O lihat bokongnya yang gepeng itu...! |
Mencium... aku tidak tahu apa itu isinya :-| disclaimer: Produk yang terpajang tidak ada hubungannya dengan penghasilan yang tidak kuterima. |
O lihat bokongnya yang gepeng itu...! |
Mencium... aku tidak tahu apa itu isinya :-| disclaimer: Produk yang terpajang tidak ada hubungannya dengan penghasilan yang tidak kuterima. |
http://duniawiie.blogspot.com/2011/09/alat-peraga-peluang-bangau.html |
Cerita yang kutulis untuk menyenangkan diriku, terkarang selagi bermain dengan si Embul (yang kalau kurus namanya akan berubah menjadi si Engkus sedang kalau sedang-sedang saja ya si Endang--hasil utak-atik nama bersama adikku).
Aku melambai-lambaikan selembar kaos kaki lalu anak kucing itu berusaha menyambarnya dengan kaki depan namun malah mengenai mata kananku. Aku meraung seraya menutupi mataku yang terkena cakarnya itu. Ketika kulepas tanganku, merah di sana.
Dokter menawariku bola mata palsu, namun aku lebih memilih penutup mata ala bajak laut. Aku memakai penutup mata itu ke mana-mana sehingga orang-orang menganggapku eksentrik. Tadinya aku ingin sekalian mengganti tanganku dengan kait dan membeli seekor nuri yang pandai berbicara lalu menjadikan pundakku sebagai tempat bertenggernya, namun setelah kupikir-pikir lagi rasanya belum perlu.
Bagaimanapun juga aku tetap mengasihi anak kucing itu karena dia adalah Kucing Lompat Kesohor Dari Kodya Bandung. Itu nama lengkap yang kuberikan padanya. Untuk singkatnya, aku biasa memanggilnya: Kucing. Aku mencoba untuk melatih Kucing sebagaimana Smiley dalam cerpen Mark Twain, "The Notorious Jumping Frog from Calaveras County", mendidik kodoknya agar bisa melompat paling tinggi di antara kodok manapun di daerah tempatnya tinggal. Mengingat implikasi serius daripada pengalamanku melatih Kucing dengan kaos kaki kapan itu, selanjutnya aku melatihnya selama berjam-jam setiap hari dengan berhati-hati. Targetnya adalah dia harus menjadi kucing yang lompatannya paling tinggi di antara kucing manapun di Kodya Bandung. Bagaimana aku tahu rekor lompatan tertinggi yang diperoleh kucing manapun di Kodya Bandung, itu lain perkara. Saluran Animal Planet pernah menayangkan seekor kucing yang bisa melompat sampai langit-langit. Kalau target itu sudah dapat dipenuhinya, selanjutnya dia harus bisa mencapai atap rumah yang bertingkat dua.
Tidak hanya itu, juga kuajari Kucing trik-trik lain yang menghibur. Kubuat dia berguling-guling, berjumpalitan di udara berkali-kali, menirukan salakan dan gonggongan anjing, memakan habis cicak dan kecoak yang acap dikejar-kejarnya tiap malam, serta pura-pura kaget lalu melompat-lompat miring bahkan zigzag (jumlah lompatannya harus bertambah secara berkala).
Kalau dia sudah mahir, ini akan merintis bisnis "Doger Kucing". Akan kupertunjukkan kebisaannya ini di perempatan-perempatan. Monyet-monyet akan tersingkir. Kucing akan membuktikan bahwa spesiesnya tidak kalah cerdas dari monyet, IQ-nya pun tinggi. Kalau bisnis ini berhasil, akan kubuka Padepokan Doger Kucing yang misinya adalah memberdayakan baik sumber daya manusia maupun sumber daya kucing yang dengan demikian mengurangi jumlah pemuda pengangguran dan kucing pengangguran yang berkeliaran di jalanan, adapun visinya adalah menyemarakkan dunia pertunjukan dengan membuktikan bahwa kucing pun mampu unjuk gigi. Namun sebelum impian spektakuler ini terwujud, terlebih dulu akan kugegerkan panggung Indonesia Got Talent atau acara-apa-itu. Bersiaplah. Lirik lagu The Panasdalam, "Bencong Sapoy", akan berubah. Dari yang tadinya "Wanita sekodya Bandung punya saingan, sejak si Jono jadi bencong" menjadi "Monyet sekodya Bandung punya saingan, sejak si Kucing jadi doger". Judulnya pun akan diganti menjadi "Kucing Sapoy". Karena dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Kucing akan disewa untuk tampil di tempat-tempat ternama termasuk Hotel Savoy Homann, hotel peninggalan Belanda yang pernah menjadi tempat menginap para delegasi Konperensi Asia-Afrika pada 1955 itu. Penampilannya akan sangat menghebohkan sampai-sampai yang menontonnya memanjatkan doa, "Ya Allah lindungilah kami dari kucing terkutuk."
Namun melatih Kucing agar dapat mencapai target yang telah kutetapkan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kucing yang tadinya seekor anak lamban laun tumbuh menjadi seekor dewasa. Dia menjadi pemalas dan membosankan. Jika dulunya dia aktif menekuni pelajaran yang kuberikan, kini dia mangkir dan malahan aktif memburu kucing-kucing betina untuk dikawini. Ya, dia telah menjadi semacam playboy komplek.
Pekerjaannya adalah mengencingi setiap sudut rumah dan halaman, termasuk rumah dan halaman tetangga. Kencing kucing jantan lain dia tampal dengan kencingnya sendiri untuk mengukuhkan bahwa segala penjuru RT 01 adalah wilayah kekuasaannya. Aku yakin dia sedang berencana untuk menginvasi RT sebelah. Kalau sudah dikuasainya RT sebelah, dia akan merambah ke RT di sebelahnya lagi hingga lama-lama mencapai satu RW. Kalau sudah dikuasainya satu RW, dia akan meluaskan teritorialnya hingga mencapai satu kelurahan. Dari kelurahan ke kecamatan. Lama-lama sekodya dia kuasai. Di kalangan kucing dia tidak kalah tenarnya dari walikota di mata warga Kodya Bandung. Benar-benarlah dia Kucing Playboy Kesohor Dari Kodya Bandung. Eongannya terdengar makin samar dari malam ke malam; menandakan makin menjauhnya daerah kekuasaannya sebagaimana persangkaanku.
Kucing telah memilih jalannya sendiri dan tampaknya itu mengandaskan harapanku, tapi tidak. Kuduga keturunan Kucing mestilah mewarisi keunggulan bapaknya. Kelincahannya. Kecerdasannya. Kemauannya untuk belajar, sebelum birahi merenggutnya dariku untuk selama-lamanya. Maka kucoba untuk menelusuri kucing-kucing betina yang bisa jadi telah dikawini oleh Kucing. Kupancing mereka dengan makanan agar tinggal di rumah dengan demikian aku bisa memantau kehamilan mereka. Begitu anak-anak itu lahir, kupilah-pilih mana yang kiranya mewarisi ciri yang dimiliki Kucing, dan kubuang sisanya. Kutunggu sampai mereka agak besar dan cukup mandiri--tidak begitu bergantung pada tetek induk mereka lagi, sampai keadaan yang memungkinkan bagiku untuk mulai melatih mereka.
Mungkin karena orang-orang memandangku sebagai seorang eksentrik, yang mula-mulanya karena penutup mataku lalu karena ambisiku untuk mengibarkan industri pertunjukan kucing, aku menjadi tersugesti untuk bertingkah sebagaimana anggapan itu. Aku memang tidak jadi menancapkan kait ke tangan maupun memelihara nuri yang pandai berbicara untuk kupasang di pundak, namun entah ada apa pada keeksentrikanku ini yang membuat seseorang menyatakan ketertarikannya padaku dalam konteks romantis. Barangkali karena penutup mataku. Sesekali kuganti penutup mata yang biasanya hanya berupa potongan kulit berwarna hitam itu dengan potongan kain berwarna cerah yang di atasnya kububuhkan mata-mataan. Aku bisa membuat mata-mataan tersebut dari potongan-potongan kain atau spidol dan krayon atau yang sudah jadi yang dijual di toko-toko yang biasa dilekatkan pada boneka yang bisa bergoyang-goyang kalau terguncang yang bulatnya seperti mata ikan. Yang menyenangkan adalah dengan memodifikasi ukuran aku bisa menempelkan mata-mataan itu sebanyak apapun yang kuinginkan sehingga mataku bisa tampak tiga seperti Dewa Er Lang di sinetron Kera Sakti atau ribuan seperti ikan yang mengalami mutasi akibat limbah Sungai Citarum. Aku juga mengubah warna iris-irisanku sesuka hati. Dia bilang dia menyukai iris-irisanku yang bermotif hitam-putih seperti kulit bola sepak. Dia tidak perlu tahu kalau aku menirunya dari motif lensa kontak Melly Goeslaw kala muncul di infotainment bertahun-tahun lalu.
Namun bagaimana kalau dia semakin dekat lalu kutunjukkan padanya bahwa aku memakai penutup mata bukan untuk bergaya dan di baliknya hanya ada rongga? Dan meski begitu aku tetap menyayangi Kucing yang telah merenggut apa yang dulunya ada di sana, yang memungkinkan semua ini terjadi hingga menginspirasi seseorang untuk menuliskannya.[]
Belum lama setelah melahirkan. Kini semua, kecuali yang besar, sudah tiada. |
“Gimana enggak banyak pikiran pas menstruasi. Kamu enggak
tahu kan rasanya, tiap beberapa jam mesti bolak-balik kamar mandi. Udah gitu,
kamu enggak bisa buang pembalut gitu aja. Kamu mesti peras darahnya keluar dari
pembalut, sebersih mungkin.” Jeda sejenak. Sepasang mata itu melekatinya dengan
saksama. “Puyeng, ya?”
Demi apapun yang mengulas senyum di wajah perempuan itu.
“Enggak,” ucap lelaki yang menjadi lawan bicaranya. Kendati napasnya tertahan,
matanya separuh terpicing, dan ia merasakan gejolak di dalam lehernya.
“Syukurin aja. Dengan berdarah gitu tiap bulan kamu bisa hamil. Itu udah hukum
alam.”
“Melahirkan juga berdarah-darah.”
“Iya.” Ia menyeruput minumannya yang berupa sari jeruk nipis,
sedikit demi sedikit, karena kerongkongannya serasa hendak mengeluarkannya
lagi. Sama-sama cairan, pikirnya. Tapi ini kecut menyegarkan. Lihat warnanya
yang bening. Sama sekali jauh dari kental apalagi amis. Kalau memercik ke
tangan pun tidak akan lengket. Walau toh, sama-sama
cairan.
“Tahu enggak kenapa mesti dibersihin?”
“Kenapa?” Pandangannya meliuk di sela-sela meja-meja yang
padat terisi pengunjung, berlabuh di kolam batu berpenghunikan ikan-ikan koi.
“Karena kamu enggak mau tengah malam ada yang ngais-ngais
tempat sampah karena nyium bau amis, terus nyeret bekas pembalut kamu keluar,
dan paginya kamu nemu darah di mana-mana.”
“Sebentar ya.” Lelaki itu beranjak. Sampai di area toilet, di
atas wastafel, di balik sekat rotan, kerongkongannya serasa ditarik keluar,
tapi ia hanya bisa meludah-ludah.
Terasa getaran dari dalam sakunya. Setelah mengalirkan air
dari keran untuk membersihkan wastafel dan mengelap bibirnya dengan sapu
tangan, barulah ia menjawab panggilan tersebut. Terdengar suara serak dari
seberang, “Sudah waktunya.”
Begitu kembali ke meja, ia sampaikan pada perempuan itu.
“Harus pergi sekarang.”
Mata perempuan itu mengerjap. “Oh! Sudah waktunya?”
“Sudah waktunya.”
Perempuan itu menandaskan minumannya, lalu mereka keluar dari
restoran beriringan.
Lelaki itu yang mengemudikan mobil. Sepanjang jalan menuju
rumah perempuan itu, ia berusaha untuk tetap fokus. Kadang tanpa ia sadari
tangannya tengah menggenggam kemudi erat-erat. Ia kendurkan sedikit
pegangannya, lalu kembali menatap jalanan dengan tajam. Kadang bau amis
menyergap penciumannya, padahal baru beberapa hari lalu ia mengganti pewangi di
dalam mobilnya dengan yang baru. Selama menyetir ke restoran petang tadi pun
aroma kendaraannya masih sesegar hutan cemara.
Berhentilah mobilnya di depan rumah perempuan itu. “Makasih
ya udah nganterin. Salam buat Ana. Mudah-mudahan lancar, ya. Aku tunggu
kabarnya lo!”
Selepas kepergian sepupunya, dan mobilnya terasa lengang,
sesak perlahan melemahkan cengkeraman di sekujur bagian atas tubuhnya. Ia
menghirup napas dalam-dalam beberapa kali. Masih ada sedikit amis tapi hutan
cemaranya telah tumbuh kembali—mudah-mudahan lestari.
Ketika mobilnya terantuk di lampu merah, ia memenungkan
reaksinya beberapa lama lalu dan teringat teman sebangkunya semasa SD. Pada
pelajaran IPA, cairan merah mengalir dari lubang hidung anak itu. Ia
memandangnya sembari terpukau seakan baru pertama kali melihat peristiwa
mimisan—ya, sebenarnya memang baru pertama kali. Ketika guru mendekat dan
menangani temannya itu dengan tisu, ia masih mengamatinya dengan terlongong-longong.
Dasar teman sejati. Ia ikut-ikutan mengeluarkan cairan juga dari dalam anggota
tubuhnya. Hanya yang satu ini keruh dan bacin dan asalnya dari mulut. Keduanya
pun melanjutkan pelajaran di UKS sampai bel pulang berdering. Sampai sekarang
mereka masih kontak setidaknya setengah tahun sekali.
Bagaimana mungkin seorang manusia takut dengan darah? Itu
tidak masuk akal. Ia telah belajar dari sejarah bahwa banyak peradaban yang
dibangun dan dihancurkan dengan pertumpahan darah. Bahkan ketika peradaban terkini
berusaha menggencat peperangan, pertumpahan darah tetap tidak terhindarkan. Ada
banyak hewan yang dibedah tiap harinya di laboratorium demi kepentingan ilmu
pengetahuan. Ia pun mengalaminya semasa sekolah. Teman-teman sekelompoknya yang
memegang pisau sementara ia di pojok ruangan dengan buku tulis dan pulpen siap
menadah data untuk diolah menjadi laporan.
Ponselnya bergetar lagi. Mertuanya mengirim pesan bahwa Ana
telah dipindahkan ke ruangan lain. Sampai di rumah sakit, ia segera mencari
ruangan tersebut dan menemukan istrinya tengah disiapkan untuk menjalani
persalinan. Rumah sakit tersebut masih mengizinkan pasien ditemani seorang
kerabatnya selama persalinan. Keluarga istrinya yang memilih rumah sakit itu.
Dan lelaki itu yang dipilih untuk memasuki ruang persalinan.
Wajah perempuan itu sesekali mengernyit akibat ngilu yang
menusuk-nusuk berbagai penjuru di bagian dalam tubuhnya. Kegugupan tergurat
jelas. Ini pengalaman pertama. Namun segala derita itu tertahankan begitu
dilihatnya sosok sang suami. Diraihnya lengan yang ramping namun kokoh itu.
Suaminya mengusap-usap rambutnya. “Tahan ya. Sebentar lagi.”
Perempuan yang wajahnya memerah itu mengangguk dalam senyum.
Sesaat terlupa akan kesakitan teramat sangat yang ditanggungnya sejak
berjam-jam terakhir ini. Masih sempat ia bertanya apakah suaminya sudah makan.
“Udah,” jawab lelaki itu. Teringat ia menu salad yang dipesannya saat di
restoran tadi. Ia tidak punya banyak pilihan soal makanan. Dalam benaknya
sesaat muncul bayangan. Sepulang sekolah, dua puluhan tahun lalu, ia mendapati
adiknya, ibunya, dan pembantunya tengah berkerumun di depan gudang. Kucing
preman penguasa RT 01 ternyata sudah menemukan tempat persembunyian induk
kucing dan bayi-bayinya. Ia melongok dan mendapati tubuh anak kucing yang sudah
tidak utuh. Di bagian yang mestinya ditempati kepala, tersembul permukaan merah
dan tidak rata yang meneteskan cairan kental sedikit demi sedikit, membentuk
lingkaran-lingkaran yang memendar menjadi genangan pekat. Sejak itu entah
mengapa hanya olahan dari tumbuh-tumbuhan yang bisa masuk ke dalam
mulutnya—walau sesekali telur dan susu boleh juga.
Istrinya menyeringai akibat kontraksi yang mendadak terasa
lagi. Kali ini lebih kuat ketimbang yang sebelum-sebelumnya, sangat kuat.
Semakin kencang cengkeramannya pada lengan suaminya. Lelaki itu merengkuh
kepala istrinya hingga telinga perempuan itu dapat menangkap dengan jelas
dentaman yang bertalu-talu dari dalam dadanya.
Mata istrinya terpejam rapat-rapat selama persalinan. Tidak
melihat namun merasakan rambut suaminya menempel di sisi wajahnya. Napasnya
yang berat dan panas. Keringatnya yang basah dan lembap. Tanda-tanda keberadaan
lelaki itu di sisinya, walau samar saja terasakan di sela-sela nyeri yang
begitu dahsyat mendera, memberinya kekuatan untuk terus mengejan. Dorong!
Dorong! Dorong!
Tangisan kencang memecah ketegangan. Mulut perempuan itu
terbuka, masih mengembuskan napas yang tersengal-sengal, namun matanya
tersenyum kala melihat bayinya diangkat oleh dokter.
Setelah tali pusarnya dibereskan dan tubuhnya diselimuti,
penghuni baru dunia itu diserahkan pada ibunya. Bercak-bercak darah dan lendir
masih menempel di kulit lembutnya, namun ibunya menerimanya dengan sukacita.
Perempuan itu menoleh pada suaminya, namun lelaki itu telah raib… ke bawah ranjang.[]