Kami menginap di rumah salah seorang staf, Pak Arif namanya. Menurut Mas Andri, Pak Arif sedang ke lapangan jadi kami bisa pakai rumahnya. Pak Arif sudah tahu kami bakal tinggal di sana. Di bagian belakang kantor balai memang ada empat rumah. Rumah yang paling depan adalah rumah milik kepala balai, Pak Agus. Kami menempati rumah nomor tiga dari depan. Sementara tiga rumah lainnya menghadap ke samping, rumah paling belakang menghadap searah dengan kantor balai.
Di rumah Pak Arif, kami bisa menggunakan dua kamar, satu kamar mandi, perlengkapan dapur, tempat jemuran, dan ruang tengah yang TV-nya menampilkan channel-channel dari berbagai pelosok negeri. Kami bisa menonton siaran dari channel lokal milik Aceh, Bali, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Di bagian bawah meja ruang tengah ada majalah Men's Health, Living, Alkisah, tabloid Pulsa, serta entah apa lagi. Saya baca majalah yang pertama dan ngeri dengan isinya.
Ada empat cewek dalam rombongan kami--termasuk saya. Kami menempati kamar paling kecil dengan dua kasur, yaitu kasur kapuk dan kasur angin, serta sebuah lemari. Alhamdulillah, ternyata akses wifi dari kantor balai sampai juga ke kamar ini, jadi saya bisa langsung post tulisan ini deh... ^^
Pada hari ini, saya tidur menjelang pukul satu dini hari di atas kasur angin. Sempat tidak nyenyak di awal karena sebagian teman tidur menyusul. Padahal saya pasang alarm jam empat, tapi sadar-sadar sudah jam enam saja. Di luar sudah terang. Saya langsung bergegas ambil wudhu untuk solat subuh. Saya bangunkan juga teman yang lagi solat. Di luar kamar, cowok-cowok bergelimpangan dengan TV menyala.
Sehabis solat subuh, saya tidur lagi. Saya baru bangun lagi mungkin sekitar jam setengah delapan. Setelah itu saya cari apapun yang bisa dimakan untuk sarapan karena sepertinya tidak semua teman merasa harus disiplin sarapan. Jadi saya makan saja roti yang sudah setengah dimakan kemarin, biskuit MP-ASI, cemilannya Vina, dan entah apa lagi sambil diselingin menonton TV atau entah apa.
Kemudian saya dengar kalau para cowok sudah ketemu pak kepala balai, Pak Agus, saat mereka nonton bola di kantor balai pas dini hari. Tapi para cowok ini bukannya kenalan atau mengajak ngobrol. Mereka malah hanyut terus dalam keasikan menonton bola. Soni dan Gilang tidur sementara Cah dan siapa entah satu lagi setengah enggak sadar. Putro mengaku sempat menyapa dan seterusnya. Rijal dengan enaknya bilang masak lagi nonton bola malah ngobrol. Lagipula, katanya, saat itu mereka lagi musuhan dengan pihak balai. Pihak balai dukung MU sedang para mahasiswa dukung Barca. Entah siapa itu yang bilang, pak kepala balai sedih MU kalah. Cah baru sadar dari tidurnya saat gol terakhir atau apa begitu. Tahu-tahu pak kepala balai sudah menghilang.
Atas peristiwa tersebut, ada inisiatif untuk sowan ke rumah pak kepala balai pagi itu. Ini kemudian jadi perkara sepanjang hari hingga malamnya oleh Putro kata Lina. Sebabnya, mengetahui akan mengunjungi pak kepala balai, kami para cewek otomatis pada mandi dulu. Kami semua baru selesai mandi agak siang. Akhirnya semua siap (setelah menggadang-gadang Desta...). Sampai di depan rumah pak kepala balai yang bercat pink, seorang wanita menyambut kami. Katanya Pak Agus sedang sakit sehingga tidak bisa menemui. "Senin aja ya?" kata ibu-ibu tersebut.
Jadilah kami lanjut melaju cari makan. Kami makan di warteg terdekat yang ibu-ibu front depannya malah meladeni kami dalam bahasa Jawa. Seperti malam sebelumnya, sementara kelompok satunya pada bayar sendiri-sendiri, kelompok saya tetap bayarnya komunal.
Sehabis makan, kami kembali ke rumah Pak Arif. Kami para cewek tidur-tiduran di lantai kamar. Saya membaca hasil penelitian tentang kokoleceran lalu lama-lama ketiduran sedang teman-teman lainnya sudah pada tidur. Akhirnya saya ikutan tidur juga, melewatkan azan zuhur...
Santai benar memang saya di sini dalam hal jadwal solat. Mentang-mentang musafir, solat boleh dijama kapan saja, waha.
Saya tidur sampai sekitar setelah ashar. Begitu pun teman-teman. Tapi kami masih pada malas-malasan sampai Cah dan Rijal rame sendiri di luar kamar. Ada yang menggedor pintu. "Woy, katanya mau ke pantai?"
Bangkitlah kami. Saya solat ashar campur solat zuhur. Kami semua siap-siap. Di depan kantor balai, kami menunggu angkot yang bisa membawa kami ke Pantai Carita. Menurut keterangan Mas Andri, kami bisa mencapai pantai dalam waktu setengah jam dengan angkot. Seharusnya kami naik angkot yang di seberang jalan. Namun sebuah angkot yang mengarah ke sebaliknya malah berhenti dan mengoper penumpangnya sehingga kami semua bisa naik ke dalam dan diantar dengan angkotnya...
Sesampainya di pantai, kami foto-foto. Saya lihat ada banana boat. Pingin juga sih mencoba tapi secara saya tidak bawa banyak baju, sebaiknya saya menahan diri. Saya hanya melihat teman-teman pada minta difoto saja sedang saya difoto hanya kalau ada yang mau memfoto. Saya, Vina, dan Cah sempat jalan menjauh dari teman-teman. Tapi lalu kami dipanggil. Kami semua berjalan ke arah sebaliknya. Kalau ada spot bagus, beberapa dari kami, atau bahkan semuanya, berhenti untuk difoto.
Sembari berjalan, saya perhatikan di angkasa burung-burung terbang membentuk formasi logo NIKE. Saya jalan lagi dan melihat seorang ibu tengah mendongak. Saya ikutan. Wah, Formasi lain lagi. Bentuknya seperti gunung! Saya ingat untuk menyampaikan salam dari Nurdin pada burung yang ada di sini. Bagaimana caranya ya? Saya lihat di belakang Putro dengan SLR-nya sedang memotret burung-burung tersebut. Kata Gilang, para burung terbang dengan membentuk formasi macam-macam begitu untuk memecah angin. "Burung yang paling depan yang paling capek tuh. Entar kalau udah capek, gantian sama burung lainnya,"
Niat awal teman-teman adalah untuk menonton matahari terbenam. Menurut keterangan sopir angkot yang kami naiki, kami masih bisa mendapat angkot hingga jam delapan atau sembilan. Namun tampaknya langit mendung. Mereka ingin ke sisi lain pantai, namun untuk menuju ke sana tidak ada jalan yang mudah ditempuh. Kami harus memutar dengan memasuki gerbang lain. Ternyata kami tetap tidak bisa masuk.
Akhirnya kami foto-foto saja di depan lanjut menyeberang jalan untuk mencegat angkot kembali. Putro dan entah siapa lagi tetap di tempat untuk memfoto kami semua yang ceritanya berlagak hendak mencegat angkot. Tak dinyana, sebuah mobil bak berhenti di dekat kami. Kami bertanya-tanya apakah pengemudi mobil tersebut memang berniat mengangkut kami. Kata pengemudi tersebut, "Ayo!" Dengan girang kami langsung menaiki mobil bak tersebut.
Bagian depan mobil diisi oleh tiga orang bapak-bapak termasuk pengemudi. Di belakang ada seorang pemuda dengan rollmeter di tangan. Basa-basi Cah bertanya mengenai mereka. Pemuda itu bilang kalau mereka sedang mengerjakan proyek jalan.
Meski kami sudah bilang kalau tujuan kami Mess Badak, namun kami tidak diberhentikan di sana. Belum juga sampai kantor balai, kami sudah diberhentikan karena mereka rupanya sudah sampai tujuan mereka. Pengemudi yang telah berbaik hati mengangkut kami membantu mencarikan angkot juga. Lagi-lagi si sopir angkot yang hendak kami naiki mengoper penumpang sebelumnya.
Di dalam angkot yang melaju, gerimis mulai rintik. Kami berhenti di warteg tempat kami makan pada malam sebelumnya. Hujan turun semakin deras. Kami menunggu hujan berhenti baru lanjut kembali ke kantor balai. Sesampai di kantor balai, mandi-mandi deh. Jam delapan lebih kami briefing untuk keesokan harinya. Waktu istirahat sudah usai. Besok kami sudah harus bekerja mengumpulkan data!
Di rumah Pak Arif, kami bisa menggunakan dua kamar, satu kamar mandi, perlengkapan dapur, tempat jemuran, dan ruang tengah yang TV-nya menampilkan channel-channel dari berbagai pelosok negeri. Kami bisa menonton siaran dari channel lokal milik Aceh, Bali, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Di bagian bawah meja ruang tengah ada majalah Men's Health, Living, Alkisah, tabloid Pulsa, serta entah apa lagi. Saya baca majalah yang pertama dan ngeri dengan isinya.
Ada empat cewek dalam rombongan kami--termasuk saya. Kami menempati kamar paling kecil dengan dua kasur, yaitu kasur kapuk dan kasur angin, serta sebuah lemari. Alhamdulillah, ternyata akses wifi dari kantor balai sampai juga ke kamar ini, jadi saya bisa langsung post tulisan ini deh... ^^
Pada hari ini, saya tidur menjelang pukul satu dini hari di atas kasur angin. Sempat tidak nyenyak di awal karena sebagian teman tidur menyusul. Padahal saya pasang alarm jam empat, tapi sadar-sadar sudah jam enam saja. Di luar sudah terang. Saya langsung bergegas ambil wudhu untuk solat subuh. Saya bangunkan juga teman yang lagi solat. Di luar kamar, cowok-cowok bergelimpangan dengan TV menyala.
Sehabis solat subuh, saya tidur lagi. Saya baru bangun lagi mungkin sekitar jam setengah delapan. Setelah itu saya cari apapun yang bisa dimakan untuk sarapan karena sepertinya tidak semua teman merasa harus disiplin sarapan. Jadi saya makan saja roti yang sudah setengah dimakan kemarin, biskuit MP-ASI, cemilannya Vina, dan entah apa lagi sambil diselingin menonton TV atau entah apa.
Kemudian saya dengar kalau para cowok sudah ketemu pak kepala balai, Pak Agus, saat mereka nonton bola di kantor balai pas dini hari. Tapi para cowok ini bukannya kenalan atau mengajak ngobrol. Mereka malah hanyut terus dalam keasikan menonton bola. Soni dan Gilang tidur sementara Cah dan siapa entah satu lagi setengah enggak sadar. Putro mengaku sempat menyapa dan seterusnya. Rijal dengan enaknya bilang masak lagi nonton bola malah ngobrol. Lagipula, katanya, saat itu mereka lagi musuhan dengan pihak balai. Pihak balai dukung MU sedang para mahasiswa dukung Barca. Entah siapa itu yang bilang, pak kepala balai sedih MU kalah. Cah baru sadar dari tidurnya saat gol terakhir atau apa begitu. Tahu-tahu pak kepala balai sudah menghilang.
Atas peristiwa tersebut, ada inisiatif untuk sowan ke rumah pak kepala balai pagi itu. Ini kemudian jadi perkara sepanjang hari hingga malamnya oleh Putro kata Lina. Sebabnya, mengetahui akan mengunjungi pak kepala balai, kami para cewek otomatis pada mandi dulu. Kami semua baru selesai mandi agak siang. Akhirnya semua siap (setelah menggadang-gadang Desta...). Sampai di depan rumah pak kepala balai yang bercat pink, seorang wanita menyambut kami. Katanya Pak Agus sedang sakit sehingga tidak bisa menemui. "Senin aja ya?" kata ibu-ibu tersebut.
Jadilah kami lanjut melaju cari makan. Kami makan di warteg terdekat yang ibu-ibu front depannya malah meladeni kami dalam bahasa Jawa. Seperti malam sebelumnya, sementara kelompok satunya pada bayar sendiri-sendiri, kelompok saya tetap bayarnya komunal.
Sehabis makan, kami kembali ke rumah Pak Arif. Kami para cewek tidur-tiduran di lantai kamar. Saya membaca hasil penelitian tentang kokoleceran lalu lama-lama ketiduran sedang teman-teman lainnya sudah pada tidur. Akhirnya saya ikutan tidur juga, melewatkan azan zuhur...
Santai benar memang saya di sini dalam hal jadwal solat. Mentang-mentang musafir, solat boleh dijama kapan saja, waha.
Saya tidur sampai sekitar setelah ashar. Begitu pun teman-teman. Tapi kami masih pada malas-malasan sampai Cah dan Rijal rame sendiri di luar kamar. Ada yang menggedor pintu. "Woy, katanya mau ke pantai?"
Bangkitlah kami. Saya solat ashar campur solat zuhur. Kami semua siap-siap. Di depan kantor balai, kami menunggu angkot yang bisa membawa kami ke Pantai Carita. Menurut keterangan Mas Andri, kami bisa mencapai pantai dalam waktu setengah jam dengan angkot. Seharusnya kami naik angkot yang di seberang jalan. Namun sebuah angkot yang mengarah ke sebaliknya malah berhenti dan mengoper penumpangnya sehingga kami semua bisa naik ke dalam dan diantar dengan angkotnya...
kayak foto zadul... |
Sembari berjalan, saya perhatikan di angkasa burung-burung terbang membentuk formasi logo NIKE. Saya jalan lagi dan melihat seorang ibu tengah mendongak. Saya ikutan. Wah, Formasi lain lagi. Bentuknya seperti gunung! Saya ingat untuk menyampaikan salam dari Nurdin pada burung yang ada di sini. Bagaimana caranya ya? Saya lihat di belakang Putro dengan SLR-nya sedang memotret burung-burung tersebut. Kata Gilang, para burung terbang dengan membentuk formasi macam-macam begitu untuk memecah angin. "Burung yang paling depan yang paling capek tuh. Entar kalau udah capek, gantian sama burung lainnya,"
Niat awal teman-teman adalah untuk menonton matahari terbenam. Menurut keterangan sopir angkot yang kami naiki, kami masih bisa mendapat angkot hingga jam delapan atau sembilan. Namun tampaknya langit mendung. Mereka ingin ke sisi lain pantai, namun untuk menuju ke sana tidak ada jalan yang mudah ditempuh. Kami harus memutar dengan memasuki gerbang lain. Ternyata kami tetap tidak bisa masuk.
yang ngejoki cuma dua orang, lainnya ngegaya! |
Bagian depan mobil diisi oleh tiga orang bapak-bapak termasuk pengemudi. Di belakang ada seorang pemuda dengan rollmeter di tangan. Basa-basi Cah bertanya mengenai mereka. Pemuda itu bilang kalau mereka sedang mengerjakan proyek jalan.
Meski kami sudah bilang kalau tujuan kami Mess Badak, namun kami tidak diberhentikan di sana. Belum juga sampai kantor balai, kami sudah diberhentikan karena mereka rupanya sudah sampai tujuan mereka. Pengemudi yang telah berbaik hati mengangkut kami membantu mencarikan angkot juga. Lagi-lagi si sopir angkot yang hendak kami naiki mengoper penumpang sebelumnya.
suasana di warung makan si teteh.... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar