama.
Judul :
Kira-kira
Pengarang : Cynthia Kadohata
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Selalu ada yang gemerlap—kira-kira—di balik semua ini.

Dikira, novel ini bercerita mengenai suatu hal yang belum bisa diprediksi secara akurat—jadi masih kira-kira. Maka saya mengira-ngira, kira-kira novel berjudul “Kira-kira” ini lebih jelasnya bercerita tentang apa ya? Apa yang dikira-kira di dalamnya? Ada berapa banyak perkiraan? Ih, sepertinya bakal lucu deh ceritanya. Kira-kira lucunya bagaimana ya…

Namun ternyata “Kira-kira”memang judul asli novel ini. Dalam bahasa Jepang, kira-kira berarti gemerlap.

Ini cerita tentang Katie yang menceritakan tentang kakak perempuannya—Lynn. Katie sangat mengagumi Lynn. Lynn selalu bisa menemukan keindahan di balik sesuatu. Bintang. Laut. Mata orang. Semua disebutnya “kira-kira”. Lynn juga baik hati dan cerdas.

Tidak hanya tentang Lynn, Katie menceritakan juga tentang kehidupan keluarganya sebagai keturunan Jepang di Amerika pada tahun 1950-an. Pada waktu itu, rasisme masih marak. Kebanyakan keturunan Jepang hanya mendapatkan pekerjaan di penetasan ayam. Kedua orangtua Katie harus bekerja keras setiap hari. Ibu Katie bahkan bekerja dengan menggunakan popok supaya kebutuhan untuk “itu” tidak sampai harus mengganggu pekerjaannya.

Dinamika kehidupan Katie sebetulnydimulai dari pindahnya mereka sekeluarga ke suatu negara bagian. Kedua orangtuanya hendak mencari penghidupan baru. Lynn mulai jadi abege sehingga membuat Katie merasa tersisihkan. Kehadiran Sammy, adik mereka berdua, cukup menghibur Katie. Lalu Lynn terkena limfomia.

Agak mirip leukemia—limfomia berhubungan juga dengan sel darah. Penyakit ini membuat Lynn jadi terlihat tidak “hidup” lagi. Ia makin lemas dari waktu ke waktu. Selain karena kasih sayangnya pada sang kakak, Katie turut merawat Lynn karena kedua orangtua mereka sibuk bekerja. Namun perilaku Lynn juga jadi berubah karena penyakitnya.

Pengalaman dengan Lynn—yang akhirnya tiada, ups, maaf spoiler—menjadikan Katie terdewasakan. Bagaimana cara Lynn memandang hidup—sebelum mulai terkena penyakit—akan selalu menginspirasinya.

Kiranya, akan lebih menginspirasi apabila Lynn berusaha untuk tetap bersikap sama antara sebelum dan sesudah terkena penyakit. Kesannya lebih dramatis. Namun alur novel ini ternyata begitu realistis.

Subplot lain adalah perlawanan yang dilakukan ayah Katie terhadap pemilik penetasan tempatnya bekerja. Namun sang ayah, tidak hanya kita bisa belajar etos kerja keras ala orang Jepang darinya, tetap bertanggung jawab atas tindakannya. Jelas novel ini mengangkat sebuah isu pertentangan kelas pada waktu itu. Tapi apalah saya membicarakan tentang itu padahal saya tidak menguasainya.

Novel ini bergenre SEMUA UMUR. Ya, novel ini memang aman untuk dibaca semua umur. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama yang masih anak-anak—Katie. Menakjubkan sekali bahwa pada umur segitu ia sudah mampu menyerap pelajaran hidup. Boleh dibandingkan dengan sang legenda, “To Kill a Mockingbird”, namun “Kira-kira” adalah versi yang lebih sederhana dan unik. Tokoh utama novel ini adalah si korban rasisme itu sendiri. Jika yang biasa diangkat adalah negro, maka kali ini adalah seorang Jepang yang lahir di Amerika.

Kita tahu Jepang adalah negara yang amat maju. Ia juga pernah menjajah banyak negara dan ingin jadi superhero Asia. Namun posisinya tidak selalu di atas ternyata. Keadaan susah orang Jepang di Amerika seperti ini diungkit juga dalam komik “Yokohama”. Bagus loh—meski saya tidak benar-benar membacanya.

Ada yang bilang kalau novel berembel pemenang Newberry Medal ini membosankan (justru saya pinjam novel ini dari dia!). Saya kira ini masalah ketahanan membaca saja. Menurut saya, seandainya novel ini difilmkan maka film tersebut akan ditayangkan oleh Metro TV pada Sabtu malam.

Ada novel Cynthia Kadohata lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—kalau tidak salah dari penerbit yang sama pula. Saya tidak memerhatikan judulnya. Menilik sekilas sinopsis belakang sampulnya, tokoh sentralnya adalah Jepang-Amerika juga.

Terakhir, ada berapa kata “kira” dalam tulisan ini, coba…?

Selasa, 13 September 2011

fiksi

aku ingin tenggelam di dunia yang tidak ada.
jika aku dan kau harus memegang tali,
mari menjalin fiksi di antara kita.

11-9-11
sepanjang kawasan karst dunia

Kamis, 08 September 2011

Orang Gila di Taman Kota

                 Ibu selalu melarangku main ke taman kota. Di sana banyak orang gila. Maka setiap kali aku melewati taman kota, aku hanya dapat memandang kehijauan tersebut dari jauh. Ketika aku menangkap sosok-sosok manusia, mereka pasti orang gila.

                Aku belum pernah memasuki taman kota, sejak kecil. Sampai sekarang, sampai aku semakin stres berada di rumah.

                Di usiaku yang sekarang, aku merasa malu untuk menggunakan uang orangtuaku. Seharusnya aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Tapi aku terantuk tugas akhir. Aku tidak bisa ke mana-mana dulu. Aku harus menyelesaikannya. Aku membutuhkan tempat untuk berkonsentrasi memikirkan itu. Rumah bisa jadi tempat yang nyaman, tapi keluarga tidak selalu. Maka sumber kebahagiaan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki untuk melipur lara. Kamu harus memilikinya di mana-mana.

                Salah satu sumber kebahagiaanku adalah Irene. Dia gadis berambut pendek ikal dengan wajah klasik. Tawa riangnya menghiasi hari-hariku. Kami suka bersepeda bersama. Suatu kali kami berhenti sebentar di seberang jalan tepi taman kota. Ia memandangi kehijauan itu dan berkata, “Aku pingin skripsi di sana.”

                Saat itu aku tak peduli. Ia memang mahasiswi Fakultas Biologi. Mungkin saja kali lain ia akan berubah pikiran.

                Tapi tidak. Di suatu hari yang cerah, ketika aku menjemputnya di kampusnya, di lorong yang benderang itu ia menghampiriku sembari mendekap map biru. Matanya bercahaya saat ia bilang bahwa judul skripsinya sudah tembus. Ia akan segera mengadakan penelitiannya di taman kota. Skripsinya tentang keanekaragaman hayati di taman kota. Serasa ada halilintar membayangku dalam kegelapan.

                “Irene, jangan ke taman kota!” kataku.

                “Kenapa?”

                “Di sana banyak orang gila. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?”

                Ia terperangah. Lalu melewatiku begitu saja. “Kalau enggak mau bantu, ya sudah.”

                Aku menoleh lantas memandangi punggungnya yang mulai menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengejarnya.

                Aku menjadi marah pada diriku sendiri sesudah itu. Mengapa aku begitu takut untuk mendekati taman kota? Dengan energi kemarahanku itu, kukayuh sepeda ke arah taman kota. Begitu sampai, aku hanya bisa terpekur di tepinya. Aku melihat seorang pria berambut gimbal. Ia berjalan tanpa memakai kain sehelai pun. Segera aku mengalihkan pandang ke sisi lain taman. Aku melihat keluarga gelandangan sedang bercengkerama di atas rumput. Mengapa harus ada tempat seperti ini—penampungan warga yang tidak diinginkan?

                Aku menjauh dari tempat itu dengan hati yang tidak puas. Aku mencemaskan Irene-ku. Ia bilang ia akan mulai mengambil data minggu depan bersama teman-temannya. Lagipula kalau aku tidak ikut membantunya pun tidak mengapa, katanya, karena aku mahasiswa teknik yang tidak mengerti apa-apa soal lingkungan hidup.

                Sembari mengayuh sepeda kembali ke rumah, pikiranku bertanya-tanya lagi. Mungkin bukan salah taman kotanya. Taman kota mungkin bisa menjadi tempat yang aman bagi Irene. Tapi mengapa harus ada orang gila di dalamnya? Mengapa orang gila suka berada di sana? Benar kata ibuku. Taman kota adalah tempat orang gila! Semoga Irene dan teman-temannya baik-baik saja.

***

                Suatu kali Irene mengajakku jalan-jalan. Ia ingin ke taman kota bersamaku, tapi tidak untuk mengambil data. “Jangan ke sana, Irene. Ada orang gila,” kataku.

                “Ah, mereka enggak ngapa-ngapain kok,” sergah Irene. “Kamu penakut sekali.”

                Aku diam saja hingga kami sampai di sana. Begitu sampai, Irene langsung duduk di salah satu bangku sementara aku mengawasi keadaan di sekitar. Ada orang gila yang itu lagi. Ada juga seorang wanita yang duduk di tepi kali. Tampaknya ia stres. Tidak sedikit pula orang-orang yang tampak seperti gelandangan. Aku merasa was-was.

                Akhirnya aku ikut duduk di sampingnya. “Aku lagi butuh ketenangan,” katanya. Ia menengadah dan tampak cantik sekali. Namun itu tidak cukup untuk mengusir kewaspadaanku. Aku tetap awas terhadap sekeliling kami. Begitu ada orang tak beres yang mendekat, aku akan langsung menyeret Irene ke luar.

                Irene bercerita mengenai skripsinya yang membuatnya stres. Ia mempunyai suatu gagasan untuk meningkatkan jumlah pengunjung taman kota, namun pemerintah kota ternyata tidak mempunyai kebijakan untuk itu. Semangatnya untuk menggarap skripsi entah mengapa jadi surut. Ia malah jadi lebih bersemangat untuk mengkaji kebijakan mengenai pengelolaan taman kota—padahal itu bukan disiplin ilmunya. “Mana bisa meningkatkan jumlah pengunjung kalau di taman kota banyak orang yang mengkhawatirkan seperti ini?” kukatakan itu dalam hati saja. Sekarang memang aku sudah berhasil untuk tidak menyalahkan taman kotanya. Aku masih tidak habis pikir mengapa orang-orang stres suka sekali berada di sini?!

                Sore itu berakhir dengan baik-baik saja. Tidak ada seorang gila pun yang mendekati kami. Irene tersenyum padaku sebelum ia bangkit dari tempat duduknya. Mungkin ia senang karena akhirnya aku mau juga diajak masuk ke dalam taman. Ia mengajakku untuk ke sini kali berikutnya untuk membantunya mengambil data.

                Aku agak susah menolaknya. Bagaimanapun ia sudah membuktikan bahwa kami aman saja selama beberapa jam di sana. Bahkan kami sempat mengitari kali yang membelah taman  ini. Dan tidak terjadi apa-apa pada kami. Setiap orang tampak sibuk dengan dirinya masing-masing saja. Namun aku tetap waspada kalau tahu-tahu ada yang mendekati kami dan bertingkah yang tidak-tidak.

                Pada hari yang dijanjikan, aku sampai duluan. Aku duduk di bangku tempat kami pernah duduk dulu. Aku sudah siap dengan topi pet kalau-kalau terik sinar matahari bakal mengganggu penglihatanku. Namun tajuk pepohonan yang menaungi taman ini rupanya cukup lebat untuk menghalangi sengatan sinar matahari. Memang masih terlihat titik-titik cahaya menerobos celah-celah tajuk, namun itu tidak mengganggu.

                Aku lihat arlojiku. Sudah lima belas menit aku menunggu Irene. Aku menoleh kanan dan kiri karena tahu-tahu kecemasanku akan orang gila datang lagi. Tapi setiap orang tampak di tempatnya masing-masing. Ketika ada yang berjalan mendekat, aku menyiapkan pertahanan diriku. Namun ia lewat begitu saja tanpa mengacuhkanku.

                Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memainkan ponselku. Mengapa Irene lama sekali? Jangan-jangan ia diculik orang gila di tengah jalan? Sebuah sms yang datang kemudian menjawab tanyaku. Irene tidak jadi bisa mengambil data hari ini. Ia harus menemani orangtuanya ke salon.

                Sesaat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pun bangkit. Dan tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku akan mengitari kali saja—seperti yang aku dan Irene lakukan dulu. Pulang ke rumah bukan pilihan yang bagus karena keluargaku berisik sekali. Aku sedang bermasalah dengan ibuku juga. Pergi ke kampus malah hanya akan mengingatkanku akan tugas akhir yang aku belum sudi lagi menyentuhnya. Yang aku butuhkan sebetulnya pergi ke suatu tempat di mana aku bisa menenangkan diri!

                Maka aku berjalan menyusuri tepi kali. Aku melihat ada seorang wanita mencuci pakaian di belakangku. Aku juga melihat beberapa orang—secara terpisah—tidur-tiduran di bangku taman. Ketika melihat gelandangan, aku memlih jalan yang lain. Tidur di atas bangku menjadi sesuatu yang menggiurkan. Aku pun mencari bangku yang kosong dan cukup panjang untuk menyelonjorkan tubuhku.

                Ketika berbaring, aku melihat titik-titik cahaya pada tajuk pepohonan di atasku. Tidak menyilaukan sama sekali. Angin sejuk semilir di atas wajahku dan kuhirup segarnya dalam-dalam. Cicitan burung-burung melenakanku—seolah mengantarku ke alam lain. Aku pun tertidur tanpa bermimpi. Sedikit-sedikit aku merasa terjaga hanya untuk merasakan buaian angin dan suara alam. Ketika bangun, aku gelagapan. Kutengok arloji. Baru setengah jam aku lelap padahal, tapi serasa sudah lama sekali.

                Aku putuskan untuk kembali ke rumah dan mengerjakan tugas akhirku. Entah mengapa pikiranku terasa plong sehingga aku siap untuk itu. Aku mungkin akan menghadapi keluargaku yang rewel sesampainya di rumah, namun pikiranku tidak lagi mempermasalahkan itu.

                Aku rasa aku tahu mengapa para orang gila, orang stres, dan gelandangan itu senang berada di dalam taman kota. Ya, itu bisa jadi karena mereka tidak punya rumah—sebuah bangunan kotak-kotak dengan berbagai barang buatan manusia menyesakinya. Tapi untuk apa mereka punya rumah kalau mereka tidak menemukan tempat di mana pikiran mereka dapat beristirahat? Sepertinya itulah yang kami semua butuhkan untuk dapat meredam kerasnya tekanan hidup.

                Mungkin aku akan ke sana lagi untuk menyegarkan pikiranku kali lain aku butuh.

 

2 September 2011

Rabu, 07 September 2011

5W1H tentang TORCH


Apa itu TORCH?
          TORCH adalah singkatan dari Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex. Keempatnya merupakan penyakit infeksi yang menyerang susunan syaraf pusat.
         
Siapa yang rentan terjangkit TORCH?
TORCH dapat menyerang berbagai kalangan usia dan jenis kelamin, tergantung pada sistem imun yang dimiliki. Infeksi umumnya terjadi pada perempuan dengan tingkat stres yang tidak stabil.

Di mana saja penyebaran TORCH?
 Penyebaran parasit Toxoplasmosa gondii yang sangat luas, yaitu dari daerah Alaska hingga Australia, memungkinkan mekanisme penularan menjadi sangat cepat. Pada populasi dengan keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60 – 70% orang dewasa menunjukkan hasil pemeriksaan seropositif terhadap infeksi CMV. Pada keadaan ekonomi yang buruk atau di negara berkembang, lebih dari atau sama dengan 80  - 90% masyarakat terinfeksi oleh CMV (Emery and Griffiths, 2002, dalam Anindya, 2010).

Mengapa TORCH penting untuk dicegah dan ditangani?
Tanpa kita sadari, media penularan TORCH merupakan hal yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh, hewan peliharaan, maupun makanan yang tidak dimasak dengan baik. Tanpa sistem imun yang baik, virus ini akan dengan mudah aktif dalam tubuh kita dan menimbulkan akibat serius.
Infeksi Toxoplasmosis pada ibu hamil seakan tidak menimbulkan pengaruh pada ibu itu sendiri, tetapi berakibat serius bagi janin atau bayinya, seperi abortus, prematuritas, hingga retardasi mental. Gejala yang sering terjadi adalah munculnya flek sepanjang kehamilan, janin di dalam rahim tidak berkembang, hamil anggur, atau bayinya meninggal pada usia kandungan 7-8 bulan.
Rubella dikenal juga sebagai campak Jerman. Infeksi virus ini merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa. Namun apabila terjadi pada ibu hamil, virus ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Ibu hamil tidak mengalami keguguran atau bayinya meninggal saat lahir, tetapi yang sering terjadi adalah bayi yang dilahirkan mengalami glukoma atau kebutaan, kerusakan pada otak atau pengapuran pada otak, bibir sumbing, tunarungu, dan sulit bicara.
Infeksi primer virus CMV terjadi pada usia bayi, anak-anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual aktif. Penderita infeksi primer tidak memperlihatkan gejala yang khusus, tetapi virus tetap hidup dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun. Bagi seorang ibu yang mengidap CMV, pada saat hamil ia akan mengalami keguguran terus menerus atau bayi yang dikandungnya lahir dalam keadaan cacat fisik. Namun hanya sekitar 5 hingga 10 bayi yang terinfeksi CMV menunjukan kelainan sewaktu lahir.
Virus Herpes Simplex atau HSV dibedakan menjadi HSV1 dan HSV2. Bagian yang disukai HSV1 adalah kulit dan selaput lendir mukosa di mata atau mulut, hidung dan telinga. Sedangkan HSV2 di kulit dan selaput lendir pada alat kelamin dan parianal. Wanita hamil yang terinfeksi HSV2 harus ditangani secara serius karena virus dapat menembus plasenta dan menimbulkan kerusakan neonatel sampai kematian janin. Selama belum dilakukan pengobatan yang efektif, perkembangan infeksi ini sulit diramalkan. (Irwan, 2007)
Wanita yang terjangkit Rubella, CMV, atau Herpes dapat menularkan penyakitnya itu kepada suaminya. Sulitnya terjadi kehamilan pada wanita disebabkan oleh karena virus tersebut memperburuk kualitas spermatozoa/sperma (kekentalannya berkurang). Volume sperma yang seharusnya 5 cc menjadi 3 cc dan gerakannya pun sudah berubah.

Bagaimana cara membuktikan apakah kita terjangkit TORCH atau tidak?
Indikasi TORCH dibuktikan dengan diagnosis laboratorik yaitu memeriksa serum darah untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG. Angka-angka yang terbaca pada hasil pemeriksaan laboratorium terhadap serum darah, apakah positif atau negatif, hanya ditemukan sebatas pada penyakit-penyakit infeksi yang bisa tertitrasi, yakni akibat infeksi TORCH.
Meski angka-angka sudah didapat, kepastian mengenai infeksi ini masih harus dibuktikan dengan pemeriksaan lanjutan, seperti biakan kuman dan pemeriksaan cairan amnion.
Sayangnya, pemeriksaan biakan virus belum bisa dilakukan di Indonesia sehingga diagnosis adanya infeksi TORCH hanya berdasarkan hasil laboratorium yang belum tentu 100% benar.
Tak jarang dokter menganjurkan pasien melakukan pemeriksaan ulang ke laboratorium berbeda karena sangat mungkin pemeriksaan di satu laboratorium berbeda dengan hasil di laboratorium lain. Perbedaan itu bisa diakibatkan oleh faktor mesin pemeriksanya maupun akibat penurunan atau peningkatan titer IgG dan IgM sesuai kondisi terkini pasien. (Puspayanti, 2009)
          Selain itu, pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pun pengobatannya.

Kapan waktu yang tepat untuk mencegah dan menangani TORCH?
          Tidak ada kata nanti untuk menjaga kesehatan diri. Pencegahan dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti memasak daging hingga matang, menghindari kontaminasi bahan mentah terhadap makanan matang, mencuci sayur dan buah yang akan dikonsumsi, membersihkan tangan dengan sabun sebelum makan, hingga menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan dan tidak memberinya makanan mentah.
          Saat ini telah banyak penanganan TORCH berupa pengobatan klinis maupun pengobatan alternatif. Namun yang tidak kalah penting adalah menjaga kondisi psikologis agar tetap stabil. Bergabung dengan komunitas yang kondusif dapat menjadi salah satu cara untuk menguatkan psikis. 
 
Kamu peduli TORCH? Bergabunglah di
http://www.facebook.com/groups/pemudapedulitorch/

Selasa, 06 September 2011

Menimbang Buku dengan Tulisan (Bukan dengan Timbangan!)


Judul buku : Teknik Penulisan Timbangan Buku
Pengarang : P. K. Poerwantana
Penerbit : CV. Aneka Ilmu Semarang
Tahun : 1984
Halaman : iv; 20
Harga : 400 rupiah?!

Di atas adalah poin pertama dalam metode penulisan timbangan buku.

Memang buku ini memiliki judul yang lucu. Kali pertama mendapatinya, saya langsung membayangkan sebuah timbangan dengan buku di wadahnya. Tidak, bukan itu. Jangan bayangkan secara harfiah. Toh pada halaman 3 buku ini dijelaskan bahwa, “Timbangan buku dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “Recentie” artinya ialah wawasan akan baik atau buruknya suatu buku.” Oh, jadi begitu rupanya asal mula kata “resensi” dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia!

Penimbang-buku adalah sahabat penulis-buku—terutama penulis-buku yang baru hendak mengorbit. Timbangan buku a.k.a. resensi mengacu pada buku yang baru terbit agar mendapat perhatian dari mereka yang belum membaca. Peran penimbang-buku adalah memberi nilai atau harga terhadap isi buku sehingga orang tertarik untuk membacanya.

Tulis pengarang dalam halaman 4, “Di Indonesia yang masih terasa sering dilupakan ialah menghargai karya orang lain. Dengan kebiasaan adanya resensi buku dapat berarti mulai menghidupkan adanya rasa mau menghargai karya orang lain.” Perlu diingat bahwa buku ini ditulis tahun 1984—silahkan sesuaikan pernyataan di atas dengan kenyataan kini.

Lanjutnya, “Pengakuan yang obyektif di mass-media berarti memberi hormat, memberi penghargaan, mengorbitkan (dalam arti postif) karya seseorang, sehingga semakin menjauhkan adanya kebiasaan negatif dalam ngrasani atau hanya mencela saja karya orang lain.”

Objektif sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005 (edisi ketiga), berarti “mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Menurut pengarang, metode yang digunakan untuk menimbang buku adalah deskriptif-analitis. Artinya, buatlah “lukisan dalam potret kecil suatu buku” yang kemudian dianalisis secara menyeluruh dan diberi konklusi. Setelah menuliskan poin pertama sebagaimana yang telah saya ungkap di atas, berikut adalah yang perlu diperhatikan dalam timbangan buku.

Pengarang

“Buku yang mendekati baik akan “mencantumkan riwayat singkat” pengarangnya dan karya-karya yang pernah dihasilkan” (halaman 6). Aduh. Buku kita tidak mendekati baik kalau begitu, jika kita baru menerbitkan buku pertama sehingga kita belum punya daftar “karya-karya yang pernah dihasilkan”. Terlepas dari itu, memang hal menarik bukan untuk mengetahui latar belakang seorang pengarang? Ini seperti kita membaca rubrik “SOSOK” di harian KOMPAS. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain melalui rubrik itu.

Namun, “memasukkan nama pengarangnya dalam salah satu alinea tinjauan buku, tidak dimaksudkan sebagai lukisan biografi pengarangnya.” Menurut pengarang, ini hanya sekadar “intermeso yang penting”—tambahan: “Tidak boleh dilupakan”. Jika ada buku yang tidak mencantumkan riwayat pengarang, maka kita perlu untuk tetap mengungkapkannya melalui berbagai isi di dalam buku—contohnya dalam “Prakata”. Pengarang menyebut aktivitas ini dengan “mengerling pengarang”.

“Mengerling pengarang” rupanya memiliki cukup banyak manfaat, di antaranya: mencocokkan keahlian pengarang dan buku yang ditulisnya; mengangkat karya pengarangnya/beserta pengarangnya (tuh, ini mengapa penimbang-buku adalah sahabat penulis-buku); mengenalkan sekadar karya lain yang semacam, dan; mengingatkan pengarang tetap bertanggung jawab pada bobot karyanya.

Abstrak

Bagi mereka yang hendak skripsi, membuat abstrak alias ringkasan atau intisari, harus jadi keterampilan yang wajib dikuasai. Abstrak “memuat informasi singkat tentang isi suatu penulisan dalam 500 kata” (halaman 7).

Dalam resensi, ruang lingkup abstrak bisa lebih luas. Abstrak bisa saja sampai menyinggung sampul buku dan jenis kertas yang digunakan.

Review

Review berarti tinjauan. Menurut pengarang, “tinjauan berarti hanya merupakan laporan saja tanpa hak memberi suatu komentar terhadap buku yang sedang ditinjau” (halaman 7). Kita masih bisa menyumbang saran-saran untuk perbaikan dalam review. Dengan demikian sifat review jauh lebih ringan daripada resensi. Review dibuat sebelum suatu naskah dikeluarkan sedang resensi dibuat setelah penerbitannya. Olala, jelas kini apa bedanya review dengan resensi!

Evaluasi dan kritik

“Evaluasi ialah memberi nilai akan baik atau buruknya sesuatu hal. Dalam hal ini menyangkut suatu nilai atau bobot suatu buku dengan memberikan standar tertentu.” Sedang “kritik adalah uraian tentang suatu kelemahan yang terdapat dalam buku. Seorang kritikus biasanya perlu bahan yang sesuai antara keahliannya dan bahan yang menjadi kritikan. …. Dengan demikian diharapkan seseorang yang sedang meresensi suatu buku tidak jauh bertindak sebagai kritikus. Diharapkan hanya memberikan komentar akan baik dan buruknya suatu buku dengan lebih menekankan pada yang positif” (halaman 8).

Seorang peresensi sebaiknya mencari perbandingan dari buku yang semacam sebagai tolok ukur penilaian.

Konklusi

Konklusi bisa berupa judul timbangan buku, bisa pula kutipan yang menjadi ciri khas buku tersebut. Untuk penutup sendiri, bisa ditambahkan koreksi redaksionil seperti salah cetak.

Pengarang menyarankan agar buku yang dipilih untuk ditimbang adalah “yang paling dekat dengan keahliannya/jurusannya sehingga memudahkan dalam memberi komentar” (halaman 11).

Timbangan buku bukanlah untuk menentukan harga mati sebuah buku, melainkan hanya sebagai arahan. Pengarang menyertakan dua contoh timbangan buku yang sudah pernah dimuat di media massa sebagai contoh untuk dipelajari. Di bab II juga terdapat cara mengirimkan resensi ke penerbit (majalah dan surat kabar). Cara tersebut mungkin masih relevan untuk digunakan setelah dua-puluhan tahun sejak buku ini terbit.

Jadi, terserah mau menimbang buku dengan timbangan betulan atau dengan tulisan—sebagaimana yang sudah saya nukil di atas. Menimbang dengan apapun tampaknya akan sama-sama memberi manfaat bagi calon pembaca. Jelas penulis-buku akan merasa senang juga jika bukunya dibaca, bukan?

Omong-omong, sudah ada belum ya kios/toko/stand-di-pameran buku yang menjual buku secara kiloan? Ya, itu, dengan timbangan.

Sabtu, 03 September 2011

Best of the Night Writing Session edisi 1 September 2011 dengan tema: RAMBUT

...jatuh kepada...


oleh D*** S******** A*********


Waha.


Tengzu... Tengzu... *menyambut aplaus dengan dialek Dieng*

Tengah malam kemarin, Zka sms saya untuk mengabarkan soal di atas. Dia juga yang tahun lalu mengabarkan kalau cerpen saya dimuat di majalah *******. Padahal sebelumnya saya tidak tahu lo, mengenai keduanya.... Terima kasih, teman, mohon dukungannya selalu. Mungkin dia juga yang besok lebih dulu menemukan novel saya di Gramedia, hehe.

Pertama kali saya kirim karya ke Writing Session berupa lirik lagu. Dimuat dan sekadar itu saja. Ini kali kedua saya berpartisipasi--kali ini baru cerpen. Cerpen Zka sendiri sudah lebih dulu dimuat di sana. Dia senang lo kalau ada yang mengapresiasi karyanya. ^^ Baca yuk...


oleh Rizka Andina


N. B.: Cerpen "Rambut Cakrawala" terilhami dari kisah teman saya. Sebagian adegan dalam cerpen ini nyata sedang sebagian lagi adalah prasangka saya. Saya sendiri bermain jadi cameo dalam cerpen itu... :p Yang mana yaa...

Jumat, 02 September 2011

Teh Manis

ini satu tulisan yang sempat saya buat waktu KKN,


Di Dieng, saya sempat mengalami lemas-lemas lagi ketika menstruasi. Saya pernah mengalami masa semacam ini sebelumnya—baik sedang menstruasi atau tidak—dan tersembuhkan sejak saya praktek di Getas selama 25 hari. Di sana, jadwal makan saya selalu teratur dengan gizi lengkap. Saya merasa jadi orang yang kuat sepulangnya dari sana. Sejak itu saya menyadari pentingnya makan teratur dan, terutama, sarapan. 

Ketika sedang lemas-lemas begitu, saya sms Bunda Euis—warga Desa Taman Jaya, Ujung Kulon, yang beserta keluarganya telah amat baik mengurus kami sekelompok sewaktu praktek di sana. Saya sempat berpikir saya kembali lemas-lemas begini juga karena selama KKN ini jadwal sarapan saya jadi kembali tidak teratur dan kecukupan gizinya pun tidak menjamin. Tapi bisa juga karena hal lain. Berikut balasan Bunda, “Darah rendah kali Mbak… Makanya jaga kondisi, pola hidup sehat harus diamalkan… Meski Mbak Teteh agak menelantarkan isi perut (saking asiknya KKN tuuuh), darahne ditensi ya Sayang…”

Saya jadi ingat. Dulu juga saya pernah mengungkapkan hal yang sama pada bunda yang lain—kali ini salah seorang anggota FLP Yogyakarta yang juga beken disebut Bunda. Bunda yang satu ini juga menengarai saya darah rendah. Akibatnya, saya langsung beli Sangobion. Efeknya saya sudah lupa. Ini terjadi sebelum saya praktek di Getas.

Kata Bunda Euis lagi, “Diusahakan banyak minum teh manis ya Sayang…”

Pada kesempatan menonton matahari terbit di Bukit Sikunir, Desa Sembungan, saya bukan hanya lemas tapi juga kompilasi antara maag, masuk angin, dan gejala diare. Pada hari sebelumnya, saya hanya makan beberapa keping biskuit Togo, tempe kemul, dan entah apa saat pagi menjelang siang. Siang, saya hanya makan beberapa iris tomat dan timun karena mual. Menjelang sore, saya bisa makan sedikit nasi uduk, ayam, dan sambal kacang. Malam, saya makan mi goreng. Sepanjang perjalanan kembali dari Bukit Sikunir pun saya sesekali menahan perih di dalam perut. Seorang teman mengatakan pada saya untuk minum teh manis.

Membuat teh manis di pagi hari mulanya saya anggap sebagai kebiasaan orang tua. Bude suka membuat teh manis di pagi hari. Papa juga suka melakukannya untuk kami—tapi saya lupa, pagi atau sore. Dan saya pikir saya tak perlu menggantikannya untuknya. Berdasarkan hasil penelusuran saya di internet, terlalu banyak mengonsumsi teh itu tidak baik. Maka setiap kali Papa menyuruh saya untuk minum teh manis buatannya, saya akan meminumnya dengan berat hati—selain karena Papa suka membikinkan teh dari gelas bekas pakai sebelumnya.

Kini, saya jadi mengerti betapa berartinya segelas teh manis di pagi hari—terutama apabila tidak tersedia sarapan tepat waktu dan tepat gizi.

ditulis pada 31 Juli 2011, 10.39 WIB
 sumber gambar

Kamis, 01 September 2011

Selamat datang, September!

Di bulan yang ceria dan milik kita bersama ini, bertepatan dengan momentum lepasnya kita dari bulan Ramadhan (:'(( ), saya ingin memulai beberapa kebiasaan baru. Apa ya? Salah satunya adalah posting tulisan di blog setiap hari. Bisakah? Ya setidaknya setiap kali konek ke internet dah.

Daripada entri tanggal 1 September tidak keisi, mari kita mulai dengan sesuatu yang baik yaitu kutipan-kutipan motivasi!

Ehm, entah memang bisa kasih motivasi apa tidak, yang jelas ini asli saya karang untuk diri saya sendiri pada hari itu juga di bundel-catatan-harian-LKJ saya.


"Mungkin aku harus belajar menulis dari awal dan enggak beranggapan kalau aku sudah bisa menulis sebelumnya."

"A passion is something that can keep you alive."

"Rahasia berteman adalah letakkan bukumu dan pergi ajak orang lain jalan-jalan."

"Berubah mungkin saja semudah mengganti cara pandang."

Semoga kutipan-kutipan* ini tidak terlalu bodoh untuk dipublikasikan. Yang jelas merekalah yang bakal menggerakkan saya mulai September hingga seterusnya. Jadi, Ramadhan tahun depan, lihatlah bahwa saya sudah jadi orang yang lebih baik kala menyongsongmu! Insya Allah.

* (enggak ngutip sih sebetulnya, emang jumlah kalimatnya cuman segitu dari dalam pikirannya juga) 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain