Rabu, 14 November 2018

(13)

Sore itu ketika sedang belajar mengaji bersama Pak Karman, Zara meminta izin ke kamar mandi. Sementara Zara meninggalkan ruang tamu, Pak Karman menegur Deraz. “Dek Deraz, lagi ada masalahkah?”

Deraz menunduk seraya menggeleng.

Zara kembali dan pelajaran diteruskan.

Seusai pelajaran, Deraz mengantar Pak Karman sampai ke pagar. Sementara memandangi kepergian pria itu, wajahnya semakin muram. Ia keluar dan mengikuti Pak Karman.

Pak Karman rupanya mendengar langkah Deraz. Ia berbalik dan tersenyum pada Deraz yang serta-merta terhenti. Menyadari bahwa Pak Karman menunggunya, Deraz melanjutkan langkahnya.

“Ada apa?” tanya Pak Karman lembut.

“Saya punya masalah,” aku Deraz.

Pak Karman menunjuk ke arahnya berjalan tadi. “Kita duduk di masjid saja, yuk.”

Mereka duduk di selasar masjid. Mulailah Deraz menceritakan tentang keusilan anak-anak hingga Dean yang menjauhinya.

“Dek Deraz,” sahut Pak Karman kemudian, “sudah tahu cerita tentang Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam?”

Deraz ingat pernah membacanya di buku Pelajaran Agama Islam. Tetapi, apa yang hendak Pak Karman sampaikan?

“Dek Deraz tahu kan Nabi itu seorang yatim piatu? Beliau lalu diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Saat itu usia kakeknya sudah delapan puluh tahun atau lebih, sedang usia Nabi sendiri baru delapan tahun.”

Hah, Deraz juga baru berusia delapan tahun ketika Opa Buyut meninggal! Saat itu Opa Buyut juga berusia delapan puluhan tahun, malah hampir sembilan puluh tahun.

Pak Karman lalu menceritakan kisah Nabi, mulai dari masa kecilnya hingga ketika ia menerima wahyu.

“Ketika Nabi hendak menyampaikan wahyu, beliau mendapat banyak sekali tentangan dari orang-orang di sekitarnya. Beliau ditertawakan, diinjak-injak, diludahi, dilempari batu dan kotoran. Bahkan ada yang sampai ingin membunuh Nabi. Tetapi beliau menghadapi semua itu dengan lemah lembut dan kesabaran. Nabi bahkan memohon kepada Allah supaya mengampuni orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya itu.”

Pak Karman mengisahkan riwayat-riwayat tersebut dengan terperinci. Deraz termenung. Tidak terbayangkan olehnya menanggapi anak-anak jahil itu dengan cara Nabi. Tetapi, bukankah pada akhirnya Nabi berhasil diterima oleh lingkungannya, membangun masyarakat Islam, dan bahkan menyebarkan agama itu ke berbagai penjuru dunia? Waktu yang dibutuhkan Nabi pun tidak sebentar. Dua puluh tiga tahun! Deraz bahkan belum hidup selama itu. Ia baru beberapa bulan tinggal di sini, menghadapi semua perlakuan itu.

“Kalau Deraz, apa yang Deraz lakukan kalau ada yang menghinakan begitu?” tanya Pak Karman.

“Saya pukul,” ucap Deraz terus terang, tetapi pelan.

“Tahukah Deraz, siapakah orang yang kuat itu menurut Nabi?”

“Siapa, Pak?”

“Orang yang kuat itu bukan orang yang jago berkelahi, tetapi yang dapat mengendalikan marahnya.”

“Tapi mereka yang kasar duluan, Pak.”

“Justru itu. Ketika Deraz bisa membalas perbuatan kasar mereka dengan cara yang halus, sesungguhnya Deraz yang lebih kuat daripada mereka.”

“Jadi, saya harus apa kalau anak-anak berbuat jahil lagi?”

“Balaslah perbuatan mereka dengan kebaikan. Kalau Deraz ingin menegur mereka, sampaikanlah dengan nada dan kata-kata yang baik, sambil tersenyum kepada mereka. Senyum itu sedekah. Ketika Deraz tersenyum kepada kawan, kepada orang tua, kepada siapa saja, Deraz akan mendapat kebaikan di akhirat kelak, insya Allah.”

Deraz langsung teringat pada Dean, yang selalu ramah dan riang kepada kawan-kawannya. Biarpun mereka kadang mengatainya bedegul, gorocok, dan kata-kata lainnya dalam bahasa Sunda yang tidak enak didengar, bahkan amfibi, tetapi Dean tersenyum saja, seakan-akan semua itu tidak ada artinya. Anak-anak pun jadi tidak menganggap itu penting lagi. Deraz jadi bertanya-tanya bagaimanakah saat-saat awal Dean berada di tempat ini, ketika baru pindah dari Amerika Serikat? Tentu pada waktu itu Dean belum sefasih sekarang dalam berbahasa Indonesia dengan logat Sunda. Apakah dulu anak-anak juga meledek cara bicaranya? Apakah dulu Dean juga tidak mengerti ketika anak-anak membicarakan kartun di televisi?

Tidak terasa langit mulai gelap. Lampu-lampu masjid dinyalakan. Takmir bersiap-siap mengumandangkan azan magrib.

“Dek Deraz mau ikut salat di sini?” tawar Pak Karman.

“Iya, Pak.”

Setelah berwudu, Pak Karman dan Deraz duduk di saf depan. Sebelum ikamah, Pak Karman berkata, “Dek Deraz, biasakanlah setelah salat menceritakan segala masalah Adek sama Allah, dan meminta supaya Allah memudahkan Adek dalam segala persoalan.”

“Iya, Pak.”

Setelah salat berjamaah, Deraz memerhatikan Pak Karman mengangkat kedua belah tangannya seakan-akan meminta sesuatu dari atas sana. Deraz memandang langit-langit. Lalu ia ikut mengangkat kedua belah tangannya dan memejamkan mata.

“Ya Allah, di mana pun Oma Buyut dan Opa Buyut berada, semoga mereka baik-baik saja. Semoga Deraz dapat bertemu dengan mereka lagi, Ya Allah. Deraz kangen mereka. Oh, ya, Bruno juga. Ya Allah, tolong jaga Bruno, ya. Semoga dia juga baik-baik saja. Amin,” ucap Deraz dalam hati.

Deraz melihat Pak Karman mengusapkan kedua belah tangan pada wajahnya. Deraz mengikuti.

 

Malam itu berlangsung seperti biasanya. Setelah makan malam, Deraz bergabung bersama Bunda di ruang tengah untuk mengerjakan PR, sementara Dean, Zara, dan Ayah lebih suka berkumpul di ruang televisi. Selesai mengerjakan PR, Deraz hendak kembali ke ruangannya. Ia melihat Bunda masih mengetik di laptop sambil sesekali membuka buku-buku tebal di sekitarnya.

“Bu …. Apa Bunda tidur?”

“Bunda tidur nanti, sayang.” Bunda menoleh pada Deraz dan tersenyum.

Dean, Zara, dan Ayah masih asyik bercanda di depan televisi.

Deraz menggosok gigi dan mengganti bajunya dengan piama. Setelah menggelapkan kamar, ia masuk ke balik selimut. Tetapi sesungguhnya ia belum mengantuk. Pada saat-saat seperti ini, ia mencoba merasakan keberadaan Allah seperti yang dikatakan Pak Karman.

Allah selalu ada bersama kita.

Apakah Allah itu saking besarnya, saking dekatnya, sehingga tidak terasakan keberadaannya?

Deraz begitu ingin merasakan keberadaan Allah sekarang.

“Ayo, ah, tidur sekarang. Nanti susah lagi bangunnya,” suara Ayah.

Tidak lama kemudian, Dean masuk ke kamar. Deraz menunggu sampai kira-kira Dean sudah berbaring nyaman di balik selimut, baru turun dari tempat tidurnya.

“Dean,” panggilnya.

“Hm?” Dean berbalik.

“Saya janji tidak akan marah-marah lagi,” ucap Deraz.

“Oh,” sahut Dean. “Oke.”

“Kamu mau duduk sebangku lagi dengan saya?”

“Mmm …” Dean bergumam lama.

Deraz menunggu tanpa bergerak.

“Kamu harus minta maaf sama temen-temen,” ujar Dean akhirnya.

Deraz mengerutkan dahi. “Kenapa harus?”

“Ya udah kalau enggak mau.” Dean kembali memunggungi Deraz.

Deraz kembali ke tempat tidurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain