Senin, 10 November 2014

Dari Sastra Perlawanan sampai Spiritualisme: Launching Karya Terbaru Ayu Utami di Fikom Unpad, 5 November 2014

Selasa, 5 November 2014, Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjajaran (Unpad) bekerja sama dengan penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, komunitas Layar Kita, dan perpustakaan Batoe Api mengadakan acara launching buku terbaru Ayu Utami, Simple Miracle: Doa dan Arwah di Gedung 5 Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad. Sebelumnya karya Ayu Utami yang telah diterbitkan adalah dwilogi Saman (1998) dan Larung (2001), kumpulan esai Parasit Lajang (2003), Soegija: 100% Indonesia (2012), Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013), serta seri Bilangan Fu yang terdiri dari Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Cerita Cinta Enrico (2012), Lalita (2012), dan Maya (2013).

Acara ini berlangsung selama kurang lebih dua jam pada sekitar pukul 15.30-17.30. WIB. Pada sesi diskusi, berbagai pertanyaan dari peserta terus bermunculan. Kebanyakan datang dari mahasiswa Fikom Unpad, namun ada pula yang berasal dari Sastra Prancis maupun umum. Pertanyaan meluas mulai dari pandangan Ayu Utami terhadap gender dan seks, cerita tentang keponakannya yang dapat melihat makhluk gaib, sampai perbedaan antara pornografi dan erotika, namun yang terutama adalah mengenai karya terbarunya serta proses kreatif yang mencakup karya-karyanya yang lain.

Spiritualisme Ayu Utami

Simple Miracle merupakan buku pertama dari seri “Spiritualisme Kritis”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Bilangan Fu dan berarti keterbukaan pada yang spiritual tanpa menutupi narakritis; bagaimana tidak menjadi bodoh walau terbuka pada yang tidak terverifikasi seperti Tuhan. Tiap buku dalam seri nonfiksi ini akan menceritakan hal yang berbeda. Adapun buku pertama adalah tentang roh dan kematian.

Kendati dalam novel pertamanya, Saman, terdapat kesan menentang agama, namun ketika membacanya lagi Ayu Utama merasa bahwa bahasanya sangat biblikal. Ia pun menyadari bahwa agama lah yang memberinya alat untuk berpikir, termasuk untuk mengkritisi agama itu sendiri. “Sejelek-jeleknya agama, agama memelihara banyak hal seperti seni dan sebagainya,” dengan tambahan bahwa agama yang dimaksudnya ialah agama sebagai institusi/organisasi.

Lebih lanjut tentang spiritualisme, Ayu Utami menjelaskan bahwa spirit ialah roh, arwah, sesuatu yang bukan material. Dalam menghadapi yang immaterial, orang terbagi menjadi dua jenis. Ada orang yang menggunakan cara-cara immaterial untuk tujuan duniawi. Ada juga yang memperlakukannya untuk tujuan immaterial hingga pada akhirnya mencapai hakikat ketuhanan, buddhisme, dan sebagainya. Spiritualisme ialah cara untuk membebaskan diri dari keduniawian dan mencapai sesuatu yang lebih, bukan untuk memenuhi hasrat duniawi. “Bagi saya, tujuan duniawi itu diselesaikan dengan cara-cara duniawi aja.”

Oleh karena itu, spiritualisme berbeda dari takhayul. Takhayul merupakan pemenuhan tujuan duniawi dengan cara spiritual sekaligus alat untuk memanipulasi. Takhayul memiliki kepentingan praktis, misalnya larangan untuk keluar rumah waktu magrib karena peralihan dari terang ke gelap dapat berakibat tidak baik bagi penglihatan manusia, namun metodenya tidak jernih sehingga bisa dimanfaatkan untuk yang lain.

Menurutnya, pengalaman keilahian itu lebih intim dari seks. Ia mengibaratkannya dengan pendidikan seks. “Orangtua tinggal kasih info yang banyak, tapi biar anak yang menemukannya sendiri. Orang yang mengalami secara personal akan lebih kokoh imannya, ketimbang yang cuman menelan, sehingga jadinya dogmatis, tapi dalamnya kosong, menghadapi serangan dengan reaktif, sementara yang kokoh akan menghadapinya dengan tenang.” Dalam dunia psikologi perkembangan, ada istilah “individuasi” yaitu tahap ketika anak melawan orangtuanya. Proses perpisahan harus terjadi supaya anak tumbuh. Begitupun orang yang membenci agama mungkin sedang mengalami proses. Kesalahan institusi adalah memaksakan orang untuk beragama.

Proses Kreatif

Seorang peserta yang telah menuntaskan Simple Miracle mengungkapkan bahwa belakangan gaya bahasa dalam karya-karya Ayu Utami menjadi terasa ringan. Ayu Utami mengakui bahwa tiap karyanya memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Ia ingin berkomunikasi dengan pembaca sehingga harus mempertimbangkan kemampuan mereka dan tidak melulu menulis karya eksperimental. Menurutnya, karyanya yang paling mudah adalah Parasit Lajang, Simple Miracle, dan Cerita Cinta Enrico. Adapun yang paling sulit adalah Bilangan Fu, Larung, Saman, Pengakuan Eks Parasit Lajang, dan seterusnya.

Dalam menulis, ia mengerjakan beberapa buku sekaligus. “Buat saya, menulis itu membutuhkan pengendapan. Kayak telur asin. Makin lama bikinnya makin enak.” Maka gaya bahasa yang digunakannya dalam menulis pun tergantung pula pada karakter yang sedang diceritakannya. Dalam Saman dan Larung, gaya bahasanya berat tapi halus, liris, dan puitis. Lain lagi dengan Bilangan Fu karena karakter di dalamnya tidak seperti itu, melainkan keras dan sinis.

Menanggapi paradoks pemikiran yang terdapat dalam novelnya, Maya, serta cara untuk menyampaikan pengalaman subjektif tanpa mendikte, Ayu Utama mengatakan, “Walau saya feminis, saya tidak menyederhanakan pengalaman manusia. Ada yang namanya intersubjektivitas. Meskipun banyak pengalaman subjektif, tapi ada kapasitas untuk membagikannya.” Sastra juga bukan untuk dijadikan pamflet politik.

Menurutnya estetika dalam menulis itu penting. “Sama kayak masturbasi. Enak di diri sendiri, tapi belum tentu orang yang melihatnya nikmat. Jadi kejujuran aja enggak cukup. Butuh estetika supaya mudah dipahami. Seni itu usaha estetik untuk menyampaikan kejujuran, enggak sekadar vulgar. Cerita harus nikmat, supaya bertahan. Kenikmatan ada beberapa level, bisa fisikal, bisa emosi, bisa juga kognitif. ”

Ayu Utami mencontohkan mitos yang menurutnya hebat karena dapat menyampaikan suatu makna tanpa menggunakan data faktual, contohnya cerita tentang Adam dan Hawa. “Dari dulu sampai sekarang terus bertahan karena menyentuh sesuatu yang dalam pada diri manusia.”

Ayu Utami sebetulnya tidak memaksudkan karyanya dalam bentuk seri. Namun pembaca di Indonesia rupanya belum terbiasa dengan bacaan tebal sehingga karyanya pun dipecah menjadi beberapa buku. Bilangan Fu, misalnya, yang ditulisnya dengan riset selama 4,5 tahun, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan laku dalam tempo setahun saja, sementara di Indonesia lima tahun.

Pemilihan judul dalam bahasa Inggris untuk buku terbarunya ini pun ditujukan untuk menyesuaikan dengan zaman, di samping pertimbangan rasa bahasa.

Ketika ditanya mengenai bacaan favorit, Ayu Utami tidak bisa mengatakannya karena setelah dewasa membaca banyak sekali buku. Namun sewaktu kecil bacaan kesukaannya adalah seri Lima Sekawan dan, khususnya, Tintin, yang membuatnya berkeinginan menjadi wartawan. Setelah menamatkan studi ilmu linguistik di jurusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia, ia pun menjadi wartawan hingga media tempatnya bekerja diberedel pemerintah Orde Baru. Ia dipecat dan tidak diperbolehkan menjadi wartawan lagi. Ia lalu menyuarakan perlawanannya melalui karya sastra. Menurutnya, pada masa Orde Baru, sastrawan tidak begitu diincar dibandingkan wartawan. Banyak wartawan dibunuh, tapi sastrawan tidak. Demikian karya yang dihasilkannya kemudian disebutnya sebagai “Sastra Perlawanan”.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...