Sabtu, 24 November 2018

(23)

Besok ada ulangan. Malam Deraz duduk di meja belajar dengan fotokopi catatan Zahra terserak di hadapannya. Entah sudah berapa lama ia memandangi tulisan Zahra seakan-akan sedang memandangi foto gadis itu. Ekor huruf “a” yang digurat Zahra mengingatkan Deraz pada lentik bulu matanya. Huruf “u” yang tidak lengkung amat tanpa ekor itu menyerupai keluk dagunya. Huruf “o” merekah bak mulutnya yang hendak bersuara.

Deraz berdesah. Fokus, Deraz. Fokus.

Padahal tidak setiap hari ia bertemu Zahra karena dispensasi. Tetapi catatan ini dibawanya ke mana-mana dan dibacanya kapan pun sempat. Padahal cuma kata-kata, tetapi kenapa yang tampak di mata malah wajahnya?

Apakah ini …?

Adakah anak lain di kelas yang catatannya seindah ini?

Fokus, Deraz. Fokus.

Bukannya kamu ingin memperbaiki nilai-nilaimu yang anjlok pada semester kemarin? Bukannya kamu ingin lolos sampai ke WSDC? Bukannya ada setimbun program kerja OSIS yang menanti sepanjang setahun ke depan? Bukannya kamu ada “misi khusus” dengan DKM? Bukannya kamu sudah menyatakan di majalah sekolah bahwa kamu tidak pacaran?

Lagian, pacaran? Nein, no, tidak.

Bunda yang panutannya saja katanya tidak pernah pacaran. Deraz mendengar itu dari Ayah ketika sedang menegur Zara. Zara yang sudah SMP gemar menelepon pacarnya sampai lama. “Kayak Bunda tuh enggak pernah pacaran. Belajar terus sampai ke luar negeri,” kata Ayah. “Padahal yang ngejar banyak, tapi semua dijudesin.” Deraz tahu bahwa Ayah dan Bunda berteman sejak kecil. Memang itu tidak bisa dijadikan landasan bahwa Ayah mengetahui segala detail tentang Bunda, tetapi saat ini Deraz ingin memercayai perkataan tersebut.

Deraz tidak bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bertukar SMS, bertelepon, jalan-jalan, dan membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah. Waktu sebanyak itu sangat signifikan bila dipakai untuk meningkatkan diri: membaca, melatih skill sepak bola atau pelafalan bahasa Inggris, menghafalkan kata-kata benda dalam bahasa Jerman berikut partikelnya, dan sebagainya. Bukankah dengan gajinya sebagai dokter bedah yang puluhan ribu Euro/USD/AUD per bulan ia ingin sudah sudah punya rumah dan mobil sendiri sebelum usia tiga puluh lima tahun? Bukankah rumahnya akan memuat kamar pribadi, kamar mandi yang luas dengan jacuzzi, dapur berperabot lengkap, kulkas besar, garasi yang memuat Chrysler dan Ferrari, serta kebun berisi aneka tanaman buah, bunga, dan sayur? Bukankah untuk memperoleh semua itu ia harus berfokus?

Ia ingin berprestasi dulu sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya, memapankan cerahnya masa depan, baru berpikir soal … dating dan … mating? Bukannya tingkah orang berpacaran itu sangat ridiculous? Malah Deraz risi melihat pasangan yang berpegangan tangan atau berangkulan di depan publik. Can’t they get a room? Belum lagi ketika mereka marahan, lalu make a scene di pinggir jalan seperti yang sedang shooting sinetron.

Kalau butuh hiburan, ia bisa berolahraga, mengulik gitar, membaca novel John Grisham atau Michael Crichton yang selama ini cuma jadi pajangan di lemari, membuat roti atau salad yang lezat untuk dilahap sendiri, melihat-lihat perabot di situs IKEA, atau main The Sims sekalian merancang rumah masa depannya itu. Kalau butuh teman, ia tinggal mengunjungi Ipong di rumahnya lalu mengobrol tentang apa saja sambil mendengarkan koleksi kasetnya atau bermain futsal bersama anak-anak band. Kalau butuh perempuan, ia akan mencarinya nanti ketika sudah memiliki segalanya dan benar-benar siap berbagi hidup dengan orang lain. Banyak pilihan.

 

Besoknya ketika di kelas, Deraz sempat tidak sadar memandangi Zahra. Sebetulnya ia hanya berfokus pada lekuk bibir gadis itu, yang entah kenapa pagi ini terlihat begitu merah padahal sepertinya tanpa polesan apa-apa. Gumaman heran Zahra yang mendapati bahwa dirinya tengah diamati menyadarkan Deraz. Deraz segera melengos. Ia mengedarkan pandang ke seluruh kelas. Semua perempuan duduk dengan sesama perempuan. Semua laki-laki duduk dengan sesama laki-laki. Cuma mereka pasangan yang berlawanan jenis. Apakah ini …?

Tinggal satu bangku di deretan paling belakang yang kosong. Tetapi Deraz tidak mau duduk sendiri di sana. Memangnya ia apa? Orang buangan?

Padahal sebelumnya Deraz yang sengaja mengangkat wajah Zahra. Tetapi kini tiap kali Zahra mengangkat wajah dan mengarahkannya pada Deraz, yang kebetulan sedang mengamatinya, Deraz melengos. Zahra juga mungkin heran karena Deraz tidak lagi getol menanyakan pelajaran. Ketika ada bagian yang tidak ia mengerti, Deraz memilih untuk menanyakannya langsung pada guru, atau siapalah, asal bukan Zahra. Tiap kali jam istirahat, alih-alih makan di bangku sembari membaca koran seperti biasa, Deraz malah beranjak membawa perbekalannya itu ke sisi sekretariat OSIS. Yang masih berlangsung hanya SMS Deraz pada Zahra menanyakan kabar di kelas tiap kali masa dispensasinya hendak berakhir.

“Ehm, Deraz, udah siap buat ulangan?” sempat Zahra yang menegur Deraz lebih dulu dengan nadanya yang canggung.

Deraz yang sedang membaca buku pelajaran cuma menoleh sedikit, tanpa benar-benar melihat Zahra. “Udah.” Lalu ia kembali memasang tampang yang menunjukkan bahwa dirinya tidak ingin diganggu. Ia juga tidak lagi mengeluarkan fotokopi catatan Zahra di kelas, seakan-akan tidak lagi membutuhkannya.

Walau di rumah fotokopi itu dipandanginya tiap sebentar.

Deraz mencoba mendaftar kekurangan Zahra. Ada banyak sebetulnya. Gadis itu tidak selalu enak dilihat. Misalnya saat Dean datang ke kelas untuk minta bantuan Deraz mengerjakan PR, Zahra akan cemberut maksimal.

Saking maksimal, sampai-sampai Deraz ingin mencubit pipinya untuk memaksanya tersenyum.

Lubang hidungnya segitiga.

Tetapi, apalah artinya lubang hidung yang segitiga jika itu merupakan bagian dari kesempurnaan? Malah, jika lubang hidungnya bulat sempurna, apakah Zahra akan menjadi Zahra yang melekat di benak Deraz kini? Boleh jadi lubang hidung yang bulat sempurna itu malah akan merusakkan kesempurnaan yang telah ada.

Selain itu, Zahra pemalu dan pendiam. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?

Tetapi, malu-malunya itu menggemaskan. Diamnya itu menantang.

Fokus, Deraz. Fokus.

Zahra juga sepertinya tidak aktif di ekskul mana pun. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?

Tetapi mungkin saja di rumahnya ia suka memasak kue, menanam bunga, dan merajut sweter seperti Oma Buyut. Ya, ia terlihat seperti gadis yang semacam itu. Yang duduk anggun di tengah kehangatan rumah, alih-alih wira-wiri di sekolah keringatan sembari teriak-teriak.

Deraz mempertimbangkan untuk pindah ke bangku paling belakang.

Tetapi, ia lalu membayangkan bahwa ketika duduk di sana puncak kepala Zahra masih dapat terlihat dari tempatnya. Malah kemungkinan Zahra tidak akan menyadari jika ia terus memerhatikannya. Ia hanya perlu berharap Zahra menoleh lebih sering sehingga terlihat wajahnya barang sebagian saja. Bahkan sekalipun Deraz mengusulkan pergiliran bangku, di mana pun ia duduk, selama masih sekelas, matanya akan secara otomatis berlabuh pada bagian wajah atau tubuh gadis itu tanpa ia sadari.

Tidak bisakah ia mendapatkan perempuan yang lebih baik? Nanti, tetapi. Bukan sekarang. Namun tidak terbayang olehnya perempuan yang lebih baik itu seperti apa, tidak sedetail rumah masa depannya. Mungkin nanti akan terbayang. Menggantikan bayangan si dia yang terus membayang-bayangi kini.

Deraz merasa kesal dan malu akan perasaan asing ini. Tiap kali tidak sengaja berpandangan dengan Zahra, ia mulai menampakkan rasa frustrasi. Bukan dengan marah-marah. Tidak mungkinlah. Ia diam saja, namun rautnya kentara.

Zahra tidak berani menegur Deraz lagi, walaupun biasanya juga jarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain