sumber gambar
Ruang
Senin, 26 September 2011
Kotaku, Inspirasiku
sumber gambar
Kamis, 15 September 2011
Semangat
Lagi-lagi dia minta semangat. Aku raih tangannya. Aku tepukkan telapak tanganku ke telapak tangannya. “Nih, aku kasih SEMANGAT!” Dia menarik tangannya lagi dan menatapku hampa. Aku tersenyum—berpura-pura kalau aku memang bersemangat. Barangkali kepura-puraan positif memang berdampak nyata. Bagaimanapun, aku mengerti bahwa semangat adalah modal vital dalam menghadapi semester baru yang sepertinya bakal sangat bikin rebek ini. Betapa akan sangat tersiksa jiwa ini kalau harus menjalankan sesuatu tanpa semangat.
Dia menghela nafas, menopang dagunya dengan kepalan tangan, sembari melepas pandang ke orang-orang.
“Enggak apa-apa kalau kamu enggak punya semangat, Ta,” kataku. “Aku pernah main ke museum TNI di Jogja. Di sana ada tulisan tentang I Gusti Ngurah Rai.” Dengan ejaan lawas, isi tulisan tersebut kira-kira sebagai berikut, “Almarhum I Gusti Ngurah Rai itu, meskipun badannya kecil, pembawaannya lemas dan tidak bersemangat, tapi cita-citanya tinggi dan besar…” Aduh, aku lupa kelanjutannya, namun, “Akhirnya beliau berhasil mengusir tentara Belanda dari Bali.”
Sepertinya dia tidak terkesan dengan ceritaku. Aku pikir lagi, apa gunanya kita bercita-cita tinggi kalau tidak punya semangat untuk mewujudkannya?
Selanjutnya kami malah mengomentari orang yang menarik perhatian kami.
“Lihat tuh, si Diana. Dia yang kemarin baru dapet penghargaan dari kampus—“
“Beuh… IPK-nya, dewa abis…”
“Enggak cuman itu Ta, dia juga ikut yang simulasi PBB itu loh, sering ke luar negeri…”
Lewat lagi yang lain.
“Eh, itu si Sansan, baru dari Ceko kemarin.”
“Katanya dia sempet main ke negara-negara lainnya juga gitu ya?”
“Iya, aku udah denger,” kataku dilanjutkan mengabsen sejumlah negara di Eropa yang berdekatan dengan Ceko.
“Beuh, udah mah mahasiswa berprestasi fakultas…”
“PKM-nya juga menang kemarin…”
Lewat lagi yang lain.
“Itu tuh, si Anggi, besok mau ke Kalimantan. Penelitian dua bulan gitu katanya.”
“Oh ya, dia juga dulu pas masih tingkat awal ke Turki terus dapet penghargaan apa gitu ya?”
Lewat lagi yang lain.
“Eh, itu tuh si Dara. Dia penghasilannya banyak loh… Kerja sambilan di macem-macem tempat loh dia. Kayaknya asik gitu kerjaannya dia.”
“Oh iya? Oh pantes… Aku pernah denger dia beli mobil pakai uangnya sendiri gitu.”
Sementara menunggu orang yang patut dibicarakan lagi, aku terpikirkan akan nasibku dengan temanku itu. Entah kapan IPK kami bisa mencapai cum laude—mungkin jatah waktu kami di perguruan tinggi ini keburu habis sebelum itu terjadi. Kami belum pernah ke luar pulau sama sekali untuk kepentingan akademis—boro-boro ke luar negeri. Kami tidak begitu aktif berorganisasi karena jadwal kuliah dan praktikum saja sudah cukup menyita perhatian kami. Kami optimis lulus empat tahun lebih. Kami tidak pernah sempat ikut kompetensi penelitian. Kami juga tidak cukup punya waktu dan keterampilan untuk mencari tambahan uang saku.
“Kalau kamu jadi mereka, kamu bakal lebih bersemangat enggak, Ta?”
“Ng? Enggak tahu. Kamu gimana?”
“Mungkin iya. Kalau aku lebih pinter, berprestasi, bisa ngehasilin banyak uang dari usaha sendiri, kan jadi banyak hal yang bisa aku banggain dari diri aku,” jawabku spontan saja. Kataku lagi, mengutip entah kalimat Sponge Bob atau Patrick dalam episode Sponge Bob-bau-mulut, “Kan ada kekuatan pada rasa bangga. Kekuatan itu sama kayak semangat enggak sih?”
Dia hanya memandangku sebentar. Lalu lepas lagi matanya ke samudra mahasiswa.
“Eh, liat itu si Ananda…”
Aku mengangkat daguku. Terlihat seorang cewek bertubuh pendek. Jalannya santai dan bibirnya membentuk senyum.
Aku tidak ingat dia pernah menorehkan prestasi apapun. Sepertinya dia termasuk kasta mahasiswa biasa-biasa saja macam kami. Fisiknya tidak begitu rupawan, keluarganya juga bukan dari kalangan menengah ke atas. Memang sih, setahuku, IPK-nya sedikit lebih tinggi dari punyaku. Selebihnya, aku tidak tahu apa lebihnya ia dariku. Badanku bahkan lebih tinggi dari dia!
“Seneng deh liat si Nanda,” suara teman di sebelahku lagi.
“Kenapa? Kayaknya dia enggak sehebring orang-orang yang tadi kita omongin deh.”
Tapi tetap saja ada yang bisa kami bicarakan tentang seseorang. Aku jadi merasa geli dengan persamaan kami, para mahasiswa sekasta. Kami sama-sama jarang jadi asisten praktikum. Kami sama-sama pernah coba ikut PKM dan gagal. Kami sama-sama kerap asik dengan dunia sendiri hingga melalaikan organisasi. Kami sama-sama tidak piawai membuat esai untuk mengikuti konferensi apapun. Kami sama-sama tidak berprestasi. Entah kapan kami bisa membanggakan negeri.
Pikiran ini jadi kian menyurutkan semangatku. Mendadak geliku sirna juga. Tapi teman di sebelahku ini malah jadi kelihatan tambah bersemangat berkat membicarakan Ananda.
“Seneng aja liat dia. Kayaknya orangnya semangat terus deh.”
Aku ingat-ingat… Ya, aku memang jarang lihat muka lusuh Ananda.
Akhirnya aku lihat senyum lebar memaniskan wajah temanku lagi. “Hebat ya?”
“Kenapa?” Aku menoleh padanya hingga kami saling bertatapan.
Lanjutnya,” Ya kayak kata kamu tadi. Kalau kamu udah punya macem-macem terus semangat, ya itu biasa, tapi kalau kamu enggak punya apa-apa tapi bisa tetep semangat, rasanya hebat aja.”
Aku tercenung. Mendadak temanku bangkit sambil menarik tanganku. “Yuk ah, deketin yang semangat yuk. Siapa tahu aja semangatnya nular…”
13 September 2011
Terinspirasi dari kutipan “Kalau kau punya ‘apa-apa’ dan segala-galanya lalu hidup semangat, apa hebatnya? Tapi bila kau tak punya ‘apa-apa’ lalu hidup semangat, itu yang keren.” (Pidi Baiq)
Rabu, 14 September 2011
Yang Gemerlapan Bukan Hanya Pub
Gambar dari Gramedia Pustaka Utama. |
Selasa, 13 September 2011
fiksi
jika aku dan kau harus memegang tali,
mari menjalin fiksi di antara kita.
11-9-11
sepanjang kawasan karst dunia
Kamis, 08 September 2011
Orang Gila di Taman Kota
Ibu selalu melarangku main ke taman kota. Di sana banyak orang gila. Maka setiap kali aku melewati taman kota, aku hanya dapat memandang kehijauan tersebut dari jauh. Ketika aku menangkap sosok-sosok manusia, mereka pasti orang gila.
Aku belum pernah memasuki taman kota, sejak kecil.
Sampai sekarang, sampai aku semakin stres berada di rumah.
Di usiaku yang sekarang, aku merasa malu untuk
menggunakan uang orangtuaku. Seharusnya aku sudah memiliki penghasilan sendiri.
Tapi aku terantuk tugas akhir. Aku tidak bisa ke mana-mana dulu. Aku harus
menyelesaikannya. Aku membutuhkan tempat untuk berkonsentrasi memikirkan itu.
Rumah bisa jadi tempat yang nyaman, tapi keluarga tidak selalu. Maka sumber
kebahagiaan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki untuk melipur lara. Kamu harus
memilikinya di mana-mana.
Salah satu sumber kebahagiaanku adalah Irene. Dia
gadis berambut pendek ikal dengan wajah klasik. Tawa riangnya menghiasi
hari-hariku. Kami suka bersepeda bersama. Suatu kali kami berhenti sebentar di
seberang jalan tepi taman kota. Ia memandangi kehijauan itu dan berkata, “Aku
pingin skripsi di sana.”
Saat itu aku tak peduli. Ia memang mahasiswi Fakultas
Biologi. Mungkin saja kali lain ia akan berubah pikiran.
Tapi tidak. Di suatu hari yang cerah, ketika aku menjemputnya
di kampusnya, di lorong yang benderang itu ia menghampiriku sembari mendekap
map biru. Matanya bercahaya saat ia bilang bahwa judul skripsinya sudah tembus.
Ia akan segera mengadakan penelitiannya di taman kota. Skripsinya tentang
keanekaragaman hayati di taman kota. Serasa ada halilintar membayangku dalam
kegelapan.
“Irene, jangan ke taman kota!” kataku.
“Kenapa?”
“Di sana banyak orang gila. Kalau kamu kenapa-kenapa
gimana?”
Ia terperangah. Lalu melewatiku begitu saja. “Kalau
enggak mau bantu, ya sudah.”
Aku menoleh lantas memandangi punggungnya yang mulai
menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengejarnya.
Aku menjadi marah pada diriku sendiri sesudah itu.
Mengapa aku begitu takut untuk mendekati taman kota? Dengan energi kemarahanku
itu, kukayuh sepeda ke arah taman kota. Begitu sampai, aku hanya bisa terpekur
di tepinya. Aku melihat seorang pria berambut gimbal. Ia berjalan tanpa memakai
kain sehelai pun. Segera aku mengalihkan pandang ke sisi lain taman. Aku
melihat keluarga gelandangan sedang bercengkerama di atas rumput. Mengapa harus
ada tempat seperti ini—penampungan warga yang tidak diinginkan?
Aku menjauh dari tempat itu dengan hati yang tidak
puas. Aku mencemaskan Irene-ku. Ia bilang ia akan mulai mengambil data minggu depan
bersama teman-temannya. Lagipula kalau aku tidak ikut membantunya pun tidak
mengapa, katanya, karena aku mahasiswa teknik yang tidak mengerti apa-apa soal
lingkungan hidup.
Sembari mengayuh sepeda kembali ke rumah, pikiranku
bertanya-tanya lagi. Mungkin bukan salah taman kotanya. Taman kota mungkin bisa
menjadi tempat yang aman bagi Irene. Tapi mengapa harus ada orang gila di
dalamnya? Mengapa orang gila suka berada di sana? Benar kata ibuku. Taman kota
adalah tempat orang gila! Semoga Irene dan teman-temannya baik-baik saja.
***
Suatu kali Irene mengajakku jalan-jalan. Ia ingin ke
taman kota bersamaku, tapi tidak untuk mengambil data. “Jangan ke sana, Irene.
Ada orang gila,” kataku.
“Ah, mereka enggak ngapa-ngapain kok,” sergah Irene.
“Kamu penakut sekali.”
Aku diam saja hingga kami sampai di sana. Begitu
sampai, Irene langsung duduk di salah satu bangku sementara aku mengawasi
keadaan di sekitar. Ada orang gila yang itu lagi. Ada juga seorang wanita yang
duduk di tepi kali. Tampaknya ia stres. Tidak sedikit pula orang-orang yang
tampak seperti gelandangan. Aku merasa was-was.
Akhirnya aku ikut duduk di sampingnya. “Aku lagi
butuh ketenangan,” katanya. Ia menengadah dan tampak cantik sekali. Namun itu
tidak cukup untuk mengusir kewaspadaanku. Aku tetap awas terhadap sekeliling
kami. Begitu ada orang tak beres yang mendekat, aku akan langsung menyeret
Irene ke luar.
Irene bercerita mengenai skripsinya yang membuatnya
stres. Ia mempunyai suatu gagasan untuk meningkatkan jumlah pengunjung taman
kota, namun pemerintah kota ternyata tidak mempunyai kebijakan untuk itu.
Semangatnya untuk menggarap skripsi entah mengapa jadi surut. Ia malah jadi
lebih bersemangat untuk mengkaji kebijakan mengenai pengelolaan taman
kota—padahal itu bukan disiplin ilmunya. “Mana bisa meningkatkan jumlah
pengunjung kalau di taman kota banyak orang yang mengkhawatirkan seperti ini?”
kukatakan itu dalam hati saja. Sekarang memang aku sudah berhasil untuk tidak
menyalahkan taman kotanya. Aku masih tidak habis pikir mengapa orang-orang
stres suka sekali berada di sini?!
Sore itu berakhir dengan baik-baik saja. Tidak ada
seorang gila pun yang mendekati kami. Irene tersenyum padaku sebelum ia bangkit
dari tempat duduknya. Mungkin ia senang karena akhirnya aku mau juga diajak
masuk ke dalam taman. Ia mengajakku untuk ke sini kali berikutnya untuk
membantunya mengambil data.
Aku agak susah menolaknya. Bagaimanapun ia sudah
membuktikan bahwa kami aman saja selama beberapa jam di sana. Bahkan kami
sempat mengitari kali yang membelah taman
ini. Dan tidak terjadi apa-apa pada kami. Setiap orang tampak sibuk
dengan dirinya masing-masing saja. Namun aku tetap waspada kalau tahu-tahu ada
yang mendekati kami dan bertingkah yang tidak-tidak.
Pada hari yang dijanjikan, aku sampai duluan. Aku
duduk di bangku tempat kami pernah duduk dulu. Aku sudah siap dengan topi pet
kalau-kalau terik sinar matahari bakal mengganggu penglihatanku. Namun tajuk
pepohonan yang menaungi taman ini rupanya cukup lebat untuk menghalangi
sengatan sinar matahari. Memang masih terlihat titik-titik cahaya menerobos
celah-celah tajuk, namun itu tidak mengganggu.
Aku lihat arlojiku. Sudah lima belas menit aku
menunggu Irene. Aku menoleh kanan dan kiri karena tahu-tahu kecemasanku akan
orang gila datang lagi. Tapi setiap orang tampak di tempatnya masing-masing.
Ketika ada yang berjalan mendekat, aku menyiapkan pertahanan diriku. Namun ia
lewat begitu saja tanpa mengacuhkanku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memainkan
ponselku. Mengapa Irene lama sekali? Jangan-jangan ia diculik orang gila di
tengah jalan? Sebuah sms yang datang kemudian menjawab tanyaku. Irene tidak
jadi bisa mengambil data hari ini. Ia harus menemani orangtuanya ke salon.
Sesaat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku
pun bangkit. Dan tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku akan
mengitari kali saja—seperti yang aku dan Irene lakukan dulu. Pulang ke rumah
bukan pilihan yang bagus karena keluargaku berisik sekali. Aku sedang
bermasalah dengan ibuku juga. Pergi ke kampus malah hanya akan mengingatkanku
akan tugas akhir yang aku belum sudi lagi menyentuhnya. Yang aku butuhkan
sebetulnya pergi ke suatu tempat di mana aku bisa menenangkan diri!
Maka aku berjalan menyusuri tepi kali. Aku melihat
ada seorang wanita mencuci pakaian di belakangku. Aku juga melihat beberapa
orang—secara terpisah—tidur-tiduran di bangku taman. Ketika melihat
gelandangan, aku memlih jalan yang lain. Tidur di atas bangku menjadi sesuatu
yang menggiurkan. Aku pun mencari bangku yang kosong dan cukup panjang untuk
menyelonjorkan tubuhku.
Ketika berbaring, aku melihat titik-titik cahaya pada
tajuk pepohonan di atasku. Tidak menyilaukan sama sekali. Angin sejuk semilir
di atas wajahku dan kuhirup segarnya dalam-dalam. Cicitan burung-burung
melenakanku—seolah mengantarku ke alam lain. Aku pun tertidur tanpa bermimpi.
Sedikit-sedikit aku merasa terjaga hanya untuk merasakan buaian angin dan suara
alam. Ketika bangun, aku gelagapan. Kutengok arloji. Baru setengah jam aku
lelap padahal, tapi serasa sudah lama sekali.
Aku putuskan untuk kembali ke rumah dan mengerjakan
tugas akhirku. Entah mengapa pikiranku terasa plong sehingga aku siap untuk
itu. Aku mungkin akan menghadapi keluargaku yang rewel sesampainya di rumah,
namun pikiranku tidak lagi mempermasalahkan itu.
Aku rasa aku tahu mengapa para orang gila, orang
stres, dan gelandangan itu senang berada di dalam taman kota. Ya, itu bisa jadi
karena mereka tidak punya rumah—sebuah bangunan kotak-kotak dengan berbagai
barang buatan manusia menyesakinya. Tapi untuk apa mereka punya rumah kalau
mereka tidak menemukan tempat di mana pikiran mereka dapat beristirahat?
Sepertinya itulah yang kami semua butuhkan untuk dapat meredam kerasnya tekanan
hidup.
Mungkin aku akan ke sana lagi untuk menyegarkan
pikiranku kali lain aku butuh.
2 September 2011
Rabu, 07 September 2011
5W1H tentang TORCH
Kamu peduli TORCH? Bergabunglah di
Selasa, 06 September 2011
Menimbang Buku dengan Tulisan (Bukan dengan Timbangan!)
Di atas adalah poin pertama dalam metode penulisan timbangan buku.
Sabtu, 03 September 2011
Best of the Night Writing Session edisi 1 September 2011 dengan tema: RAMBUT
Jumat, 02 September 2011
Teh Manis
sumber gambar
Kamis, 01 September 2011
Selamat datang, September!
Daripada entri tanggal 1 September tidak keisi, mari kita mulai dengan sesuatu yang baik yaitu kutipan-kutipan motivasi!
Ehm, entah memang bisa kasih motivasi apa tidak, yang jelas ini asli saya karang untuk diri saya sendiri pada hari itu juga di bundel-catatan-harian-LKJ saya.
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...1 minggu yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu