Kamis, 01 Mei 2014

Pergi Menonton Teater

Aduh judulnya seperti judul karangan anak SD. Tapi memang saya jarang menonton teater. Sekalinya menonton teater, dilangsungkannya pada malam hari. Ada masalah transportasi. Tapi memang saya tidak berminat pada teater. Saat baru duduk dalam kegelapan, di GK. (Gedung Kesenian?) Sunan Ambu Sekolah Teknik Tinggi Seni Indonesia, malam (30/04/14), saya sempat ingin bertanya pada teman di sebelah saya, yang mengajak saya untuk menyaksikan pergelaran bertajuk MASBRO itu, “Bagaimana sih cara mengapresiasi teater?” Seperti saat saya baru duduk di kursi menonton Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogyakarta, bertahun-tahun silam, sembari mengerut-ngerutkan kening saya bertanya-tanya dalam batin, “Bagaimana sih cara mengapresiasi jazz?” Jangan dipikirin, dinikmatin aja!—mungkin begitu caranya. Maka saya pun berhenti memikirkan, dan menonton saja.

Kalau kabaret di panggung tujuhbelasan komplek dikesampingkan, pengalaman menonton teater yang pertama-tama saya ingat adalah semasa SMA. Kala itu siang-siang di gedung Rumentang Siang, di samping gedung Pasar Kosambi, dan saya datang bersama seabrek remaja berseragam lainnya karena tugas dari sekolah. Saya lupa bagaimana cerita dalam pertunjukan itu. Namun ada satu lakon yang mengenakan topeng berpipi chubby, dan dia, atau orang-orang yang bertemu dengannya, menyebut dirinya, “Chubby-chubby gitu.” Julukan itu kemudian ikut-ikutan disarangkan pada teman sekelas yang pipinya juga chubby, persis seperti topeng di pertunjukan itu. Ketika melihat wajah di balik topeng itu seusai pertunjukan, ternyata pipinya jauh dari chubby.

Pengalaman yang berikutnya saya ingat adalah pertunjukan di Taman Budaya Jawa Barat alias Dago Tea House. Sama, semasa SMA juga. Sepulang sekolah, saya datang bersama teman dari SD atas undangan teman lainnya yang juga dari SD. Pertunjukan itu diselenggarakan oleh ekskul teater di SMA-nya. Teman kami itu hanya mendapat peran kecil dan entah apakah sebenarnya dia muncul lebih dari sekali. Adegan yang saya paling ingat adalah adegan yang ditutupi layar putih, maksudnya semacam sensor-sensoran, begitu, dan tentunya bisa dibayangkan maksud adegan itu.

Pengalaman berlanjut semasa kuliah. Entah dua atau tiga kali. Semuanya diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta. Yang satu atau yang dua saya tidak ingat; malam pula. Saya pulang diantar oleh kakaknya teman yang mengajak saya. Ada pula yang sore, pokoknya saat hari masih terang, dan ceritanya pun seperti dongeng untuk anak-anak. Lakonnya ada putri apa dan pangeran apa, begitu. Seusai pertunjukan, para pemain bermunculan dan kami bisa berfoto bareng mereka.

Kembali pada pengalaman baru-baru ini. Sembari menonton, saya teringat cerpen John Cheever yang saya pernah coba-coba menerjemahkan: “The Fourth Alarm”. Dalam cerpen itu, narator selaku tokoh utama juga menceritakan sedikit pengalamannya menonton di layar selagi menyaksikan pertunjukan teater telanjang istrinya. Tampaknya dia juga bukan orang yang pandai mengapresiasi teater. Atau mungkin dia hanya kesal karena istrinya tampil telanjang di muka publik bersama banyak orang lainnya.

I can’t describe the performance. Ozamanides had two sons, and I think he murdered them, but I’m not sure. The sex was general. Men and women embraced one another and Ozamanides embraced several men. … Now on the stage Ozamanides was writing something obscene on my wife’s buttocks.

Garis bawah dari saya, sekadar untuk menunjukkan bagian yang memberi kesan bahwa dia sedang berusaha untuk mencerna pertunjukan tersebut.

Masbro yang macho, kata Nyonya Bungkang
Lepas dari ingatan akan cerpen tersebut, saya sadar bahwa yang saya tengah tonton bukanlah pertunjukan telanjang—untunglah. Di tiket tertulis bahwa pertunjukan ini merupakan adaptasi dari Macbett karya E. Ionesco. Tapi tanpa sempat mencari tahu lebih lanjut bagaimana karya Ionesco itu dan siapa pula gerangan Ionesco, saya mencoba untuk mencerna pertunjukan itu sebagaimana adanya. Sayang, kami masuk ke dalam ruangan agak telat. Teman saya bimbang karena dia harus menyerahkan tiket titipan dari orang lain pada seseorang yang dia belum pernah temui, sementara seseorang itu entah kapan bakal datang dan tidak bisa dihubungi. Dari dalam sudah terdengar keriuhan. Lagu dangdut, lagu rakyat Betawi, lagu dangdut lagi. Mengundang rasa penasaran pertunjukan macam apa yang akan dipertontonkan di dalam sana. Akhirnya tiket itu dititipkan pada penjaga pintu.

Kami diarahkan untuk menuju balkon. Yang dimaksud balkon ternyata berada di lantai tiga, di atas area operator, dan berupa undakan berkarpet. Kami merasa mendapat special seat, duduk di paling belakang, lengang, bisa sambil selonjoran bahkan tiduran, dan bersandarkan dinding.

Ceritanya kira-kira begini: Jendela Gendul dan Jenderal Kendor merencanakan pemberontakan terhadap pemimpin di negeri mereka, Raja Bungkang. Tapi mereka nyaris tidak muncul lagi di sepanjang pertunjukan. O mungkin salah satunya muncul lagi dengan kepala ditutup ember dan kedua tangannya disangkutkan pada sikat WC, tapi itu nanti. Lalu muncullah Jenderal Masbro yang berambut gondrong megar. Tampaknya dia punya karisma tersendiri yang memikat istri Raja Bungkang, sebut saja Nyonya Bungkang. Penampilan awal Raja Bungkang dan Nyonya terkesan satiris. Raja Bungkang menyanyi-nyanyi padahal sedang sakit gigi. Nyonya Bungkang gemar memotret ini-itu. Nyonya Bungkang diam-diam ingin menggulingkan kekuasaan suaminya. Karena itu, dia beserta seorang pembantunya menyamar menjadi Tukang Tenung dan berusaha memengaruhi Jenderal Masbro. Tapi toh Nyonya Bungkang membuka juga kedoknya dan Jenderal Masbro pun takluk. Mereka menggandeng Jenderal Bengo yang diam-diam punya dendam pada Raja Bungkang. Satu ketika, mereka menembaki Raja Bungkang hingga tewas. Jenderal Masbro pun menikahi Nyonya Bungkang dan menjadi raja. Namun tahu-tahu Nyonya Bungkang muncul dalam pakaian berkabung, menegaskan dirinya sebagai janda Raja Bungkang, sehingga kita meragukan pula kesetiaannya pada Jenderal Masbro. Benar saja, dia kemudian menggaet sosok baru: Jenderal Masbray. Jenderal yang baru ini menggulingkan Jenderal Masbro. Pertunjukan ditutup dengan komentar dari seorang budayawan.

Menonton pertunjukan ini seperti membaca cerpen di ruang PERTEMUAN KECIL, koran Pikiran Rakyat. Kesan satirnya jelas sekali. Seandainya pengalaman saya dalam menonton teater lebih banyak, barangkali saya bisa berkomentar lebih banyak pula. Maka paling mudah bagi saya untuk mengatakan saja adegan mana yang menurut saya menarik: 1. Ketika cowok-cowok berjas hujan muncul lalu membuat keributan di atas panggung, entah sambil menaiki kuda-kudaan atau mengacung-acungkan botol kaca yang ceritanya minuman keras. Keramaian seperti ini entah mengapa rasanya mendebarkan; 2. Kemunculan Tentari alias Tentara Wanita atau dalam lakon ini adalah Wanita Jadi-jadian… Ya, kalau ada istilah “Saudara-Saudari”, mengapa tidak dengan “Tentara-Tentari”? Kocak pokoknya!; 3. Ada beberapa adegan menaiki kuda-kudaan dan bagaimana orang yang berada di atas kuda tersebut berperan ganda—sebagai pengendara kuda dan kuda itu sendiri—rasanya waw.

Mengintip dari kejauhan...
Ada beberapa saat selagi menonton saya mengingatkan diri saya sendiri kalau pertunjukan ini live. Kesalahan sedikit saja kala berlakon di panggung akan dikenali oleh penonton. Mengagumkan apabila mereka bisa tampil dengan begitu meyakinkan. Teman saya yang sedang belajar ilmu budaya di universitas bilang: ruangan sengaja digelapkan dengan penerangan tersorot pada panggung saja ditujukan untuk memberi kesan pada penonton bahwa mereka sedang “mengintip”. Barangkali para pemain di panggung pun berlagak seolah-olah tidak tahu kalau mereka sedang “diintip”. Saya teringat satu adegan dalam film The Dreamers; ketika tokoh utama menerangkan konsep film atau kamera film atau semacam itu seperti mengintip orangtuamu sedang melakukan apa, begitu… Lupa juga.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...