Senin, 19 November 2018

(18)

Kerajinan Deraz selama SMP membuahkan hasil. Nilai UN-nya tidak saja mencukupi untuk masuk ke SMA negeri, tetapi juga ke SMA negeri nomor satu di Kota Bandung. Deraz bisa saja menyusul Renata ke SMA tersebut, atau ke SMA lain di Jawa Tengah dengan pendidikan semimiliter seperti tujuan beberapa temannya. Tetapi ia merasa ingin bersama lagi dengan Dean, untuk terakhir kali.

Deraz telah membayangkan cita-citanya secara agak mendetail. Setelah berkuliah kedokteran di Jerman, ia berencana untuk meneruskan pendidikan tinggi dan bekerja di luar negeri dengan gaji puluhan ribu Euro/USD/AUD per bulan. Ia mungkin tidak akan kembali ke Indonesia, kecuali untuk keperluan keluarga, kalau sangat mendesak. Bercita-citalah setinggi langit. Kalaupun gagal, kau akan terjatuh di antara bintang-bintang. Ia berusaha mencamkan kata-kata mutiara itu.

Nilai UN Dean juga besar, tetapi tidak mencukupi untuk masuk ke SMA negeri nomor satu di Kota Bandung. Selama UN, ia duduk berdekatan dengan Deraz di bagian belakang kelas dan saudaranya itu tahu untuk menepikan lembar jawaban. Tentu saja Ayah dan Bunda berharap Dean juga bisa masuk ke SMA negeri favorit. Pilihan nomor satu yang memungkinkan yaitu SMA Negeri Selonongan, atau biasa disebut SMANSON. Tetapi di situs Penerimaan Siswa Baru, nilai UN Dean berada di urutan buncit dalam daftar peserta yang memasukkan berkas ke SMANSON, sehingga ia bisa sewaktu-waktu terlempar ke pilihan dua.

Setelah penantian yang menggelisahkan, pada hari terakhir pendaftaran, Deraz yakin bahwa Dean bisa masuk ke SMANSON juga. Ia sudah mantap dengan SMA tersebut walau Ayah dan Bunda menyuruhnya untuk mempertimbangkan masuk ke SMA yang lebih baik. Mereka sendiri sudah pasrah untuk Dean.

“Aku sih SMA mana aja enggak masalah,” kata Dean santai.

Masa pendaftaran berlalu. Dean berada di nomor terakhir dalam daftar peserta yang lolos ke SMANSON.

“Alhamdulillah ….” Ayah tampak benar-benar penuh syukur. Ada harapan setelah ini Dean dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri. Sementara itu Dean membayangkan di SMA akan punya motor sendiri sehingga bisa meluaskan daerah mainnya

 

Sejak hari pertama menjejakkan kaki di SMA, Deraz sudah menarik perhatian. Yang pertama, tentu saja karena fisiknya yang jangkung dan terang. Yang kedua, sebagian orang baik sesama SIMBA—Siswa/i SMANSON Baru—maupun kakak kelas—sudah mengenal dia karena pernah satu sekolah, satu tempat kursus, ataupun lewat desas-desus dan baru kali itu melihat dia secara langsung. Yang ketiga, karena keaktifannya sebagai ketua gugus satu hingga pada hari terakhir MOS ia dinobatkan sebagai SIMBA terbaik.

Karena semua itu pula, sejak hari pertama MOS, panitia terutama Satuan Kedisiplinan atau SADIS mengincar Deraz. Mereka mencecar Deraz dengan berbagai tuduhan: sok kegantengan lah, mau tebar pesona lah, berlagak artis lah, dan seterusnya.

Kalau seniornya teteh-teteh, Deraz mudah menghadapinya. Biasanya cewek tidak kuat ditatap Deraz lama-lama. Tanpa perlu sengaja menebar pesona, pesona Deraz sudah tercecer dengan sendirinya. Dasar potongan artis.

Kalau seniornya akang-akang, barulah Deraz mesti adu saraf. Adu otot juga Deraz berani apalagi rata-rata cowok di sekolah lebih pendek daripada dia, kecuali Dean yang walaupun kerempeng dan pucat tetapi sedikit lebih jangkung.

Dean sendiri kerap kali menjadi sasaran SADIS karena dikira Deraz—di samping kesalahannya sendiri karena suka mengobrol tanpa kenal situasi. Apalagi untuk keperluan MOS rambut Dean dipangkas sependek-pendeknya sementara rambut Deraz sendiri memang selalu bermodel cepak. Bagi yang baru pertama kali melihat si kembar, keduanya tampak agak serupa.

Pada hari pertama Deraz di kelas X-1, langsung ada anak yang menodong untuk menjadi teman sebangkunya. Deraz bahkan tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Tingginya hanya sedada Deraz. Anak itu memanggilnya seakan-akan mereka sudah kenal lama.

“Hei, lu Deraz, kan? Gue sebangku sama lu, ya! Gue Ipong!” Anak itu mengulurkan tangan. Suaranya mengingatkan Deraz pada teman-temannya sewaktu di SD, atau anak-anak SD pada umumnya.

Deraz menjabat tangan Ipong sembari melirik nama di dada seragamnya. Jaka Budiman Wicaksana. Kok bisa?

Ipong sangat ceriwis. Dengan segera mereka menjadi akrab. Rupanya SMP Ipong berada di dekat tempat kursus bahasa Inggris Deraz.

“Lu mau ikut ekskul apa aja, Raz?” tanya Ipong.

“Mmm …. Sepak bola,” pastinya, “Debat,” ia juga mengincar WSDC, “OSIS.”

“Wah, gue juga tertarik sama OSIS. Waktu SMP gue di OSIS.”

“Saya juga.”

Dengan segera mereka menjadi akrab dengan anak-anak lain yang duduk di sekitar mereka. Adip satu SMP dengan Ipong, sedang Yoga dan Bram dulu bersekolah di SMP negeri di sebelah SMP Adip dan Ipong. Selain sama-sama tertarik pada OSIS, mereka juga pada belajar instrumen tetapi belum pernah bergabung dengan band. Mereka rata-rata belajar musik karena ayah mereka menginginkannya.

“Babe urang fans berat Ginger Baker. Urang geu teu nyaho da eta saha,” kata Adip.

“Kalau ayah saya sukanya flute,” ujar Yoga.

Keduanya dipanggikan guru privat oleh ayah masing-masing.

“Gue diajarin gitar sama kibor langsung sama bokap gue,” sahut Ipong. Ayahnya sendiri punya band yang aktif membawakan lagu-lagu Koes Plus dan kadang meramaikan acara pernikahan.

Urang mah pas senggang we gigitaran sorangan, bari ningalian majalah,” ucap Bram.

“Saya kursus gitar di depan SMP, sama main di ekskul,” suara Deraz.

“Eh, kita bikin band aja, yuk! Kita ikutan oprec KOMBAS!” ajak Ipong bersemangat. KOMBAS itu Komunitas Band SMANSON. Yang lain terdiam memikirkan lalu bergumam mengiyakan. “Hayuk atuh kita mulai latihan. Di deket sini ada studio da!” Ipong benar-benar sudah memikirkan segalanya. Lagu yang hendak dimainkan untuk oprec pun ia yang pilih.

“Tapi gimana, saya kan mainnya flute. Di lagu itu enggak ada flute-nya,” kata Yoga.

“Lu sementara jadi additional player aja. Kita ajarin lu gitar atau kibor sesuai keperluan. Baru lain kali kita cari lagu yang flute juga bisa masuk,” putus Ipong. “Oh, ya, suara lu juga kayaknya cocok buat backing vocal.”

Sekolah. Sepak bola. Debat. OSIS. Kickboxing. Kursus bahasa Inggris program English for Teenagers sudah selesai dan Deraz sudah memutuskan untuk menggantinya dengan kursus bahasa Jerman. Ia sudah mengikuti tes penempatan dan masuk ke level A2. Kemampuannya berbahasa Jerman mulai berkarat karena semakin jarang dipraktikkan. Sudah lama ia tidak sempat menulis jurnal lagi. Kursus gitarnya masih berjalan, tetapi sekarang Deraz mempertimbangkan untuk menggantinya dengan latihan band. Deraz sudah dibelikan PDA seperti milik Bunda untuk mengatur jadwalnya yang semakin padat, targetnya yang semakin banyak. Ia juga memasang reminder supaya tidak lupa memantau papan pengumuman, kalau-kalau informasi tentang AFS sudah ada.

Deraz biasanya memainkan musik klasik atau lagu-lagu yang easy-going sesuai dengan ajaran guru lesnya atau pembina di ekskul Akustik Club. Tetapi lagu The Cranberries pilihan Ipong genrenya heavy rock. Anak-anak lain juga merasa kewalahan membawakan suasana lagu tersebut, apalagi Yoga yang biasanya hanya memegang flute. Tetapi mereka merasa tidak enak pada Ipong yang semangatnya seperti yang hendak diajak main ke Dunia Fantasi. Apalagi ketika mereka mendengar Ipong menyanyi untuk kali pertama. Adip saja masih terpukau, walau ia tahu bahwa sejak SMP Ipong aktif di ekskul Vocal Group.

“Eh, kita mau pakai nama apa nih, buat daftar oprec KOMBAS?” tanya Ipong pada anak-anak ketika hendak mendaftarkan band mereka.

Yang lain berpandangan dengan bingung. Cewek-cewek di sekitar mereka yang mengenal Ipong pada mengusulkan.

“Ipong dan F4!”

“Ipong and The Bodyguards!”

“Sst!” Ipong menyuruh diam. “Apa dong?”

“Ipong Band,” kata Adip.

“Jelek amat!” sahut Ipong.

“Nama kamu sendiri, Pong.”

“The Ipongs,” usul Yoga.

“Kita semua adalah Ipong-ipong yang …” Bram terdiam memikirkan, “mau ikut oprec KOMBAS.”

“Jadi apa nih?” tanya panitia. Ipong menggaruk-garuk kepalanya geregetan. “Sementara gue tulis band Ipong dulu aja kali, ya, sambil kalian memikirkan. Next!”

Namun karena setiap anak punya kesibukan masing-masing, persoalan itu terlupakan hingga waktunya pertunjukan oprec KOMBAS.

“Masih belum ada nama?” tanya panitia.

“Kita masih boleh tetap main, kan?” sahut Ipong. Sebenarnya ia punya banyak alternatif nama, tetapi para personelnya tidak kunjung dapat memutuskan.

“Ya udah.”

Band mereka lalu menggebrak panggung kecil-kecilan itu dengan lagu “Promises” dari The Cranberries. Suara Ipong mengalun dengan bening sekaligus menggelegar, dan ia dapat menirukan cengkok Dolores O’Riordan dengan aduhai. Belum lagi gayanya yang seolah-olah sudah profesional menghadapi jutaan penonton. Sementara itu, di belakangnya Adip, Bram, Deraz, dan Yoga menyesuaikan dengan penuh perjuangan. Belum sampai pertengahan lagu, para senior KOMBAS sudah bertepuk tangan dengan riuh didukung para penonton lain. Yang tadinya tidak menonton pun menjadi penasaran untuk mendekat dan menyaksikan. Sebagian dari mereka cewek-cewek yang ketika mendapati Deraz di panggung tidak beranjak lagi ke mana-mana sampai lagu selesai. Sepanjang lagu mereka mengarahkan ponsel ke panggung. Seusai lagu, anak-anak di panggung ngos-ngosan tetapi sambutan dari penonton yang mendadak membeludak sangat memuaskan.

Penggemar Deraz bertambah-tambah. Padahal sepanjang lagu ia menunduk saja memerhatikan permainan gitarnya dengan serius lagi tegang, dan sama sekali tidak menyumbang sebagai backing vocal.

Ipong tahu ini pasti terjadi. Ia mengingatkan Deraz untuk tidak tersenyum banyak-banyak.

“Kenapa?” Padahal sejak SMP Deraz berusaha untuk menjadi orang yang ramah dan memperbanyak sedekah.

“Cewek-cewek pada ke-GR-an.”

Lain kali ketika Deraz mendapati ada cewek-cewek yang melirik kepadanya, ia melengos saja tanpa membalas senyum mereka. Tetapi ketika ia menoleh lagi, cewek-cewek itu malah terlihat asyik berbisik-bisik sambil terus memerhatikannya. Malah pada waktu dan tempat lain ketika ia bersin dan mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana seragamnya untuk menyeka hidung, ada saja cewek-cewek yang melihat padanya.

I can’t wait to be in high school, Deraz ingat pernah berpikir demikian. Now this is high school. Berahi berceceran di mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain