Judul :
Bright Angel Time
Pengarang :
Martha McPhee
Penerbit :
Serambi, Jakarta, 2009
Kadang saya pikir apa yang disampaikan dalam "The Secret" itu ada benarnya. Kadang saya menginginkan sesuatu dan dalam waktu tidak berapa lama saya mendapatkannya. Contohnya... Perasaan saya buruk hari ini dan saya ingin esok lebih baik. Esok saya ketemu teman-teman dan perasaan saya memang jadi lebih baik. Hehe. Contoh lain, saya merasa sudah lama tidak kebanjiran ide dalam kepala. Esoknya, saya sudah menulis beberapa poin dalam buku catatan saya. Begitulah. Memang sudah sunatullah-nya begitu kali ya.
Belum berapa lama ini saya lagi gandrung sama satu proyek. Kalau dalam tiga novel sebelumnya saya menggunakan sudut pandang orang ketiga, kali ini saya ingin pakai sudut pandang orang pertama. Beberapa kali saya coba masuk ke proses penulisan, saya merasa belum juga mendapat "suara" si tokoh utama. Saya juga ingin agar situasi-situasi yang ada dibawakan dengan cara yang lebih mengalir. Saya pikir saya harus mencari novel dengan sudut pandang orang pertama, ya supaya dapat feel-nya saja.
Di samping itu, ada seorang teman saya, yang sudah membaca beberapa karya fiksi saya, dan menyimpulkan bahwa tema pokok saya adalah "keluarga". Sebenarnya saya tidak pernah memaksudkan demikian, tapi kebetulan saja proyek kali ini temanya "keluarga" banget.
Lalu pada suatu ketika saya sowan ke kamar tetangga kos saya. Dia ternyata punya beberapa buku menarik yang saya belum baca. Di antaranya adalah novel ini. "kisah menyentuh tentang keluarga, persahabatan, dan petualangan", begitu yang tertera di sampulnya. Baca sinopsis sampul belakangnya... "pria karismatik" ya, hm, tokoh utama seorang anak dan memakai sudut pandang orang pertama? Wa. Pas.
Tokoh utama novel ini adalah seorang gadis berusia 8 tahun. Kate namanya. Dia punya dua kakak perempuan: Jane dan Julia. Suatu hari Papa mereka kabur dengan istri tetangga. Hal itu diketahui dari kedatangan si tetangga yang ujug-ujug datang ke rumah dan bilang ingin membunuh Papa. O, tentu Mama mereka sangat sedih. Namun kemudian datang Anton yang ahli terapi Gestalt, pastor Jesuit, dan entah apa lagi. Mama mereka pun pacaran dengan Anton. Mama lalu membawa mereka ke semacam camp di mana mereka dipertemukan dan mulai tinggal bersama anak-anaknya Anton: Nicholas, Sofia, Caroline, Timothy, dan Finny (saya absen mumpung masih ingat...) yang agak-agak nyeleneh secara anak-anak itu dibiarkan hidup bebas oleh Anton. Mama anak-anak itu sendiri kabur ke biara--kecuali Finny yang konon anak adopsi. Hm. Selain itu, ada lagi orang-orang yang "sempat" jadi anggota keluarga mereka, seperti James, Dwayne, Cynthia Banks, pasangan Sal-Sam dan anak-anak mereka... Mama sempat cekcok dengan Anton namun kembali baikan, berencana menikah, dan cerita diakhiri dengan perjalanan keluarga ini ke Grand Canyon. Eh, sori, spoiler.
Dengan latar 70-an di Amerika Serikat negara bagian antah berantah (saya tidak terlalu memerhatikan), cinta, spiritualitas, baju kembang-kembang, acara bugil bareng, ganja, dan semacamnya mewarnai situasi-situasi dalam novel ini. Saya penasaran kalau difilmkan mungkin akan ada banyak trik kamera untuk menutupi ini dan itu, hihi... Namun dalam novel ini sempat digambarkan cukup jelas. Mengerikan juga, mengingat yang "membawakan" cerita ini adalah seorang gadis umur 8 tahun.
Anton sangat bebas dalam mendidik anak-anaknya. Tidak ada dari anak-anak Anton maupun anak-anak Mama yang tergolong remaja tingkat atas... maksudnya, usia mereka rata-rata masih berkisar di usia remaja awal, kecuali James dan Dwayne yang penebeng. Tapi mereka dibiarkan saja minum minuman keras sampai mabuk. Kalau menurut pandangan "orang normal", bisa dibilang mereka tidak diurus dengan baik karena Kate sebagai narator beberapa kali mendeskripsikan betapa kotornya mereka. Anton terus membawa mereka jalan-jalan. Mereka juga tidak disekolahkan (o, mereka sekolah deng, di EREHWON atau kalau dibalik jadi NOWHERE). Saya menyayangkan karakter James, yang mengingatkan Anton akan ini, yang kurang dieksplorasi. Begitulah. Namun dengan polosnya Kate menaruh kepercayaan pada Anton sampai-sampai ia pindah dari agamanya sendiri ke agama Anton.
Terlepas dari bagian yang berpotensi mengandung dakwah kristiani tersebut, ada beberapa hal dalam novel ini yang saya soroti.
Pertama, gaya penceritaan yang mengalir, kadang berupa penggalan situasi saja, seperti flashback, dan makin mendukung pembaca yang suka memvisualisasikan novel layaknya film. Namun perlu diperhatikan juga bahwa aliran-aliran itu ada dalam wadahnya masing-masing yang disebut bab. Dan dalam setiap bab ada jeram-jeramnya. Nah lo, apa coba? Namun, pengarang kiranya tak luput dari kelemahan sudut pandang pertama yang mestinya terbatas pengetahuannya. Kate kok tahu apa yang sesungguhnya terjadi di antara Papa dengan Camille pada hari minggatnya Papa?
Kedua, yang minat dengan geologi akan bertambah wawasannya dengan membaca novel ini. Papa Kate adalah seorang ahli geologi. Konon dia menggali sendirian sedalam 2000 meter di Afrika Selatan demi sebongkah batu emas yang akhirnya jadi milik Kate. Kate sangat berminat dengan geologi dan luas pula pengetahuannya akan batu-batuan--ia mengoleksinya! Karena saya tidak begitu minat, pun unsur proximity-nya tidak kena, maka kandungan pengetahuan ini hanya bikin saya mengagumi kemampuan pengarangnya saja, namun tidak memperluas wawasan saya akan dunia geologi.
Yea, yang saya kagumi adalah kemampuannya dalam menyelipkan pengetahuan di dalam cerita. Tidak hanya menambah wawasan, tapi dari situ juga bisa ada potensi konflik yang bisa digali, misal, minat yang diturunkan Papa pada Kate ini menciptakan keterikatan sendiri di antara keduanya bukan? Sementara Jane dan Julia tidak mau lagi menebeng mobil Papa untuk ke sekolah, Kate masih bertahan. Finny juga sempat mengambil batu emas Kate dan tidak mau mengembalikannya. Memang kemudian Kate mengalah dan tidak menginginkan batu itu lagi, namun saya membacanya sebagai pertanda mulai renggangnya ikatan di antara Kate dengan Papa.
Yang tambah bikin saya berkesan adalah bagian saat mereka hendak menjelajahi Grand Canyon. Mereka sempat dilarang oleh ranger (semacam penjaga begitu...) dan... penjelasan si ranger kemudian bahwa tempat ini berbahaya karena keadaannya begini, ada hewan apa saja, sedang yang direkomendasikan adalah ini dan itu, dan sebagainya, mencetuskan inspirasi bagi saya kalau beginilah caranya memanfaatkan disiplin ilmu dalam fiksi. Subhanallah! Yea, soalnya perkara memasuki kawasan alam seperti ini adalah salah satu menu yang dihidangkan jurusan saya, Bung!
Contoh lain sebenarnya sudah ditunjukkan dalam "
Gara-gara si Munyuk!", namun entah mengapa yang ini juga bikin saya terkesan. Mungkin karena porsi utamanya ditempati oleh pesan kekeluargaan dan sebagainya itu kali ya sehingga kemunculan wawasan kealaman jadi tersirat. Wawasan kealaman bisa jadi hanya latar dan mungkin bisa pula diganti oleh yang lain--misalnya Papa itu koki, Kate jadi tahu banyak tentang makanan, dan perjalanan yang dilakukan rombongan Anton ini adalah wisata kuliner dan bukannya wisata alam. Hehe.
Sesuatu yang membuat saya ngeh kalau ke manapun Anton membawa rombongan itu pergi, sejauh apapun dari Papa, ikatan Kate dengan papanya akan tetap langgeng oleh bebatuan yang jadi minat mereka berdua. Ya, setiap kali Kate selalu membawa batu-batunya, dia juga mampu menjelaskan tentang bebatuan di suatu tempat, dan itu selalu mengingatkannya pada Papa. Indahnya.
Ketiga, pesan kekeluargaan. Hm. Sebenarnya saya tidak terlalu mendapatkan pesannya selain bahwa Anton dan Mama, juga para orangtua dalam novel ini mungkin, tidak becus mendidik anak. Entahlah, saya merasa mereka egois atau memang begitukah tabiat orang sana? Namun saat saya menggarap pengembangan karakter para orang dewasa dalam proyek saya sendiri, sembari mengingat-ingat karakter para orang dewasa dalam kehidupan saya, saya merasa bahwa, ya, tua itu pasti tapi dewasa itu pilihan. Jika dewasa itu berarti jadi penyabar, pengalah, dan semacamnya, mengapa masih kita temukan orang dewasa yang bertindak semaunya, menerapkan aturan mereka sendiri tanpa mau kompromi, dan semacamnya pula? Apa sih arti dewasa itu? Hanya karena mereka sudah cukup umur untuk bikin anak lantas bisa disebut dewasa?
Keempat, saya menemukan inspirasi lagi nih di halaman 57:
"
Aku ingat bagaimana dia berkata kalau meninggal nanti dia ingin kami semua mengadakan pesta dan makan steik tebal lengkap dengan jusnya dan merica untuk merayakan kehidupannya."
Entahlah. Kalimat ini memberikan saya perspektif baru dalam melihat kematian. Bahwa kematian itu bukan untuk ditangisi, bukan untuk membuat kita merasa kehilangan, melainkan bersyukur, "Alhamdulillah, dia pernah hidup dan memberi sesuatu bagi kehidupan ini." Seperti melihat gelas setengah isi dan bukannya setengah kosong, bukan?
Ada pula di halaman 105:
"
Papa bilang manusia bekerja begitu keras agar bisa hidup abadi, menciptakan karya seni dan monumen-monumen, mengembangkan teknologi, bingung bagaimana bisa meninggalkan jejaknya padahal sebenarnya dia itu tidak begitu penting, hanya seorang tamu di bumi ini, dan berada di sini hanya sebentar."
Yang saya garis bawahi adalah frase yang ada kata "tamu"-nya. Yeah, kita di bumi ini hanya menumpang. Bukan berarti kita tidak boleh memberikan sesuatu bagi tuan rumah, tapi ya mbok tinggalkan kesan yang baik begitu sebelum meninggalkan rumah supaya tuan rumah sudi menerima kita kembali di rumahnya. Rumahku kan surgaku. Hehe... Nyambung aja...
Oke, satu lagi kalimat menyentil di halaman 179:
"
Aku sama sekali tidak tahu tentang agama, tetapi rasa-rasanya berada dekat dengannya kok hebat."
"nya" dalam "dengannya" ini entah merujuk pada "agama" atau pada Anton yang disinggung pada beberapa kalimat sebelumnya. Kalau merujuk pada Anton, maka Katoliknya Kate, sesuai agama Anton, jadi beralasan. Bagaimanapun juga, entah itu "agama" atau Anton, kalimat ini saya rasa menyentil karena saya kira kadang kita merasa sudah cukup hanya dengan, katakanlah, atribut keagamaan tanpa memahami benar esensi dari agama itu sendiri. Hanya dengan kerudung, dan atau gabung anak-anak masjid, dan atau sekedar tilawah tanpa memaknai artinya, dan atau lain-lainnya saja kita sudah merasa cukup dengan keislaman kita. Padahal konsekuensi bersyahadat saja belum dicamkan... Tidak merasa? Tidak apa-apa. Muslim di dunia ini tidak hanya yang semacam kamu doang kan?
Mengingat tidak sedikit yang bisa saya ambil dari novel ini, saya kira novel ini sebetulnya novel bagus dalam beberapa hal. Sayang saja, banyak nilai dan perilaku di dalamnya yang tidak sesuai atau terasa janggal dengan konstruksi pikiran saya sebagai muslim, orang timur, dan orang yang tidak biasa dengan kontak fisik intim.
Pada akhirnya, novel ini tidak memberi solusi bagaimana mendidik anak yang baik. Tapi baik menurut siapa? Dengan mendidik anak-anaknya sebagai diceritakan dalam novel ini, Anton mungkin sudah merasa sebagai orangtua yang baik. Mama mungkin tidak peduli (coba hitung berapa kali dia menempelkan ibu jari ke bibir sebagai tanda kuch kuch hota hai-nya)--apakah hanya karena dia merasa terlalu muda saat menikah lantas itu bisa jadi cukup alasan baginya untuk mengabaikan anak-anaknya? Saya ngeri membayangkan masa depan anak-anak dalam novel ini, haha... Meski demikian, adalah cinta yang menjadi dasar bagi mereka untuk bisa selalu bersama dan menerima orang-orang baru dalam kehidupan mereka. Wallahualam.
sumber gambar