Jumat, 12 April 2013

Catatan Pembacaan 2012 – Susulan (3-3)


Welcome to the NHK – Tatsuhiko Takimoto terj. …b. Inggris (TokyoPop, 2007, dapet ngunduh di 4shared) sekalian Drop Out – Arry Risaf Arisandi (GagasMedia, Jakarta, 2008)

Welcome to the NHK (selanjutnya WNHK) adalah novel ber­ba­hasa Inggris kedua, yang bukan simplified edition, yang berhasil aku tamatkan dalam waktu relatif cepat. Bahasanya simpel, pembacaannya pun asyik.

Kupikir tepat untuk membandingkan WNHK dengan Drop Out (selanjutnya DO). Kedua novel ini mengangkat kasus yang nya­ris serupa. Tokoh utama sama-sama dewasa muda—lelaki—dari kalangan menengah yang lagi terpuruk akan nasib, dengan kon­teks menurut negara masing-masing. WNHK di Jepang, sedang DO di Indonesia.

Aku membandingkan kedua novel tersebut dari berbagai aspek semisal latar belakang tokoh utama, tokoh pendukung primer yang sama-sama perempuan, tokoh pendukung sekunder—yang merupakan tempat pelarian bagi tokoh utama—yang umumnya laki-laki, alur, keberbobotan, sampai kekurangan masing-masing cerita (or I thought so…). Kesan yang kudapat dari WNHK ada­lah rapi, fokus, serius, dan mendalam, sedang DO walaupun menghibur namun terasa acak-acakan. Walau ringan, WNHK dapat memberikan perenungan melalui percakapan dan pikiran para tokoh di dalamnya yang menyerempet hal-hal filosofis se­macam kehidupan, kematian, Tuhan, bahkan konspirasi, sedang seingatku aku tidak menemukan momen-momen semacam itu di DO. Perbandingan tersebut sepertinya bisa menjadi ulasan tersendiri yang sebaiknya aku kerjakan dengan serius lain kali.

Kupikir keduanya semacam komedi suram, yang bikin pembaca ketawa sekaligus meringis sama nasib ka­rakter-karakter di dalam ce­rita. Cerita sama-sama diakhiri tanpa perubahan nasib yang drastis, namun tokoh utama menjadi lebih tegar dalam men­ja­lani kehidupan. Menilik latar belakang pengarang masing-ma­sing, aku suka bagaimana mereka menceritakan nasib buruk yang pernah dialami—walau tidak persis—dalam kemasan yang jenaka walau tetap menyedihkan. Senada dengan apa yang per­nah kupelajari dari serial semacam 30 Rock dan Community, kelucuan digali justru dari keburukan—dalam hal ini adalah ma­nusia alias para karakter yang ditempatkan dalam situasi ter­ten­tu.

Percik-percik Pemikiran Iqbal – Ahmad Syafii Maarif dan Mohammad DIponegoro (Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1983)

Buku yang mini banget, mungkin bisa dimasukkan ke dalam sa­ku. Tebalnya cuman 66 halaman. Isinya terdiri dari empat tu­lis­an, yaitu pengantar dari M. Habib Chirzin, dua dari Ahmad Syafii Maarif, dan selebihnya dari Mohammad Diponegoro—yang kukira adalah Pak Dipo yang mengarang Si Odah dan Ce­rita Lainnya.

Iqbal adalah pemikir yang merekonstruksi pemahaman akan Is­lam. Ia bukan saja filsuf, tapi juga penyair. Konon tulisan me­ngenai Iqbal lebih mudah dipahami ketimbang tulisan Iqbal sen­diri. Aku pun penasaran dengan bagaimana sesungguhnya pe­mikiran beliau, dan mengapa namanya begitu besar. Buku ini memberitahuku bahwa Iqbal mengusung individualitas. Tiap orang menanggung dosanya sendiri, tidak dosa orang lain. Tiap orang bisa menentukan nasib sekaligus takdirnya sendiri. Tuhan semacam partner manusia dalam memperjuangkan nasibnya, namun manusia perlu berinisiatif terlebih dulu. Aku pun teringat judul kumpulan cerpen Leo Tolstoy dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Jalasutra itu, Tuhan Maha Tahu tapi Dia Menunggu. Tulisan-tulisan dalam buku ini juga membicarakan tentang ego, penjelasan yang barangkali akan lebih mudah di­cerna oleh orang yang meminati filsafat, bagaimana Iqbal mem­pertemukan pemikiran Barat dengan Timur, ijtihad itu penting, dan semacamnya.

Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia – Umar Junus (PT Gramedia, Jakarta, 1983)

Buku ini merupakan kumpulan esai kritik sastra, terdiri dari tiga bagian yaitu “Realitas dan Imajinasi”, “Karya Sastra dan Pem­ba­ca”, dan “Hakikat Suatu Karya”. Judul-judul yang terhimpun dalam masing-masing bagian sebetulnya menarik, seperti “Dari Peristiwa ke Imajinasi”, “Unsur Luar dalam Novel Indonesia”, “Karya Sastra dan Pembaca: Antara Dua Kerangka Pemikiran”, “Novel dan Pembaca: Persoalan Jarak”, dan sebagainya. Umumnya esai merupakan interpretasi penulis pada unsur ter­tentu dalam suatu karya—karya-karya yang entah kenapa aku tidak tertarik untuk baca. Aku tidak bisa menyelesaikan buku ini karena pembacaanku kurang nikmat, entah karena bahasanya, kontennya, atau konteksnya—yang terlampau zadul bagiku se­cara yang dibahas adalah novel-novel Balai Pustaka. Entah apa aku mulai antipati dengan novel-novel Indonesia zadul. Pa­da­hal aku suka dwilogi Putri – Putu Wijaya dan Olenka – Budi Darma, juga seru sekali membaca Atheis – Achdiat K. Mihardja, Harimau! Harimau! – Mochtar Lubis, bahkan Tenggelamnya Ka­pal Van der Wijk – Hamka. Meskipun aku juga tidak bisa me­nang­kap kesan dari Jalan Tak Ada Ujung – Mochtar Lubis, dan tidak berminat menyelesaikan Belenggu – Armijn Pane.

Kasus-kasus Perdana Poirot – Agatha Christie (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991)

Ada 18 kasus dalam buku ini. Tokoh utama adalah Poirot, se­o­rang detektif yang sombong lagi pesolek dan metodis. Sebagian besar cerita dibawakan melalui sudut pandang orang pertama perspektif Kapten Hastings—semacam Watson bagi Holmes, bahkan ia juga tinggal satu flat dengan Poirot! Beberapa cerita dibawakan dengan sudut pandang orang ketiga saja tanpa Has­tings. Beberapa cerita berbingkai… berbingkai-bingkai malah… di mana satu orang menuturkan cerita orang lain yang me­nu­tur­kan cerita orang lain lagi… wow! Khas cerita detektif kukira. Fi­gur-figur yang diangkat dalam kumpulan kasus ini umumnya berasal dari kalangan atas, atau menengah ke atas. Asal-usul penting. Pergaulan internasional. Bahkan pelayan pun se­ba­ik­nya tampak terhormat. Menilik di Wikipedia, Agatha Christie memang berasal dari kalangan atas, dan ternyata dia bukan pe­rawan tua seperti Miss Marple.

Pembacaan cerita detektif agaknya membutuhkan konsentrasi tinggi, sementara pikiranku doyan kelayapan tak peduli apa yang tengah kukerjakan. Cerita detektif juga agaknya lebih me­li­batkan pikiran ketimbang perasaan, sehingga bagiku kurang berkesan.


Aku juga menamatkan Celoteh Soleh oleh Soleh Solihun (B-First), Pengkajian Kritik Sastra Indonesia dari Yudiono KS (Gra­sindo), dan Aku Ini Binatang Jalang yang merupakan kumpulan puisi Chairil Anwar di tahun 2012 kemarin, tapi selain informasi tersebut aku sama sekali tidak menuliskan pembacaan masing-masing. Aku juga sempat membaca The Girl with a Pearl Earring karya Tracy Chevalier sampai halaman 37 lalu memutuskan un­tuk berhenti. Ternyata aku memang belum kuat dengan novel berbahasa asing. Kukira karya-karya pendek yang dilengkapi daftar pertanyaan—yang terhimpun da­lam antologi semacam The HarperAnthology of Fiction atau One World of Literature lebih memadai bagiku untuk awal pembelajaran fiksi berbahasa Inggris.

4 komentar:

  1. kang, saya penggemar welcome to the nhk.
    dan sialnya 6 tahun setelah nonton itu (saya dapet via dvd versi animenya) semuanya malah kealamin,,,kyanya kena sugesti.
    klo boleh nanya di indonesia novelnya ada ga sih?
    thanks b4

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal, mas alam lukman.
      rasa-rasanya novel welcome to the nhk belum pernah ada yang nerjemahin ke bahasa indonesia, ya. #soktahu
      baca yang versi bahasa inggris aja, udah pernah? ringan kok, hehehe.
      semoga tetap semangat menjalani hidup, waha.

      Hapus
  2. ya saya belum nemuin itu di gramed sejauh ini, dan memang belum nanyain ada ato enggaknya. versi bahasa inggris dapet dari mana selain pesen di web?
    santai saja. surat DO saya tersimpan aman dan belum ada yang tahu.
    Ha-Ha. :I

    BalasHapus
    Balasan
    1. googling aja, mas, hehe.
      kalau DO Arry Risaf udah baca belum?

      Hapus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain