Selasa, 24 September 2013

Nyamuk Pengisap Ingus

Seekor nyamuk salah mengira lubang hidung sebagai lubang telinga. Permukaan lubang hidungku ditusuk-tusuknya seakan ia mencoba masuk. Akupun bersin kuat-kuat hingga ingusku melesat. Cairan hijau kental itu menjerat tubuhnya di kasur. Aku bergidik jijik tapi terlalu malas untuk membereskannya. Jadi aku pindah ke sisi lain kasur saja. Esoknya, nyamuk itu sudah tidak ada.

Malam itu aku harus menyelesaikan suatu pekerjaan. Lagi-lagi seekor nyamuk salah mengira lubang hidung sebagai lubang telinga. Apa ia buta? Kutepuk tubuhnya hingga remuk. Nyamuk lapar biasanya menjadi bercak hitam di tangan, sedang nyamuk kenyang meninggalkan noda merah—darah. Nyamuk kali ini menyisakan gumpalan hijau keruh…

Upil?


(cerita 100 kata di Kemudian.com)

Jumat, 13 September 2013

Lembam



secuplik lirik (terjemah bebas):
Aku capek banget, tapi enggak bisa tidur.
Aku kesepian, tapi males ngambil HP.

Rabu, 11 September 2013



Ini potongan dari iklan HP di koran sekitar tujuh tahun lalu. Cowok di iklan ini mirip dengan seseorang di kepalaku. Jadi aku menyimpannya, menempelkannya hingga menimpa gambar peta Amerika Serikat bagian Kentucky-Tennessee-dan-sekitarnya pada sampul buku folio untuk corat-coret. Lalu aku menaruhnya di dalam dus, di puncak tumpukan corat-coret semacam. Sore ini aku menyadari kalau tutup kardus tersebut telah dikencingi kucing, (so ein Mist!), dan aromanya atau zatnya mungkin merembes sampai ke sampul buku ini. Jadi aku melakukan upaya penyelamatan lanjut dengan memindainya lalu memajangnya di sini. Silahkan dinikmati. Ganteng kan. Aroma kencingnya tidak tercium kan? 


#2013.09.07

Senin, 09 September 2013

Am­ba­rilé!

Ardian:

Bibe sayang. Akhirnya selesai juga saya garap komposisi-komposisi ba­ru. Waktu baru sampai di sini berapa bulan lalu, waduh, kepala ra­sa­nya amburadul. Lalu saya diam saja di apartemen teman saya, cu­man mencet-mencet piano. Kadang-kadang ke studio. Sebagian ada sih yang sudah jadi waktu ma­sih di Bandung. Sebenarnya banyak la­gi di kepala ini yang mau di­keluarkan. Tapi untuk sementara yang su­dah jadi dulu saja saya ba­gi-bagi. Minta pendapat orang-orang.

Jadi ingat. Belum lama waktu saya baru balik ke Bandung. Mungkin ba­ru beberapa bulan. Saya ikut jipnya Kang Ahéng, lalu menemukan Ka­mus Kecil Sunda – Indonesia karangan Pak M. O. Koesman di dash­board. Itu buku sudah lama sekali dari tahun 1984. Lalu saya baca-ba­ca. Ternyata waktu pagi anaknya Kang Ahéng mengerjakan PR Ba­sa Sunda di mobil. Hahaha saya juga dulu sok kitu (:suka begitu). Un­tung keburu. Lalu Kang Ahéng bilang itu buat saya saja. Nanti be­li­au beli lagi.

Duh. Bibe. Rasanya tiap kata di kamus itu bikin piano di kepala saya ja­di berisik. Membacanya enggak sesulit membaca kamus bahasa Jer­man. (Padahal dulu saya enggak senang buka kamus tapi lama-ke­la­ma­an butuh karena pergaulan.) Apalagi karena memang saya dulu sudah ak­rab sama bahasa Sunda. Banyak juga yang sama dengan ba­hasa In­do­ne­sia. Misal ada yang artinya sama, seperti “kuda”, “angin”, “ba­tu”, “ja­lan”, “sawah”, “gunung”, jsb. Tapi ada juga yang beda mi­sal­nya “ulah” dalam bahasa Indonesia berarti tingkah laku, sedangkan dalam ba­hasa Sunda berarti jangan, tidak boleh.  

Masih ingat Ambarayah Ambarilé, Bibe? Saya enggak menyangka Teh Ayum bakal pakai nama itu. Padahal saya asal celetuk saja wak­tu nimbrung obrolan soal rumah makannya itu, waktu baru mau di­di­ri­kan, sambil baca-baca kamus M. O. Koesman itu. Saya masih ingat be­berapa minggu setelah rumah makan itu jadi, saya ajak Bibe ke sa­na. Menjelang sore Bibe datang. Saya masih mengiringi Ceu Emar se­pupunya Teh Ayum nyanyi “A Foggy Day”[1]. Tapi liriknya diganti yang harusnya “a foggy day in London town” jadi “a foggy day in Pri­angan”. Terus “British Museum” jadi “Rumentang Siang[2]” ha­ha­ha. Pas sekali waktu itu kan habis hujan. Di luar masih agak men­dung. Bagus sekali Ceu Emar, apalagi ketika melagukannya seperti me­nyinden. Telinga saya serasa digigit-gigit habis itu digelitiki ke­mo­ceng. Brrrr! Untung saya enggak disuruh main lagi. Kita duduk di dekat Aduy, Andar, sama Andihi, masih ingat mereka, Bibe? Terus sa­ya pesan gurame ambarilé, khasnya rumah makan itu. Porsinya be­sar sekali. Kita makan berdua. Lihat muka Bibe seperti enggak bakal sang­gup menghabiskan sendiri hahaha. Lagian saya juga sudah ma­kan itu waktu makan siang. Memang enak sih. Cam­pur­an asin, ma­nis, asam, gurih, dan sebagainya meresap merata sam­pai ke duri-du­ri­nya. Makanya disebut ambarilé. Beberapa hari setelah sam­pai di sini saya masih terkenang-kenang meriahnya rasa gurame itu. Dan jadilah “Gurame Ambarilé”.

Begitu, Bibe. Tiap komposisi ini ada ceritanya masing-masing. Un­tuk pembuka misal. Saya terinspirasi “Aweuhan Awi Awis” (:gema bam­bu mahal) waktu anjang ke rumah teman yang punya koleksi alat mu­sik dari bambu. Ada di antaranya dari jenis bambu yang mahal. Sam­bil santai-santai saya dengar alat musik itu seperti dimainkan angin. Damai sekali. Lalu “Anggel Anggarésol” (:bantal tidak lurus) mun­cul waktu saya lagi susah tidur. “Aub Angob” (:ikut menguap)—wak­tu itu saya lagi main ke persawahan punya teman di pinggiran ko­ta. Siang terik panas sekali. Kami minum sari tebu di balé-balé. Te­pat di samping saya ada kerbau ikut berteduh juga. Saya sama meng­antuknya dengan kerbau itu waktu itu. Saya coba bikin aran­se­men­nya untuk saksofon lalu minta teman saya mainkan hahaha. Su­a­ra flute mungkin lebih mendekati ya. Tapi dalam suasana begitu ra­sa­nya enggak ada yang bisa menggantikan kesyahduan suling bambu. “Aru­la-arileu” (:berliku-liku) terpikir waktu saya menyetir ke Ta­sik­ma­laya, mau menengok saudara Ayah. Kalau bukan saya yang me­nye­tir tapi cuman duduk saja, apalagi di bangku belakang, mungkin sa­ya sudah muntah-muntah. Makanya iramanya cenderung ke swing hahaha. Jangan ikutan pusing, Bibe. Di sana juga saya sempat de­ngar se­ma­cam tembang dari rumah tetangga. Ada baitnya kira-kira be­gini “…budak leutik bisa ngapung…[3] (:anak kecil bisa melayang-la­yang) sampai bikin saya termenung-menung. “Budak kun­ti meureun,” (:anak kuntilanak mungkin) pikir saya waktu itu. Be­la­kang­an ini ketika teringat lagi momen itu saya terilhami untuk me­ma­in­kannya ulang dengan piano. Begitu juga dengan “Ngancik Enin” (:ting­gal di nenek) dan “Hayam Geus Ngampih” (:ayam pulang ke kan­dang). Itu cerita ketika saya sama adik saya harus tinggal di ru­mah ibunya Ayah. Ada seminggu lebih. Rasanya seperti berbulan-bu­lan. Waktu itu orangtua saya lagi keluar negeri. Sedang “Mapay Areuy” (:menyusuri tanaman merambat) tahu-tahu saja muncul wak­tu saya lagi meng­amati lalat naik-naik di gelas saya. Sepertinya wak­tu itu saya la­gi di Cisangkuy[4].

Ah. Banyak juga ternyata. Kapan-kapan disambung lagi ya, Bibe. Sa­ran saya sih langsung saja ke “Antaré” (:santai). Moga-moga bisa meng­obati kalau-kalau Bibe lagi capek atau bosan. Juga “Asihan”. Itu mantra supaya disayang orang. Spesial dari Ceu Emar. Beliau ju­ga yang take vocal. Coba saja didengar berulang-ulang barangkali mujarab. Hahaha.

Selamat menikmati ya Bibe.[]


Bibe:

Pernah beberapa kali aku melewati Ambarayah Ambarilé setelah kun­junganku yang pertama… sekaligus yang terakhir. Uang sakuku te­rasa berat dikeluarkan untuk makan lagi di sana. Selain itu orang­tuaku juga sepertinya tidak akan pernah mengajak aku makan di sana sam­pai kapan pun.

Memindai deretan judul track yang dikirimkan Om Yan me­ner­bang­kan­ku kembali ke masa lalu. Apalagi ketika sampai di Gurame Am­ba­rilé”. Aku masih ingat samar-samar Om Aduy yang mukanya pe­nuh jerawat, Om Andar yang rambutya gimbal, juga Om Andihi yang bongsor. Aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Lalu setelah ke­ke­nyang­an makan ikan, dengan mobilnya kami berjalan-jalan tan­pa tu­ju­an—nganclong. Sampai ke kawasan yang cukup sepi. Per­sa­wah­an yang tinggal beberapa petak diapit perumahan dari berbagai arah. La­ngit agak gelap. Hawa lembap mendekap. Tepian sawah cukup le­bar un­tuk kami ngaleut (:jalan beriringan). Ia mencelup-celupkan ta­ngan­nya ke air yang meng­genangi padi. Memanggilku agar ikut meng­a­mati kodok yang se­dang asoy-asoyan (:maju sedikit-sedikit). Kami ju­ga sempat ngala (:memetiki) kersen. La­lu kusadari ia meng­hilang. Ter­nyata ia sudah kembali ke mobil. San­daran joknya di­re­bahkan se­ba­gian. Ia memegang buku ke­cil yang sampulnya di­dominasi war­na hijau. Tertera tulisan berwarna ku­ning di atasnya: KA­MUS KE­CIL SUNDA – INDONESIA. Me­nyam­but kehadiranku, ia ber­pa­ling se­je­nak dari bukunya lalu me­nun­juk langit. “Awang-awang ang­keub (:la­ngit mendung),” katanya. …se­karang aku sudah sampai di track ber­judul sama… “Aneh eng­gak kedengerannya? Awang-awang ang­keub?” Kukira ia sedang men­dengarkan lagu di dalam ke­pa­lanya. Ia lalu bercerita tentang ayah­nya yang doyan menulis se­su­a­tu dalam ba­hasa Sunda. Entah pu­i­si, bobodoran (:humor), sampai car­ponca­rita pondok (:cerita pen­dek). Lalu aku menyodorkan be­be­rapa tang­kai bu­nga yang ku­te­mu­kan di pinggir sawah. Ia meng­u­cap­kan terima ka­sih tapi tidak ku­bi­ar­kan tangannya mengambil. “Bu­kan buat Om,” ka­ta­ku. “Tapi buat Tan­te Ri.” …sekarang judul “An­jang ka Anjeun” (:me­ngunjungimu) ter­tera di layar ponselku… Ia ter­senyum penuh pe­ngertian. “Hm… Ta­hu gini mah dibawa ke Lem­bang aja. Lebih ba­nyak di sana bu­nga­nya…” Aku langsung me­nyam­but dengan sem­ri­ngah. “Hayuk! Ka­pan?”

Lalu ia mengantarku pulang. Sampai ke pintu depan. Walau itu ber­ar­ti ia harus memarkir mobilnya di seberang gang. Lampu di dalam ru­mah su­dah menyala. Sudah magrib waktu itu. Aku menawarinya ma­suk. Ia tersenyum sambil berkata lain kali saja. Memang ada Papa dan Ma­ma di rumah. Lalu, sudah tidak mengejutkan lagi sih se­be­tul­nya, Pa­pa senewen. Aku bisa maklum kegusaran Papa karena aku se­ring per­gi dengan laki-laki sebayanya (Om Yan lebih muda beberapa ta­­hun sih) yang belum menikah. Tapi ya aku lawan saja. Aku hanya ber­­sikap sebagaimana aku diperlakukan kan. Lalu sesudahnya Mama men­­dekatiku. Sempat kami membicarakan prasangka Papa yang bu­kan-bukan. Mama mestinya memihakku. Om Yan kan teman baik Ma­ma sejak SMA, dan lagi CLBK sama mantan pacarnya waktu di SMA. Jadi kami cuman berteman. Bahkan kadang ia mem­per­la­ku­kanku se­perti anaknya sendiri, walau memang sih ia tidak punya anak. Ja­ngan-jangan kalau ia punya anak sendiri sikapnya bakal se­me­­nye­bal­kan Papa? Ujung-ujungnya Mama menasihatiku. Budak teh meni atah adol (:ini anak ku­rang ajar banget sih), omelnya. 

Track berjudul “Aping Pangantén” (:menggandeng mempelai) meng­a­­lun. Sehabis ini “Bungah Amarwata Suta” (:gembira sekali) yang ba­giku terasa seperti nama orang. Mungkin kalau Om Yan punya anak, ia akan menamai anaknya dengan nama itu.

Toh masa itu sudah berlalu. Papa tidak sering-sering lagi meng­u­sik­ku. Per­hatiannya sekarang lebih tercurah pada Mama yang lagi ha­mil. La­gipula Om Yan sudah kembali ke Boston tanpa menggandeng istri. Ti­dak Tante Ri. Tidak siapapun. Kami jarang membicarakan itu ka­re­na aku tidak enak saja menyinggungnya. Walaupun baginya mungkin ringan sa­ja. Ia mengocehkannya dalam “Ngaprak Jodo” (:mencari jo­doh ke ma­na-mana)—kusetel ulang. Selang beberapa track di atasnya, ada track yang di­ju­duli “Am­bon” (:cinta sepihak). Aku tidak tahu kenapa aku yang se­dih. Aku bekap muka dengan ban­tal. Sampai track yang baru pertama kali ku­dengar—“Pagéto Amat” (:sehari setelah esok). Aku meng­ang­kat ke­pala. Lalu ada bonus track yang dibawakannya bersama Ceu Emar. “Di dinya”[5] (:di sana). Me­mang, ia tidak lagi di sini.

Aku merasa sangat ambarilé.[]



[1] Berdasarkan lagu “A Foggy Day” oleh Dakota Stanton
[2] Nama gedung pertunjukan kesenian di Bandung
[3] Kalau tidak salah dari pupuh Kinanti
[4] Nama kafe di Bandung yang terkenal karena yoghurtnya
[5] Sebetulnya plesetan dari lagu “Dindinha” oleh Ceumar dari album Putumayo Presents: Music from Coffee Lands II. Sama sekali bukan lagu sunda.



Ini sebetulnya catatan pembacaan yang dimodifikasi. Buku yang dibaca adalah Kamus Kecil Sunda - Indonesia (bagian huruf A doang sih), yang disusun oleh M. O. Koesman dan diterbitkan oleh Penerbit Tarate Bandung, cet. 8, 1996.

Matak hampura alurna kedodoran hehehe. Hatur nuhun sadayana anu tos maca. Sampurasuun...

Sabtu, 07 September 2013

I           : Varian Zebra
Hari ini kami diberikan kertas bergambar zebra. Kami ha­rus mewarnainya. Aku tidak mau zebraku jadi zebra bi­a­sa. Maka aku mewarnai belangnya dengan spidol me­rah. Ja­di zebraku bukan zebra cross, tapi zebra na­si­o­nal­is, se­perti buyutku waktu zaman penjajahan Belanda. Bu­yut­ku anggota KNIL. Keren kan? [1] Di sebelah kananku Ani­la le­bih ajaib lagi. Ia mewarnai belang di zebranya dengan ber­tu­rut-tu­rut warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Pelangi seperti mendarat di zebranya. Indah sekali. Di se­belah kiriku Karim malah tidur. Kepalanya miring mem­be­lakangiku. Tapi aku masih bisa mengintip hasil pe­ker­ja­annya di bawah kepalanya. Ia tidak mewarnai se­su­ai garis. Zebranya separuh hi­tam separuh putih, di­pi­sah­kan oleh garis lurus yang ia buat sendiri. Mungkin ze­branya peranakan tapir. Garis untuk warna belang ze­bra di bagian yang putih ia biarkan saja. Ma­lam­nya aku ber­mimpi menunggangi zebraku di padang ber­bu­kit-bu­kit hi­jau yang tetumbuhannya menyerupai per­men-per­men. Di samping kananku Anila dengan ze­bra­ pelanginya ber­ker­lap-kerlip. “Di rumah aku tam­bah­in glitter,” ka­­ta Ani­la ce­ria. Karim menyusul tidak lama ke­mu­dian. Ia me­­ngen­da­rai seekor kuda berwarna abu-abu di samping ki­ri­ku. “Ini bu­kan ku­da, ini zebra,” katanya seolah bisa men­de­ngar pi­­kir­an­ku. “Bukannya tadi zebra kamu warnanya hi­tam-pu­tih?” ujar­ku. Jawabnya, “Iya. Tapi kan aku ke­ti­dur­an. Te­rus kelunturan ilerku.”[]


II          : Asal-usul Nyamuk
Malam itu bising sekali. Banyak nyamuk ber­se­li­wer­an di se­kitarku. Memang aku buka jendela karena ha­wa gerah. Lam­pu juga kupadamkan karena aku tidak bi­sa tidur ka­lau silau. Kutepuk nyamuk yang hinggap di le­ngan kiriku. Da­lam keremangan cahaya bulan yang me­ne­robos lewat jen­dela, aku bisa melihat nyamuk itu ter­gu­ling ke sisiku. Be­kas tepukanku tidak meninggalkan da­rah sama sekali. Da­lam sekedip, sekonyong-konyong nya­muk tersebut men­jelma sosok serupa manusia tak berbaju. Ce­pat-ce­pat kulempar se­limut untuk menutupi tubuhnya. Un­tung ia ha­nya ping­san. Ketika ia siuman, teranglah mis­terinya. Be­gini ce­ri­ta­nya: “Dulu kami menjelma ke­le­la­war. Tapi ke­mudian ma­nu­sia menjadi semakin banyak. Ka­mi pun ber­alih ke wu­jud yang lebih efisien, walau ri­si­ko­nya lebih rentan. Jadi nya­muk, mampuslah engkau sekali te­puk.” La­lu aku ber­ta­nya, “Apa setiap makhluk yang Anda gigit akan jadi vam­pir ju­ga?” Dia menjawab, “Tentu tidak. Ma­af-maaf sa­ja ya. Kalau ingin regenerasi, kami juga pi­lih-pi­lih.” Lalu aku mem­biarkannya terbang kembali. Ma­lam be­rikutnya aku la­gi-lagi sulit tidur. Guling ke sana ke­ma­ri. Hei, Nya­muk, bo­leh-boleh saja kalian gigit aku, tapi mbok ya tidak usah ber­denging-denging begitu. Berisik ta­hu. Wa­lau mung­kin itu tanda kalian masih punya harga di­ri. Ka­lian be­ri kami si­nyal agar kami pun mengerahkan per­ta­hanan di­ri, de­ngan mengibas-ngibas, menepuk-ne­puk, atau me­nyem­­prot bau-bauan. Sehingga upaya ka­li­an men­cari ma­kan bu­kanlah ker­ja yang pengecut, seperti ku­­tu busuk yang meng­­isap di­am-diam dari dalam kasur, me­­lainkan su­atu per­­juangan. Un­tuk ke sekian kali aku ber­­guling, meng­ha­dap jen­dela. Ti­ba-tiba beberapa sosok ber­jubah tam­pak. “Ber­dasarkan penilaian yang te­lah kami la­kukan se­la­ma ini, kami rasa Anda adalah kan­didat yang te­pat,” ucap sosok yang di tengah. So­sok di sampingnya me­nim­pali, “Se­lamat, Anda ter­pi­lih...” Sosok mereka men­­dekat de­ngan cara seperti me­la­yang. “Hei, hei, ter­pi­lih apa…?” Aku tidak dengar jelas ta­di. Aku beringsut mun­­dur. Me­re­ka menerkamku di be­be­ra­pa bagian. Tapi me­reka ti­dak ta­hu kalau aku ve­ge­ta­ri­an. Maka ketika ma­lam-malam me­­reka menyambangi ka­sur demi kasur, aku ber­buru bu­ah ranum ber­sama para nya­muk kebun.[]


III         : Si Tampan Maut
Hiduplah seorang pemuda yang ketampanannya sung­guh terlalu. Gerak-geriknya mengguncangkan jiwa, hing­ga banyak pasien baru di panti rehabilitasi. Senyum-sa­pa­nya meluluhkan hati, hingga penyakit kuning mewabah ke seantero negeri. Ke mana ia berjalan, gadis-gadis meng­ikuti. “Tampan, bolehkah kami mengelusmu?” tanya se­orang gadis. “Boleh,” jawab Tampan. Begitu berhasil meng­elus si Tampan, melelehlah gadis-gadis itu di­bu­at­nya, hingga meninggalkan kubangan di jalanan. Warga ti­dak tahu bagaimana membereskannya. Mereka bi­ar­kan ku­bangan-kubangan itu diuapkan mentari dan me­ne­bar aro­ma bangkai ke seantero negeri. Populasi gadis me­ro­sot drastis. Para anggota dewan berkumpul untuk men­dis­kusikan masalah ini. Kehadiran pemuda itu di­ang­gap meng­ancam kelangsungan negeri. “Masa depan ne­ge­ri ini ada di rahim para gadis. Pemuda itu tidak boleh ber­a­da di negeri ini lebih lama lagi.” Tapi gadis-gadis te­lah ka­dung dimabuk berahi. Mereka mencakar-cakar diri sa­at pe­muda itu dikerangkeng tentara, dan dibawa ke hu­tan nun jauh terpencil. Selama perjalanan yang berputar-pu­tar, penglihatan pemuda itu diselubungi kain erat-erat su­pa­ya ia tidak tahu arah kembali. Ia lalu ditinggalkan di se­bu­ah gua, bersama penyesalannya karena menjadi ter­la­lu tampan.[]



[1] Sebetulnya KNIL bekerja untuk Belanda. Jadi ini salah kaprah.

Kamis, 05 September 2013

Beberapa aforisme (Cungkilan cacatan harian sebulanan ini—Agustus ’13 [yang bisa juga cungkilan dari buku lain—metacungkilan!])

1
Bergaul dan bekerja itu kudu beriringan, sebab pekerjaan itu me­nopang pergaulan.

2
Dari bab tentang Victor Frankl, Karakter-karakter yang Meng­gu­gah Dunia (John Mc Cain dan Mark Salter, terjemahan T. Her­maya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, cet. 2):

Nietzsche: Manusia yang punya alasan untuk hidup akan dapat menanggung hampir setiap cara hidup. (hal. 46)

... kesalahan mereka ialah mengharap sesuatu dari hi­dup, dan ketika hidup tidak memberi apapun kecuali ke­kejaman, mereka menyerah. Ketahanan hidup ber­gan­tung pada pemahaman dan penerimaan atas ha­rap­an hidup; dengan melakukannya, kita menemukan mak­na hidup bahkan di dalam penderitaan yang ter­bu­ruk, dan menikmati beberapa harta yang masih kita mi­liki: keramahan mengejutkan dari orang lain, keindahan ma­tahari terbit, keanggunan pohon yang tumbuh di mu­sim semi. (hal. 47)

... makna hidup dapat dicapai dengan tiga cara: "de­ngan menciptakan karya atau melakukan tindakan, de­ngan mengalami... dan dengan sikap yang kita ambil da­lam menghadapi penderitaan yang tak terelakkan." (hal. 48)

3
Setelah mengetahui betapa rumitnya bahasa Jerman di­ban­ding­kan bahasa Inggris, barangkali selanjutnya pembelajaran ba­hasa Inggris akan terasa lebih mudah.

4
angst (jerman, belanda) = hariwang (sunda)

5
Dari Muslim Menemukan Eropa (Bernard Lewis, terjemahan Ah­mad Niamullah Muiz, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988, cet. 1):

… semua orang sama sebagai manusia sebagaimana ma­nusia lainnya, tak seorang pun memiliki kelebihan, atau kebaikan. Setiap pribadi mengatur dirinya dan me­lang­kahkan kehidupannya dalam dunia ini dengan sen­di­rinya. Dalam keimanan yang sia-sia serta pandangan yang tak masuk akal itu aliran pikiran baru ini mem­ba­ngun prinsip baru berikut hukumnya serta me­lem­ba­ga­kan apa yang dibisikkan oleh setan kepada mereka, meng­hancurkan sendi-sendi agama, membuat dasar hu­kum untuk segala apa yang diharamkan, dan meng­ha­lalkan setiap hasrat yang dikehendaki nafsunya. Me­re­ka membujuk masyarakat umum dengan pikiran tak su­sila itu. Di antara mereka yang menjadi gila me­ne­bar­kan kedurhakaan terhadap agama…

Dengan buku-buku yang berisi kebohongan dan ke­sa­lah­an berpikir yang dibuat logis… (hal. 176)

6
Dari Mimpi-mimpi Einstein (Alan Lightman, terjemahan Yusi Avi­anto Pareanom, Kepustakaan Populer Gramedia, 2004, cet. 8):

Inilah dunia impuls. Dunia kesungguhan hati. Dunia di ma­na tiap kata yang meluncur hanya untuk saat itu, se­ti­ap tatapan sekilas hanya memiliki satu makna, setiap sen­tuhan tidak mempunyai masa depan atau pun masa si­lam, setiap ciuman adalah ciuman yang spontan. (hal. 30)

9
Ketiak basah seperti rambutan cokelat.

10
Imajinasi + Kemampuan = Karya
Imajinasi – Kemampuan = Mimpi

11
Dari bab “Adler: Psikologi Individual” dalam Teori Kepribadian Edi­si 7 Buku 1 (Jess Feist & Gregory J. Feist, terjemahan Han­dri­atno, Penerbit Salemba Hu­ma­ni­ka, Jakarta, 2010):

Individu yang tidak sehat secara psikologis akan ber­ju­ang untuk superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis mencari keberhasilan un­tuk semua umat manusia. (hal. 82)

12
Menurut kamu, kamu cantik enggak?
Tergantung sama pencahayaannya. Tergantung juga lagi ada siapa di deketku.

13
Dipikir-pikir aku ini enggak pernah SMA, tapi cuman kursus sing­kat mengerjakan soal UN/UM/USM/SPMB.

Rabu, 04 September 2013

Ringkasan Pertemuan dengan Pong

Pong, 23 tahun, di sebuah kafe di kawasan Cibeunying—Bandung utara—menghadiri reuni OSIS SMA. Di luar, lampu sorot kendaran memecah kegelapan. Satu sedan berhenti di pelataran. Pintunya terbuka. Tapi tidak menghadirkan yang dinanti.

Speaker entah di mana, kali ini mengalunkan musik lembut khas Kings of Convenience. “Toxic Girl”. Pong terdiam, tidak lagi jadi bagian dari kericuhan. Duduknya beringsut sedikit dari kawanan. Musik duo asal Norwegia itu acap membenamkannya ke masa lampau, namun tidak sedalam ini.

Ia lelaki berambut galing, tebal di atas dan tipis di samping. Cambangnya tercukur rapi. Kulitnya kuning berseri. Namun dalam posisi duduk saja, kita dapat menerka tubuhnya tidak tinggi.

“Kenapa ujug-ujug diem, Pong?” Seseorang menegur.

“Lagu ini. Ngingetin gue sama seseorang.”

“Cewek?”

“Gitu deh.”

“Lu persis kayak orang di buku ini.”

Orang itu menunjukkan sampul depan buku di tangannya. Pong melirik. Norwegian Wood. Haruki Murakami. Bahkan pembuka cerita ini pun dibuat mengikuti pembuka dalam novel itu.

“Gimana ceritanya?” Pong tanya tanpa benar-benar tertarik. Buku itu pun diambilnya saja tidak.

“Ya… Dia inget sama orang yang dia suka di masa lalu—cewek.”

“Terus gimana dia sama cewek itu?”

“Ceweknya gila terus gantung diri.”

Pong menggeleng.

“Cewek racun,” temannya berkata lagi.

“Yeah, man.” Bener banget.

“Yeah. Gue tahu lagu itu. Asa pernah liat videoklipnya. Enakeun sih. Kalau di sana mah lagu tentang makhluk beracun teh jadina alus (:jadinya bagus), di Indonesia mah jadinya ‘Keong Racun’.”

Pong menanggapi dengan gumaman yang agak lama, lalu, “Yeah. Sama-sama beracun.” Mereka diam agak lama, sampai Pong melanjutkan, “Deraz tuh yang demen sama lagu-lagu Kings of Convenience.” Kawan bicaranya hanya menanggapi dengan hm, sembari menanti Pong terus berkata.

Pada suatu waktu di SMA, di ruang OSIS, ia dan Deraz bermain gitar. Masing-masing duduk di kursi yang berhadapan. Deraz mengulik “Toxic Girl”. Pong mengiringi.

“Sambil nyanyi dong, Raz,” tegur Pong.

“Enggak ah.” Deraz selalu tahu bagaimana menjaga kharisma.

“Gue kenal enggak sama itu cewek?” si teman menyela kenangan.

Tentu saja Pong tidak sudi bilang kalau temannya itu kenal. Pong hanya cerita, suatu kali ia naik KRD ke Rancaekek. Lalu di tengah jalan, keretanya berpapasan dengan kereta yang memuat cewek itu dengan banyak teman lelakinya.

“Loh, itu kan adegan yang ada di videoklip?” sela si teman. Dan jelas kereta dalam videoklip itu bukan KRD tujuan Rancaekek. Lagipula kapan Bandung raya pernah bersalju setebal itu.

“Intinya, nih,” suara Pong memelan, “hati gue sama dia enggak pernah bersatu.” Dengan kedua belah tangan, ia peragakan bagaimana tangan kiri melesat begitu saja tanpa tangan kanan berhasil menepuknya.

“Terus apa itu cewek ujug-ujug datang ke ruang OSIS, terus, yah, tahulah…?” ada adegan ciuman dalam videoklip itu. Si teman sulit membayangkan. Pong juga. Semua tahu kalau Deraz tidak begitu dekat dengan cewek manapun, atau, mereka berharap mereka tahu tapi senyatanya tidak pernah bisa tahu apa Deraz pernah punya hubungan spesial dengan cewek, ataupun cowok. Tapi Pong tahu, seandainya mungkin, cewek yang dimaksudlah yang pernah berharap dicium Deraz. Tapi si teman tidak ia kasih tahu. “Cewek sekolah kita?”

Tentu Pong tidak bilang. Temannya kembali melanjutkan bacaan. Sedang ia menyusupkan earphone ke lubang telinga, lalu mencari satu lagu milik January Christy di playlist smartphone miliknya, bagaimanapun juga angannya sudah kadung… “Melayang”…

“Ipong…”

“Huh?” Pong menengadah. Ah. Dia. Cara cewek itu melafalkan namanya masih menggelitik telinga. “…datang juga.”

Dulu, saat gejolak diri begitu tak terkendali, segala yang tampak pada cewek itu sungguh merawankan. Matanya yang bulat berbinar, hitam menenggelamkan. Sulur-sulur rambutnya yang panjang menjerat hati sampai sesak. Kulitnya bening menyegarkan. Tubuhnya harum memabukkan. Senyumnya manis menyetrum sampai ubun-ubun.

Mereka saling kenal sejak SMP. Hubungan mereka cukup erat berkat masa-masa berat yang mereka jalani bersama di OSIS, dan di sekolah itu sendiri. Saat Pong didaulat mengisi sopran di ekskul vocal group, para jagoan sekolah berlomba-lomba memacari cewek itu. Saat Pong lagi-lagi dijebak memerankan nyonya cerewet dalam kabaret ekskul teater, pacar resmi para jagoan sekolah ramai-ramai mem-bully cewek itu. Saat Pong telah menjadi senior yang eksis berkat kiprahnya di berbagai kegiatan kesiswaan, sadarlah ia kalau tubuhnya tidak cukup tinggi untuk dapat memenuhi kriteria sebagai pacar cewek itu. Saat Pong memasuki SMA yang sama dengan cewek itu, tahulah ia macam apa sebenarnya cowok yang paling diidam-idamkan cewek itu. Tidak satupun pacar-pacarnya terdahulu. Apalagi Pong. Dan hanya Pong yang tahu, siapa.

“Deraz enggak dateng,” kata Pong. Ditatapnya cewek itu lekat-lekat. “Lagi sibuk co ass.” Cewek itu menjawab dengan gumaman seraya menyeruput minumannya. Selama itu Pong tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Begitu cangkir diletakkan, kata Pong lagi, “Baru co ass dia. Kebanyakan jalan-jalan sih.” Hm, tanggap cewek itu. Sial, masih tiis (:dingin) aja lu. “Sampai kena Montezuma’s Revenge segala hahaha…”

“Montezuma apa?”

“Diare.”

Cewek itu makin hening. Mungkin bagian itu seharusnya tidak perlu diceritakan. Mata Pong bergulir ke atas. Barangkali di langit-langit ia bisa menemukan kata-kata untuk dilontarkan lagi. Tapi mendadak cewek-cewek lain mengerubungi mereka—tepatnya, cewek itu.

“Denger-denger lo mau tunangan ya, Ri?” ricuh mereka.

“…kata siapa?” Tersipu-sipu cewek itu.

Bla bla bla. Kya kya kya.

Lepas dari kafe, dengan motor Pong menyusuri jalanan menuju rumah. Sudah hampir dekat. Tampak jendela bekas kamarnya menyerupai kotak cahaya dalam kegelapan. Di situ Deraz pernah berdiri dengan tangan dan dahi menempel di kaca. Sebelumnya Deraz di teras, mengungkapkan maksud kedatangannya pada Mama Pong. Tapi pintu kamar Pong dikunci. Sementara di dalamnya, Mick Jagger meraung keras-keras, dengan Pong meringkuk di balik ranjang, mengeluarkan asap dari mulut dan air dari mata… sama sekali tidak dengar pintu digedor-gedor mamanya. Deraz pun mencoba lewat jendela yang biasanya memang tidak tersaput gorden.

Melihat sosok jangkung itu mengetuk-ngetuk, buru-buru Pong memunggungi seraya mengusap-ngusap muka, baru membuka jendela. “Mau ngembaliin kaset,” ujar Deraz. Transaksi pun dituntaskan.

Tapi Deraz tidak segera pergi. Mungkin karena baru kali itu ia lihat Pong memegang rokok yang membara, mungkin juga karena tanpa sengaja tahu kalau Pong sedang ada “apa-apa”. Barangkali Pong akan mengajaknya masuk dan menceritakan sesuatu.

Tapi tentu Pong tidak akan bilang. Selama ini ia dekat dengan Deraz bukan hanya karena mereka pernah satu kelas, satu selera dalam bermusik, satu band, satu kepengurusan di OSIS, tapi juga karena ia ingin tahu selera Deraz terhadap cewek, dan bagaimana mendekatkan Deraz dengan cewek itu. Cewek yang walau ia tahu ia bukanlah yang terbaik menurut selera cewek itu, tapi ia tetap ingin melakukan yang terbaik untuk cewek itu. Cewek yang ia harap diam-diam akan menyanyikan “Kamulah Satu-satunya” dari Dewa 19 untuknya—yang liriknya, “Kamulah satu-satunya, yang ternyata mengerti aku… Maafkan aku selama ini…” itu—tidak perlu secara harfiah, yang penting esensinya. Cewek yang lalu putus asa karena perhatian Deraz tidak kunjung sampai padanya, dan lalu memacari saudara kembar Deraz, yang lalu dengan begitu akhirnya Deraz menyadari keberadaannya. Tapi ketika Pong memperingatkan cewek itu akan sikapnya yang mendua, apalah balasannya.

“…elo ju­ga diem-diem suka kan?! Elo selalu bangga-banggain dia (Deraz), ngomongin dia (Deraz) seolah-olah elo yang paling ngerti tentang dia (Deraz). …elo enggak per­nah cerita soal cewek sama gue! Apaan elo, Pong?!”

Bagaimana ia bisa cerita tentang cewek yang ia suka pada seorang cewek kalau cewek yang ia maksud adalah cewek itu sendiri—yang sudah pasti bakal menolaknya?

Karena Pong bungkam saja dengan tatapan nanar, Deraz pun menepuk-nepuknya di bahu dengan sorot simpatik. “Bukan karena cewek kan?” Hm, tanggap Pong yang sebetulnya berarti: “kenapa?”—kalau-kalau Deraz bisa menerjemahkannya dengan tepat. Ucap Deraz, “Enggak pantes.”

Hm.

“Kamu enggak pernah suka sama seseorang, Deraz?” Pong bertanya pelan.

“Sampai rasanya ingin melakukan apa saja buat orang itu?”

“…yaah...” Semoga yang disinggung Deraz bukan dirinya.

Deraz mengangkat bahu seraya tersenyum. Ia menendang pelan standar sepedanya, lalu melambaikan tangan. Pong terus memandangi punggung Deraz yang menjauh. Pada saat itulah ia menyadari adanya orang yang begitu menikmati kesendirian.[]

Selasa, 03 September 2013

Daftar buku yang dibaca – Agustus ‘13

Sebagian yang dibaca yang masih di meja. Sebagian lagi sudah ditaruh di lemari.


Di sela-sela kesibukan menganggur, alhamdulillah saya masih bi­sa menyempatkan diri untuk membaca beberapa buku. Be­ri­kut adalah daftar buku yang saya baca selama bulan Agustus yang baru saja lalu di tahun 2013 ini. Tapi karena kesibukan yang amat sangat (khususnya dalam bermalas-malasan) acap kli tidak bisa diganggu-gugat, maka mohon maaf saya ti­dak da­pat menyertakan pembacaan yang layak untuk masing-ma­sing bu­ku (bukannya selama ini sudah demikian sih, he). Ha­rap mak­lum. Terima kasih.

1.    Memahami Mimpi. Nerys Dee, terjemahan Syafruddin Ha­sa­ni & Supriyanto Abdullah. Pustaka Populer (ke­lom­pok Pe­nerbit LKiS).

Rene Decartes berkata, “Aku berpikir maka aku ada.” Ka­lau saya sih, “Aku tidur maka aku bermimpi.” Kurangi ra­sa ber­salah Anda karena mengidap hipersomnia dengan mem­baca buku ini.

2.    Karakter-karakter yang Menggugah Dunia. John Mc­Ca­in dan Mark Salter, terjemahan T. Hermaya. PT Gra­me­dia Pus­taka Utama, Jakarta, 2009, cet. 2.

Cocok bagi Anda yang pluralis.

3.    Muslim Menemukan Eropa. Bernard Lewis, terjemahan Ah­­mad Niamullah Muiz. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988, cet. 1.

Bernard Lewis adalah seorang keturunan Yahudi yang no­ta­bene pakar sejarah Islam. Buku ini bakal lebih enak di­ba­ca kalau Anda sudah memiliki wawasan mengenai sejarah Ero­pa dan sejarah Islam (pra Perang Salib) sebelumnya—ba­rangkali.

4.    Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Dr. Harry Hamersma. Pe­ner­bit Kanisius, Yogyakarta, 1994, cet. 12.
5.    Pengantar Ilmu Filsafat. Drs. Lasiyo & Drs. Yuwono. Pe­ner­bit Liberty, Yogyakarta, 1985, cet. 1.
6.    Filsafat Sana-sini 1. Prof. I. R. Poedjawijatna. Penerbit Ya­yas­an Kanisius, Yogyakarta, 1975, cet. 1.
7.    Ringkasan Sejarah Filsafat. Dr. K. Bertens. Penerbit Ka­ni­si­us, Yogyakarta, 1992, cet. 10.

Buku 5 lebih lengkap dari Buku 4, mungkin karena Buku 4 me­ru­pakan salah satu sumber bagi Buku 5. Tapi justru Bu­ku 7 lah yang paling enak dibaca walau juga paling tebal di an­tara yang lain walau juga kurang meliputi filsafat ke­ti­mur­an. Buku 6 adalah bagi Anda yang meminati filsafat Jawa.

8.    Perang Salib I 1096-99 – Penaklukan Tanah Suci. David Ni­colle & Christa Hook (ilustrator), terjemahan Da­ma­ring Tyas Wulandari Palar. Kepustakaan Populer Gra­me­dia, Ja­kar­ta, 2010, cet. 1.
9.    Runtuhnya Islam Spanyol Granada 1492. David Nicolle & Angus McBride (illustrator), terjemahan Chris­tina M. Udi­a­ni. Kepustakaan Populer Gramedia, Ja­karta, 2009, cet. 1.

Menarik, bagi yang meminati dunia militer dan peperangan dan semacam itu.

10.  Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Prof. Dr. Harun Na­su­tion. NV Bulang Bintang, Jakarta, 1973, cet. 6.

Pemikiran manusia akan Islam berkembang jadi macam-macam aliran. Jika rasio di kutub utara dan mis­tis di kutub selatan, hm… saya di garis kha­tu­lis­ti­wa saja deh.

11.  Sari Sejarah Filsafat Barat I. Dr. Harun Hadiwijono. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, cet. 8.

O_O

12.  The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Junot Diaz, ter­je­­mah­an A. Rahartati Bambang Haryo. Qanita, Ban­dung, 2011, cet. 1.

Pembacaan yang rada layak sudah dipajang pada HUT Ke­merdekaan RI ke-68.

13.  Catatan Parno PNS Gila. Uyung Haflan. PT Wah­yu­Me­dia, Ja­karta, 2011, cet. 1.

Sebagian tulisan dalam buku ini masih tertinggal di blog pnsgila.wordpress.com. Sebagian pengunjung menuding pe­nulis blog (yang kemudian jadi buku) ini telah men­ce­mar­I citra PNS, walau yang bersangkutan pun PNS. Ta­pi coba deh main ke Balaikota Bandung[1] sekitar jam se­pu­luh-sebelas pagi. Lihat siapa yang duduk-duduk di tepi, ber­sandal jepit di kaki, sambil minum kopi. 

Tapi yang sibuk betulan di balik meja memang ada, (dan de­ngan ramahnya meladeni pemburu data skrispi. Nuhun pi­san, Ba­pak!)

14.  Mimpi-mimpi Einstein. Alan Lightman, terjemahan Yusi Avi­­an­to Pareanom. Kepustakaan Populer Gramedia, Jkarta, 2004, cet. 8.

Prosa tentang relativitas waktu. Terus… *garukgaruk

15.  Latar Belakang Pemikiran Barat. Drs. M. A. W. Brou­wer. Pe­nerbit Alumni, Bandung, 1982.

Saya memang dangkal. Ampuun…! Maafkan…! Hauhau…

16.  Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan! Eko Pra­se­tyo. Resist Book, Yogyakarta, 2005, cet. 1.

Apakah mereka yang mengusung-ngusung nama Islam itu juga punya hati untuk rakyat kecil?

17.  Maju Iyus Pantang Mundur. Boim Lebon. PT Lingkar Pena Kre­ativa, Depok, 2004, cet. 1.

Cocok sangat buat anak rohis.

18.  Etiket dan Pergaulan. Ben Handaya. Penerbit Kanisius, Yog­yakarta, 1986, cet. 4.

Kalau Anda pincang dalam bergaul, itu adalah kesalahan orangtua Anda dalam mendidik anak hingga menjadikan An­da berkepribadian manja. Ah ah ah, ah ah ah, aku malu, pu-pu-pu-punya pacar anak mama! [2]

19.  Al-Asbun Manfaatulngawur. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Ban­­dung, 2010, cet. 1.

Cocok bagi Anda yang gemar mengoleksi kutipan-kutipan arif.

20.  Mencoba Sukses. Adhitya Mulya. GagasMedia, Jakarta, 2012, cet. 1.

Kelucuannya nyata setelah ditamatkan dan dipikir-pi­kir.

21.  Teori Kepribadian Edisi 7 Buku 1. Jess Feist & Gregory J. Feist, terjemahan Handriatno. Penerbit Salemba Hu­ma­ni­ka, Jakarta, 2010.

Para teoretikus umumnya berasal dari negara-negara ber­ba­hasa Jerman, dan mengalami masa lalu yang tidak ba­ha­gia. Mereka menganalisis diri, juga dianalisis dan meng­a­nalisis orang lain. Buku ini menyarikan hasil analisis me­re­ka, yang dengan demikian memberikan banyak alternatif pan­duan bagi Anda untuk coba-coba menilai apakah diri An­da sehat atau tidak. Jika gejala-gejala berlanjut, hubungi psi­kolog terdekat.

22.  Api Paderi: Pertentangan Kaum Paderi dengan Kaum Adat Me­negakkan Islam secara Kaffah. Mohammad Sholihin. Pe­nerbit NARASI, Yogyakarta, 2010, cet. 1.

Bikin penasaran mengenai sejarah masuknya Islam ke ta­nah Minang, juga sejarah bohlam dan muasal impornya ke In­donesia.

23.  Drunken Marmut. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Bandung, 2009, cet. 1.

Lihat nomor 23.

24.  China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos. H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pi­ge­aud. PT Tiara Wa­cana Yogya, Yogyakarta, 1998, cet. 1.

Saya sarankan untuk membaca buku Tuanku Rao ka­rang­an M. O. Parlindungan sebelumnya, utamanya yang ber­ta­juk “Catatan Tahunan Melayu”. Buku kecil ini merupakan ko­mentar untuk bagian tersebut, yang menyoroti peran Chi­na muslim dalam pemerintahan di Jawa pada abad XV-XVI. Dan sebaiknya jarak waktu membaca kedua buku ini ja­ngan terlalu jauh—entar keburu lupa! Tuanku Rao sangat saya rekomendasikan buat Anda baca. Gaya bahasanya yang “sophisticated” nikmat nian ‘tuk dibaca, dan niscaya akan mencerahkan hari-hari Anda! ;)

25.  Drunken Mama. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Bandung, 2009, cet. 2.

Mungkin kita mesti bersyukur kerana tak tergolong sebagai orang-orang yang pernah dikerjai Kang Pidi, tapi kon­se­ku­en­sinya kita bukanlah siapa-siapa dalam buku ini me­la­in­kan sebagai pembaca saja yang bakal dibikin geli atau ti­dak semua kembali pada selera humor masing-masing.

Perlu saya tegaskan bahwa membaca sekian buku tidak serta-mer­ta bikin saya pintar[3]. Sebaliknya, saya malah jadi ma­kin me­nyadari kebodohan saya. Punya banyak waktu kok ma­lah te­rus-terusan baca, kapan praktiknya.

Kalem ah. Lagi menempuh pendidikan informal nih.

“… Hanya itu pendidikan yang akan kau terima.”

—kata David Gilmour ketika mengizinkan putranya, Jesse, un­tuk tidak lagi bersekolah. (Asalkan mau menonton tiga film se­ming­gu bersama-sama sang ayah.) Hal. 11. Klub Film. Ter­je­mah­an P. Herdian Cahya Khrisna. PT Gramedia Pustaka Uta­ma, Jakarta, 2011, cet. 1.



[1] Anu di Jalan Wastukencana tea aya patung badak bodas ari ba­heu­la­na ngaranna teh Pieters Park ceunah mah taman pertama di Kota Ban­dung.
[2] HP Girls – “Anak Mama”
[3] Malah sering kali saya tidak mengerti apa yang saya baca. Tapi terus saja saya ba­ca.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain