Minggu, 25 November 2012

Yang Kedelapan


November ini saya menulis ulang Yang Keenam, novel yang saya garap dalam rangka CampNaNoWriMo edisi Juni 2012. Maka jadilah Yang Kedelapan, dan sayapun ditahbiskan sebagai pemenang NaNoWriMo 2012. Tidak usah tepuk tangan, terima kasih.

Yang Kedelapan terdiri dari 51.304 kata menurut word count saya, tapi 51.002 menurut word count NaNoWriMo. Saya mengetiknya selama katakanlah 2 minggu di Ms Word 2007  dalam format Georgia 12, single 0 pt, A5 normal, dan bahasa Indonesia (265 halaman).

Menulis ulang

Biang untuk novel ini sesungguhnya sudah saya garap menjadi satu cerpen di pertengahan tahun 2009, satu cerpen di akhir tahun 2010, satu cerpen di pertengahan tahun 2012, dan satu novel di pertengahan tahun 2012 alias Yang Keenam; sekaligus mengilhami beberapa cerpen di tahun 2011 – 2012 dan satu novel di tahun 2011 alias Yang Kelima.

Adapun perbedaan signifikan antara Yang Kedelapan dan Yang Keenam terletak pada sudut pandang. Dalam Yang Keenam saya mengolah bahan melalui sudut pandang orang pertama dengan perspektif sembilan karakter. Dalam Yang Kedelapan saya menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan perspektif satu karakter. Saya merasa Yang Kedelapan lebih baik.

Maka penulisan novel ini terasa sangat lamban. Dalam sehari saya hanya mampu menulis sekitar 2000 – 3000 kata. Padahal tidak ada aktivitas lain yang saya kerjakan—tentu saja selain makan, minum, mandi, dan semacam. Dalam kondisi yang sama saya bisa menulis hingga 5000 kata untuk Yang Ketujuh. Tiap menyelesaikan satu bagian untuk Yang Kedelapan, saya langsung membacanya sekaligus mengeditnya. Bisa sampai berkali-kali. Hal mana dalam NaNoWriMo makruh untuk dilakukan sebetulnya. Bagaimanapun cerita ini telah saya tulis berulang lagi. Tentu saya mengharapkan hasil yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sebisa mungkin saya meminimalisasi penulisan yang asal-asalan.

Teknik

Yang saya sadari dari penulisan saya adalah saya banyak mengandalkan: Dialog, latar tempat kadang tidak penting selama dialog dimungkinkan; Permainan rima, kadang jatuhnya bikin gaya bahasa saya terkesan ketinggian; Logika, tergantung pada pembaca apakah sebagai pun itu mempan; Arus kesadaran, well, tidak tahu apa tepat demikian, yang jelas pikiran saya selaku narator dan pikiran karakter sering bercampur aduk—bahkan karakter bisa mengoreksi pernyataan saya yang menurutnya tidak tepat.

Saya rasakan menulis novel sebagai upaya untuk menciptakan visualisasi yang mengesankan dalam benak pembaca.

Tema

Siapapun yang merasa alim atau ingin jadi alim tidak akan menyukai cerita ini. Sayapun tidak  menyukai cerita yang menonjolkan hubungan asmara baik lawan jenis maupun sesama jenis. Padahal cerita ini mengeksplorasi tentang itu. Ditambah karakter yang sepintas enggak saya banget… 

Tapi entah kenapa saya selalu bisa mengaitkan diri dengan setiap novel yang saya tulis. Setiap karakter menjelma alegori. Tema dalam novel ternyata merefleksikan apa yang saya sendiri alami dalam kehidupan saya. Bagaimanapun saya berusaha untuk menggarap cerita ini dengan serius.

Saya kira menulis novel telah membantu saya untuk lebih memahami diri saya—kehidupan saya. Terlepas dari apakah orang lain dapat mengapresiasi novel tersebut atau tidak. *** 

Kamis, 08 November 2012

Inilah India!, Sebuah Komedi Suram


Saya serasa sering melihat novel ini, “The White Tiger” (2010, Yogyakarta: Sheila/Penerbit ANDI), dijual dengan harga begitu murah, antara lain di Togamas Gejayan, Yogyakarta. Saya tidak tahu bahwa novel ini mengandung “sesuatu”, sampai saya tertarik dengan istilah “black comedy”, mencari penjelasan tentang istilah tersebut di Google, dan menemukan bahwa “sesuatu” itu adalah “black comedy”, atau kita padankan saja jadi “komedi suram”.

Pengarang novel ini mampu menampilkan sisi-sisi buruk negerinya dengan cara yang bikin saya tersenyum bahkan tertawa kecil.

Satu fakta tentang India adalah: putarbalikkan pernyataan apa pun yang Anda dengar dari perdana menteri kami tentang negara ini dan Anda akan mendapatkan informasi sebenarnya. Nah, Anda sudah mendengar bahwa Ganga disebut sungai emansipasi dan setiap tahun ratusan turis Amerika datang untuk memotret para sadhu telanjang di Hardwar atau Benaras, dan perdana menteri kami pasti menggambarkannya persis seperti itu, lalu membujukmu untuk berendam di sungai tersebut. 
Jangan!—Mr. Jiabao, saya sarankan Anda tidak berendam di sungai Ganga kecuali Anda ingin mulut Anda dipenuhi kotoran manusia, jerami, potongan tubuh manusia yang sudah lembek, potongan busuk mayat kerbau, serta tujuh macam limbah industri berbahaya. (hal. 16 – 17)

Anak-anak—terlalu kurus dan pendek untuk umur mereka dan dengan kepala yang terlalu besar serta sorot mata tajam, mereka ibarat perasaan bersalah pemerintah India. (hal.21)
Dokternya tidak datang. Sekitar pukul enam hari itu, seperti yang pastinya tercatat di buku besar pemerintah, ayah saya sembuh dari tuberkulosis, untuk selamanya. (hal. 55)

“…Batu bara bisnis yang kotor.” Dia menguap lagi. “Aku dulu jadi sopir untuk pria yang menjual batu bara. Bisnis yang sangat busuk. Tapi, bosku yang sekarang bisnis baja dan dia membuat semua pebisnis batu bara terlihat seperti orang suci. …” (hal. 135)

Polusinya sangat parah sehingga para pengendara motor dan skuter mengikat sapu tangan untuk menutupi wajah—setiap kali kau berhenti di lampu merah, tampak sederet pria dengan kacamata hitam dan masker penutup wajah, seakan seluruh kota keluar untuk merampok bank hari itu. (hal. 142)

Saya melihat dia mengeluarkan uang seribu rupee, mengembalikannya ke dompet, mengeluarkan uang lima ratus rupee, mengembalikannya ke dompet, lalu mengeluarkan seratus rupee. 
Dia memberikannya kepada saya. (hal. 281)

Merasa lucu sekaligus miris atas derita orang lain, itulah esensi komedi suram.

Secara simpel novel ini menceritakan kehidupan Balram Halwai, seorang pemuda dari Desa Laxmangarh di Distrik Gaya, India. Kehidupan di kampung ini tidak mudah. Satu rumah bisa dihuni belasan orang. Kerbau lebih dimuliakan dari manusia. Pernikahan menjadi ajang keluarga mempelai pria untuk memeras keluarga mempelai wanita. Orangtua tidak punya waktu untuk menamai bahkan mencatat tanggal kelahiran anaknya. Jelata mesti menciumi kaki tuan tanah untuk mendapatkan pekerjaan apa saja. Tiang listrik tidak berfungsi, keran air rusak. Guru meludahi sudut-sudut kelas dan mencatut bantuan untuk para murid. Suatu hari Bahram dikeluarkan dari sekolah oleh keluarganya, supaya ia bisa bekerja di kedai teh dan memenuhi nafkah. Ia juga sempat bekerja sebagai pemecah batu bara. Nasibnya mulai berubah ketika ia mengambil kursus menyetir, lalu menjadi sopir bagi Mr. Ashok di Delhi.

Balram memuji dan menyayangi Mr. Ashok, meskipun kadang majikannya tersebut rada tolol. Mr. Ashok adalah anak dari salah seorang tuan tanah di Laxmangarh. Semula ia jujur, setia, idealis, baik hati, dan baru pulang dari Amerika. Tercemplung ke dalam bisnis keluarga lalu pindah ke Delhi malah menimpakan kemalangan baginya. Hubungan Mr. Ashok dengan istrinya rusak, di samping ia harus terus melakukan bisnis yang melawan nuraninya. Perubahan yang dialami Mr. Ashok memengaruhi Balram. Balram belajar bagaimana orang-orang kaya menggunakan cara-cara keji untuk memuluskan urusan mereka. Mr. Ashok hanyalah salah satu dari orang-orang serakah tersebut, yang tidak mampu berbuat lain karena terjebak sistem. Siapapun akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya. Tugasnya adalah menyuap orang-orang di pemerintahan agar tidak menarik pajak dari bisnis yang dijalankan keluarganya, padahal pajak merupakan hak kaum kecil seperti Balram. Balram pun menyadari keadaannya yang hanya seorang pembantu di India, dan melakukan upaya untuk melawan takdir.

Spoiler. Balram membunuh Mr. Ashok. Ia lalu mengganti namanya menjadi Ashok Sharma, dan mendirikan bisnis outsourcing dengan uang yang semula hendak dipakai menyuap oleh almarhum majikannya itu. Ia tetap menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seolah memang begitulah prosedurnya di India, sekaligus menerapkan sistem kerja yang lebih manusiawi bagi para anak buahnya.

The White Tiger” mengusung isu yang besar sekaligus kompleks, namun ditulis Aravind Adiga dengan gaya yang simpel, ringan, bahkan humoris (baca: satir). Tentu saja aplaus juga perlu diberikan kepada Rosemary Kesauly (pengarang “Kana di Negeri Kiwi”, pemenang sayembara menulis teenlit Penerbit Gramedia Pustaka Utama di tahun yang saya lupa, dan “Mamimoma”, juga teenlit dari penerbit yang sama) selaku penerjemah novel ini ke dalam bahasa Indonesia.

Novel ini menyinggung bagaimana kebodohan kaum kecil dimanfaatkan untuk kepentingan politis.

“Masalahnya, dia mungkin pernah… katakanlah dua, tiga tahun bersekolah. Dia bisa membaca dan menulis, tapi tidak memahami apa yang dibacanya. Dia setengah matang. Negara kita penuh orang sepertinya. Sedangkan kita memercayakan demokrasi parlementer kita,”—Mr. Ashok menunjuk saya—“kepada orang-orang seperti ini. …” (hal. 11)

Balram menceritakan bagaimana demokrasi memberinya tanggal ulang tahun, karena orangtuanya tidak pernah mencatatnya. Ia diberitahu bahwa ia telah berumur 18 tahun oleh pegawai pemerintah yang berwenang, sehingga ia bisa memilih.

Umur saya harus delapan belas. Semua orang di kedai teh harus berumur delapan belas, usia legal untuk memilih. Sebentar lagi pemilu dan pemilik kedai teh sudah menjual kami. Dia sudah menjual cap jempol kami—cap jempol bertinta yang dicapkan orang buta huruf ke surat suara untuk menunjukkan pilihannya. … Seharusnya ini pemilihan tertutup; pemilik kedai mendapat harga yang cocok untuk setiap pegawainya dari partai Sosialis Agung. (hal. 105)

Lebih dari sekadar politik sebetulnya, novel ini juga mengungkit kinerja pegawai pemerintah yang buruk, kontradiksi kehidupan di kota besar, persinggungan antar kasta maupun agama, sampai nasib pembantu di India.

Para pembantu di India sangat jujur dan setia, tapi belum tentu majikan memperlakukan mereka dengan adil. Ketika istri Mr. Ashok menabrak seorang anak jalanan, Balram diminta untuk menandatangani surat pernyataan bahwa ialah pelakunya. Balram juga mesti terampil mengemudikan mobil sembari menuang whisky untuk penumpangnya. Balram menganalogikan pengabdian pembantu di India dengan ayam-ayam dalam kandang.

Ayam-ayam dalam kandang mencium bau dari atas. Mereka melihat organ saudara-saudara mereka bertebaran di mana-mana. Mereka tahu merekalah korban berikutnya. Namun, mereka tidak memberontak; tidak berusaha melarikan diri dari kandang. (hal.186)

Mereka tahu bahwa ketika mereka melalaikan tugas, majikan mereka akan membalas dengan menghancurkan keluarga mereka. Begitulah.

Saya teringat akan tenaga kerja kita yang tersebar di daratan Arab, Hongkong, Singapura, maupun Malaysia. Barangkali pembantu kita diperlakukan secara sewenang-wenang di negara lain, tapi pembantu di India diperbudak oleh bangsanya sendiri. Saya kira dalam dalam beberapa hal India dan Indonesia memiliki kesamaan, meskipun dalam beberapa hal pula agaknya situasi di Indonesia mendingan, atau gambaran dalam novel ini saja yang terlampau sarkastis, sehingga saya penasaran akan karya semacam ini untuk konteks di Indonesia.

Hal lain dalam novel ini yang memikat saya adalah teknik yang dipakai pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama dengan perspektif Balram. Suatu malam Balram mendengar bahwa perdana menteri China akan berkunjung ke Bangalore—tempat Balram bermukim saat itu. Sejak malam itu hingga malam ketujuh, biasanya sudah dini hari, Balram seolah menulis surat pada Mr. Wen Jiabao (demikian nama perdana menteri China) sekalian menceritakan kisah hidupnya. Balram mendasarkan penjelasan mengenai dirinya pada poster yang dipasang polisi untuk mencarinya saat ia menjadi tersangka pembunuhan Mr. Ashok, yang berhasil menimbulkan keheranan-keheranan yang bakal terjawab di bab selanjutnya. Seseorang yang konon telah membunuh, kok bisa mengklaim dirinya sebagai entrepreneur tersukses? Dalam bab selanjutnya pun Balram masih mengungkapkan sesuatu secara sepintas-sepintas, yang bakal terjawab di bab berikutnya lagi hingga cerita tuntas. Rupanya entrepreneur adalah orang yang mampu menangkap pelajaran dari kehidupan, lantas mengubah nasibnya dengan itu tanpa melupakan sesama, sebagaimana Balram, biarpun ia harus melakukan tindakan yang frontal.

Adapun “The White Tiger” alias “Harimau Putih” adalah julukan yang diberikan seorang inspektur kepada Balram, karena ia satu-satunya anak yang bisa membaca dengan lancar di kelasnya saat itu. Harimau putih konon hanya ada satu dari setiap generasi. Balram kemudian menggunakan nama tersebut untuk bisnis outsourcing-nya.

Novel setebal 352 halaman ini saya tamatkan dalam sehari, selain karena saya memiliki keluangan untuk itu, juga saya tidak merasakan kejemuan sama sekali selama pembacaan. Saya tidak menemukan momen dalam novel ini yang mendukung saya untuk mengambil jeda. Saya tidak menyadari apa yang saya kejar selama pembacaan, melainkan bahwa novel ini mengangkat persoalan serius dengan gaya yang enak lagi menarik. Sesekali simile dan ironi di dalamnya bikin saya tersengat. Saya kira saya mengerti kenapa novel ini memenangkan Man Booker Prize, entah tahun berapa—tidak disertakan pada kovernya. Novel seperti inilah yang patut saya baca berulang kali, secara sepintas maupun saksama!***


Rabu, 07 November 2012

Bagaimana Meningkatkan Pembacaan dan Kepenulisan Kita



Yang membuat saya memburu buku semacam “Menganalisis Fiksi – Sebuah Pengantar” (ditulis oleh Dr. Furqonul Aziez, M. Pd. dan Dr. Abdul Hasim, M. Pd., 2010, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia) adalah agar saya mengetahui bagaimana cara mengapresiasi fiksi, sekaligus mengetahui seperti apa fiksi yang dianggap berkualitas. Percuma membaca dan menulis banyak karya tanpa bisa memahami maknanya bukan?

Buku ini menurut saya merupakan buku yang baik untuk memulai pelajaran tersebut. Isinya hanya 102 halaman, mengingat kadang kita keder duluan dengan buku yang lebih tebal. Ukuran hurufnya cukup besar. Bahasanya mudah sehingga enak diikuti, meski rada janggal pada terjemahan kutipan yang umumnya berbahasa Inggris. Gagasan dan sistematika buku ini sebagian memang didasarkan pada buku “Studying the Novel” karya Jeremy Hawthon (1986, London: Edward Arnold Publisher Limited), agaknya itu pula yang membuat fiksi yang dimaksud dalam buku ini lebih diarahkan pada novel. Meskipun demikian bentuk fiksi lainnya seperti cerpen dan novela mendapat ulasan sepintas dalam satu bab.

Novel ternyata merupakan genre sastra termuda. Novel merupakan medium yang lebih leluasa jika dibandingkan dengan puisi, drama, cerpen, maupun novela, yang mana jenis karya lainnya tersebut dibatasi oleh aturan-aturan, bentuk, atau ukuran tertentu. Suatu permasalahan bisa digali secara mendalam hingga menyeluruh melalui novel.

Gillie (penulis “Longman Companion to English Literature”, 1972, London: Longman Group) dalam buku ini mengatakan bahwa Inggris merupakan negara yang sering disebut sebagai tanah kelahiran novel pada abad ke-18. Sebetulnya saya pernah baca di Annida (edisi yang saya tidak ingat) mengenai novel pertama di dunia, yang ditulis oleh orang Jepang pada tahun 1300-an dan menceritakan tentang seorang pangeran bernama Genji-apa-gitu. Saya pernah baca juga di Republika (lagi-lagi di edisi yang saya tidak ingat) mengenai ilmuwan muslim pada masa kejayaan Islam (yang berarti hampir semasa abad pertengahan di Eropa ya?) yang telah menghasilkan novel, kalau tidak salah ada kata “Hayy” atau “Hayat” pada judulnya, tentang seseorang yang belajar kehidupan dari membedah rusa-atau-apa. Adapun novel yang dimaksud dalam buku ini adalah yang memiliki kemiripan dengan kehidupan nyata, dibandingkan dengan jenis karya sastra yang muncul sebelumnya seperti roman atau hikayat. Barangkali novel karangan orang Jepang dan ilmuwan muslim tersebut, maupun karya-karya sastra sebelumnya yang bentuknya rada menyerupai novel itu, dalam konteksnya belum sebagaimana novel yang kita kenal sekarang, lengkap dengan aspek sosiologis-industrinya.

Kemunculan novel merupakan akibat dari bangkitnya kelas menengah di Inggris pada masa itu, yang dengan demikian menyediakan publik pembaca yang luas. Jumlah orang yang melek huruf semakin meningkat. Teknologi percetakan telah mampu memproduksi karya dalam jumlah besar, serta memenuhi pasar dengan harga terjangkau. Membaca novel pun menjadi semacam mode di Eropa. Kelas menengah juga merupakan faktor penting bagi kemunculan kapitalisme. Kapitalisme mengakibatkan individualisme, yang sekiranya menciptakan iklim kondusif bagi aspirasi penulisan novel. Novel ditulis seseorang dalam kesendiriannya, dan dibaca orang lain dalam kesendiriannya pula. Walaupun ditulis dan dibaca secara pribadi, produksi dan distribusi novel memerlukan bentuk masyarakat dan industri yang terorganisasi dengan baik. Ralph Fox (penulis buku “The Novel and The People”, 1979, London: Hutchinson) dalam buku ini mengatakan bahwa novel merupakan epik tentang perjuangan individu melawan masyarakat maupun alam, yang mana ia hanya bisa berkembang di tengah masyarakat yang kehilangan keseimbangan antara manusia dan masyarakatnya, dan masyarakat semacam itu adalah masyarakat kapitalis. Adalah menarik, mengetahui bahwa kapitalisme yang dihujat banyak orang ternyata berperan dalam menyuburkan kebudayaan literer—yang justru dipuja banyak orang!

Bagaimanapun juga buku ini memberikan pengetahuan mengenai banyak hal lain seputar fiksi, khususnya novel. Kita bisa mengenal berbagai macam genre yang telah tercipta. Kita bisa menyadari pentingnya mempelajari karya-karya terdahulu agar dapat menciptakan kebaruan. Kita bisa memahami tujuan penciptaan tokoh hingga kecenderungan sebagian besar novelis dalam menulis karya-karyanya. Kita bisa mengidentifikasi teknik-teknik apa saja yang bisa kita gunakan dalam menggarap narasi, penokohan, plot, sampai latar. Kita bisa membedakan realisme dengan modernisme, plot dengan struktur, atau image dengan simbol. Dan yang lebih penting adalah kita bisa mulai menganalisis secara intrinsik serta menggunakan berbagai pendekatan dalam mengkritik suatu karya.

Sayangnya buku ini terlalu merujuk ke literatur Barat. Puluhan novel Barat (yang umumnya sudah zadul banget!) disebut dalam buku ini, sedangkan dari Indonesia hanya dua novel yaitu “Royan Revolusi” (Ramadhan KH) dan “Siti Nurbaya” (Marah Rusli). Saya berharap menemukan lebih banyak buku yang membantu kita mengenal karya fiksi dari negeri kita sendiri—kebudayaan kita sendiri. Lebih baik lagi apabila kita memiliki buku semacam “The Harper Anthology of Fiction” atau “One World of Literature” tapi dikhususkan untuk karya-karya dari Indonesia saja, yaitu berupa kompilasi fiksi pendek yang masing-masingnya dilengkapi dengan daftar pertanyaan, sehingga membantu pembaca mengembangkan analisisnya terhadap suatu karya.

Meskipun demikian sekiranya calon pengarang tidak perlu terpatok dengan kriteria-kriteria dalam buku terkait kritik. Barangkali buku semacam ini bisa memberitahu mana yang bagus dan mana yang buruk dalam cerita kita, maupun teknik apa yang bisa dipakai untuk melancarkan penulisannya, tapi jangan sampai hal-hal tersebut mengebiri proses kreatif kita.***

Selasa, 06 November 2012

Mengintip Kehidupan Remaja Putri Kalangan Atas



Kenalkan, Adrianna Fernandhita Fauzi. (Saya) panggil saja Adri.

Sejak TK ia bersekolah di Voltaire International School (VIS), dan akan menjalani masa SMA juga di sana. Itu ketentuan orangtuanya, ia selalu menurut pada mereka.  

Adri berasal dari kalangan menengah ke atas, atau memang atas, yang hidup di metropolitan. Tipe anak yang kedua orangtuanya sibuk dan biasa pulang malam, sehingga ia dan saudara-saudaranya dikasih segala fasilitas. Si Papa suka baca, koi, dan golf, dan punya aturan makan malam bareng biarpun ia baru pulang setelah jam sembilan malam. Si Mama yang bankir modis dan gaHul. Masing-masing punya sopir sendiri, pun ada sopir khusus untuk anak-anak mereka. Adri punya seorang kakak dan seorang adik, keduanya cowok. Si kakak yang lebih bisa menentukan nasibnya sendiri meneruskan pendidikan di Bandung, doyan tebar pesona dan mabuk. Si adik suka menonton TV, les, dan olahraga, ingat salat.

Novel “glam girls” karangan Nina Ardianti ini (Gagas Media, 2008) menceritakan kehidupan awal Adri di VIS jenjang SMA, memberikan gambaran akan sebuah sekolah elit internasional beserta sistem pendidikannya, seragamnya, menu internasional di kafetarianya, sampai kehidupan sosial di dalamnya—yang terakhir ini yang jadi sorotan utama. VIS diisi oleh anak-anak yang hidup ala jetset, entah anak sosialita, duta besar, pengusaha, ekspatriat, atau pejabat. Lokal, blasteran, maupun murni bule—hidup mereka ditentukan oleh merek, dengan siapa mereka bergaul, serta kemampuan menyelipkan bahasa Inggris di sela-sela percakapan, he, setidaknya ini yang saya tangkap dari narasi Adri.

Rashi, May, dan Marion merupakan the hottest clique di VIS. Just so you know, clique adalah istilah yang lebih sophisticated ketimbang gank. Nasib menggiring Adri untuk terus dan terus bersinggungan dengan mereka, sampai-sampai bikin Sasya, Selena, dan Bianca iri pada Adri. Namun Adri tidak begitu mengindahkannya, ia lebih peduli pada masalah akademisnya, termasuk ketika ia sekelompok dengan Rashi dan May di subject Indonesian Studies. Mengerjakan tugas bareng Rashi dan May membuat Adri dekat dengan mereka, apalagi setelah Marion minggat dari clique tersebut. Hidup Adri pun mulai berubah… ia lebih memerhatikan penampilan, mendadak populer, pelajaran keteteran, hingga dijauhi orang-orang yang semula dekat dengannya. Bagaimanapun sebagai karakter utama Adri mengalami transformasi, ia berusaha menyeimbangkan perubahan tersebut dengan kehidupannya yang lama. Maka akhir novel ini malah merupakan awal kehidupan yang baru bagi Adri, ia akan menjadi bagian dari clique Rashi dan May.

Eh maaf spoiler.

Anyway, novel ini sebetulnya mengusung unsur-unsur yang bakal kita temukan juga di berbagai sinetron remaja, walaupun saya masih bisa menerima keklisean tersebut sebagai situasi yang wajar. Agaknya pengarang pun mengakui hal tersebut.

Ads:       Abis. Lo pikir hidup gue sinetron yang bersambung melulu!Jasmine_Nads  : Hehehe… Eh, bukannya malah keren banget, Ad. Lo jadi cewek-cewek berkuasa kaya geng cheers di sinetron-sinetron Indonesia. (hal. 207)

Omongan Sasya barusan kayak scene di sinetron-sinetron nggak, sih—minus pelototan dan pindah-pindah angle kamera untuk menambah elemen ketegangan. (hal. 246)

Novel ini mengingatkan saya sama karya-karyanya Sitta Karina, sesuatu yang saya konsumsi di akhir SMP-awal SMA kemudian saya dan teman saya tidak menyukainya sampai-sampai bikin parodinya. Sama-sama mengumbar gaya hidup kalangan atas, mencampur-adukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, dan merek merupakan unsur yang haram untuk dilewatkan. Coba bandingkan kalimat dari halaman 82 ini…

Aku menyampirkan daypack Samsonite pinkish-ku ke bahu dan melirik Swatch di pergelangan tangan kiri.

...dengan kalimat yang sudah disederhanakan ini.

Aku menyampirkan ranselku ke bahu dan melirik jam di pergelangan tangan kiri.

Terasakah perbedaan yang signifikan?

Saya coba mengumpulkan merek-merek yang bertaburan dalam novel ini, ternyata cuman sampai 2,5 halaman A5 saja. Lumayanlah untuk menambah wawasan.

Semula saya teriritasi dengan unsur-unsur tersebut. Kini saya memaklumi penggunaannya untuk membangun kehidupan yang ingin ditampilkan. Ternyata merek merupakan dewa bagi kalangan ini. Pergaulan mereka juga taraf internasional, sehingga wajar kalau mereka bilingual.

Bagaimanapun juga saya masih lebih menyukai novel ini. Barangkali karena narasi dibawakan oleh sudut pandang orang pertama yang notabene karakter utamanya, suaranya “dapet”. Gaya bertuturnya pun enak, sebagaimana bahasa lisan saja. Meskipun sama jorjoran dengan yang ada dalam karya-karya Sitta Karina, namun pembawaan novel ini terasa simpel dan lebih meyakinkan. No offense, it’s just my own opinion. Tuh kan saya jadi latah berbilingual-ria :P

Selain itu bagi saya isi novel ini tidak menyilaukan kovernya, barangkali karena saya sudah pernah mengonsumsi karya semacam ini sebelumnya, atau mungkin juga karena saya sudah tahu apa yang bakal saya hadapi. Karakternya ternyata masih duduk di kelas 1 SMA (grade 10, ya know), masih polos, dan gejolaknya terasa. Karakter lain yang digarap cukup bagus menurut saya adalah Rashi, yang berpotensi sebagai antagonis, tapi dalam perjalanannya malah mendukung protagonis. Karakternya seperti bawang, berlapis-lapis maksudnya. Adapun karakter-karakter lain seperti May, Sasya, Marion, Dico, siapalah, saya rasa cenderung flat, kalau bukan karena perannya yang cuman pendukung, yang dengan demikian membuat nuansa sinetron dari novel ini makin terasa. Beberapa cowok yang disebutkan namanya berseliweran dalam kehidupan Adri, tempting but nothing happened, entah kenapa rada suka dengan yang semacam ini.

Sebetulnya saya antara percaya dan tidak percaya dengan kehidupan yang ditampilkan melalui novel ini. Di satu sisi saya ingin mempercayainya, maksudnya, saya membaca novel ini untuk mengetahui (kembali) kehidupan kalangan tertentu, sehingga apa yang saya dapatkan dari novel ini saya anggap sebagai cerminan realita. Di sisi lain saya rada tercengang dengan bagaimana peliknya kehidupan sosial kaum ini. it’s like you’re nobody without brand, popular acquaintances, and else—bleh!  Saya yang rada asketis ini pun belum bisa mengatakan kalau kehidupan sosial saya bagus, maka saya memilih untuk bisa fleksibel dalam pergaulan ketimbang eksklusif seperti itu. Saya berinteraksi dengan siapapun yang ada, bukan dengan yang memiliki label tertentu.

Barangkali sebagian orang bakal terkesima dengan ke-sophisticated-an (bahasa apa sih ini? o_0) yang disajikan cerita dalam novel ini, karya-karyanya Sitta Karina, serial “Gossip Girl”, atau apalah. Saya sih justru kasihan dengan orang-orang yang mendasarkan hidupnya pada hal-hal yang tidak mendasar seperti itu, sooo materialistic, sampai untuk cari teman yang tulus saja susah. Apalagi di sekitar kita toh masih banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari saja tidak mampu. Pun sekiranya lebih baik untuk mensyukuri mereka yang masih mau menghargaimu, meskipun kamu merasa sudah tidak punya harga diri.***

Senin, 05 November 2012

****


Aku akan kembali ke daerahmu untuk meneruskan nasibku. Mendadak teringat kamu. Ingin tanya kabarmu. Alhamdulillah yah, katamu. Masih begini saja, tapi kamu sedang di pelosok. Hati-hati di jalan, katamu. Naik kereta atau bis. Ah kamu tidak baca pesanku sebelumnya. Tapi aku tetap membalas. Kamu tidak.

Sesaat aku hangat. Aku ingin ketemu temanku, menyanyikan “Kuring Bogoh ka Manehna”[1] untuknya. Terbayang-bayang ikut kemanapun kamu, walaupun anak kita akan besar di hutan. Pertanyaanmu untuk membuatku berpikir, sedang aku ingin langsung kamu katakan apa inginmu. Kamu keras, kamu juga lembut. Percikan-percikan di antara kita. Ternyata kita sama. Menangguhkan lainnya demi meraup yang satu. Wajah menyeramkan. Jika bisa bersamamu aku akan bersemangat. Jikapun aku tetap sedih, aku ingin sedih di pangkuanmu. Tapi segera setelah ini aku akan melupakanmu. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.


Lodaya pagi, 311012



[1] Lagunya Jafunisun.

Sabtu, 03 November 2012

Untuk Wanita-wanita Kesepian


Mengenakan fur—semacam penghangat leher yang terbuat dari bulu hewan—merupakan tren bagi wanita pada tahun 1920-an, dan belum dianggap sebagai suatu kejahatan. Miss Brill memiliki sebuah fur yang ia hendak kenakan untuk menonton pertunjukan musik di taman pada suatu Minggu sore.

http://www.hatshapers.com/Old%20Postcards.htm
Tidak biasanya  tempat tersebut ramai dikunjungi orang. Sepasang lansia duduk di bangku “spesial” Miss Brill. Miss Brill yang doyan menguping kecewa karena pasangan tersebut tidak bicara pada satu sama lain, mereka seperti patung. Minggu lalu suami-istri dari Inggris yang berada di tempat tersebut. Istri mengeluh soal kacamata, yang dengan sabar ditanggapi oleh suami. Bukan peristiwa yang mengenakkan juga bagi Miss Brill.

Miss Brill pun mengamati orang-orang lain. Ia melihat orang-orang yang duduk di bangku, tampak sama dari Minggu ke Minggu, aneh, pendiam, hampir semuanya tua, dan dari cara mereka memandang mereka seperti berasal dari ruangan yang gelap dan sempit.

Ia juga melihat bagaimana seorang wanita cantik menjatuhkan bawaannya, yang diambil oleh seorang bocah untuk diserahkan pada wanita itu lagi, tapi wanita itu malah membuangnya seolah barang tersebut telah beracun.

Seorang wanita dengan topi ermine (sejenis cerpelai) mendekati seorang pria. Wanita itu tampak senang dan mengajak pria tersebut mengobrol, tapi sang pria malah mengepulkan asap rokok ke wajah tersebut lantas pergi begitu saja. Wanita itu pun sendirian, tapi ia segera mendekati orang lain dengan lebih ramah.

Miss Brill sangat menikmati mengamati orang-orang, seperti sebuah pertunjukan drama. Semua berada di atas panggung, termasuk dirinya. Ingatannya melayang pada seorang pria yang ia bacakan koran setiap empat sore dalam seminggu, yang kondisinya sudah seperti orang mati. Tapi tiba-tiba pria itu menyadari kalau selama ini wanita yang membacakan koran untuknya adalah seorang aktris!

“Yes, I have been an actress for a long time.”

Seiring dengan band yang terus bermain, Miss Brill membayangkan orang-orang turut bernyanyi.

Sepasang remaja kemudian duduk di bangku “spesial” Miss Brill, menggantikan pasangan lansia yang semula di situ. Sembari masih bernyanyi tanpa suara, Miss Brill mendengarkan percakapan sepasang kekasih tersebut, bagaimana mereka mengolok-olok fur yang ia kenakan.

Di perjalanan pulang Miss Brill biasa membeli cake madu. Kadang ia mendapatkan almond pada irisan cake tersebut, kadang tidak. Keberadaan almond baginya bagai sebuah hadiah kecil, sebuah kejutan. Tapi hari itu ia melewati toko roti begitu saja, langsung menuju kamarnya yang gelap dan sempit seperti lemari. Beberapa lama ia duduk saja, sebelum melepaskan fur-nya dengan cepat, tanpa melihat, lalu mengembalikannya ke kotak. Setelahnya ia seperti mendengar tangisan.  

***

Cerpen karya Katherine Mansfield ini membuat saya ingin memainkan biola terkecil di dunia.


Bagaimanapun cerpen dibuka dengan mood baik Miss Brill, begitu seterusnya meski beberapa kali ia melihat hal yang tidak ia sukai, hingga ia bertemu dengan sepasang kekasih yang membicarakan dirinya. Musik yang dimainkan oleh band di taman tersebut seolah menggambarkan suasana yang berganti-ganti.

Tapi beberapa detail dalam cerpen ini menunjukkan bagaimana Miss Brill sebenarnya merupakan sosok yang kesepian. Ia mengisi kekosongan dari hatinya dengan mengamati orang-orang.

She had become really quite expert, she thought, at listening as though she didn’t listen, at sitting in other people’s lives just for a minute while they talked round her.

Walaupun ia tidak mengenal orang-orang tersebut, sehingga ia mendeskripsikan mereka dari apa yang mereka kenakan.

Ia juga berusaha menyangkal perasaan negatif dalam dirinya.

And when she breathed, something light and sad—no, not sad, exactly—something gentle seemed to move in her bosom.

…and it also explained why she had quite a queer, shy feeling at telling her English pupils how she spent her Sunday afternoons.

And what they played was warm, sunny, yet there was just a faint chill—a something, what was it?—not sadness—no, not sadness—a something that made you want to sing.

Bahkan di akhir cerita pun ia menyangkal kalau ia yang menangis.

But when she put the lid on she thought she heard something crying.

Dan barangkali keberadaan almond dalam cake, yang ia anggap sebagai hadiah/kejutan, merupakan caranya untuk menghibur diri.

Pengarang bahkan tidak menyebutkan nama depan Miss Brill sama sekali di sepanjang cerpen, seolah menunjukkan bahwa Miss Brill tidak memiliki teman yang bakal memanggilnya dengan nama tersebut.

Dengan demikian Miss Brill begitu sayang pada fur-nya, seolah benda tersebut adalah sahabatnya. Ia bahkan memanggil benda tersebut “little rogue”, yang mana kata tersebut merujuk pada orang yang bersikap buruk namun tidak berbahaya, seperti seorang pria. Barangkali Miss Brill merindukan seorang pria.

Miss Brill menolak untuk teridentifikasi dengan orang-orang yang barangkali lebih menyerupai dirinya…

Other people sat on the benches and green chairs, but they were nearly always the same, Sunday after Sunday, and—Miss Brill had often noticed—there was something funny about nearly all of them. They were odd, silent, nearly all old, and from the way they stared they looked as though they’d just come from dark little rooms or even—even cupboards!

(bandingkan dengan penggalan dari paragraf terakhir ini:

But today she passed the baker’s by, climbed the stairs, went into the little dark room—her room like a cupboard—and sat down on the red eiderwood.)

…namun dapat bersimpati dengan wanita bertopi ermine yang bisa jadi seorang pelacur.

Saya coba memahami kenapa Miss Brill tidak senang dengan sepasang lansia yang tidak saling bicara, istri yang rewel sedang suami berusaha menghibur, orang-orang yang duduk di bangku dan diam saja, wanita yang membuang kembali barang yang telah diambilkan seseorang untuknya, serta pria yang tidak mengacuhkan wanita bertopi ermine. Menurut saya alasan Miss Brill lebih dari sekadar yang terkemuka dalam cerpen maupun ulasan-ulasan mengenai karya tersebut yang saya baca. Miss Brill sebagai orang yang sendiri dan kesepian, sedang orang-orang yang ia amati sebagai orang yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lainnya, tapi tidak termanfaatkan dengan baik. Barangkali hari Miss Brill bakal lebih indah ketika ada yang mau mengobrol dengannya, sehingga menjadi pengalaman yang berkesan bahkan berarti baginya, dan bukannya malah membicarakannya diam-diam.

***

Cerpen ini menunjukkan bagaimana suatu karakter dapat ditampilkan secara utuh tapi ringkas, walaupun karakter tersebut tidak secara langsung mengungkapkan bagaimana dirinya. Beberapa ulasan yang saya baca mengatakan kalau cerpen ini pun merupakan bahan yang baik untuk mempelajari ironi dan simbolisme. Misal bagaimana Miss Brill mencemooh sosok-sosok yang sebenarnya menyerupai dirinya, juga pada detail-detail yang membantu mengungkap makna seperti “fur”, “rogue”, “nose”, dan sebagainya.

Lucu mengingat bagaimana di awal cerpen Miss Brill memerhatikan fur­-nya yang dilengkapi anggota tubuh hewan itu…

But the nose, which was of some black composition, wasn’t at all firm. It must have had a knock, somehow.

…sementara di akhir ia menyadari kenyataan (getting hit onthe nose) pahit mengenai hidupnya.

Sendiri Itu tidak Indah. Solitude Is not Bliss. Walaupun Sakit Sendiri memang bisa memantik inspirasi. 


Antitesis dan perenungan untuk
Sendiri Itu Indah - Seurieus
Solitude Is Bliss - Tame Impala
Sakit Sendiri - Rumah Sakit


Referensi
Barnet, S. 1991. The Harper Anthology of Fiction. New York: HarperCollins Published Inc. (bisa juga dibaca di sini)
http://www.enotes.com/miss-brill/
http://en.wikipedia.org/wiki/Miss_Brill
http://www.jstor.org/discover/10.2307/373778?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21101200862223
http://www.helium.com/items/1535684-the-short-fiction-mastery-of-katherine-mansfield-as-seen-in-miss-brill
http://grammar.about.com/od/developingessays/a/brillessay.htm


Tambahan
Cerpen ini pernah diadaptasi menjadi film pendek, dalam versi modern pula. Rada wagu sih, tapi tonton aja deh.



Jumat, 02 November 2012

Surat dari Mataku

Sebenarnya saya enggak ingin mengerjakan latihan yang sama dua kali, tapi rupanya mata saya juga ingin surat-suratan. Ini katanya:


sumber gambar:
http://versionthespot7.blogspot.com/2012/04/7-fungsi-dahsyat-air-mata-kita.html

Aku bekerja keras untuk membantumu mencapai keinginanmu, meski itu kian melemahkan fungsiku. Padahal telah lebih dari 1/3 waktumu kau istirahatkan aku, tapi seolah itu tak cukup. Kontaminasi cahaya buatan tak bagus bagiku, dayaku sudah tak sebaik dulu. Belum tetanggaku, si Telinga, mengeluh akibat kau dera terus-menerus dengan lagu. Itupun memayahkanku. Barangkali aku belum bisa pensiun dari pekerjaanku sebagai penyapu aksara, tapi kau bisa meringankan bebanku dengan membuat aktivitasmu lebih variatif. Sehingga jangan aksara terlalu mendominasi ranahku, tetapi juga orang-orang, hewan, pepohonan!, gunung, lautan, dan angkasa!, dengan penerangan alami, lebih sehat bagiku—kau tahu. [241012]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain