Kamis, 28 Oktober 2010

Kado Ulang Tahun dari Seorang Ayah untuk Putrinya


Judul : Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan, 2003

Saya lupa kapan pertama kali saya coba membaca novel ini. Saya sudah memilikinya sejak 2004—saat itu saya hampir seumur dengan Sophie, sang tokoh utama. Namun setelah umur saya mencapai 19 tahun, saya masih belum dapat benar memahami pelajaran filsafat yang disampaikan. Saya kepikiran untuk membacanya ulang di suatu kali—entah kapan. Cerdas nian Sophie itu, untuk ukuran gadis 14 tahun!

Pelajaran filsafat dalam novel ini dikemas dengan gaya bertutur yang membuatnya jadi terasa lebih sederhana—tentunya, jika dibandingkan dengan buku teks. Sebagian besar dapat saya pahami, sebagiannya lagi tidak. Dan tak terhitung berapa kali saya ketiduran saat membaca buku ini, seringnya di pagi hari. Secangkir filsafat untuk menyingkirkan teh atau kopi di pagi hari, mengapa tidak?

Jauh lebih banyak dialog ketimbang narasi dalam novel ini. Ada narasi pun, tersaji seperlunya saja dan kadang kurang deskriptif, misalnya ketika Sophie merasakan efek dari meminum isi botol-botol yang Alice dari Negeri Ajaib berikan.

Ada baiknya setelah habis satu bab, kita berhenti membaca sejenak untuk merenungkan apa yang disampaikan melalui bab tersebut. Kalau perlu membacanya ulang sampai sungguh paham. Kalau perlu membaca dengan meresapi setiap kalimat sehingga tak perlu sampai membaca ulang. Itu pilihan, yang saya tak melakukannya, hehe. Memang tak terhindarkan, sesekali saya membaca ulang suatu kalimat atau paragraf agar dapat memahami apa yang disampaikan.

Setidaknya, kini terbuka wawasan saya akan perkembangan pemikiran manusia dari masa ke masa. Dari Socrates sampai Sartre. Meski kalau harus menjelaskan kembali tentang filsafat Socrates, saya hanya ingat benar akan metode pembelajarannya. Itu pun sudah saya ketahui sebelum membaca novel ini, meski novel ini kemudian memberi gambaran yang lebih jelas.

Tidak hanya berisi pelajaran filsafat, novel ini juga menyuguhkan misteri yang merangsang kita untuk terus mengikuti jalan cerita. Dan menemukan banyak hal tak terduga! Pengarang mengajak kita bermain-main dengan berbagai realitas dalam novel ini. Misteri Hilde dan sang Mayor perlahan terkuak mulai tengah cerita. Selanjutnya saya merasa konsep novel ini lucu nian. Novel ini ternyata merupakan kado ulang tahun bagi sang Mayor untuk putrinya, Hilde. Sungguh suatu kado yang amat manis!

Sang Mayor membuat para tokoh rekaannya menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan pada Hilde dengan cara yang terduga. Sering dengan hal-hal janggal secara realita. Namun itu menjadi realistis karena Sophie dan guru filsafatnya, Alberto Knox, ternyata hanya rekaan sang Mayor. Tapi, sudah jelas pula bagi kita, sebagai pembaca dalam realita kita, bahwa sang Mayor dan putrinya pun merupakan rekaan pengarang!

Ini seperti melihat seseorang yang sedang melihat ke luar jendela dan mendapatkan seseorang yang sedang melihat ke luar jendela dan mendapatkan seseorang yang sedang melihat ke luar jendela… dan seterusnya.

Setelah Sophie dan Alberto akhirnya sadar bahwa mereka sekedar rekaan, dialog-dialog mereka selanjutnya akan membuat kita dapat menyelami bagaimana rasanya menjadi tokoh rekaan yang sadar bahwa dirinya rekaan. Karena saya juga mengarang, saya menerka-nerka apakah mungkin para tokoh rekaan saya juga mengalami hal yang sama. Mungkin mereka juga tengah mengamati saya dari kejauhan, berusaha menggapai saya, namun karena kami menempati realitas yang berbeda, kami tak dapat saling menyentuh. Seperti hantu, fisik mereka tak nyata namun kehadiran mereka mungkin terasa.

Situasi-situasi paralel dan keterkaitan antar satu kejadian dengan kejadian atau pelajaran filsafat berikut, baik di dunia Sophie maupun dunia Hilde—yang juga saling berkaitan, bagi saya merupakan hal yang menggelitik. Tak ada batasan dalam berimajinasi di sini. Tokoh-tokoh khayali yang kita kenal seperti Winnie the Pooh dan si Tudung Merah—bahkan Nabi Nuh!—jadi pameo dengan kemunculan sesaat yang dapat menjelaskan suatu pemikiran besar seperti Marxisme, Darwinisme, dan lain-lain.

Menjelang menamatkan Dunia Sophie, saya merasa lucu. Sophie yang sudah berumur 15 tahun akhirnya berkelana dengan Alberto yang mungkin seumuran ayahnya. Ini mengingatkan saya akan pasangan Humbert Humbert dan Lolita-nya, karena saya belum lama menamatkan Lolita sebelum menamatkan novel ini. O, tentu saya tidak mengharapkan ada kejadian macam-macam antara Sophie dan Alberto, toh ibu Sophie juga mengizinkan putrinya pergi dengan pria tersebut dengan mudahnya.

Hilde akhirnya membalas sang Mayor atas perbuatannya pada Sophie yang telah merebut simpati Hilde. Layar pun turun, menutup adegan berenang malam-malam antara ayah dan putrinya. Pertunjukan yang memberi pelajaran filsafat, humor, absurditas, dan imajinasi liar pun usai.

Maka, saya kira pengarang telah berhasil menyampaikan sebuah pesan untuk saya di penghujung novel: bebaskan pikiranmu! Kita tak akan bisa jadi filosof sebelum membebaskan pikiran kita, bukan? Alurnya jadi jelas setelah bab Freud, lalu penjelasan tentang absurditas lengkap dengan contoh kejadiannya dalam kehidupan Sophie kemudian, bahwa apa yang kita serap dari kehidupan tidak akan pergi ke mana-mana. Kita bisa saja berusaha mengenyahkannya, jika tak kuasa melepasnya kembali dalam suatu bentuk, tapi siapa nyana bahwa mereka ternyata hanya mengendap di alam bawah sadar kita? Dan mengejewantah jadi absurditas, dalam bentuk apapun itu. Intinya, jadilah sekreatif mungkin—berimajinasilah!

Namun bagaimana pun, apa yang novel ini sampaikan hanyalah kompilasi pemikiran berbagai manusia yang dikemas dengan begitu uniknya. Kita harus selalu ingat bahwa manusia tak bisa lepas dari kesalahan. Sampai kapan pun adalah kewajiban kita untuk terus mencari Kebenaran—bukan hanya kebenaran yang berlaku bagi diri kita, manusia, melainkan bagi seluruh alam semesta. Novel ini bisa jadi semacam perangsang untuk itu, namun sebaiknya kita juga punya landasan keimanan yang memadai saat menyelami pelajaran filsafat dan imajinasi di dalamnya.

Dunia Sophie adalah novel Jostein Gaarder kedua yang saya telah tamat baca. Sebelumnya adalah novel dengan judul yang persisnya saya lupa, namun berkaitan dengan lelaki penjual dongeng dan gadis pemintal jaring laba-laba (?). Saya juga tahu novel Jostein Gaarder lainnya seperti Gadis Jeruk, Misteri Soliter, dan mengenai perpustakaan apa begitu.

Saya menangkap satu hal identik dari beberapa novel Om Gaarder ini. Dalam Dunia Sophie, kisah lelaki penjual dongeng, dan Gadis Jeruk, kita akan mendapatkan kisah tentang ayah dan putrinya. Dalam Dunia Sophie, seorang ayah membuat novel filsafat untuk kado ulang tahun putrinya. Gadis Jeruk merupakan kumpulan surat seorang ayah untuk putrinya. Kisah lelaki penjual dongeng adalah tentang seorang ayah yang meninggalkan putrinya dan di kemudian hari melakukan hubungan inses dengan putrinya itu tanpa ia ketahui sebelumnya. Misteri Soliter juga melibatkan seorang tokoh ayah. Ada apa di antara Om Gaarder dengan sosok ayah?—lebih khusus lagi, hubungan ayah dan putrinya?

sumber gambar

2 komentar:

  1. itu cover edisi lama ya?
    saya bacanya yang covernya hitam, kefantasi-fantasian.
    tapi emang keren!

    BalasHapus
  2. iya, ini yang terbitan taun 2003. saya punyanya yang itu. akhirnya bertambah lagi satu buku favorit saya!

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...