Sabtu, 30 Juni 2012

Yang Keenam


Pada tanggal 20 Juni 2012 telah saya tuntaskan novel saya yang keenam. Novel kali ini terdiri dari 55.594 kata yang terhampar sepanjang 307 halaman A5 dengan spasi single 0 pt, jenis font Tahoma ukuran 12.

Novel ini saya kerjakan dalam rangka Camp NaNoWriMo 2012 edisi Juni. Semula bukan ini yang mau saya garap. Namun cerita yang satu ternyata belum siap, sementara cerita ini sudah membentuk plot yang (anggap saja sudah) utuh. Saya pun mengeksekusinya dalam waktu dua minggu kurang.

Sebagaimana novel-novel sebelumnya, saya masukkan beberapa lagu dalam novel ini, yaitu (cuman yang saya cantumkan liriknya, baik utuh maupun penggalan): Doel Sumbang – Mumun, She and Him – Why Do You Let Me Stay Here, HP Girls (Merry Andani, Nini Carlina, Baby Ayu, Anis Marsella) – Anak Mama, serta She and Him – In the Sun. Kira-kira seperti apa ya ceritanya?

Proses

Sepintas cerita dalam novel ini klise. Cowok ketemu cewek, mereka saling suka, mereka pacaran, ada gejolak dalam hubungan mereka, apakah mereka berhasil mengatasinya?

Selama pengerjaan novel ini, saya pun terpikir… ini bukan novel yang bakal saya baca kalau orang lain yang menulisnya.

Karakter-karakter dalam novel ini berasal dari kaum menengah perkotaan yang hidup serba cukup—bahkan lebih. Simpati saya terhadap kalangan ini telah berkurang sejak saya tinggal di Jogja. Ada kalangan yang lebih layak diberi simpati, karena hidup kalangan satu ini sudah enak. Di dalam teenlit, chiclit, atau semacamnya, permasalahan yang kalangan ini alami paling ya, gejolak psikologis seputar asmara, eksistensi, atau apa. Saya benci keadaan yang "ideal", maupun yang mendekati.

Tapi kemudian karakter utama dalam novel ini bilang sama saya, “Loh, ini kan cerita tentang kamu sendiri? Kamu juga terbiasa hidup enak dari dulu, meskipun enggak persis kayak saya yang di mata kamu lebih cemerlang. Bukannya kebiasaan hidup enak itu yang jadi masalah?” …dan bla bla bla lainnya… “Ambil positifnya ajalah. Kalau kamu pingin serius sama saya, mau enggak mau kamu tetep harus riset kehidupan saya. Ya manfaatin itu buat motivasi diri kamu sendiri, supaya kamupun bisa ngeliat dunia yang lebih luas.”

Benar sih. Saya sadari kalau novel ini lebih dari sekadar novel percintaan ababil. Novel ini adalah soal hasrat yang mengejawantah jadi obsesi, seksualitas, dan bagaimana mengelola hasrat-hasrat yang ada agar orang-orang di sekitar bisa terima.

Biarpun cara saya mengemas cerita masih kekanak-kanakkan (perkara keterampilan teknis nih), saya memperlakukan karakter-karakter yang ada di dalam kepala saya dengan serius. Meskipun ada di antara mereka yang suka menulis jurnal, saya tetap membuat jurnal saya sendiri tentang mereka. Untuk pasangan utama dalam novel ini saja, saya sudah mengutak-atik hubungan mereka sejak tahun 2009 dan baru deal belakangan. Nama karakter utamanya sendiri sudah tergurat dalam buku harian saya pada tahun 2005.

Maka novel ini adalah latihan untuk menyajikan sesuatu yang terkesan biasa dengan kemasan yang tidak biasa, membungkus kecabulan supaya tidak kentara, sekaligus menyelami karakter-karakter. Kesembilan karakter yang jadi penutur cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama—tentu saja semua pakai gaya bahasa saya! …biarpun mereka punya masalah, tujuan, dan sorotan masing-masing.

Hasil yang saya peroleh dari penggarapan yang hanya dua minggu kurang memang tidak memuaskan. Tapi itulah esensi dari ajang semacam NaNoWriMo dan program nge-camp-nya: kuantitas terdepan, kualitas belakangan. Saya pun kurang begitu lega ketika bagian terakhir usai diketik.

Saya ingin menulis ulang novel ini, juga novel-novel yang telah saya tulis sebelumnya, kalau Allah masih memberi saya daya. Ingin saya perkuat latarnya dengan riset yang teliti. Ingin saya susun emosinya dengan kalimat-kalimat subtil yang kaya diksi. Ingin saya asah dialog-dialog di dalamnya agar lebih bermakna. Ingin saya gali lebih dalam karakter-karakter yang berkelebatan. Ingin saya pangkas bagian yang kurang perlu, poles dengan materi yang lebih bermutu. Ingin saya kembangkan dan tata alurnya agar lebih memikat. Dan seterusnya. Ini adalah proses seumur hidup.

Jadi…?

Menulis novel bukanlah sekadar menulis novel. Menulis novel adalah keterasingan yang belum tentu layak, dan bakal, dihargai. Menulis novel adalah ajang pembuktian sebuah komitmen.

Menulis novel adalah suatu kemewahan, karena kamu memiliki sumber daya untuk itu dan tetap bisa hidup, sementara orang lain harus mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk hal lain atau mereka tak bisa hidup.

Bisakah menulis novel dianggap sebagai bentuk syukurku atas nikmat dari-Mu, Ya Allah? Apakah aku akan mendapat pahala untuk itu, biarpun novel tersebut belum layak untuk dipublikasikan?

Minggu, 24 Juni 2012

Belajar via Susur Cikapundung van Ngaleut


Cikapundung, Cikapundung, Cikapundung, walungan di Kota Bandung… demikian potongan lirik tembang Bungsu Bandung, “Alim Dicandung”, yang mempopulerkan sungai yang melintasi Jalan Asia-Afrika di Kota Bandung tersebut. Sepenggal wajah Cikapundung telah ditengok pada ngaleut (22/04/12). Pemukiman padat di Cihampelas maupun aktivitas perkotaan lain di sekitarnya mengepung aliran yang harusnya jadi poros kehidupan ini hingga keruh dengan titik sampah di sana-sini.

Minggu (24/06/12), para pegiat Aleut kembali melakukan penyusuran septic tank terpanjang di dunia tersebut dengan rute yang berlawanan dari arah ke Cihampelas, yaitu seberang Sabuga hingga Curug Dago. Medan yang ditempuh pun jauh lebih beragam, tidak sekadar gang-gang melainkan jalan setapak, pematang sawah, komplek perumahan, sampai sungai berbatu! Bisa dibilang ngaleut kali ini lebih menyerupai outbond tanpa pos-pos, game-game, dan kakak-kakak pemandu. Bagaimanapun kami didorong keadaan agar saling bantu demi kelancaran perjalanan. Sangat memberdayakan.

Titik pemberangkatan terletak di rumah seorang dedengkot Aleut di Jalan Sumur Bandung. Menjelang pukul sembilan pagi kami bertolak dari sana, menyusuri tepi Babakan Siliwangi, lalu menyeberang dan memasuki jalan setapak di tepi Sungai Cikapundung. Tetumbuhan di area ini cukup rimbun, hingga sesaat kami merasa tidak di kota.

Gang yang berkelak-kelok dengan rumah-rumah mungil di tepinya—laksana di kawasan Cihampelas—kembali kita temui kemudian. Jampi-jampi pun dirapalkan demi ketenteraman masyarakat di perjalanan: “punten…”

Pot hole. Entah mengapa dasarnya
berwarna kuning.
Sesekali kami berhenti karena adanya bebatuan dengan lubang yang khas, sebuah fenomena geologi. Namun ngaleut laksana rekreasi plus plus, bukan kuliah lapangan, sehingga informasi sahih mengenai ini barangkali bisa ditelusuri baik di internet maupun perpustakaan.

Kami juga melewati sebuah kampung bernama Manteos. Menurut Kang Ayan, seorang pentolan Aleut, Manteos berasal dari nama orang Belanda, “Mathius”, yang pernah memiliki tanah di kawasan tersebut.

Beginilah sempadan sungai yang
baik dan benar
Dengan Sungai Cikapundung sebagai pedoman, kami terbawa hingga ke pedalaman. Ciumbuleit, Dago Bengkok, apapun daerah yang sebenarnya mengitari kami, tidak terasa pasti. Lepas dari gang, alam kembali menghadang. Tidak liar benar, tapi cukup untuk mengasingkan kami dari hiruk-pikuk khas kota besar. Kolam-kolam pemancingan nan kering air, sempadan sungai yang ditumbuhi rumpun bambu dan pisang, petak-petak sawah yang dikira tinggal ada dalam kenangan masa kecil—“Ini masih Bandung loh,” sesekali ada yang mengingatkan seperti itu.

Saluran irigasi peninggalan
Belanda yang plakatnya sudah
hilang.
Selain Manteos, peninggalan Belanda lain yang kami temukan adalah saluran irigasi serta pintu air/waterwang Leuwilimus. Setiap bangunan peninggalan Belanda biasanya disertai plakat, namun kini plakat di atas saluran irigasi tidak ditemukan. “Padahal tahun lalu masih ada,” kata Kang Reza, koordinator Aleut.

Menurut keterangan para pegiat Aleut yang tahun lalu mengikuti ngaleut dengan tema serupa, perubahan telah banyak terjadi di sekitar Sungai Cikapundung. Rute yang kami lalui pun berbeda dengan rute yang telah dilalui sebelumnya, misal karena terhalang oleh bangunan yang tahun lalu belum ada. Kamipun harus mencari jalan lain supaya sampai ke tujuan. Sawah becek sekalipun harus diterjang, biarpun itu bikin kami berlepotan lumpur.

Waterwang Leuwilimus
Kekompakan para pegiat Aleut kian diuji ketika mau tidak mau harus melalui sungai. Setidaknya betis pasti terendam. Beruntung mereka yang pakai sandal lapangan. Yang pakai sepatu harus menjinjing alas kaki mereka itu, sedang permukaan sungai dipenuhi bebatuan tajam atau berlumut. Dangkal-dalamnya sungai pun tak merata.

Kerja sama :')
Rombongan belakang pun menggelar beberapa webbing untuk mempermudah perjalanan. Beberapa cowok memegangi webbing, sedang para cewek dan sisanya menyusuri tali gepeng tersebut agar tidak terhindar dari celaka. Saya termasuk yang ceroboh biarpun pengaman sudah disediakan. Sudah mandi setengah badan dan bikin penolong saya ikut kebasahan, saya menginjak kaki salah seorang cowok.

Webbing tetap berguna biarpun kami sudah tak terendam air, misal saat kami mendaki jalan setapak yang terjal.

Warung yang ditemukan otomatis menjadi titik pemberhentian. Rezeki bagi pemilik warung, berbagai jenis minuman dan snack yang dijajakan jadi incaran.

Meong unyu nan seksi di sekolah alam
Kami sempat berhenti lagi cukup lama di sebuah sekolah alam. Selain mengudap perbekalan, sebagian dari kami menunaikan salat zuhur. Setelah cukup obrol-obrol, kami lanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan menuju prasasti peninggalan raja Thailand, kami bertemu dua orang anak bernama Teguh (kelas 7) dan Emir (kelas 2). Mereka berasal dari Jakarta dan sedang liburan di Bandung. Dari rumah nenek mereka di Dago Selatan, mereka jalan kaki sampai kawasan Curug Dago! Teguh dan Emir pun jadi seleb dadakan di antara kami, mulai dari ditanya ini-itu sampai diajak foto bersama.

Saya pernah mengunjungi Curug Dago saat saya masih kelas 6, bersama seluruh teman seangkatan. Saat itu kami bisa bermain air di curug. Kini saya lihat lanskapnya kok beda. Curug diapit dinding tinggi. Pengunjung hanya bisa sampai tepi salah satu dinding, itupun jelas dibatasi lagi oleh pagar besi berkarat. Dan saya tidak ingat kalau di tepi dinding itu pula ada dua prasasti. Daratan di hamparan curug pun tampak berwarna-warni oleh sampah, jelas bukan tempat yang enak buat main air.

Apa yang saya kunjungi dulu itu sebenarnya bukan Curug Dago, atau memang ada perubahan dalam kurun 10 tahun?

Bangunan berkosen merah melindungi kedua prasasti dari tangan-tangan jahil. Pada kedua prasasti tersebut terdapat torehan dengan aksara yang barangkali aksara Thailand. Konon seorang raja dari Thailand pernah datang ke Curug Dago untuk bersemadi. Peninggalannya berupa batu yang kini jadi prasasti. Entah berapa puluh tahun kemudian, anak dari raja tersebut yang juga telah menjadi raja Thailand mengunjungi bekas semadi ayahnya. Kedatangannya ditandai dengan sebuah prasasti lagi. Kedua prasasti tersebut dipisahkan jarak beberapa meter.

Hulu Sungai Cikapundung bukanlah terletak di Curug Dago, melainkan Lembang. Namun hulu yang harusnya murni konon malah dijadikan tempat pembuangan limbah peternakan sapi. Padahal Curug Dago berada di ketinggian yang lumayan, tapi airnya masih tampak keruh.

Segelintir sampah di badan Sungai
Cikapundung
Perilaku warga yang masih buang limbah ke sungai memang amat menggugah untuk disesali. Lagi-lagi kami diingatkan untuk mengubah mulai dari diri sendiri. Namun agaknya tak cukup itu, berbagai wacana pun muncul dalam sesi sharing.

Isu lingkungan hidup ternyata bukan minat utama saya, tapi melalui komunitas semacam Aleut ini saya jadi tersentil untuk turut memerhatikan. Bagaimanapun Aleut adalah komunitas belajar, bukan sekadar sarana olahraga bareng dan sosialisasi. Maka saya pulang dari ngaleut dengan rasa tergugah untuk lebih aktif dan peduli, baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Semoga rasa itu dapat terus bertahan.***

Sabtu, 23 Juni 2012

Bisakah Kamu

“Siapa yang butuh anak? Terlalu banyak manusia di dunia. Dan mereka akan saling bunuh satu sama lain agar bisa bertahan hidup, suatu hari nanti.” Abu bertaburan di asbak. Pangkal rokok dikecupnya lagi. Untuk pertemuan ini sudah hampir habis satu kotak.

“Kamu enggak butuh anak. Anakmu bakal keburu rusak di perut.”

“Hmh.” Senyumnya tersungging. “Kalau aku memang mau anak, lebih baik aku pungut saja satu-dua dari panti asuhan. Aku enggak mengerti pikiran orang-orang itu,” kata Laila datar. “Barangkali mereka ingin menguasai dunia dengan bikin anak sebanyak-banyaknya…” Hisap hembus hisap hembus. “Yah dunia ini bakal menyeimbangkan dirinya sendiri. Mungkin aku, atau kamu, yang bakal mati demi satu anak lagi yang lahir ke dunia.”

“Laila,” ucap Fazaha. “Aku hamil.

Wanita itu tak acuh. Aroma lavendernya telah habis dilahap asap. “Kamu bakal membiarkan dia menderita lebih lama di sini. Biarkan dia menderita sekali saja.” Mata sayu Laila menatapnya.

 

Fazaha pada papanya. “Pa, menurut Papa gimana kalau cucu lagi?”

“Kamu hamil?”

Diam.

“Itu perbuatan kamu. Pertanggungjawabkan.”

Satu-satunya cucu Papa, anak dari kakak Fazaha, tidak pernah mau dekat dengan Papa.

Fazaha menutup telepon.

 

“Kita enggak butuh anak kan?” tanya Fazaha pada Pierre. Ekspresi Pierre lamat-lamat, kendati Bandung dan Port-au-Prince hanya dibatasi selembar LCD. Jangan-jangan suaranya pun sampai sayup-sayup.

“Terserah kamu, Sayang.”

Fazaha menggeleng pelan. “Tidak, kamu tidak membutuhkannya,” ucapnya dalam bahasa Pierre. “Kamu sudah punya dua dari pernikahanmu sebelumnya.”

“Ya.”

“Itu cukup buat kamu.”

“Kamu hamil?”

“Ya.”

“Kamu tidak menginginkannya?”

Sebelum Pierre memulai video call, Fazaha tengah menambah wawasan tentang aborsi.

“I love you, your body, inside and out.” Demikian jawab Pierre. Fazaha menggumam. Kepalanya setengah berpaling.

 

Bagaimana dengan Mama? Fazaha coba membayangkan wanita itu di depannya. Bagaimana paras Mama setelah dua puluhan tahun berselang? Berapa banyak kerut di wajahnya yang terlihat? Apakah warna kulitnya masih sama seperti ketika Fazaha melihatnya di dasar lahad?

Mama telah duduk di sampingnya. Ujung bibir wanita itu tertarik ke atas. Wajahnya begitu pucat, tapi pulasan di sana amat merahnya. “Kamu membutuhkannya.” Fazaha tertegun. “Siapa lagi yang bakal kamu pukuli ketika kamu marah?”

Bayangan wanita itu pudar.

 

“Kau…” tatapnya pada perut. Mulai tumbuh gundukan di sana perlahan.Kau kubiarkan besar dan kau akan tumbuh sama saja seperti kakakku… seperti aku menampar keponakanku… bahkan kakakku saja tak pernah mengusap anaknya dengan keras seperti itu… Lebih baik kau mati saja! Lebih baik kau mati saja ketimbang aku menjelma ibuku! Kau cuman bikin dosaku berlipat-lipat saja!”

 

Fazaha mengusap mata. Samar-samar senandung sang kakak saat meninabobokan anaknya merasuk.

“…who knows how long I’ve loved you?

“…but it never really mattered, I will always feel the same…

“…make it easy to be near you. for the things you do endear you to me. Oh, you know, I will… I will…[1]

Fazaha membungkuk hingga dahinya menempel di puncak lutut. Ia berbisik.

“Kamu ingin tetap di sana? Kalau tidak… aku akan membuatmu tenteram selamanya. Aku akan kembalikan kamu ke surga.

“Kalau kamu di sini, kamu bakal punya peluang untuk tenggelam di neraka.

Kepala Fazaha terkulai miring. Matanya terpejam.

“Kelak,

“aku ingin kamu tidak menyesal karena telah dilahirkan,

“aku ingin kamu mengasihiku.

“Bisakah kamu?”***

 

 

23/06/12



[1] The Beatles – I Will

Sabtu, 16 Juni 2012

Setelah Ibu Meninggal

Belum lama aku sampai di kantor biro. Baru kuletakkan kamera dan tas selempang yang sedari pagi kusandang, ketika Pak Alex keluar dari ruangannya. Ia kepala biro di mana aku tengah ditempatkan untuk tiga bulan. Tanggunganku masih tiga minggu lagi sebetulnya, tapi ia menyuruhku untuk mencari penerbangan yang tercepat ke kota asalku.

“Empat hari, Ali. Pulanglah,” ucapnya dengan paras simpatik.

Kuturuti perintahnya. Segera aku telepon agen perjalanan langganan perusahaan kami. Ada penerbangan malam nanti, syukurlah, meskipun sesampainya di Bandung tentu ibuku sudah dikuburkan. Setidaknya aku masih punya waktu untuk mengetik laporan.

Sebetulnya aku sudah diberi tahu istriku tadi siang, meski suaranya tidak jelas. Bukan karena masalah pada sambungan jarak jauh, tapi ia mengabarkan duka ini sambil tersedu-sedu.

Orang-orang mungkin tak akan mendapati gejolak pada air mukaku. Luapan dukaku sudah diwakilkan istriku. Pun tak ada yang tahu bahwa sepanjang perjalananku dari pulau ini ke pulau satunya adalah sepanjang kenanganku akan Ibu.

Paling aku ingat adalah cara bicara Ibu pada kami, anak-anaknya yang bandel, yang sepedas cabai Dieng dicampur cabai rawit. Aku tak betah membaca lebih lama dalam kamar, setelah dengan kata-kata menyengatnya itu ia menyuruhku untuk melayani tamu-tamu balai bacaan kami.

Pun sikapnya. Adikku, Aziz, diseretnya dari tempat tidur ke kamar mandi, lalu diguyurnya dengan air dingin, saat adikku itu begitu sukar dibangunkan. Akupun demikian, didorongnya aku ke kolam dalam sekalipun aku belum mahir renang. Hanya kepada adikku yang perempuan, Fathim, ia agak permisif.

Tapi sesekali ia rengkuh kepala kami, dibelai-belainya di pangkuan, sembari menanyakan persoalan-persoalan kami.

Ia selalu mendukung keinginanku untuk menjadi wartawan. Ia biarkan aku membaca selahapku, tapi aku wajib mengikis sifatku yang pemalu dengan aktif nampang di balai bacaan kami, belajar diskusi dengan tamu-tamu yang mahasiswa atau wartawan. Akupun harus piawai renang, barangkali kapal yang aku tumpangi dalam perjalanan tugas tahu-tahu tenggelam, atau oknum yang kuburu balik mengejarku hingga aku terjebak di tepi laut.

Opungku wartawan, bapakku juga. Aku kira akupun akan menjadi wartawan, itulah yang aku tulis pada esai cita-cita yang jadi PR saat aku kelas tiga SD. Sejak itu Ibu menganggapku ingin jadi wartawan, sehingga aku menganggap diriku memang akan jadi wartawan.

Saat aku kelas lima SD, sesuatu terjadi dalam kehidupan kami. Ketika aku diberi PR untuk menulis esai cita-cita lagi setelah itu, akupun menulis bahwa aku akan jadi wartawan. Tapi aku tidak akan biarkan lenganku jadi buntung seperti opungku, aku juga tidak akan tahu-tahu lenyap seperti bapakku.

Lengan Opung sudah buntung sejak lama, akibat salah satu tugas investigasinya yang tidak disukai oknum tertentu. Bapakku mungkin lenyap karena sebab yang sama. Kawan-kawan dan kerabat sempat mencari tahu untuk beberapa lama, nihil. Lagipula sekian wartawan hilang dan tewas sepanjang tahun, bukankah itu hal biasa? Demikian Ibu mendidik kami agar tak menganggap itu sebagai tragedi, melainkan sekadar konsekuensi.

Ibu menolak ketidakberdayaan. Penghasilan dari warung depan rumah dan balai bacaan kami yang sangat sederhana itu tentunya tak seberapa. Balai bacaan kami bahkan hanya menampung sumbangan seikhlasnya dari pengunjung setia. Tak jarang pula koleksinya malah raib satu-dua. Biarpun Mang Alwi, adik Bapak, ikut menopang kebutuhan sehari-hari kami, itupun pas-pasan. Toh Mang Alwi juga memiliki keluarganya sendiri: satu istri-tiga anak; yang juga harus ia hidupi dari nafkahnya sebagai pedagang buku di Palasari. Tapi Ibu selalu terlihat teguh, tanpa keluh, biarpun saudaranya memiliki perpustakaan pribadi yang lebih elit di kawasan utara kota, biarpun sepupu-sepupu kami dari pihaknya hidup bergelimang kemapanan. Tekadnya adalah mendidik kami dalam kebersahajaan.

Kuhentikan taksi beberapa meter sebelum rumah. Warung Ibu tutup, dindingnya yang putih menyala dalam gelap. Oranye yang memancar di dalam rumah tertahan oleh kaca jendela yang memenuhi dinding depan. Aku masuki lorong gelap di antara warung dan ruang depan yang dijadikan balai bacaan kami itu. Berbagai rupa alas kaki telah menunggu di ambang pintu. Kursi-kursi dan meja yang biasa berkumpul di ujung ruangan telah disingkirkan, diganti hamparan tikar. Orang-orang duduk membelakangi rak bacaan yang bersandar hampir di sepanjang dinding. Ayat-ayat doa mengucur dari mulut mereka. Beberapa orang menyadari kedatanganku, sedang aku seketika duduk di ambang pintu.

Usai tahlilan, orang-orang menyalamiku. Ada yang menepuk bahuku, mengucapkan belasungkawa. Banyak yang aku kenal, ada juga yang tidak. Satu per satu dari mereka menciptakan ruang kosong di rumah kecil ini, mengurangi jarak di antara aku dan orang-orang yang paling kukenal.

Om Arman menubrukku. Ia sahabat Bapak, yang juga sahabat Ibu, dan sudah seperti pengganti Bapak bagiku. Ia kawan Bapak yang paling sering mampir ke rumah. Ia juga wartawan. Ia banyak berbagi pengalamannya padaku. Ia yang mengajariku cara menggunakan kamera analog peninggalan Bapak. Keinginanku untuk menjadi sepertinya pun tumbuh kian tinggi. Malam itu ia memelukku cukup lama. “Ibumu orang yang sangat lembut, Ali,” ucapnya. Kuiyakan dalam hati.

Selanjutnya aku temui bibiku, istri Mang Alwi yang wanita Sunda asli. Tak kuperhatikan benar wajahnya. Mataku hanya ingin melihat gadis kecil dalam gendongannya, permata hatiku. Ia bertambah gembil saja. Mulutnya manyun, namun tatapannya yang polos terarah padaku. Tahu-tahu saja sepasang lengan Bibi telah menyerahkan makhluk indah itu padaku. Kurengkuh tubuhnya yang empuk. Kukecup kedua belah pipinya dengan sepenuh rasa. Ia tak berontak. Sorot matanya yang secerdas milik mamanya itu masih terarah padaku. Kutempelkan pipiku dengan pipinya.

Papa sempet-sempetin cukuran di taksi tadi demi kamu, Nak, tak akan Papa biarkan berewok Papa menyakitimu lagi.

Saat aku bertemu istriku, masih ada sisa sembap di wajahnya. Bersama berapa kerabat lain, aku membantunya membereskan bekas tahlilan. Bibe sudah aku serahkan pada Bik Astri lagi. Setelah beberapa lama aku ikut menyingkirkan toples-toples, menggulung tikar, istriku mendekatiku. Tangannya meraih pundakku, lalu meremas-remasnya dengan kaku.

“Papa baru nyampe, istirahat aja,” ucapannya masih disaput sendu.

“Tadi udah banyak tidur kok di jalan,” jawabku. Aku pikir justru ia yang lebih lelah, secara emosional.

Tangannya sudah lepas dari pundakku. Ia mengambil jarak sehingga kami bisa melihat sosok satu sama lain dengan lebih jelas. “Aku serius… Seenggaknya kamu mandi dulu. Kamu bau.”

“Iya, Nyonya…” Selalu banyak protesnya kalau aku pulang.

Malam itu rumah Ibu kosong. Fathim dan Aziz lebih memilih untuk bermalam bersama sanak saudara kami di rumah Mang Alwi. Pamanku itu berhasil membangun rumah yang cukup besar sejak usaha dagang bukunya berkembang pesat. Toko bukunya tak hanya di Palasari kini, tapi sudah bercabang di berbagai tempat.

Di rumah Mang Alwi aku dan Zia menempati kamar yang hanya kami tiduri kalau aku pulang. Ukuran kamar itu cukup lega dan memiliki double bed. Kalau aku tidak ada dan Zia sedang di Bandung, Zia tidur bersama Ibu atau pulang ke rumahnya sendiri. Biasanya Mang Alwi dan istrinyalah yang menempati kamar itu.

Putri kecilku lelap di antara papa dan mamanya. Wajahnya menghadap ke arahku. Begitu betah kami memandanginya.

“Kamu sampai kapan di sini?” tanya Zia.

“Empat hari,” jawabku. Karena selanjutnya ia bergeming, “Kamu gimana?” Ia juga bekerja sebagai reporter untuk sebuah tabloid di Jakarta.

“Aku mau mengundurkan diri,” putus Zia. Lepaslah Bibe dari mataku. Istriku membelai-belai gadis kecilku itu, mengecupnya di dahi. “Kasihan… Sekarang neneknya udah enggak ada.” Rebah lagi kepala Zia ke atas seprai putih. Sebagian wajahnya terbenam. Ucapnya pelan, “Seharusnya Ibu enggak meninggal secepat ini. Bakal beres enggak ya anak ini diasuh sama mamanya sendiri?”

“Ck. Jangan gitu…” sahutku. Selama ini memang ibuku yang mengasuh Bibe, sedang mamanya bekerja di Jakarta dan papanya ditugaskan ke mana-mana. Seminggu sekali istriku pulang untuk menengok Bibe, sedang aku baru berminggu-minggu atau berbulan-bulan sekali. Istriku mulai bekerja sejak Bibe tidak wajib ASI. Sebelum Bibe lahir pun, ia sempat bekerja di sebuah harian nasional.

“Nenek itu pinter ngasuhnya…”

Zia mungkin lebih kehilangan Ibu ketimbang aku. Mamanya meninggal saat ia masih SMP.

Gadis kecilku berguling. Sekarang ia terlentang. Mulutnya bergerak-gerak dengan lucu.

Istriku memainkan helai-helai rambut di tepi telinga Bibe. Ia lalu cerita padaku tentang Bibe yang lari-lari ke rumah Bik Astri karena ada asap di rumah. Bibe sudah coba membangunkan Nenek yang lagi “tidur” di lantai dapur, tapi Nenek diam saja. Tergopoh-gopoh Bik Astri menggendong Bibe kembali ke rumah, gosonglah sudah ikan yang sedang digoreng Ibu. Usia Bibe baru tiga tahun, gadis kecilku memang hebat. 

***

Hubunganku dengan Zia tidak mengalami kemajuan berarti sejak kami menikah. Sejak mula aku berpikir bahwa kami akan cocok satu sama lain, justru karena kami sama-sama tipe orang yang terlalu asyik dengan dunia kami masing-masing. Aku dengan karier jurnalistik yang baru mulai kutiti, sedang Zia dengan apapun angan-angannya.

Dulu kami sekolah di SMA yang sama, lalu melanjutkan pendidikan ke universitas yang sama pula—meski beda fakultas. Kami tak pernah begitu dekat, namun aku mulai tertarik padanya sejak tahun terakhir di SMA. Saat itu kami memiliki banyak kesempatan untuk bertukar pikiran, dan mengetahui kenyataan bahwa kami sama-sama gila bacaan dan sedang belajar menulis. Aku sering terkesima dengan gagasan maupun pendapatnya yang nyeleneh.

Keanehannya membuat para lelaki ragu untuk menyukainya, namun aku terjebak dalam perasaan itu seolah tidak ada perempuan lain di muka bumi.

Semula akupun enggan mengakui perasaan itu. Namun ketika pada akhirnya aku menerima, aku malah tidak menemukan alasan untuk tidak menikahinya. Ia perempuan. Ia belum menjadi pasangan siapapun. Agama kami sama. Ia mau kalau kuajak jalan-jalan berdua saja. Ibu pun sudah menanyaiku entah sejak kapan, buah kekhawatirannya karena aku tidak pernah punya pacar.

Aku dan Zia menikah tak lama setelah ia diwisuda.

Setelah itu aku kembali jadi wartawan pemula yang gigih mengejar mimpi, dan kubiarkan ia meraih kebebasannya pula. Aku tak peduli jikapun ia tak becus sebagai istri. Kami masih begitu muda. Aku bahkan belum memikirkan anak sama sekali. Setidaknya aku sudah buktikan perasaanku selama ini padanya. Ia tidak akan jadi perawan tua. Ia sudah tahu ia tulang rusuk milik siapa.

Ibulah yang kemudian membimbing pasangan naif dan konyol ini. Ibu yang menasihatiku agar aku rajin menelepon Zia saat kami berjauhan. Sepertinya Ibu pula yang mengajari Zia bagaimana menyambutku dengan sepatutnya seorang istri saat aku pulang.

Namun Ibu tidak memberitahu kami apa yang harus kami lakukan di tempat tidur. Zia sudah mengetahuinya dari bacaan, aku buta sama sekali. Aku selalu menjauhi materi yang kuanggap akan menjerumuskanku ke dalam dosa itu. Anggapan itu rupanya tertanam dalam-dalam di benakku, bahkan hingga aku telah memiliki pasangan yang sah. Hampir setahun aku tidak berani menyentuh Zia lama-lama. Agaknya iapun jadi sungkan karena sikapku. Lagipula hanya beberapa kali dalam setahun kami habiskan waktu bersama.

Sampai terjadilah “kecelakaan” itu, yang tidak akan pernah aku sesali sampai kapanpun. Kadang aku salah ucap, tapi aku tak menyangka Zia akan begitu sensitif malam itu. Ia marah dan ingin tidur di sofa saja. Aku menyusulnya. Tidak beranjak dari tepinya sampai ia mau memaafkanku. Sebaiknya aku tidak menceritakan detail kejadian selanjutnya. Esok paginya aku bertolak dari Bandung menuju tempat bertugasku yang baru. Beberapa bulan setelah itu aku pulang dan menemukan bentuk badan istriku berubah.

Aku mencintai putriku sejak ia masih dalam kandungan. Ia anugerah terindah dalam hidupku, meski aku tak kuasa menolak setiap panggilan tugas. Pada momen itu aku menyadari bahwa Ibulah yang paling mengerti aku, sekaligus Zia yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ia tak putus mengingatkan kewajiban kami sebagai orangtua, tapi ia juga tak mengekang kami dalam upaya menghela mimpi. Malah ia yang mendorong Zia agar bekerja lagi setelah Bibe agak besar. Anakku pun tumbuh dalam asuhan Ibu. Tanda mata darimu ini akan kujaga selalu, Ibu.

Kukecup ubun-ubun anakku yang wangi, aku sendiri yang mengeramasinya pagi ini. Ia betah duduk di pangkuanku. Kutanggapi selalu ocehannya yang menggemaskan, padahal aku sedang mengikuti diskusi keluarga.

Nasib rumah Ibu sedang dibicarakan, terutama balai bacaannya. Zia menggeleng ketika ditanyakan kesanggupannya mengelola balai bacaannya itu. Ia memutuskan untuk menetap di rumah papanya dengan membawa Bibe. Demikianpun adik-adikku, dan anak-anak Mang Alwi. Balai bacaan Ibu makin sepi peminat. Dulu anak-anak kampung ramai bertandang, tapi kini mereka lebih suka singgah ke rental PS. Peminat dari kalangan lain pun tak lagi banyak.

“Ya udah. Kalian ambillah buku-buku yang kalian perlu. Sisanya nanti Mamang taruh di kios. Yang mau disumbang ke taman bacaan itu kau yang urus ya, Fathim?” putus Mang Alwi. Fathim mengangguk.

Sepulang dari menziarahi kuburan Ibu siang itu, aku membantu saudara-saudaraku membereskan rumah Ibu. Kami berencana menjualnya. Tak ada yang cukup melankolis dalam keluarga kami, hanya Zia tampaknya. Ia kumpulkan buku-buku yang Ibu rekomendasikan padanya, selain buku-buku favoritnya sendiri.

Sementara semua masih fokus pada buku-buku, aku masuk ke kamar Ibu. Penerangan alami di kamar itu adalah langit-langit yang dijebol seukuran 1 m x 1 m. Aku edarkan pandang ke seantero kamar, pada ranjang, lemari-lemari, meja rias… aku tidak akan pernah melihatnya lagi… juga apa yang tersimpan di bawah dan di atas benda-benda itu… ah kalau begitu mari kita cek dulu.

Aku sedang berusaha membuka salah satu koper dari bawah ranjang ketika anakku masuk. Ia berjongkok di sampingku. Aku tersenyum melihatnya, tapi ia harus jaga jarak karena upaya membuka koper ini membutuhkan sedikit kekerasan. Aku tak tahu nomor kombinasinya, jadi aku gunakan beberapa perkakas.

Koper itu akhirnya terbuka. Aku tersenyum puas, sedang Bibe terpana. Ia berdiri begitu dekat di balik punggungku, ketika aku mengangkat setumpuk surat. Semula tumpukan itu terselubung lipatan kain biru tebal.

“Surat, Bibe,” aku serahkan salah satu surat pada anakku tanpa melihat siapa pengirimnya.

“Surat, Papa?” suara imutnya menggetarkanku. Ia membolak-balik benda yang aku berikan.

Inipun aku sedang melihatnya, Nak. Pengirimnya adalah… harian tempatku bekerja? Aku balik surat yang kupegang. Surat itu ditujukan pada sebuah nama yang sepertinya kukenal, tapi itu bukan nama ibuku. Surat itu belum dibuka. Kusobek salah satu sisi surat.

Surat penolakan cerpen.

Aku temukan banyak lagi surat dari pengirim yang sama, ditujukan kepada nama yang sama. Sebagian besar surat ternyata sudah dibuka. Beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa nama itu memang pernah tertera di harianku, tepatnya di ruang Seni yang hadir setiap Minggu. Sebetulnya aku jarang membuka halaman itu karena aku tidak menggemari fiksi.

Di bawah tumpukan surat dari redaktur cerpen harianku itu, aku temukan tumpukan surat dari pengirim lain.

“Surat, Papa?” lamat-lamat kudengar Bibe mengulang. Aku lebih dengar hantaman di dadaku sekarang.

 

B. Ahmad Harahap

 

Aku biarkan Bibe mengambil surat itu.

“Ini surat dari kakeknya Bibe…” jawabku. Kutatap mata beningnya yang disinari mentari sore.

“Kakek… Kakek kumis?” tanyanya. Mukanya berkerut. Anak itu kurang begitu senang dengan papanya Zia, entah mengapa.

“Bukan,” kataku. Sekilas terbaca olehku tanggal pada cap pos yang menempel di pojok kanan amplop. Asalnya bahkan bukan dari Indonesia. Surat itu dikirimkan tiga tahun lalu. “Ini papanya Papa.”

***

Kenanganku tentang Bapak tidak banyak, juga tidak begitu jelas. Waktu itu ia sama sepertiku kini, hanya pulang sesekali. Aku ingat kami—aku, adik-adikku, Ibu, Opung, juga Mang Alwi dan keluarganya—duduk di sekitarnya untuk mendengarkan pengalaman liputannya. Ia telah berpergian ke banyak tempat, dan akan seperti itu lagi setelahnya. Ia bertemu banyak orang. Ia mencatat banyak persoalan. Ia mendengar banyak rumor. Ia menulis banyak kata. Ia berurusan dengan banyak oknum. Dalam benakku terbayang Bapak beraksi bak agen spionase.

“Bah, tak ada apa-apanya itu dibandingkan dengan zamanku…!” sela Opung sambil mengibaskan tangannya yang tak buntung. Merepetlah ceritanya yang tak kalah seru, yang selalu bermuara di tangannya yang satu. Sayang opungku yang kocak itu tidak sempat menyaksikan cicitnya lahir, ia meninggal tidak lama setelah aku menikah dengan Zia.

Bapak memiliki banyak kawan. Di balai bacaan kami mereka kumpul-kumpul untuk diskusi. Kabut beraroma kretek pun memenuhi ruang depan. Bapak terkekeh-kekeh dengan Aziz di pangkuan, sedang kawan-kawannya menceracau tak tahu juntrungan. Ibu duduk di sebelah Bapak sambil sesekali berkomentar dengan tenang. Aku tak kebagian kursi, jadi aku bersimpuh pada lantai di dekat kursi Bapak. Kadang Fathim serta, lalu aku dan dia bermain halma sambil menguping percakapan para orang dewasa.

Setelah Bapak dikabarkan hilang, kawan-kawan Bapak tetap suka berkunjung ke rumah. Tinggal Ibu yang menemani mereka, atau mungkin merekalah yang menghibur Ibu. Mungkin karena Bapak telah biasa meninggalkan anak-anaknya untuk waktu yang lama, kami tak terlalu merasa kehilangan. Tapi aku malah kian pemalu, sehingga tiap ada tamu yang datang aku sembunyi di kamarku. Pintu kututup rapat. Cerita-cerita yang tak lagi kudapat langsung dari mulut Bapak kutebus dengan membaca koleksi bukunya. Aku kecanduan, hingga tak mengindahkan apapun yang berlangsung di luar kamarku. Aku telah ikhlaskan Bapak untuk selamanya.

Ternyata bapakku tidak hilang. Ia masih hidup dan bisa menulis surat pada ibuku. Lelucon apa ini?

Aku masukkan semua surat Ibu ke dalam plastik, bahkan surat-surat penolakan cerpennya dari harianku, dan mengamankan mereka di koperku sendiri supaya tidak ada orang lain yang tahu.

Hingga malam rumah Ibu belum selesai dibereskan, kami akan lanjutkan besok. Zia yang letih langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Kutanya ia di mana Bibe. Ia menjawab dengan mata terpejam kalau Bibe sudah tidur dengan Bik Astri, ia tidak tega membangunkan mereka.

Akupun duduk di pojok ruangan, membelakangi tempat tidur. Aku keluarkan surat-surat itu dari persembunyian. Aku sisihkan mereka menurut nama pengirim. Surat dari harianku, surat dari B. Ahmad Harahap, surat dari… Barito Ali Husain? Nama kedua orang berinisial BAH itu sama-sama dicetak dengan mesin ketik. Aku sobek keduanya. Isinya pun demikian. Intuisiku mengatakan bahwa mereka adalah orang yang sama, tapi tetap aku pisahkan. Keduanya tak hanya mengirim surat biasa, tapi juga wesel.

Aku susun mereka berdasarkan tanggal pada cap pos. Aku temukan bahwa surat dari Barito Ali Husain dikirim hingga tahun tertentu. Surat-surat dari B. Ahmad Harahap datang pada tahun-tahun berikutnya, semua dikirim dari Amerika Serikat. Aku amati lagi surat-surat dari Barito Ali Husain. Hampir semua dikirim dari negara-negara yang berbeda, namun yang datang belakangan berasal dari Amerika Serikat pula. Kusimpulkan Barito Ali Husain memang Bapak.

Surat-surat yang dikirim Bapak dari Amerika Serikat berasal dari negara bagian yang berbeda sampai lima tahun yang lalu. Selanjutnya ada alamat lengkap yang tertera pada amplop surat, tampaknya Bapak telah menetap. Surat yang datang tiga tahun lalu adalah surat terakhir yang dikirim Bapak.

Tidak semua surat dari Bapak telah dibuka Ibu. Tanggal surat paling baru yang Ibu buka menunjukkan bahwa saat itu aku belum SMA.

Aku baca kata demi kata yang tertera pada surat-surat awal. Aku merasa Bapak sedang duduk di kursi di sampingku, sementara aku bersimpuh di bawahnya. Kudengarkan dengan hikmat cerita Bapak mengenai pelariannya. Ceritanya semakin menarik ketika aku mengenali oknum-oknum yang memburunya, meskipun nama sebagian dari mereka disamarkan. Hei… ini kan… jadi sebenarnya si itu… si anu ternyata… Pikiranku merangkai jaringan di antara oknum-oknum tersebut. Kegemaranku akan sejarah berbuah faedah. Aku sadari kasus apa yang sedang Bapak tangani. Ini bahan yang amat berarti untuk dikembangkan jadi laporan investigasi!

Bapak menyampaikan ceritanya secara bersambung, tapi padat dan kaya informasi. Tak ada suratnya yang melebihi dua lembar, dan setiap lembar disertai selembar kertas kosong di belakangnya.

Kukucek mata setelah surat yang kelima. Kutengok Zia yang tak lagi tidur melintang di tempat tidur. Kulanjutkan surat yang keenam.

 

Karmen…

Kau tahu sesungguhnya aku tak perlu lagi lari. Aku sadari itu, orde telah berganti. ******** telah membawaku mengelana ke berbagai negeri. Dan aku harus beritahukan ini padamu dengan berat hati, aku telah menemukan cinta sejatiku di Milwaukee…

 

Kuulangi bait itu. Aku tak salah baca, kendati mataku lelah. Kutiti kata-kata berikutnya dengan lebih teliti. Beberapa saat kemudian aku sadari bahwa konsentrasiku telah hilang. Aku menekuri lantai tanpa sesuatupun melintas di pikiran. Kuulangi lagi membaca keseluruhan isi surat itu benar-benar. Konsentrasi penuh kukerahkan.

Kubuka surat ketujuh.

 

Karmen…

Aku dan Mary telah membeli rumah di Houston…

 

Kusibak rambut yang menutupi dahi. Mulut mengatup erat. Kunaikkan kacamata berkali-kali. Tetap kacau konsentrasiku. Tapi aku tetap berusaha menyapu kata demi kata, termasuk titi mangsa.

Kubabat surat kedelapan…

 

Karmen…

Marahkah kau padaku? Kau tak pernah balas suratku. Aku pastikan suratku sampai tiap kali ke kantor pos untuk mengirim surat baru. Atau kau sudah pindah rumah?

 

…surat kesembilan, surat terakhir yang sudah dibuka Ibu.

 

…padahal kupikir aku telah bebaskan hubungan kau dengan Arman… Tak perlu lagi kalian diam-diam…

 

“JAHANAM!” Kuhempas semua surat itu ke lantai. Dadaku naik turun, demikian napasku. Ah, tak tahulah aku kalut karena apa! Punggungku jatuh ke sandaran kursi. Kepalaku rebah di udara. Mataku terbang ke langit-langit.

Terdengar gumaman istriku. Ia mengangkat sebagian tubuhnya. Beberapa jumput rambutnya mengambang. Matanya mengerjap-ngerjap kesilauan. “…belum tidur…?” tegurnya.

“Belum,” sahutku. Kusadari kemudian betapa dingin suaraku itu.

Tubuhnya ambruk lagi ke kasur. Aku menoleh padanya beberapa kali, masih dengan kernyit di dahiku. Setelah hembuskan napas, aku bangkit. Aku bereskan surat-surat yang berpencaran itu. Untuk sementara aku masukkan lagi tumpukan tebal itu ke dalam plastik. Nanti aku cari kotak sekalian, dengan gembok yang kuncinya tak akan aku perlihatkan pada siapapun.

Kurebahkan tubuhku di samping Zia yang terlentang. Sesaat aku ragu. Tapi terangkat juga lenganku, kulabuhkan melintang di atas tubuhnya. Serentak kepalanya berpaling padaku. Ia memandangku dengan mata setengah terpejam. Ia memunggungiku. Lenganku mengikutinya, hingga ia tenggelam sepenuhnya dalam rengkuhanku. Sebentar ia berontak pelan sambil menggumam tak jelas. Hampir saja tubuhnya menjauh, tapi tertahan lenganku. Biarlah kini ia masih asing dengan pelukanku, tapi apalagi yang bisa mencegahnya lari ke pelukan lelaki lain?

Pelan aku ucapkan di dekat telinganya, nyaris berbisik, “Mungkin memang sudah waktunya Ibu meninggal…”

“…hm?” Ia menoleh

“…daripada terlambat…”

Aku memeluknya semakin erat.

 

16/06/12

Sabtu, 09 Juni 2012

Kota: Sarana Intrapersonal, dan Proses Kreatif?



Kota bagi saya adalah sebuah identitas. Saya baru menyadari ini ketika saya meninggalkan Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke kota lain. Di Jogja, saya berkenalan dan berbagi dengan teman-teman dari berbagai daerah—terutama dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di sinilah saya memahami kalau kehidupan terjadi tidak hanya di Bandung. Bersinggungan dengan mereka yang dengan enteng menyebut diri sebagai anak desa, atau anak kota—tapi kota kecil, yang tak sungkan mengawali ceritanya dengan, “di desaku sih…” membuat saya sadar akan perbedaan saya dengan mereka. Tak mungkin saya mengawali cerita sebagaimana mereka, karena saya mau tak mau harus mengakui, “di kotaku sih…”

Bandung adalah sebuah kota besar, sampai kapanpun saya tak bisa menyebutnya sebagai sebuah desa. “Bandungnya di sebelah mana?” sering saya ditanya. “Bandung kota.” Saking besarnya Bandung, wilayah administratifnya dibagi menjadi Kotamadya Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Bandung yang menjadi domisili saya adalah Kotamadya Bandung, yang selanjutnya akan saya sebut Bandung saja.

Tak tepat jika menyebut saya mudik ke kampung halaman, melainkan kota halaman. Letak rumah saya hanya lima belas menit jalan kaki dari mal (yang dulu pernah jadi) terbesar di Bandung. Toh ketika saya di Jogja pun, saya bisa dikatakan sudah mudik. Ke sinilah papa saya mengajak mama dan adik-adik saya bersilaturahmi tiap lebaran dan libur kenaikan kelas. Jogjanya pun bukan di desa, melainkan hanya sekitar 2 km dari kotamadya.

Saya lahir di Bandung, lalu mengenyam TK, SD, SMP, hingga SMA di kota itu pula. Enam belas setengah tahun lamanya, jika sepenggal masa batita saya di Cicurug tak dihitung. Lalu hampir lima tahun setelahnya saya menjadi mahasiswa Jogja,  sense of belonging saya terhadap Bandung tidak tersingkirkan rupanya. Kebanyakan dari puluhan cerpen yang saya karang selama itu berlatar di Bandung. Demikian pun kelima novel saya. Bahkan (calon) skripsi saya pun tentang hutan kota di Bandung. Dan sampai sekarang saya masih bicara dengan logat Sunda yang kentara.

Betapa sebuah kota dapat memengaruhi proses kreatif sastrawan. Hal ini saya simpulkan dari membaca beberapa buku, di antaranya “Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika” (Michael Pearson) dan “Istanbul—Kenangan Sebuah Kota” (Orhan Pamuk). Biarpun saya bukan sastrawan, tapi saya telah mengarang, dan bagaimanapun hasil karangan saya, proses kreatifnya ternyata tidak lepas dari pengaruh sebuah kota.

Maka secara otomatis buku bertajuk “Sastra KotaBunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta” (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003) pun menarik perhatian saya. Jika dua buku sebelumnya menampilkan sastrawan-sastrawan luar negeri, maka yang diberitahukan buku kali ini adalah sastrawan-sastrawan dalam negeri. Tidak seintens buku Pearson dan Pamuk memang, namun lumayan untuk menambah wawasan mengenai dunia sastra, khususnya di Jakarta.

Kota dalam “Sastra Kota” mengacu pada Jakarta. Sebagai sebuah ibukota, Jakarta mewakili keberagaman di Indonesia. Saya sendiri tidak familier dengan Jakarta. Saya ke Jakarta hanya untuk ke Dunia Fantasi dan semacamnya, atau ke Bandara Soekarno-Hatta, atau transit sebelum mencapai Taman Nasional Ujung Kulon. Toh tak perlu sampai Jakarta, peta yang dimiliki pakde saya bilang kalau Bandung pun sedang menuju metropolitan. Bandung pun memiliki segudang carut-marut bak yang diceritakan Toto Sudarto Bachtiar, Afrizal Malna, Mochtar Lubis, SM Ardan, hingga Teguh Esha dalam karya-karya mereka mengenai Jakarta. Tengoklah “Senandung Bandung”, sebagai contoh, di sana ada Eddy D. Iskandar, Beni Setia, Acep Zamzam Noor, sampai Wilson Nadeak yang mengabarkan permasalahan Bandung tiga puluh tahun lampau: keadaannya dengan sekarang ternyata sama saja!

“Sastra Kota” memuat sepuluh esai yang masing-masing ditulis oleh Agus R. Sarjono (Sastra (dan) Kota), Ahmadun Yosi Herfanda (Kapitalisasi Sistem Produksi), Eka Budianta (Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun), F. Rahardi (Gaya Militeristik Pejabat Kesenian Kita (Pengelompokan Sastra Rural, Urban, dan Sub Urban)), Iwan Gunadi (Produk Ketertekanan tanpa Ideologi Bulat), Maman S. Mahayana (Sistem Penerbitan Sastra di Indonesia), Manneke Budiman (Konflik Sastra dan Sastra Konflik), Medy Loekito (Perempuan dan Sastra Seksual), Moh. Wan Anwar (Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Kita), serta Zeffry J. Alkatiri dan JJ Rizal (60 Tahun Jakarta dalam Sastra Indonesia).

Melalui buku ini, kita bisa mengenal semakin banyak nama dan kiprah para sastrawan dan kritikus (saya penasaran sama “Piekirans van een straatslijper – Pikiran seorang tukang keluyuran”-nya Tjalie Robinson!), wadah apa saja yang tersedia bagi pengembangan mereka (misalnya Taman Ismail Marzuki, Teater Utan Kayu, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, Horison, dan semacamnya), para pengamen puisi di bis, aspirasi para buruh yang tertuang melalui syair dan cerpen, sejarah penerbitan karya sastra di Indonesia, bagaimana konflik dalam karya dikemas secara unik (cek “Jakarta, Suatu Ketika”-nya Seno Gumira Ajidarma dan “SMS”-nya Djenar Maesa Ayu), jor-joran ekspresi seksual perempuan dalam “sastra wangi” yang justru menurunkan harkat perempuan itu sendiri, sampai lesunya sastra di dunia akademis.

Tapi apakah sebenarnya “sastra kota” itu sendiri? F. Rahardi mengatakan bawah pengkotak-kotakkan sastra menjadi rural, urban, dan suburban dalam pengertian hanya geografis (teritorial) itu sama bodohnya dengan pengkotak-kotakan sastra menjadi angkatan-angkatan seperti dalam dunia tentara. Biarpun sastrawannya tinggal di kampung halaman, dan menulis tentang hal-hal yang “ndeso”, seperti Ahmad Tohari dan D. Zawawi Imron, tapi yang mengonsumsi karya-karya mereka yang sarat nuansa rural itu justru masyarakat urban. Sastra modern sebagaimana yang kita kenal adalah bagian dari kultur urban. Sastra yang sungguhan rural biasanya bersifat fungsional, contohnya mantra untuk upacara adat atau semacamnya. Penciptanya pun tidak diketahui, sehingga karya sastra demikian dianggap komunal.

Menurut F. Rahardi, pengaruh domisili sastrawan yang di area rural, urban, atau suburban itu memang memengaruhi proses kreatif, tapi itu hanya salah satu faktor. Toh di manapun seseorang tinggal, entah di pelosok Kalimantan maupun di sudut Ngayogyakarto, ia tetap bisa menulis tentang Jakarta apabila rajin mengamati berita di TV maupun koran—setiap hari ada saja berita tentang Jakarta, bukan? Barangkali gaya hidup lebih berperan dalam memengaruhi proses kreatif seseorang.

Jadi agaknya tak mesti tinggal di “metropolitan” Jakarta atau “kota kreatif” Bandung untuk memicu proses kreatif. Gaya hidup urban, sekadar TV dan koran, bisa jadi sudah cukup sebagai pemantik ide-ide dalam membuat karangan. Dan saya kagum dengan mereka yang bisa seperti itu: menulis tentang hal-hal di luar diri mereka, namun tetap terasa realistis. Sedang bagi saya, diri sendiri dan apapun yang melingkupinya, termasuk kota yang telah membentuk identitas dan budayanya, masih menjadi sumber yang belum habis untuk dieksplorasi. Padahal Bandung sudah terkenal dengan oncom, peuyeum, mochi, Ma Icih, Amanda, sampai Kartika Sari, kayak tidak ada tempat lain yang perlu diekspos saja.

Saya pun tidak ingin menutup diri, insya Allah saya tidak akan menampik apabila ditawari kesempatan menjelajahi dunia lain. Hanya saja, yang saya yakin semua orang akan amini ialah: sepanjang hidup adalah upaya mengenali diri sendiri. Bahkan ketika kita sudah lanjut usia pun, entah karena pikun atau rabun, kita akan mengenali diri kita sebagai orang yang sudah susah mengenali orang lain. Toh saya pun baru menyadari ke”urang-Bandung”an saya setelah bertemu orang Pati, Tempel, Gombong, Wonosobo, Sragen, Malang…***

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain