Senin, 12 November 2018

(11)

Dean pulih dengan cepat, apalagi Bunda getol merawat lukanya. Dean malah memanfaatkan keadaannya itu supaya tidak usah menulis.

“Dean, coba kerjain soal ini,” kata Pak Guru sambil mengetuk papan tulis dengan pantat spidol.

“Tangan aku masih sakit, Pak,” sahut Dean sambil memamerkan plester panjang di lengannya.

Pak Guru mengernyit, tetapi akhirnya menunjuk anak lain.

Pada pelajaran lain, Bu Guru menegur, “Dean, kok ulangannya enggak dikerjain?”

“Tangan aku masih sakit, Bu.”

“Pelan-pelan aja. Kalau enggak dikerjain ulangannya sekarang, nanti harus susulan.”

“Susulan aja enggak apa-apa, Bu. Tapi soalnya yang sama, ya, Bu.”

“Ya, enggak dong.”

Dean memanyunkan bibir, tetapi mau tidak mau menulis juga walau terpatah-patah.

Deraz memendam perasaan tidak enak pada Dean. Ia ingin berbuat sesuatu pada saudara kembarnya itu, tetapi apa? Sepertinya Dean tidak butuh apa-apa dari dirinya.

Hingga tiba lagi pelajaran Olahraga. Pak Guru menyisakan waktu di ujung pelajaran supaya anak-anak dapat bermain bola. Sebenarnya anak-anak ingin menyambut kesempatan ini dengan sukaria, tetapi mereka rikuh pada Deraz yang tahu-tahu sudah memegang bola. “Ayo main!” ucapnya dengan nada yang membikin anak-anak mau bermain lebih karena disuruh olehnya daripada atas keinginan sendiri. Karena Pak Guru tahu-tahu menghilang, maka tidak semua anak lelaki maju ke lapangan. Yang tidak mau bermain duduk-duduk saja di pinggir. Sementara itu anak-anak perempuan mencari tempat lain untuk bermain bola dengan sesamanya.

Dean termasuk anak yang duduk-duduk saja di pinggir.

“Kenapa kamu tidak ikut?” tegur Deraz sementara anak-anak lain sudah pada bersiap di posisi pilihan masing-masing.

“Enggak, aku mah di sini aja,” ujar Dean.

“Kamu harus ikut supaya kamu pintar main bola,” sahut Deraz.

Dengan berat, Dean mengangkat kaki. Seperti biasa, ia menuju ke gawang. Anak yang tadinya sudah menempati gawang pun mencari posisi sebagai bek.

Tetapi Deraz teriak lagi. “Tangan kamu kan masih sakit! Masak mau jadi kiper?”

Dean menyeringai. Anak-anak di dekatnya pada berbisik, “Jug lah, ambeh gancang! Bisi keburu ganti pelajaran.”

Tetapi sebagian anak punya pendapat lain. “Dean kan amfibi!” kata mereka.

Mereka anak-anak yang dulu pernah mengalami bermain bola bersama Dean sebelum memutuskan bahwa anak itu sebaiknya tidak turun sama sekali, atau jika terpaksa menjadi kiper saja. Saat itu sekolah sudah usai. Sembari menunggu jemputan masing-masing, mereka menyeberang ke taman di depan sekolah untuk bermain. Baru sekali itu mereka hendak bermain bola di sana. Biasanya mereka bermain yang lain.

Saat itu Dean masih dijemput ayahnya, belum ikut mobil khusus bersama anak-anak lain. Ayah Dean lalu datang dan mendapati anaknya penuh lecet dan memar. “Kamu kenapa? Ada yang mukul? Siapa?” tanya Ayah Dean. Suaranya galak dan badannya tinggi besar seperti raksasa.

“Habis main bola, Ayah,” kata Dean.

“Masak main bola sampai gini?”

“Tadi Dean jatuh melulu, Ayah.” Sedikit-sedikit ia terinjak, tersandung, tersenggol, tertendang, sudah seperti bola itu sendiri saja.

“Bener? Bukan kelahi?”

Ayah Dean menatap anak-anak yang memandangnya takut-takut.

Untung tahu-tahu ada Om Pedo. Entah siapa yang awalnya menyebut lelaki bertopi dan bertas selempang itu Om Pedo, anak-anak cuma mengikuti dan tidak tahu sebabnya orang tersebut dipanggil begitu. Mereka biasanya ditakut-takuti ketika hendak ke taman, “Awas, entar ada Om Pedo lo.” Tetapi mereka tidak peduli. Mereka memang mendapati lelaki itu, tetapi biasanya ia berada di kejauhan. Mereka baru meninggalkan taman ketika menyadari bahwa Om Pedo tengah memegang sesuatu di bawah perutnya.

“Itu Om Pedo!” teriak salah seorang anak.

Ayah Dean kontan menoleh. Om Pedo cepat-cepat menutup ritsleting celananya dan berlari. “Hei!” teriak Ayah Dean. Ia mengejar lelaki itu. Tetapi Om Pedo sudah keburu menyeberang dan jalan tertutup oleh arus kendaraan. Begitu Ayah Dean kembali, ia menegaskan kepada anak-anak, “Orang itu bahaya. Kalian jangan main di sini lagi!”

“Iya, Om.” Anak-anak mengkeret, walau mereka tahu bahwa Om Pedo cuma beraksi ketika ada Dean.

Tetapi Deraz tidak tahu soal itu. Ada berbagai hal tentang Dean yang Deraz belum tahu tetapi mereka tahu karena telah menghabiskan lebih banyak waktu bersama dia. “Kalian tidak boleh menyebut orang seperti hewan!” tandas Deraz. Sosoknya benar-benar menyerupai versi kecil Ayah Dean, walau tubuhnya sama sekali tidak kecil. Anak-anak menjadi tidak berkutik.

Seorang anak membisiki Dean, “Kamu diem aja. Enggak usah ikut lari-lari.”

“Iya, tahu,” ujar Dean. Ia pun bertukar posisi dengan anak yang tadi mau menjadi bek.

Deraz sudah menyiapkan koin. “Kepala,” ucapnya pada kapten tim lawan.

“Iya,” sahut kapten tim lawan, pasrah.

Deraz melempar koin seperti cara Pak Guru. Permainan dimulai.

Seperti yang sudah diutarakan, Dean berdiri saja di pinggir lapangan memandangi yang mondar-mandir berebutan bola. Melihat Dean diam saja dengan kedua belah tangan masuk ke saku celana, Deraz mengoper bola pada saudaranya. Bola meluncur pada Dean tetapi tidak ada seorang pun yang berani mendekati. Dean menjangkau bola yang hampir ke luar lapangan itu dengan sebelah kaki, lalu mengembalikannya pada anak-anak dengan tendangan pelan.

Setelah beberapa kali kejadian serupa terulang, Deraz merasa ada yang tidak beres. “Dean, kamu ke tengah!”

Anak-anak menarik napas.

“Enggak, aku mah udah enak di sini,” kata Dean.

“Kamu harus ikut kejar bola!”

Dean berpandangan dengan teman-temannya. Ia pun maju. “Main biasa aja,” ucapnya pelan, namun terdengar oleh mereka.

Permainan dimulai lagi. Tiap kali bola berada di kakinya, Deraz mencoba memberi umpan pada Dean. Ada saja lawan yang menangkap umpan tersebut, walau berhasil diambil kembali oleh tim Deraz. Kali ini Deraz sudah tahu untuk memberi kesempatan kepada anak-anak lain. Tetapi Dean tidak kunjung mendapatkannya, lebih karena kepasifan anak itu sendiri.

Suatu kali bola meluncur bebas ke kaki Dean. Anak-anak seketika terdiam di tempatnya masing-masing. Dari sayap seberang dekat gawang lawan, Deraz memberi isyarat sekaligus semangat kepada Dean untuk menggiring bola itu. Kaki Dean memantul-mantul pada bola dengan gelisah, sebelum beranjak maju. Anak-anak tim lawan tahu harus mengadang Dean, tetapi mereka ragu-ragu tiap kali mau mendekat. Seorang anak akhirnya berhasil mencuri bola dari Dean. Lagi pula pertahanan Dean lemah.

Deraz tidak menyerah. Ia meneriaki Dean, tiap kali saudaranya itu mulai menepi lagi. Ia memanggil Dean, tiap kali hendak mengoper bola pada saudaranya itu. Mau tidak mau Dean mondar-mandir. Anak-anak pun perlahan mulai agresif padanya. Ketika bola meluncur bebas lagi pada Dean yang sedang terbuka di salah satu sayap, anak-anak seketika menyerbu ke arahnya. Dean menjadi panik dan buru-buru berusaha menggiring bola ke mana pun ia bisa. Deraz merasa puas melihat kaki Dean mulai lincah membawa bola. Dean ternyata bisa. Anak-anak itu saja yang tidak mau memberi Dean kesempatan.

Permainan mulai berlangsung lancar, tidak lagi tersendat oleh anak-anak yang ragu menyerang Dean. Saudaranya itu juga mulai aktif mengejar bola. Udara semakin panas.

Hingga suatu ketika Deraz mendapat bola dan hendak mengumpan lagi kepada Dean. Tetapi ia mendapati di seberang lapangan anak itu tengah membungkuk. Anak-anak mendekati saudaranya. “Duduk dulu, Dean,” ada yang berkata. Terdengar batuk-batuk. Ketika Deraz menyibak kerumuman anak-anak, Dean tengah berguling di lapangan sambil memegangi dadanya. Mulutnya megap-megap seperti ikan yang terkapar di daratan. Napasnya berbunyi seakan-akan ada yang menduduki dadanya itu sambil mencekik lehernya. Sontak Deraz berkeringat dingin.

Tahu-tahu Pak Satpam masuk lagi, ditarik seorang anak. “Aduh, kenapa lagi ini?” Ia membopong Dean dan tergopoh-gopoh membawanya ke ruang UKS diikuti anak-anak. Deraz tentu saja serta. Pak Satpam merebahkan Dean pada tempat tidur. Guru yang hari itu bertugas di ruang UKS sama pula dengan yang menangani Dean ketika lengannya sobek. Tetapi kali ini tampaknya ia sudah tahu yang mesti dilakukan. “Ambil inhalernya!” perintah guru itu. Beberapa anak segera berlari ke luar ruangan.

Deraz sendiri terdiam di tepi ranjang, memandangi Dean yang seperti orang mau mati. Kedua kaki Dean bergantian melipat naik-turun, sementara kedua tangannya mencengkeram dan mengacak-acak seprai. Dadanya kembang-kempis kepayahan mengambil udara diselingi batuk-batuk. Wajahnya merah sampai ke leher. Seketika itu juga Deraz mendapat perasaan bahwa ia bisa kehilangan Dean kapan saja, setelah Oma Buyut, Opa Buyut ….

Bu Guru duduk di tepi ranjang dan mengangkat kepala Dean ke pelukannya. Dahi Dean penuh titik keringat. Matanya setengah terkatup. Walau dadanya masih memompa disertai bunyi seret, tetapi ia seolah-olah sudah tidak sadar. Anak-anak muncul membawakan ransel Dean. “Aduh, kok sama ransel-ranselnya. Coba cari di kantong depan!” Anak-anak menurut lalu menyerahkan benda yang dimaksud kepada Bu Guru. Alat itu dimasukkan ke mulut Dean  yang terbuka. Sebentar kemudian mata Dean menutup. Gerakan dadanya berangsur-angsur mereda. Bu Guru mengusap-usap kepalanya.

“Udah, udah, pada balik ke kelas. Udah ganti pelajaran, kan?”

Anak-anak menurut. Cuma Deraz yang bergeming.

“Deraz, kamu enggak ke kelas?”

“Saya mau menemani Dean, Bu,” ucap Deraz.

“Nanti kamu ketinggalan pelajaran.”

“Saya mau di sini saja.” Deraz duduk di kursi dan memasang pose seakan-akan ia sudah menyatu dengan benda itu.

Tampaknya Dean tertidur. Ketika napasnya sudah tenang dan teratur, Bu Guru mencopot inhaler dari mulutnya dan melepas anak itu pelan-pelan. Kepala Dean terkulai lemas di bantal.

Setelah Bu Guru pergi, Deraz mengambil inhaler Dean yang ditaruh di nakas. Ia mengamat-amati benda itu, mencobanya, lalu meletakkannya ke tempat sebelumnya. Ia memijakkan kedua kakinya ke bibir kursi. Sembari menyembunyikan separuh wajahnya di balik lipatan lengan dan lutut, ia memandangi saudara kembarnya, memastikan bahwa dada Dean masih bergerak.

Batinnya terus menyuarakan bahwa ia tidak ingin kehilangan Dean. Tidak lagi. Biarpun Pak Karman mengatakan bahwa Allah akan mendatangkan orang-orang baru yang sayang padanya dan tidak akan membuatnya kesepian, tetapi, tidak, ia tidak mau kehilangan orang dekatnya lagi. Sejak ia tinggal di sini, Deanlah yang paling dekat dengan dirinya, menghabiskan paling banyak waktu bersama dirinya.

Tuhan ….

Tuhan Allah ….

Jangan panggil Dean ….

Bitte, please ….

Seusai pelajaran terakhir, anak-anak pada menengok Dean ke ruang UKS. Tetapi Dean masih tidur dan mereka tidak hendak membangunkannya.

Sampai kemudian datanglah Zara. Ia menggoyang-goyang kaki Dean hingga kakaknya itu terbangun.

“Jemputannya udah dateng,” ujar Zara.

Setelah duduk sebentar, Dean turun dari tempat tidur dan keluar dari ruangan UKS. Deraz segera mengambil ransel serta inhaler Dean, dan menyusul. Dean baru menyadari bahwa ia tidak membawa ransel ketika sampai di mobil jemputan. Namun kemudian Deraz datang membawakannya, setelah mengambil miliknya sendiri di kelas.

Dean bersikap seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa pada hari itu, sampai Zara mengungkitnya saat makan malam bersama.

“Tadi Dean tidur di UKS,” lapor Zara pada orang tua mereka.

“Habis di UKS enak sih,” tukas Dean.

“Ke sekolah itu belajar, bukan buat tidur,” kata Ayah.

Deraz menunduk saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain