Rabu, 21 November 2018

(20)

Sebenarnya yang menjadi bulan-bulanan di OSIS bukan melulu Deraz. Ada juga Ipong dan Soraya, yang suka meledek satu sama lain.

Leader boyband lu!” ledek Soraya pada Ipong.

“Ketua geng AADC!” balas Ipong pada Soraya, yang memang punya kumpulan sendiri di OSIS, terdiri dari cewek-cewek seperti dirinya.

“Dasar bos mafia!” Soraya menyindir badan Ipong yang mungil, dibandingkan dengan cowok-cowok lain di band yang pada tinggi tegap.

Yang ditanggapi Ipong ketika Soraya jauh, “Oi, Dian Sastro! Yang rambutnya panjang, lurus, seksi, bahenol ….”

Soraya berbalik, “Siapa? Gue?”

“… KW 3!”

Cowok-cowok di sekitar Ipong pada tergelak.

Bukan hanya Ipong, cowok-cowok OSIS lain juga senang menggoda Soraya, yang biasa dipanggil Aya. Mereka suka memanggil Soraya dari jauh.

“Ya, Aya!”

Naon sih?”

Aya-aya wae!”

“Hahahaha ….”

Pada kesempatan lain,

“Aya, kamu jangan kawin dan beranak-pinak, ya?”

“Enak aja lu, ngelarang-larang.”

“Soalnya kalau entar lu jadi ibu-ibu, lu jadi Bu Aya.”

Tawa cowok-cowok membahana.

Kali lainnya,

“Soraya! Soraya Haque!”

“Apa sih?” Soraya berbalik dengan sebal.

“Haque sepatu!”

“Enggak lucu!”

Selalu ada kor tawa cowok-cowok di latar.

Selain OSIS, Soraya juga aktif di ekskul dance, yang menambah bahan olokan para cowok.

“Ya, lu anak MODAR-SON, ya?”

“DANSON! Dance SMANSON!”

“Iya kan, Modern Dance SMANSON?”

“Ah, terserah!”

“Pantes lu gordes,” atau gorowok desa, istilah yang disematkan pada cewek bersuara cempreng lagi nyaring.

Dance gue mah enggak pakai teriak-teriak. Itu cheerleaders kali!”

“Tetep aja lu gordes.”

“Ya, lu tahu enggak, Deraz tuh rate-nya sepuluh, tapi kalau nyanyi, jadi enam. Kalau Ipong, rate-nya enam, tapi kalau nyanyi, jadi manusia enam juta dolar. Kalau lu, dari jauh sih delapan, dari deket sepuluh, tapi kalau bersuara, jadi minus delapan belas!”

“Hahahaha ….”

“Kamu mah muji teh meni enggak ikhlas ih!”

Walau bukan hanya Deraz yang menjadi sasaran perundungan, tetap saja pada akhirnya semua dikaitkan dengan dirinya.

Awalnya yaitu ketika Deraz mulai bersepeda ke sekolah. Ipong suka menebeng Deraz dengan duduk di rangka bagian atas sepedanya. Pemandangan itu begitu lucu bagi anak-anak karena perbedaan ukuran badan keduanya yang sangat kentara. Mereka mulai menyebut keduanya Papa Deraz dan Dek Ipong. Begitu Ipong turun dari sepeda hendak memasuki sekretariat OSIS, anak-anak menyalaminya dengan menempelkan punggung tangan mereka pada dahi anak itu. “Eh, Dek Ipong, udah gede, ya. Habis diajak jalan-jalan ke mana sama Papa Deraz?”

“Hah?” awalnya Ipong bingung dan kaget.

Kepada Deraz mereka bersikap biasa-biasa saja. Kepada Ipong mereka terus meledek dengan gencar.

“Deraz waktu SD badannya udah kayak anak SMA. Lu udah SMA kok badannya masih kayak anak SD?”

“Lu tuh kayak ABG nanggung, tahu enggak, Pong. Udah ABG, nanggung lagi!”

“Dek Ipong, mamanya ke mana? Kok enggak pernah kelihatan?”

Namun Ipong luwes saja menanggapi olokan anak-anak. Malah kadang ia terbawa oleh peran.

“Mama gue hilang, lenyap ditelan bumi.”

“Enggak tahu, tanya aja papa gue.”

“Berisik lu, Mbah!”

“Heh, heh, ngajak berantem lu, ya!” Gilang yang dikatai si “Mbah” menghampiri Ipong. Namun ia berbalik lagi. “Enggak tega gue, berantem sama anak kecil.”

“Hei, gue bilangin papa gue lu, ya!” Ipong menunjuk-nunjuk dengan galak.

“Papanya serem, njir, yang punya Anyer-Panarukan! Entar enggak bisa mudik lu!” kompor Jati.

“Diem lu, Pakde!”

Dalam usaha menyingkap sisi misterius Deraz sekaligus mencarikan mama untuk Ipong, anak-anak mengajak Soraya yang kebetulan ada di sekitar mereka untuk bermain Truth and Dare. Ketika Soraya kena, anak-anak memaksanya untuk menerima Dare. “Tembak tuh si Dare Ass! Si Bujur Berani!”

“Tapi kan gue udah punya cowok! Anak ITB!”

“Ih, si Aya pacaran sama om-om!”

“Dia masih tingkat satu, tahu! Baru masuk kemarin! Anak SMANSON juga, OSIS, si Kang Ivan! Ivan Nugraha!”

“Enggak mau tahu. Tetep aja om-om. Pacaran tuh sama yang sesuai umur! Sama Deraz, misalnya.”

“Ayo, Ya, tembak, Ya.”

“Percobaan aja ini mah, Ya. Sugan Deraz daekeun ka maneh. Mun heu euh kan kita bisa cariin dia cewek yang tipenya kayak kamu.”

“Aya! Aya! Aya!” Para cowok bertepuk tangan memberi dukungan.

Sembari berdesah, Soraya maju menghampiri Deraz yang sedang mengobrol dengan Yoga.

“Raz, lu mau jadi cowok gue, enggak?”

Deraz melirik Soraya sepintas, lalu, “Enggak,” matanya kembali pada Yoga.

Soraya berbalik seraya mengacungkan kedua jari tengahnya. Satu untuk Deraz, satu untuk cowok-cowok yang menertawainya.

Puncaknya ketika anak-anak OSIS hendak melakukan survei ke Situ Lembang untuk suatu acara. Sabtu pagi mereka berkumpul di pelataran sekolah. Kebanyakan membawa motor. Kepala sekolah yang kebetulan lewat menyapa, “OSIS apa geng motor ini teh?”

“Geng OSIS momotoran, Pak!” sahut anak-anak kompak.

Setelah memarkirkan sepedanya, Deraz menghampiri kumpulan. Ia hendak menebeng mobil Yoga.

“Enggak pakai sepeda, Raz?” tanya anak-anak bercanda.

“Enggak,” jawab Deraz serius.

“Kamu enggak bawa motor aja ke sekolah, Raz?” tanya seorang anak.

“Belum ada KTP.”

“Si Deraz mah taat peraturan, ya,” bisik anak-anak. “Padahal nembak we.”

“Jangankan nembak SIM, nembak cewek aja wallahualam.”

Lalu berangkatlah mereka beramai-ramai. Dari tempat parkir, mereka harus menembus hutan untuk mencapai barak yang dituju.

Setelah memasuki hutan cukup dalam, tiba-tiba Deraz merasakan panggilan alam. Ia menyesal tadi pagi mengiyakan ketika Bunda menawarinya teh herbal, yang ternyata enak sehingga diminumnya bercangkir-cangkir. Deraz lalu menyimpang mencari tempat tersembunyi.

Ketika kembali ke jalan setapak, Deraz hanya mendapati Soraya yang sedang duduk di batu. Dari nada bicaranya, sepertinya cewek itu sedang menelepon pacarnya.

Ketika Deraz melewatinya, Soraya tersadar bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di belakang. Sontak ia berdiri dan menyudahi percakapan. Ia mengikuti Deraz hingga jalan yang mereka susuri bercabang. Deraz mengambil jalan ke kanan. Soraya mengikuti saja karena percaya cowok lebih andal dalam menentukan arah, biasanya. Tetapi lalu mereka menemui palang. Deraz berdecak. Alih-alih berbalik ke arah semula, ia menembus semak-semak di sebelah kiri.

“Lu yakin, Raz?” tegur Soraya. Deraz tidak menjawab, sehingga mau tidak mau Soraya mengekor.

Sementara itu, anak-anak yang sudah sampai di barak menyadari bahwa rombongan mereka tidak lengkap. “Si Deraz sama si Aya ke mana?” Mereka mencoba menghubungi keduanya lewat telepon. Nada sambung masih berjalan ketika tiba-tiba Deraz dan Soraya muncul dari semak-semak.

Sejak itu, mereka dinobatkan sebagai suami-istri.

“Itu suami kamu, Ya,” kata anak-anak ketika Deraz memasuki sekretariat OSIS.

“Harus berapa kali sih gue bilang kalau gue udah punya cowok?!”

“Lah, terus ngapain lu sama dia kemarin di semak-semak?”

“Kita tuh nyasar!”

“Aaah …. Nyasar apa menyasarkan diri?”

“Nyesel lu, Ya, kalau menampik Deraz. Lihat deh entar kalau dia udah jadi panglima tempur geng motor,” kata Jati.

“Cita-cita Deraz kan jadi presiden AS pertama yang WNI. Di kamarnya aja banyak novel Tom Clancy,” sambung Gilang. “Anak ITB mah cetek.”

“Ngarang lu!”

Imajinasi anak-anak semakin berkembang.

“Ya, kemarin gue lihat Deraz ngerokok di warung Dunhill,” ujar Gilang.

“Habis itu nyuri mangga, terus rurujakan sama anak-anak geng motor, Ya,” timpal Jati.

“Terus ngerampok Alfamart, Ya, ngambil wiski buat nemenin ngegaple,” lanjut Gilang.

“Lihat deh entar, si Deraz masuk matanya merah habis begadang,” pungkas Jati.

Memang setelah itu Deraz memasuki sekretariat OSIS dengan mata merah diiringi Ipong. Deraz menyalakan komputer lalu mengganti foto dirinya yang baru pada desktop dengan gambar padang pasir.

“Deraz habis begadang, ya?” Soraya mencoba beramah-tamah.

“Iya,” sahut Deraz, yang teredam oleh sorakan anak-anak.

“Kerokin dong, Ya! Jadilah istri berbakti!”

Ipong yang baru duduk ditegur. “Hei, Pong, mama lu udah ketemu nih!”

“Cuih, enggak sudi gue punya mama gembong AADC!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain